“Messssumm …” Tania langsung menutup muka Gatra dengan bantal.“Mesum-mesum gini tapi aku kan suami kamu, Ta,” ujar Gatra dari balik bantal.“Suami sementara,” tukas Tania mengoreksi.“Tapi aku mau jadi suami selamanya,” ucap Gatra lagi, dan sayangnya Tania tidak mendengar kata-kata Gatra lantaran suara ponselnya lebih dulu menyela.Tania menjangkau nakas sambil melongokkan kepala ingin tahu siapa yang meneleponnya. Begitu melihat nama penelepon ia buru-buru duduk sambil menyandarkan punggung ke headboard.“Halo, Gan.”“Apa aku mengganggu?” tanya suara di seberang sana. Dia adalah Gandi.“Enggak kok, ada apa, Gan?” tanya Tania heran lantaran tidak biasanya Gandi menelepon larut malam.“Aku lagi di lobi apartemen kamu. Bisa ke sini sekarang?”“Di apartemenku?” ulang Tania heran. Sepanjang yang berhasil diingatnya, ia tidak pernah memberitahu alamat tempat tinggalnya pada Gandi.“Aku mau kasih flash disk. Di sana ada soft file laporan yang kamu minta.”“Nggak bisa besok di kantor aja,
Pagi itu Tania bekerja seperti biasa. Ia jauh lebih bersemangat menjalani hidup lantaran hubungannya dengan Gatra sudah jauh membaik. Tania mencoba berdamai dengan keadaan. Ia pun menerima dan berpikir seperti yang Gatra katakan. Mungkin tidak ada salahnya mereka mengisi sebelas bulan yang tersisa dengan segala yang manis-manis. Atau setidaknya dengan menjaga perdamaian di antara mereka berdua.Ting!Pintu lift terbuka. Tania bergegas keluar dari sana. Begitu melihat seseorang yang ia kenali dari belakang, Tania memacu langkahnya sambil berseru, “Gandi, tunggu!” Gandi memutar kepala, menahan langkahnya menanti Tania.“Aku pikir hari ini kamu masih di lapangan,” ucap Tania sambil memberikan flash disk milik Gandi.“Harusnya aku masih di sana, tapi tiba-tiba dipanggil bos, disuruh masuk hari ini.”“Ada yang penting?”“Paling cuma evaluasi kinerja.” Gandi menjawab sambil menyimpan flash disk dari Tania ke dalam sakunya.“Aku udah baca laporan kamu, Gan,” kata Tania memberitahu.“Sorry y
Jika kata orang wanita itu adalah makhluk paling unik sekaligus membingungkan, maka hal itu benar adanya. Gatra sudah membuktikannya sendiri. Bukan sekali dua kali, namun sudah berulang kali dan tidak terhitung lagi. Tania adalah contoh nyatanya.Bagaimana Gatra tidak sakit kepala. Belakangan ini hubungan mereka semakin membaik, bahkan Tania sudah mengizinkan Gatra tidur memeluknya. Tapi lihatlah sekarang, Tania memberengut sepanjang jalan dan tidak mengabaikan Gatra bicara.‘Duh gustiiii ... kesalahan apa lagi yang sudah hamba lakukan?’“Ta, butiknya yang ini kan?” Gatra tanyakan lantaran takut salah dan Tania akan mendampratnya lagi.“Batalin aja ke butiknya,” kata Tania tiba-tiba.“Gimana sih, Ta?” Gatra sudah terlanjur membelokkan mobil masuk ke halaman butik.“Aku nggak jadi ke rumah mama kamu,” ucap Tania memberengut sambil bersedekap.“Kok nggak jadi?” Gatra tentu terkejut. Baru sekitar dua puluh menit yang lalu mamanya menelepon guna memastikan kedatangannya dan Gatra sudah me
Gatra menghela napas panjang lalu menjatuhkan badan ke ranjang. Ia merasa benar-benar lelah dan frustrasi.Gatra tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Tania. Mungkin dipikirnya rumah tangga mereka adalah mainan yang bisa ditinggalkan di kala bosan.Entah apa yang terjadi sehingga Tania pergi. Gatra betul-betul buntu. Ia tidak punya clue apa pun. Andai saja Gatra tahu apa penyebabnya setidaknya ia bisa mencari solusi untuk menyelesaikan masalah mereka.Sambil berbaring di kasur Gatra merogoh ponsel di dalam saku celana. Ia kemudian mencoba menelepon Tania. Tapi seperti yang sudah diduga, Tania tidak bisa dihubungi. Dia mematikan ponselnya.“Ya ampun, Ta, salah apa sih aku?” Gatra mengerang sendiri.***Tania membelokkan mobilnya memasuki halaman rumah. Setelah tadi Gatra pergi, ia juga berpikir untuk pergi. Tania menyadari kepulangannya kali ini pasti disambut oleh berbagai tanda tanya dari orang tuanya. Tapi Tania sudah menyediakan jawaban untuk mengantisipasinya.Audry adalah ora
Tania berjalan ke arah jendela. Ia berdiri di sana bersedekap sambil membelakangi Gatra. Tania tidak mengerti kenapa Gatra begitu ringan menyikapi masalah mereka.Gatra melangkah pelan menghampiri Tania, lalu berdiri tepat di belakang istrinya itu. “Aku sengaja nggak kasih tau Mommy dan Papa. Jadi aku minta kamu bisa bersikap dewasa, Ta, jangan kekanakan kayak gini.”Refleks Tania menoleh. Ia tidak suka dianggap kekanakan. Justru Gatralah yang tidak peka pada perasaannya.“Kekanak-kanakan kamu bilang? Kamu yang nggak peka sebagai suami malah aku yang kamu bilang kekanakan.”“Kalau aku nggak peka nggak mungkin datang ke sini, Ta. Tapi yang jadi masalah aku nggak tau apa sebenarnya yang kamu permasalahkan. Sekali lagi, aku nggak ngerti bahasa telepati atau bahasa kalbu, jadi sebaiknya mari kita bicarakan dan selesaikan bersama.”Tania mengambil napas dalam-dalam. Ia lalu menyadari jika terus bertahan dalam diam maka Gatra tidak akan tahu apa-apa. Jadi lebih baik ia katakan saja sekarang
Detik waktu hari ini terasa begitu lama. Jarum jam seakan tidak bergerak dan tetap di tempat. Sebenarnya itu hanya perasaan Gatra saja. Karena ia tidak sabar ingin bertemu dengan mamanya dan langsung mengonfirmasi tentang pengakuan Airin tadi.Setelah melayani pasien terakhirnya malam itu, Gatra bergegas keluar dari ruangannya dan meninggalkan area rumah sakit. Ia memacu mobilnya menuju rumah Lena. Gatra ingin memastikan langsung kebenarannya.“Abang tumben malam-malam ke sini, Kak Tata mana?” tanya Niken saat membukakan pintu.“Dia nggak ikut, Mama mana?” tanya Gatra tanpa basa-basi.“Ada di kamar.”“Udah tidur?”“Nggak tau deh, kan aku nggak tidur sama Mama.” Niken menjawab sambil mengedikkan bahu.Saat gadis itu akan kembali ke kamar, suara Gatra menahannya. “Niken!”“Iya, Bang?”“Tiap Abang ke sini kamu selalu ke luar belajar kelompok. Itu beneran atau cuma alasan doang?” tanya Gatra menyelidik.“Beneran, masa aku bohong.”“Abang kan cuma nanya, masa kamu sewot?”“Abis nanyanya cu
Meninggalkan rumah orang tuanya, Gatra mengemudi dengan perasaan galau. Sekujur tubuhnya terasa lunglai. Seluruh persendiannya terasa lepas dari tempatnya. Gatra tidak pernah sekecewa ini pada orang tuanya.Gatra selama ini sangat menghormati dan menghargai Lena. Bahkan Gatra bersedia menikah dengan Tania demi membuat ibunya itu bahagia. Tapi setelah mengetahui tindakan Lena untuk memisahkannya dengan Airin, rasa kecewanya tidak ada obat.Ia tak henti menyesali keadaan. Berbagai pengandaian berputar-putar di kepalanya yang membuat Gatra merasa semakin sedih sekaligus sakit hati. Gatra tidak hanya kecewa pada Lena namun juga menyayangkan tindakan Airin yang menyimpan semuanya sendiri. Andai saja dulu Airin jujur dan berterus terang mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.Dua ratus meter sebelum apartemennya, Gatra berbelok ke belakang. Ia memutar arah setelah membatalkan niat untuk pulang. Ia merasa harus menyelesaikan dan memperjelas semuanya sekarang.Rasa rindu dan perasaan bersalah
Audry memasukkan handphone ke saku piyamanya, sementara Tania yang duduk di sebelahnya menanti dengan harap-harap cemas. Barusan Audry menelepon Gatra. Tania ingin segera tahu apa yang dikatakan Gatra saat berbicara di telepon tadi. Meski duduk bersisian dengan sang ibu dan menyimak obrolannya, tapi hanya sepihak hingga Tania kurang jelas detailnya apa.“Tadi Gatra bilang apa, Mommy?" kejar Tania tidak sabar.“Dia lagi di rumah sakit. Katanya seminggu ini menginap di sana dan bulan ini jadwalnya padat.”Seketika Tania merasa lega mendengarnya. Tadi ia sempat khawatir kalau saja Gatra mengatakan yang sejujurnya mengenai pertengkaran mereka. Di mata Tania Gatra itu rumit.“Tuh kan, Mommy udah dengar sendiri. Tata nggak bohong kan? Mommy sih nggak percaya sama kata-kata Tata.” Tania tersenyum simpul. Dalam hal ini ia mungkin harus berterima kasih pada Gatra yang mau diajak berkompromi. Meski Tania masih kesal padanya, setidaknya suaminya itu bersedia menjadikan masalah mereka cukup hany
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama