Gatra mengikuti Tania yang berjalan meninggalkannya dari belakang. Sejujurnya Gatra merasa khawatir jika Tania tersinggung oleh ucapan Lena tadi.“Kayaknya kamu salah pilih istri deh.” Tania menyeletuk sambil mengambil handuk.“Tuh kan, baru beberapa menit yang lalu aku bilang kata-kata Mama nggak usah diambil hati tapi kamu udah baper aja.”“Aku nggak baper, cuma heran aja. Kayaknya Mama kamu baik, malah akrab sama Mommy aku, tapi kayaknya dugaanku salah.”“Maksud kamu apa, Ta? Kamu jangan salah paham hanya gara-gara ditegur Mama.”“Aku nggak salah paham, Gat, tapi cuma ngerasa heran mama kamu sampe seniat itu datang ke sini cuma untuk ngecek apa anaknya kukasih makan.”Gatra terkaget-kaget atas respon Tania. Tidak menyangka jika istrinya akan sesensitif itu.“Mama nggak sengaja datang ke sini. Mama kebetulan lewat terus mampir. Jadi tolong buang pikiran buruk kamu jauh-jauh, Ta.”Tania mendengkus halus. “Aku ingin sekali percaya, tapi kok sulit ya? Aku tau itu cuma modus para mertua
Tania menutup pintu mobil dengan gerakan setengah membanting. Setelah belanja tadi Tania mengantar Audry ke rumah, barulah melanjutkan perjalanannya ke café.Baru saja membuka pintu Tamara Latte, lensa mata Tania menangkap sosok Claudia sedang duduk di salah satu kursi. Tania menghampirinya dan ikut duduk di sebelah Claudia.“Lo kenapa, Ta, datang-datang langsung cemberut?” tanya Claudia melihat Tania menekuk muka.“Ternyata bener yang dibilang orang-orang,” cetus Tania.“Soal apa?” Claudia mengerutkan dahi. Ia ingin Tania memperjelas kata-katanya.“Tadi pagi mamanya Gatra sidak dan kebetulan gue masih belum bangun. Dia ngomel panjang lebar dan ngadu ke nyokap. Gimana gue nggak kesel coba?”Claudia tertawa. “Lo sih lemburnya sampe tengah malam.”“Ih, lembur apaan?” Tania mendelik.“Sama gue nggak usah malu kali. Eh gimana? Sakit nggak, Ta? Ada darahnya? Banyak?” “Ih apa sih lo?”“Dari tadi apa sih lo, apa sih lo mulu.”“Abis lo nanyanya aneh.”“Anehnya di mana coba? Beneran nih lo ng
Detik waktu seakan berhenti ketika bibir mereka bertemu.Seakan dipaku di tempatnya, Tania tidak mampu bergerak, sementara debaran di dadanya menghentak dengan cepat.Bibir Gatra yang dingin menempel dengan sempurna di permukaan bibir Tania. Namun sebelum lelaki itu memiliki waktu untuk melumatnya, Tania mendorong dada Gatra sekuat tenaga. Gatra terperanjat, pagutan bibirnya terlepas dari Tania. Ia hampir saja terjengkang ke belakang. Untung punggungnya segera disambut sandaran sofa.“Sakit, tau, Ta!”“Makanya jangan macam-macam!” Tania menyergah galak.“Kan udah aku bilang, aku nggak macam-macam, cuma semacam aja, cuma mau nyium kamu doang.”“Nggak tau malu banget ya kamu? Aku nggak mau tapi masih aja maksa.”“Apa bedanya sama kamu? Emang kamu nggak malu melakukan KDRT sama aku?”“Orang kayak kamu memang harus digituin!”Gatra memajukan langkah mendekati Tania. Sementara Tania memundurkan badan. Bersikap waspada kalau saja Gatra akan menciuminya lagi.“Memang di mata kamu aku orang
Pagi ini cukup berat buat Gatra. Bagaimana tidak. Setelah semalam berdebat dengan Tania, tengah malamnya ia harus bangun lagi menyediakan makanan untuk perempuan itu. Ketika seharusnya Gatralah sebagai suami yang harus dilayani, yang terjadi malah sebaliknya. Alhasil pagi ini Gatra terkantuk-kantuk lantaran kurang istirahat.Namun daripada menambah berat beban di kepalanya, Gatra lebih memilih untuk berpikir positif, menganggap itu hanyalah salah satu bentuk dari kemanjaan Tania.“Makasih,” ucap Gatra singkat saat Tania meletakkan secangkir teh hangat tepat di hadapannya. Tadi Gatra ingin membuatnya sendiri, namun Tania bersikeras ingin membuatkannya untuk Gatra. Aku nggak mau nanti mama kamu sidak lagi dan ngatain aku macam-macam. Itu alasan yang disampaikan Tania tadi.“Gat, selainya udah segini?” Tania menunjukkan selembar roti tawar dengan selai hazelnut di atasnya. Tadi Tania bersikeras untuk mengolesinya dengan alasan yang sama saat membuat teh.“Udah. Thanks ya.” Sekali lagi
Setelah diperkenalkan dengan Gandi, Tania juga berkenalan dengan pegawai lain di sana. Rata-rata pekerja di sana masih berusia muda. Tapi Tania adalah yang paling belia di antara mereka.“Jarang-jarang lho kantor kami merekrut fresh grad.” Itu yang dikatakan Gandi setelah mengenalkan Tania pada para karyawan lainnya.“Oh ya?” Tania merasa surprise mengetahuinya.“Iya, masa saya bohong,” jawab Gandi meyakinkan. "Itu artinya kamu istimewa, kamu sangat spesial,” sambungnya lagi.“Anda terlalu berlebihan, Pak,” tukas Tania menjawab pujian yang menurutnya terlalu ditinggikan.“Saya tidak berlebihan. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya. Selama ini kantor kami jarang sekali merekrut fresh grad. Oh iya, yang kedua, tolong jangan memanggil saya Bapak. Saya belum cukup tua untuk dipanggil begitu. Panggil saja Gandi.”“Oke, Gandi,” kata Tania menyebut nama tersebut seperti permintaan laki-laki itu.Gandi tersenyum lebar. “Oh ya, sebentar saya ke lobi dulu,” kata Tania meminta izin saat ingat
“Ruangannya di mana, Tania?” Gandi bertanya.“Dua belokan lagi kita nyampe di sana,” jawab Tania. “Itu Gatra, suami saya.” Tania menunjuk Gatra yang saat ini sedang menerima telepon.Langkah Gandi melambat setelah melihat ke arah dimaksud.“Tania, sepertinya saya harus pergi sekarang,” ucapnya tiba-tiba.“Kenapa mendadak?” tanya Tania bingung. Seingatnya tadi Gandi yang bersikukuh ingin ikut dengannya membesuk Dypta.“Saya lupa ada janji siang ini, jadi maaf ya. Titip salam buat orang tua kamu.” Gandi sudah memutar tubuh sebelum Tania sempat menjawab. Pria itu tampak berjalan cepat seakan sedang dinanti oleh sesuatu yang penting.Tania melanjutkan langkah. Tepat di saat itu Gatra selesai menelepon dan memandang ke arahnya. Gatra menunggu Tania di ujung koridor.“Aku baru tau kalau Papa sakit, tadi ditelfon Rogen,” ucapnya begitu Tania berada tepat di hadapannya.Tania menyejajarkan langkah dengan Gatra menuju ruang rawat Dypta. Tania ingin memberitahu mengenai pekerjaan barunya. Tapi
Hari ini tepat satu bulan setelah Tania dan Gatra menikah. Sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja meskipun kerap dibumbui oleh pertengkaran-pertengkaran kecil. Setiap kali setelah berselisih maka setelahnya pasti berbaikan. Meski terlihat bagai anjing dan kucing namun keduanya tetap saling membutuhkan.Tania menikmati pekerjaannya sebagai pekerja kantoran, sedangkan Gatra tetap dengan rutinitasnya sebagai seorang obgyn. Yang sering membuat Tania kesal adalah jika Gatra pergi secara mendadak karena harus mendapat panggilan di luar jam kerja nomal.Hari itu Tania pulang kerja lebih awal. Ya nggak awal juga sih. Mungkin lebih tepatnya adalah karena Gatra yang pulang lambat.Tania bangkit dari tempat tidur. Dengan malas dilangkahkannya kaki menuju kamar mandi. Sejak pulang jam enam tadi Tania langsung meringkuk di kasur saking lelahnya.“Tata ...”Tania menoleh, niatnya ke kamar mandi urung terlaksana. Gatra ternyata sudah pulang dan berjalan mendekati Tania. Ada sesuatu di tangannya.
“Messssumm …” Tania langsung menutup muka Gatra dengan bantal.“Mesum-mesum gini tapi aku kan suami kamu, Ta,” ujar Gatra dari balik bantal.“Suami sementara,” tukas Tania mengoreksi.“Tapi aku mau jadi suami selamanya,” ucap Gatra lagi, dan sayangnya Tania tidak mendengar kata-kata Gatra lantaran suara ponselnya lebih dulu menyela.Tania menjangkau nakas sambil melongokkan kepala ingin tahu siapa yang meneleponnya. Begitu melihat nama penelepon ia buru-buru duduk sambil menyandarkan punggung ke headboard.“Halo, Gan.”“Apa aku mengganggu?” tanya suara di seberang sana. Dia adalah Gandi.“Enggak kok, ada apa, Gan?” tanya Tania heran lantaran tidak biasanya Gandi menelepon larut malam.“Aku lagi di lobi apartemen kamu. Bisa ke sini sekarang?”“Di apartemenku?” ulang Tania heran. Sepanjang yang berhasil diingatnya, ia tidak pernah memberitahu alamat tempat tinggalnya pada Gandi.“Aku mau kasih flash disk. Di sana ada soft file laporan yang kamu minta.”“Nggak bisa besok di kantor aja,
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama