Detik waktu seakan berhenti ketika bibir mereka bertemu.Seakan dipaku di tempatnya, Tania tidak mampu bergerak, sementara debaran di dadanya menghentak dengan cepat.Bibir Gatra yang dingin menempel dengan sempurna di permukaan bibir Tania. Namun sebelum lelaki itu memiliki waktu untuk melumatnya, Tania mendorong dada Gatra sekuat tenaga. Gatra terperanjat, pagutan bibirnya terlepas dari Tania. Ia hampir saja terjengkang ke belakang. Untung punggungnya segera disambut sandaran sofa.“Sakit, tau, Ta!”“Makanya jangan macam-macam!” Tania menyergah galak.“Kan udah aku bilang, aku nggak macam-macam, cuma semacam aja, cuma mau nyium kamu doang.”“Nggak tau malu banget ya kamu? Aku nggak mau tapi masih aja maksa.”“Apa bedanya sama kamu? Emang kamu nggak malu melakukan KDRT sama aku?”“Orang kayak kamu memang harus digituin!”Gatra memajukan langkah mendekati Tania. Sementara Tania memundurkan badan. Bersikap waspada kalau saja Gatra akan menciuminya lagi.“Memang di mata kamu aku orang
Pagi ini cukup berat buat Gatra. Bagaimana tidak. Setelah semalam berdebat dengan Tania, tengah malamnya ia harus bangun lagi menyediakan makanan untuk perempuan itu. Ketika seharusnya Gatralah sebagai suami yang harus dilayani, yang terjadi malah sebaliknya. Alhasil pagi ini Gatra terkantuk-kantuk lantaran kurang istirahat.Namun daripada menambah berat beban di kepalanya, Gatra lebih memilih untuk berpikir positif, menganggap itu hanyalah salah satu bentuk dari kemanjaan Tania.“Makasih,” ucap Gatra singkat saat Tania meletakkan secangkir teh hangat tepat di hadapannya. Tadi Gatra ingin membuatnya sendiri, namun Tania bersikeras ingin membuatkannya untuk Gatra. Aku nggak mau nanti mama kamu sidak lagi dan ngatain aku macam-macam. Itu alasan yang disampaikan Tania tadi.“Gat, selainya udah segini?” Tania menunjukkan selembar roti tawar dengan selai hazelnut di atasnya. Tadi Tania bersikeras untuk mengolesinya dengan alasan yang sama saat membuat teh.“Udah. Thanks ya.” Sekali lagi
Setelah diperkenalkan dengan Gandi, Tania juga berkenalan dengan pegawai lain di sana. Rata-rata pekerja di sana masih berusia muda. Tapi Tania adalah yang paling belia di antara mereka.“Jarang-jarang lho kantor kami merekrut fresh grad.” Itu yang dikatakan Gandi setelah mengenalkan Tania pada para karyawan lainnya.“Oh ya?” Tania merasa surprise mengetahuinya.“Iya, masa saya bohong,” jawab Gandi meyakinkan. "Itu artinya kamu istimewa, kamu sangat spesial,” sambungnya lagi.“Anda terlalu berlebihan, Pak,” tukas Tania menjawab pujian yang menurutnya terlalu ditinggikan.“Saya tidak berlebihan. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya. Selama ini kantor kami jarang sekali merekrut fresh grad. Oh iya, yang kedua, tolong jangan memanggil saya Bapak. Saya belum cukup tua untuk dipanggil begitu. Panggil saja Gandi.”“Oke, Gandi,” kata Tania menyebut nama tersebut seperti permintaan laki-laki itu.Gandi tersenyum lebar. “Oh ya, sebentar saya ke lobi dulu,” kata Tania meminta izin saat ingat
“Ruangannya di mana, Tania?” Gandi bertanya.“Dua belokan lagi kita nyampe di sana,” jawab Tania. “Itu Gatra, suami saya.” Tania menunjuk Gatra yang saat ini sedang menerima telepon.Langkah Gandi melambat setelah melihat ke arah dimaksud.“Tania, sepertinya saya harus pergi sekarang,” ucapnya tiba-tiba.“Kenapa mendadak?” tanya Tania bingung. Seingatnya tadi Gandi yang bersikukuh ingin ikut dengannya membesuk Dypta.“Saya lupa ada janji siang ini, jadi maaf ya. Titip salam buat orang tua kamu.” Gandi sudah memutar tubuh sebelum Tania sempat menjawab. Pria itu tampak berjalan cepat seakan sedang dinanti oleh sesuatu yang penting.Tania melanjutkan langkah. Tepat di saat itu Gatra selesai menelepon dan memandang ke arahnya. Gatra menunggu Tania di ujung koridor.“Aku baru tau kalau Papa sakit, tadi ditelfon Rogen,” ucapnya begitu Tania berada tepat di hadapannya.Tania menyejajarkan langkah dengan Gatra menuju ruang rawat Dypta. Tania ingin memberitahu mengenai pekerjaan barunya. Tapi
Hari ini tepat satu bulan setelah Tania dan Gatra menikah. Sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja meskipun kerap dibumbui oleh pertengkaran-pertengkaran kecil. Setiap kali setelah berselisih maka setelahnya pasti berbaikan. Meski terlihat bagai anjing dan kucing namun keduanya tetap saling membutuhkan.Tania menikmati pekerjaannya sebagai pekerja kantoran, sedangkan Gatra tetap dengan rutinitasnya sebagai seorang obgyn. Yang sering membuat Tania kesal adalah jika Gatra pergi secara mendadak karena harus mendapat panggilan di luar jam kerja nomal.Hari itu Tania pulang kerja lebih awal. Ya nggak awal juga sih. Mungkin lebih tepatnya adalah karena Gatra yang pulang lambat.Tania bangkit dari tempat tidur. Dengan malas dilangkahkannya kaki menuju kamar mandi. Sejak pulang jam enam tadi Tania langsung meringkuk di kasur saking lelahnya.“Tata ...”Tania menoleh, niatnya ke kamar mandi urung terlaksana. Gatra ternyata sudah pulang dan berjalan mendekati Tania. Ada sesuatu di tangannya.
“Messssumm …” Tania langsung menutup muka Gatra dengan bantal.“Mesum-mesum gini tapi aku kan suami kamu, Ta,” ujar Gatra dari balik bantal.“Suami sementara,” tukas Tania mengoreksi.“Tapi aku mau jadi suami selamanya,” ucap Gatra lagi, dan sayangnya Tania tidak mendengar kata-kata Gatra lantaran suara ponselnya lebih dulu menyela.Tania menjangkau nakas sambil melongokkan kepala ingin tahu siapa yang meneleponnya. Begitu melihat nama penelepon ia buru-buru duduk sambil menyandarkan punggung ke headboard.“Halo, Gan.”“Apa aku mengganggu?” tanya suara di seberang sana. Dia adalah Gandi.“Enggak kok, ada apa, Gan?” tanya Tania heran lantaran tidak biasanya Gandi menelepon larut malam.“Aku lagi di lobi apartemen kamu. Bisa ke sini sekarang?”“Di apartemenku?” ulang Tania heran. Sepanjang yang berhasil diingatnya, ia tidak pernah memberitahu alamat tempat tinggalnya pada Gandi.“Aku mau kasih flash disk. Di sana ada soft file laporan yang kamu minta.”“Nggak bisa besok di kantor aja,
Pagi itu Tania bekerja seperti biasa. Ia jauh lebih bersemangat menjalani hidup lantaran hubungannya dengan Gatra sudah jauh membaik. Tania mencoba berdamai dengan keadaan. Ia pun menerima dan berpikir seperti yang Gatra katakan. Mungkin tidak ada salahnya mereka mengisi sebelas bulan yang tersisa dengan segala yang manis-manis. Atau setidaknya dengan menjaga perdamaian di antara mereka berdua.Ting!Pintu lift terbuka. Tania bergegas keluar dari sana. Begitu melihat seseorang yang ia kenali dari belakang, Tania memacu langkahnya sambil berseru, “Gandi, tunggu!” Gandi memutar kepala, menahan langkahnya menanti Tania.“Aku pikir hari ini kamu masih di lapangan,” ucap Tania sambil memberikan flash disk milik Gandi.“Harusnya aku masih di sana, tapi tiba-tiba dipanggil bos, disuruh masuk hari ini.”“Ada yang penting?”“Paling cuma evaluasi kinerja.” Gandi menjawab sambil menyimpan flash disk dari Tania ke dalam sakunya.“Aku udah baca laporan kamu, Gan,” kata Tania memberitahu.“Sorry y
Jika kata orang wanita itu adalah makhluk paling unik sekaligus membingungkan, maka hal itu benar adanya. Gatra sudah membuktikannya sendiri. Bukan sekali dua kali, namun sudah berulang kali dan tidak terhitung lagi. Tania adalah contoh nyatanya.Bagaimana Gatra tidak sakit kepala. Belakangan ini hubungan mereka semakin membaik, bahkan Tania sudah mengizinkan Gatra tidur memeluknya. Tapi lihatlah sekarang, Tania memberengut sepanjang jalan dan tidak mengabaikan Gatra bicara.‘Duh gustiiii ... kesalahan apa lagi yang sudah hamba lakukan?’“Ta, butiknya yang ini kan?” Gatra tanyakan lantaran takut salah dan Tania akan mendampratnya lagi.“Batalin aja ke butiknya,” kata Tania tiba-tiba.“Gimana sih, Ta?” Gatra sudah terlanjur membelokkan mobil masuk ke halaman butik.“Aku nggak jadi ke rumah mama kamu,” ucap Tania memberengut sambil bersedekap.“Kok nggak jadi?” Gatra tentu terkejut. Baru sekitar dua puluh menit yang lalu mamanya menelepon guna memastikan kedatangannya dan Gatra sudah me