"Sekali lagi maafin aku, Zo. Aku juga tidak menyangka akan seperti ini jadinya," kata Vina penuh penyesalan.
Tidak bisa berkata apa-apa lagi, terlebih melihat wajah memelas Vina, Zoya menghela nafas pelan seraya menyandarkan punggung. Apa yang terjadi hari itu bukan sepenuhnya salah Vina, melainkan kecerobohannya sendiri. Sebuah lelucon yang tidak menduga akan berakibat fatal, sangat fatal sampai Zoya harus berurusan dengan pria yang tempo hari menjadi target keisengannya. Lantas, jika dipertemukan dengan pria itu lagi apakah ia bisa mengatasi rasa canggungnya?Baru memikirkan saja Zoya sudah gatal—seperti ada ribuan kutu menyerbu kepala, dan sedang berlomba-lomba menghisap darahnya."Semua memang salahku," imbuh Vina lagi semakin merasa bersalah. Karena memang semua berawal dari dirinya."Sudahlah. Ini juga salahku," kata Zoya pasrah.Tepatnya tidak ingin melihat Vina terus menyalahkan diri."Tidak hanya kalian yang bersalah, aku juga." Melly ikut menyahut. Tidak adil jika hanya kedua sahabatnya yang berani mengakui kesalahan, sedangkan dirinya tetap diam seperti trenggiling di samping Zoya. "Seharusnya aku lebih tegas memperingatkan kalian, agar lelucon itu tidak sampai terjadi. Aku memang payah." Melly kembali menyelipkan kepala diantara kedua lututnya. Posisi duduk yang terjadi saat gadis itu merasa tidak berguna."Maafkan aku." Selain hanya itu kata yang lagi-lagi bisa Vina ucapkan, posisi duduknya tak kalah lebih memprihatinkan. Vina bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk dalam, persis seperti terdakwa yang pasrah menerima hukuman. Di antara kedua sahabatnya, hanya Zoya yang duduknya paling benar. Itu jika dilihat sekilas. Sebab, jika diperhatikan lagi, maka akan terlihat jika sofa yang Zoya duduki amblas ke dalam. Terlalu gugup, Zoya sampai lupa jika bagian itu rusak. Untung saja Vina dan Melly mempersilahkan Lisa duduk di bagian lain. Biarkan Zoya yang tidak nyaman, asal tidak dengan tamu mereka. Walaupun tamu yang datangnya tidak disangka-sangka.Penyesalan tinggal penyesalan yang pasti tidak akan merubah keadaan. Seandainya pemikiran itu tidak muncul, mungkin situasinya tidak serumit sekarang, dan Zoya tidak harus menanggungnya."Menurutku sekarang, akan lebih baik jika kita tidak lagi melakukan taruhan. Ini sangat beresiko," lanjut Melly memberi saran."Kau benar," sahut Zoya setuju.Vina tidak ikut berkomentar. Penyesalan membuatnya merasa tidak berhak lagi bersuara. Ia yang selama ini paling keras kepala dengan menganggap semua hal sepele, baru sadar setelah membuat salah satu sahabatnya berada di posisi sulit.Simalakama. Maju ataupun mundur semuanya jelas merugikan Zoya."Bagaimana jika aku saja yang menggantikanmu?" Keputusan mendadak yang sontak mengejutkan Zoya dan Melly."Kau pikir kita sedang berada di ajang perlombaan?" kata Zoya merasa keputusan Vina bukan solusi yang tepat."Zoya benar, Vin. Kita hanya akan memperkeruh keadaan jika melakukan negosiasi, dan pastinya Tante Lisa tidak akan setuju. Yang ada nanti kita dianggap mempermainkan mereka." Vina tertegun. Lagi, apa yang Melly katakan itu memang benar. "Tapi aku merasa sangat buruk jika Zoya sampai memupus cita-citanya dengan menerima lamaran Tante Lisa."Gantian Zoya yang diam–enggan berkomentar. Otaknya terlalu buntu untuk menyimpulkan apapun sekarang. Ia butuh refresh otak, dan satu-satunya yang ia butuhkan kembali tidur sampai petang. Karena memang sekarang sedang bebas tugas perijahan. Selain itu berharap setelah bangun, keadaan kembali seperti semula. Hari itu ataupun kemarin lusa tidak pernah terjadi.**********Hari terus berganti, Zoya yang sebelumnya tampak tenang, sejak dua hari lalu mulai gusar mengingat tinggal besok lusa Lisa akan datang. Tapi sekali lagi, Zoya tidak ingin memperlihatkan itu di hadapan dua sahabatnya, terlebih Vina. Sampai detik ini, Vina berubah lebih banyak diam, dan tiba-tiba termenung. Zoya tahu sahabatnya itu masih saja merasa bersalah—-belum bisa memaafkan dirinya sendiri."Aku berangkat dulu, ya. Hari ini majikanku akan pergi keluar kota," seru Melly seraya berjalan cepat keluar."Zo.." Zoya yang sedang mengikat rambut, lantas menoleh."Kau belum bersiap? Apa hari ini kau mengambil cuti lagi?"Melihat Vina masih mengenakan piyama semalam, Zoya menganggap sahabatnya tidak akan berangkat kerja seperti kemarin."Aku berangkat siang, majikanku akan kembali setelah makan siang." Mendengar itu Zoya mengangguk dan kembali beralih pada cermin kecil di depannya. "Apa kau baik-baik saja?""Hmm? Apa aku terlihat seperti orang sakit?" "Maksudku apa kau tidak cemas mengingat tinggal dua hari lagi Tante Lisa akan datang."Bersamaan rambutnya sudah teringat rapi—ekor kuda, Zoya kembali menoleh Vina yang berusaha menunjukkan senyum."Aku bisa menolaknya. Dia tidak bisa menekanku," kata Zoya ringan yang sebenarnya sangat bertentangan dengan hati.Tentunya Zoya sangat cemas, berlebih setelah tahu siapa Lisa. Tapi sekali lagi Zoya hanya ingin terlihat tegar di hadapan Vina, sambil berharap tiba-tiba muncul pintu doraemon yang bisa membawanya ke mars atau planet lainnya. Terpenting bisa menghindari Lisa."Sudah ya, aku mau berangkat."Zoya buru-buru pergi, selain tidak ingin terlambat, ia juga tidak bisa berlama-lama menatap wajah sendu Vina.*********Senja masih beberapa jam lagi, tapi awan hitam yang sejak tadi berputar-putar tak kunjung hujan, membuat kondisi hari seperti nyaris berubah gelap. Zoya yang baru meninggalkan rumah majikannya tergesa pulang, tidak ingin terjebak hujan di tengah jalan.Zoya masih berjalan tergesa saat menyusuri jalan, melewati beberapa bangunan seperti kafe, butik, maupun minimarket. Melihat langit semakin menggelap, Zoya mempercepat langkahnya—tidak peduli dengan sekitar. Sampai dimana ada sebuah mobil hendak memasuki pelataran restoran. Mobil tersebut melaju pelan dengan lampu sein menyala di sebelah kiri. Di jalur yang sama, Zoya tiba-tiba berlari tanpa melihat kondisi di belakang. Hingga di waktu yang bersamaan mobil sedan hitam seketika berhenti dengan suara klakson yang ditekan lama, terdengar melengking telinga Zoya.Terlalu terkejut dengan kondisi yang sedang terjadi, Zoya langsung mengeluarkan umpatan yang melintasi benaknya. Tanpa sadar, semua penghuni ragunan Zoya sebutkan."Badak, singa, gajah—"Namun, belum sempat menyelesai mengabsen, suara pekikan membuat Zoya tak kalah terkejut."---hai! Apa tidak bisa kau."Tidak hanya Zoya, pemilik suara berat itu pun sepertinya juga terkejut karena langsung melotot tajam dengan mulut seketika terkatup, begitu tahu siapa gadis ceroboh yang hampir tersenggol mobilnya."Kau lagi rupanya." Menutup kasar pintu mobilnya, Danu lantas berkacak pinggang di depan Zoya. "Dimana matamu, hah! Apa kau tidak bisa melihat sekitar lebih dulu sebelum berlari di tempat seperti ini?"Zoya bergeming. Alih-alih bersikap berani seperti tempo hari saat meminta Danu menjadi kekasihnya di kafe, siang itu. Kali ini Zoya yang masih terkejut sekaligus tidak menyangka bisa bertemu pria itu lagi, hanya bola matanya yang bergerak-gerak ke kiri dan kanan."Kau mendadak tuli sekarang?" Konotasi Danu terdengar masih sangat kasar. Tersadar dari keterkejutannya, Zoya segera mengatupkan mulut yang sempat terbuka. Lantas, ikut berkacang pinggang menantang Danu."Apapun keadaannya, Om yang salah!" Zoya tak mau kalah. "Salah siapa mesin mobil Om tidak ada suaranya, manaku tahu kalau ada Om di belakang!"Balik disalahkan, Danu memperbaiki kacamata minus yang dia kenakan. "Kau menyalahkan mobilku?""Bukan mobilnya yang salah, tapi Om yang mengemudi."Geram. Tetapi tidak mungkin marah ketika sadar ada banyak mata pejalan kaki yang memperhatikan mereka, Danu berjalan semakin mendekati Zoya yang reflek mundur."Sekali lagi kau menggangguku, akan kukirim kau pada teman-temanmu."Tidak paham teman mana yang Danu bicarakan, Zoya dengan polosnya menatap penuh tanya pria itu yang kini menyeringai licik."Tidak usah repot-repot, sekarang saja aku sudah tinggal bersama mereka."Terjadi kesalahpahaman yang membuat Danu sempat terkejut. Tapi begitu paham makna yang Zoya sampaikan, Danu menghela nafas pelan. Merasa percuma berbicara dengan gadis tengil itu, Danu pun memilih segera mengakhiri ketegangan mereka, dan masuk mobil. Orang-orang yang menunggunya jauh lebih penting daripada menanggapi gadis ingusan.Melihat mobil Danu menjauh dan pergi begitu saja, alis Zoya mengkerut dalam. "Aneh. Seperti penampilannya."Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi tak cukup membuat mata Lisa mengantuk. Duduk di sofa panjang berbentuk setelah lingkaran—di ruang tengahnya yang luas, Lisa tetap setia menunggu kepulangan putra semata wayangnya, Danu. Rasanya ia tidak sabar ingin segera mengutarakan niat hatinya. Kebahagiaan yang sudah beberapa hari ia tahan, lantaran Danu sedang berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan. Dan, malam ini mendapat kabar putranya akan kembali, Lisa dengan setia menunggu."Mengingatnya hari itu, aku semakin yakin jika dia bisa menerima putraku apa adanya," gumam Lisa disertai senyum kebahagiaan kala mengingat senyum manis Zoya saat di kafe.Gadis lucu itu dalam waktu singkat sudah berhasil membuat hati Lisa terpikat, dan Lisa semakin tidak sabar untuk segera memboyong Zoya beserta kedua sahabatnya ke rumah. Dengan begitu, keadaan rumah besarnya pasti tidak akan sesepi sekarang. "Pasti akan sangat menyenangkan bisa melihat mereka berkeliaran di rumah ini." Kembali ters
Zoya benar-benar merasa kehidupan telah kembali seperti semula. Tepatnya sejak sebulan lalu tidak ada kabar dari Lisa, ia beserta kedua sahabatnya menganggap wanita itu benar-benar telah melupakan lamaran tempo hari yang hampir membuat mereka melarikan diri layaknya pencuri. Tapi sekarang, Zoya merasa kedamaian hidup kembali dirasakan. Kendati ia berjanji tidak akan lagi mendatangi 'kafe bahagia' ataupun kafe manapun guna meminimalisir bertemu dengan pria berpakaian jadul itu—pria pemilik wajah dan mata yang sangat mengintimidasi. Namun, terlepas dari semua yang sudah pernah terjadi, baik Zoya maupun kedua sahabatnya mulai bisa berpikir dewasa. Sehingga tidak akan lagi menjadikan segala sesuatu yang menurut mereka aneh—sebagai bahan taruhan. Mereka benar-benar insaf. Tidak ingin mengulang kesalahan fatal untuk yang kedua kalinya."Zo, sarapanmu ada di atas meja. Kami berangkat sekarang, ya..," seru Vina seraya berlari menjauh. Semantara Melly yang sibuk memainkan ponsel sudah keluar l
DUK!!"Auw!" Terkejut sekaligus merasa sakit di dahi, Zoya meringis sambil mengusap-usapnya. Tidak tahu jika dari dalam butik ada seseorang yang juga meringis ngilu, seolah ikut merasakan apa yang Zoya rasakan. 'Pasti sakit," gumamnya."Astaga! kenapa ada kaca sebening ini." Tangan kiri Zoya terulur—menyentuh dan mengetuk kaca sekali. "Seharusnya aku melakukan ini tadi sebelum dahiku membenturnya." Sambil menggerutu ia mendorong pintu transparan tersebut lalu melangkah masuk."Selamat datang, Mbak Zoya." Sontak, Zoya terjingkat. Menganggap wanita tinggi semampai yang mengenakan seragam navy bertuliskan 'Boutique LS' di dada sebelah kiri itu adalah manekin. Sehingga, tak menyadari keberadaannya di dekat pintu masuk."Iya, Mbak," jawabnya canggung. Heran kenapa wanita cantik yang saat tersenyum memperlihatkan kawat giginya itu bisa mengenali dirinya. Zoya sempat tertegun, menerka-nerka mungkinkah Liza memberitahu wanita itu dirinya akan datang? Sejurus kemudian, Zoya menggelang tegas—m
"Aku akui kepercayaan dirimu memang luar biasa. Bisa melakukan hal senekat itu di depan umum. Apa tujuanmu sebenarnya? Uang?" Sambil menyandarkan punggung, Danu menatap remeh lawan bicaranya.Ketenangan gadis itu cukup menggelitik hati, ingin memastikan sejauh mana bisa bertahan menghadapi dirinya.Sementara itu, Zoya masih berusaha keras mempertahankan agar gemetar di kaki ataupun tangannya tidak sampai tertangkap oleh Danu, bisa semakin besar kepala pria itu jika melihatnya.'Ingat Zo! kamu tidak perlu takut padanya, dia juga pasti makan nasi sama sepertimu," kekuehnya dalam hati."Aku bukan orang yang suka basa-basi. Jadi, cepat katakan apa yang kamu inginkan!" Zoya melirik Danu sekilas, lalu memajukan bibir bawahnya. "Gak sabaran banget, yakin mau dengar.""Dengar! aku tidak suka waktuku terbuang sia-sia untuk urusan yang tidak penting. Sekarang, katakan berapa yang kamu inginkan," lirih Danu.Zoya menghela nafas panjang—ikut menyandarkan punggung dan menoleh ke samping menatap be
'Kenapa berhenti disini? uangku mana cukup bayar makanan disini. Gila aja nih om-om, mau cari gretongan gak kira-kira,' gerutu Zoya dalam hati. Ia merasa sangat kesal begitu tahu, Danu memasukan mobilnya di depan sebuah restoran. "Set dah, tuh orang mana udah nyelonong duluan lagi. Aduh! dompet mana sih."Melihat Danu sudah keluar lebih dulu—Zoya semakin gelisah lantaran dompet silikon karakter pororo miliknya entah terselip di bagian mana."Nah, ini dia." tersenyum lega. Namun, begitu membuka dan melihat isi dompetnya, gadis itu tertunduk lesu. "Ya salam om, duitku cuma seratus dua puluh ribu ini, malah ngajak makan ditempat beginian. Warung tegal napa? masakan disana tak kalah nendang."Tok tok!!Zoya terkesiap begitu kaca di sampingnya diketuk, dan pelakunya tak lain Danu."Ck, apa yang sebenarnya dia lakukan? kenapa tidak ikut turun." Baru Danu hendak mengetuk kaca lagi, gerakan tangannya seketika terhenti melihat pintu terbuka. "Kamu tidak suka tempat ini?" Melihat gelagat mencu
"Kamu dari mana Zo?" "Astaga! kamu mengejutkanku. Aku pikir belum ada yang pulang." Setelah meletakkan tasnya diatas meja, Zoya ikut berbaring di samping Melly."Tumben kamu sudah pulang?" Menoleh ke arah samping. Melly yang sedang tengkurap memainkan gawainya melirik sekilas."Pekerjaanku tidak banyak hari ini, makanya bisa pulang lebih awal. Kamu belum menjawabku tadi, dari mana?" Zoya merubah posisinya sama dengan Melly, setelah menekuk kedua kaki dan menggoyang-goyangkannya ia mulai bercerita. "Ketemuan sama tante Liza dan Om Danu.""Serius?" Zoya mengulum senyum melihat keterkejutan sang sahabat."Iya, kenapa?" "Lalu?" "Apanya?" "Ck, kamu ini, bagaimana pertemuanmu dengan om Danu setelah apa yang terjadi kemarin. Lalu apa tante Liza memaksakan kehendaknya?" Melihat Zoya menggelang yakin–Melly memiringkan tubuhnya dan menatap penuh selidik. "Jangan membuatku penasaran, sekarang ceritakan semua tanpa ada yang kamu skip." "Aku dan tante Liza belum sempat mengobrol tadi. Sement
Ternyata memang benar, manusia hanya bisa berencana, dan tuhan yang maha menentukan segalanya. Setelah tidak pernah lagi ada kabar beritanya, Zoya dan kedua sahabatnya menganggap bahwa Liza melupakan lamaran dadakannya satu bulan lalu, tapi ternyata? Tanpa disangka-sangka wanita itu tiba-tiba muncul di momen yang sangat tepat."Sayang, kalian akan pindah ke rumah ibu hari ini juga." Sontak, Zoya menegang, matanya berkedip ragu."Ke–kenapa me-mendadak, tan?" Setelah keheningan sesaat, Zoya mulai bisa bersuara. Sungguh, gadis itu merasa terkejut sekaligus heran kenapa wanita itu muncul dengan kejutan tak terduga. Tiba-tiba memintanya pindah tanpa ada pemberitahuan lebih dulu. Jantung? masih amankah di tempatnya?Siang itu, Zoya yang merasa kurang enak badan, memilih tinggal di kamar kos menunggu kedua sahabatnya kembali. Dan untungnya, mereka bertiga off dari kesibukan masih-masih, sehingga ia bisa beristirahat, sementara kedua sahabatnya tengah keluar mencari makan. Tapi, baru juga he
"Ya Tuhan .. ini rumah atau istana? besar sekali."Vina langsung terperangah begitu keluar dari mobil diikuti Zoya, beserta Melly. Pandangan pertama yang tersuguh di depan mata mereka adalah kemewahan hunian Atmadja."Ini baru luarnya loh bestie, kita belum lihat kedalam." Vina mengangguk, begitu juga Melly. Mereka seolah setuju dengan pendapat Zoya."Lihat guys. Luas halamannya saja setara lapangan bola, luar biasa .. tante Liza memang the real sultan," saut Melly yang mendekat dan berdiri di antara kedua sahabatnya."Mereka memang bukan orang biasa, kita saja yang terlambat menyadarinya." Vina kembali menimpali dengan pandangan masih lurus ke depan."Entahlah .. yang pasti, sekarang kepalaku tidak sakit lagi setelah melihat rumah ini," celetuk Zoya seraya memutar pandangan segala arah."Itu karena obat yang kamu minum Oneng, plis deh. Jangan norak," dengus Melly yang hanya disambut kekehan oleh Zoya."Ayu kita masuk." Liza yang sebelumnya kembali menghubungi seseorang, langsung memu