“Jadi kita akan tinggal di sini?” tanya Tania ketika Gatra membawa ke apartemennya.“Iya. Ada masalah?”“Tapi kamarnya kan cuma satu.” “Dan kita Cuma berdua. Kita muat kok berdua di sana.”Tania berdecak di dalam hati. Ini bukanlah tentang ukuran atau kapasitas kamar tersebut, melainkan keadaannya. Jika hanya ada satu kamar, itu artinya Tania akan tidur berdua di sana dengan Gatra, di atas ranjang yang sama.Tania kemudian menjelajahi setiap sudut apartemen. Apartemen itu sepertinya ideal untuk pasangan baru seperti mereka. Ada satu kamar tidur. Satu kamar mandi di luar, dapur serta ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga.“Gimana, Ta, kamu suka?” tanya Gatra yang kini sedang berdiri di belakang Tania.“Suka,” jawab Tania singkat.Gatra tersenyum.“Tapi sayangnya kamarnya cuma satu,” cetus Tania lagi.Senyum Gatra memudar. “Memang kenapa kalau kamarnya cuma satu?”“Aku pengen apartemen yang kamarnya ada dua.”“Kalau kamu maunya begitu artinya kita harus sewa apartemen, sayang d
Dypta terdiam berdetik-detik lamanya. Lelaki itu kehilangan kata untuk menjawab pertanyaan anak tirinya. Sementara di hadapannya Tania masih berdiri dengan mata menantang.“Kenapa Om nggak jawab? Om takut karena dugaan aku ternyata benar? Om mau lari dari kenyataan? Om pengecut. Aku nggak nyangka kalau Om aslinya adalah pecundang." Tania mencecar Dypta bertubi-tubi.“Kenyataan apa, Kak? Dan menghilangkan jejak apa tadi maksud Kakak? Papa ganti cat mobil ini karena memang sudah terniat dari lama.”“Bisa sekebetulan gitu ya, Om, aneh banget,” balas Tania tidak percaya. "Dan satu lagi, jangan pernah sebut diri Om sebagai papa, setelah kejadian itu kita bukan lagi ayah dan anak."“Tentang mobil itu nggak apa-apa kalau Kakak nggak percaya. Papa paham. Apa pun kata-kata dan penjelasan yang Papa sampaikan Kakak kayaknya tetap nggak akan bisa terima. Dan bagi Papa selamanya kita adalah ayah dan anak. Tapi kalau Kakak ngotot, jadi ya sudah. Terserah Kakak,” pungkas Dypta menyudahi perdebatan y
Tania menyetir dengan perasaan galau. Beberapa kali ia hampir menabrak kendaraan lain di depannya karena kehilangan konsentrasi. Yang ada di benaknya hanya Dypta.Tania tidak langsung keluar dari mobil setelah sampai di area parkir apartemen. Ia menelungkupakan kepalanya di atas setir. Hingga saat ini pikirannya masih kacau. Kenapa begitu sulit untuk mematikan perasaannya pada Dypta? Suara klakson yang berasal dari mobil yang parkir di belakang mengejutkan Tania. Ia mengangkat kepalanya dari kemudi lalu mengambil ponsel dari dalam tas. Jari-jarinya mulai menari lincah di atas layar sentuh.To: Om DyptaTania mengembalikan ponselnya ke dalam tas setelah menyaksikan sendiri pesan tersebut telah terkirim untuk Dypta.Tania kemudian turun dari mobil, melangkah lesu sambil membawa kopernya ke unit apartemen Gatra yang terletak di lantai empat belas.Gatra ternyata belum pulang. Tania tidak tahu dia akan pulang jam berapa. Mungkin dia sibuk di rumah sakit. Bisa jadi pasiennya banyak. Entah
Gatra terkejut bukan main atas tudingan yang dituduhkan padanya. Namun kemudian ia hanya tersenyum sambil mengangkat tangannya. “Talk to my hand.”“Gatra, aku nggak minta apa-apa. Aku nggak mau ganggu kehidupan pribadi kamu. Aku cuma minta bantuan kamu buat jelasin ini sama Gandi.” Airin memohon dengan begitu penuh harap. Hanya Gatra yang diyakininya bisa menyelamatkan rumah tangganya yang masih seumur jagung.“Sorry, Rin, aku nggak bisa.” Gatra menolak saat itu juga.“Tapi ini juga menyangkut nama baik kamu, Gat.”“Aku nggak peduli. Sekali lagi, aku nggak mau ikut terlibat dalam masalah kalian. Masalahku sendiri udah banyak.”“Gatra, aku mohon …” Airin menahan tangan Gatra sekali lagi agar tidak pergi.“Mau aku kasih solusi?”Airin mengangguk dengan mata basah.“Datang ke rumah sakit lalu tes DNA.”“Tapi gimana caranya kalau dia nggak ada? Aku nggak mungkin tes DNA sendirian kan, Gat?”“Dan menurutmu aku yang bertanggung jawab untuk mencari dan membawa dia pulang?” Gatra menekan emos
Gatra dan Tania sama-sama berbaring di ranjang mereka setelah aksi tarik menarik tadi. Gatra memiringkan badan mengarah pada Tania, sedangkan Tania menelentang memandang langit-langit kamar.“Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?” tegur Tania menyadari Gatra tidak berkedip sedetik pun menatap wajahnya.Gatra hanya tersenyum. Ternyata begini rasanya beristrikan Tania. Tidak bisa disentuh dan juga dilarang melihatnya lebih dari tiga detik. Tadi waktu Gatra merengkuhnya hingga mereka sama-sama rebah ke tempat tidur, Tania bukan main marah walau ujung-ujungnya mereka tetap berbaring berdua di ranjang yang sama.“Malah senyum-senyum. Pasti sekarang lagi mikir jorok. Ingat ya, Gat, kamu jangan coba-coba jatuh cinta sama aku. Pernikahan kita hanya satu tahun.”“Iya.” Gatra menyahut singkat. Kantuk mulai menyerangnya.Gatra sudah memejamkan matanya ketika mendengar suara Tania.“Gat ... Kamu udah tidur?”“Udah.”“Udah tidur kok bisa ngomong?”Gatra membuka matanya yang berat lalu tersenyum.“Aku l
Gatra melepaskan diri dari Airin yang memeluknya meski sang mantan sepertinya belum rela mengurai dekapan.“Gimana kejadiannya?” tanya Gatra tidak ingin bertele-tele. Gatra mau setelah urusannya selesai langsung pergi secepatnya dari tempat itu.Airin tidak langsung menjawab. Perempuan itu malah menarik tangan Gatra mengajak masuk ke dalam rumah. Gatra memandang ke belakang, meminta Tania ikut dengannya.“Rin, aku bareng istriku.” Gatra memberitahu agar Airin bersikap wajar.Airin memandang sekilas ke belakang sambil tersenyum seadanya. Tania membalas dengan lengkungan bibir yang sama. Di dalam hati ia berpikir sendiri sedekat apa hubungan Gatra dengan pasiennya yang ini. Barulah Tania menyadari kalau sebelumnya pernah bertemu dengan Airin saat resepsi pernikahannya.“Tadi perutku sakit, terus waktu ke kamar mandi aku ngeliat ada darah di celana dalamku, Gat.” Airin mulai menjelaskan kronologi kejadian setelah Gatra mendesak sekali lagi.“Sebanyak apa darahnya?” tanya Gatra ingin me
Gatra terus menyetir, sedangkan Tania duduk membisu di sebelahnya. Setelah pembahasan mengenai pap smear tadi tidak ada lagi yang mereka bicarakan.Tania larut dalam pikirannya mengenai pap smear. Jujur saja, ia merasa ngeri. Tania meringis sendiri. Ia tidak sanggup membayangkan detailnya. Tania takut. Tania merasa ngeri dan sejenisnya pada apa pun yang berhubungan dengan hal-hal yang paling sensitif baginya sebagai perempuan.“Tegang amat, Ta, masih mikirin pap smear?” goda Gatra.Suara Gatra memaksa Tania untuk menoleh pada laki-laki itu. “Iya,” jawabnya jujur. Mungkin saat ini mukanya juga terlihat pasi.Gatra menahan senyum. Ternyata istrinya benar-benar polos. Tania tidak tahu kalau perempuan yang belum pernah berhubungan intim tidak bisa melakukan pap smear. Padahal tadi Gatra hanya iseng menguji Tania.“Kalau takut mending nggak usah.”“Nggak apa-apa memangnya?” tanya Tania ragu.“Sebelum aku jawab pertanyaan kamu, boleh aku tanya dulu?”“Apa?”“Kamu masih ... virgin?” Gatra be
Gatra mengikuti Tania yang berjalan meninggalkannya dari belakang. Sejujurnya Gatra merasa khawatir jika Tania tersinggung oleh ucapan Lena tadi.“Kayaknya kamu salah pilih istri deh.” Tania menyeletuk sambil mengambil handuk.“Tuh kan, baru beberapa menit yang lalu aku bilang kata-kata Mama nggak usah diambil hati tapi kamu udah baper aja.”“Aku nggak baper, cuma heran aja. Kayaknya Mama kamu baik, malah akrab sama Mommy aku, tapi kayaknya dugaanku salah.”“Maksud kamu apa, Ta? Kamu jangan salah paham hanya gara-gara ditegur Mama.”“Aku nggak salah paham, Gat, tapi cuma ngerasa heran mama kamu sampe seniat itu datang ke sini cuma untuk ngecek apa anaknya kukasih makan.”Gatra terkaget-kaget atas respon Tania. Tidak menyangka jika istrinya akan sesensitif itu.“Mama nggak sengaja datang ke sini. Mama kebetulan lewat terus mampir. Jadi tolong buang pikiran buruk kamu jauh-jauh, Ta.”Tania mendengkus halus. “Aku ingin sekali percaya, tapi kok sulit ya? Aku tau itu cuma modus para mertua