Detik waktu hari ini terasa begitu lama. Jarum jam seakan tidak bergerak dan tetap di tempat. Sebenarnya itu hanya perasaan Gatra saja. Karena ia tidak sabar ingin bertemu dengan mamanya dan langsung mengonfirmasi tentang pengakuan Airin tadi.Setelah melayani pasien terakhirnya malam itu, Gatra bergegas keluar dari ruangannya dan meninggalkan area rumah sakit. Ia memacu mobilnya menuju rumah Lena. Gatra ingin memastikan langsung kebenarannya.“Abang tumben malam-malam ke sini, Kak Tata mana?” tanya Niken saat membukakan pintu.“Dia nggak ikut, Mama mana?” tanya Gatra tanpa basa-basi.“Ada di kamar.”“Udah tidur?”“Nggak tau deh, kan aku nggak tidur sama Mama.” Niken menjawab sambil mengedikkan bahu.Saat gadis itu akan kembali ke kamar, suara Gatra menahannya. “Niken!”“Iya, Bang?”“Tiap Abang ke sini kamu selalu ke luar belajar kelompok. Itu beneran atau cuma alasan doang?” tanya Gatra menyelidik.“Beneran, masa aku bohong.”“Abang kan cuma nanya, masa kamu sewot?”“Abis nanyanya cu
Meninggalkan rumah orang tuanya, Gatra mengemudi dengan perasaan galau. Sekujur tubuhnya terasa lunglai. Seluruh persendiannya terasa lepas dari tempatnya. Gatra tidak pernah sekecewa ini pada orang tuanya.Gatra selama ini sangat menghormati dan menghargai Lena. Bahkan Gatra bersedia menikah dengan Tania demi membuat ibunya itu bahagia. Tapi setelah mengetahui tindakan Lena untuk memisahkannya dengan Airin, rasa kecewanya tidak ada obat.Ia tak henti menyesali keadaan. Berbagai pengandaian berputar-putar di kepalanya yang membuat Gatra merasa semakin sedih sekaligus sakit hati. Gatra tidak hanya kecewa pada Lena namun juga menyayangkan tindakan Airin yang menyimpan semuanya sendiri. Andai saja dulu Airin jujur dan berterus terang mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.Dua ratus meter sebelum apartemennya, Gatra berbelok ke belakang. Ia memutar arah setelah membatalkan niat untuk pulang. Ia merasa harus menyelesaikan dan memperjelas semuanya sekarang.Rasa rindu dan perasaan bersalah
Audry memasukkan handphone ke saku piyamanya, sementara Tania yang duduk di sebelahnya menanti dengan harap-harap cemas. Barusan Audry menelepon Gatra. Tania ingin segera tahu apa yang dikatakan Gatra saat berbicara di telepon tadi. Meski duduk bersisian dengan sang ibu dan menyimak obrolannya, tapi hanya sepihak hingga Tania kurang jelas detailnya apa.“Tadi Gatra bilang apa, Mommy?" kejar Tania tidak sabar.“Dia lagi di rumah sakit. Katanya seminggu ini menginap di sana dan bulan ini jadwalnya padat.”Seketika Tania merasa lega mendengarnya. Tadi ia sempat khawatir kalau saja Gatra mengatakan yang sejujurnya mengenai pertengkaran mereka. Di mata Tania Gatra itu rumit.“Tuh kan, Mommy udah dengar sendiri. Tata nggak bohong kan? Mommy sih nggak percaya sama kata-kata Tata.” Tania tersenyum simpul. Dalam hal ini ia mungkin harus berterima kasih pada Gatra yang mau diajak berkompromi. Meski Tania masih kesal padanya, setidaknya suaminya itu bersedia menjadikan masalah mereka cukup hany
Tania memandang kalender meja di sebelah vas bunga. Selama beberapa detik matanya tidak mampu berkedip.Hari ini tepat dua bulan setelah ia menikah dengan Gatra. Itu artinya sudah sebulan lebih mereka tinggal terpisah. Gatra sendiri di apartemen sedangkan Tania di rumah orang tuanya. Gatra benar-benar memberi waktu pada Tania untuk me time. Sejak percakapan via telepon malam itu Gatra benar-benar tidak pernah menghubunginya lagi. Baik melalui telepon atau datang ke rumah.‘Apa mungkin hari ini Gatra akan datang dan kasih bunga seperti waktu itu? Atau ada sesuatu yang lain? Apa mungkin kali ini Gatra akan mengajaknya romantic dinner yang tertunda?’ pikir Tania. Tania tidak tahu jawabannya. Ia hanya bisa menduga-duga sendiri. Jujur, setelah lama berpisah, ada yang terasa kurang dalam hidupnya. Rayuan dan sikap manis Gatra. Walau Gatra menyebalkan, tapi Tania merindukannya.Kenapa Gatra tidak pernah menghubunginya lagi? Apa Gatra sakit? Atau sedang sibuk sama Airin?Lamunan Tania terput
Puluhan detik lamanya Tania berdiri di sisi pintu dan memerhatikan dalam diam. Sedangkan Gatra dan Airin tidak menyadari kehadirannya. Tania menguatkan diri agar tidak mengamuk walaupun dadanya bergemuruh sangat hebat saat ini.Tania terpaksa mengetukkan buku jarinya ke daun pintu agar Gatra dan Airin menyadari kehadirannya.“Sorry aku ngeganggu kalian, aku cuma mau ambil baju.” Usai berkata, Tania melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen.Gatra dan Airin sama-sama terkejut. Gatra refleks melepaskan tangannya dari Airin dan menyusul Tania ke kamar.“Ta, kamu kok nggak bilang kalo mau pulang? Rencananya sebentar lagi aku mau ke sana menjemput kamu.”“Aku nggak pulang. Ke sini cuma mau ambil baju ini.” Tania mengeluarkan dress fuchsia yang dicarinya dari dalam susunan pakaian yang lain.Dari nada bicara Tania yang ketus Gatra yakin jika istrinya itu pasti salah paham.“Ta, kamu jangan salah paham dulu. Aku sama Airin nggak melakukan apa-apa. Tadi aku udah siap-siap mau berangkat ke
Beberapa jam yang lalu ...Claudia menjemput Tania ke rumahnya. Mereka meminta izin untuk menghadiri pesta pernikahan salah seorang teman."Nanti jangan pulang larut ya, Kak. Jangan kelayapan," pesan Audry sebelum Tania pergi."Iya, Mommy," jawab Tania patuh."Jangan cuma iya iya. Jangan clubbing dan aneh-aneh. Mommy nggak mau ya ada acara Papa sampe jemput Kakak kayak dulu."Deg!Jantung Tania langsung menghentak ketika diingatkan akan kejadian kala itu.Pelan dan perlahan kepalanya memutar ulang memori kala itu. Membuat perasaannya kembali kacau hanya dalam hitungan detik.Om Dypta ...***Keduanya tidak begitu lama di acara tersebut. Persis seperti kata Claudia siang tadi, mereka datang ke sana, makan, ngobrol, salaman, lalu pulang.“Lo kenapa sih, Ta, dari tadi mulut lo dimonyongin mulu.” Claudia bertanya di sela-sela menyetir.“Gue bete sama Gatra. Ternyata dia bener-bener lanjutin hubungan sama mantannya,” jawab Tania menceritakan yang dialaminya tadi.“Mantannya maksud lo si A
Gatra cepat menggulingkan badannya dari atas Tania. Namun perempuan itu merengkuhnya lagi. Kali ini melingkarkan tangannya dengan lebih erat ke leher Gatra.Berhasil membawa Gatra ke dalam cengkeramannya, Tania memenjarakan Gatra di bawahnya.Gatra ingin melepaskan diri. Ia tidak ingin semua ini terjadi di saat Tania berada dalam kondisi tidak biasa. Gatra tidak mau besok pagi ketika Tania bangun, dia akan menyesal serta menyalahkan Gatra. Atau yang lebih buruk lagi Tania akan menuding Gatra memaksanya melakukan hubungan tersebut.“Ta, jangan sekarang.” Gatra ingin beranjak dari bawah Tania.Belum ia sempat melakukan apa-apa, Tania menahannya dengan menekan kedua pergelangan tangan Gatra seperti yang dilakukan Gatra padanya beberapa jam yang lalu.“Ta …”“Ssssttt …” Tania menempelkan telunjuk di bibir Gatra sebelum melabuhkan kecupannya di sana.Gatra membalas dengan lumatan yang lebih panas. Namun kemudian ia terkesiap ketika tangan Tania membelai perutnya lalu perlahan turun ke bawa
Gatra melangkah pelan keluar dari ruangan. Langkahnya tertuju pada bilik kecil yang disebut kamar mandi. Tidak ada bath tub ataupun shower. Yang ada di sana hanyalah baskom serta ember penampung air.Di sana ia membersihkan tangan. Gatra mengambil air di baskom menggunakan gayung. Kemudian mengambil sabun batang, membasahkan dengan air, menggosok-gosok lalu membilasnya.“Pak dokter, mari minum dulu. Saya sudah buatkan teh hangat untuk Bapak." Suara seorang perempuan terdengar oleh Gatra.Gatra tersenyum dan berterima kasih. Ia lalu keluar dari kamar mandi yang tadi tidak ditutup pintunya.Gatra menyesap pelan-pelan teh hangat yang disuguhkan padanya. Sementara di hadapannya duduk seorang pria paruh baya yang wajahnya nampak begitu semringah.“Terima kasih, Pak dokter, berkat bantuan Pak dokter cucu saya lahir dengan selamat,” kata laki-laki itu pada Gatra.“Sama-sama, Pak, saya permisi dulu. Katakan pada Mira obatnya jangan lupa diminum dengan teratur. Kalau ada keluhan jangan sungkan