Gatra melangkah pelan keluar dari ruangan. Langkahnya tertuju pada bilik kecil yang disebut kamar mandi. Tidak ada bath tub ataupun shower. Yang ada di sana hanyalah baskom serta ember penampung air.Di sana ia membersihkan tangan. Gatra mengambil air di baskom menggunakan gayung. Kemudian mengambil sabun batang, membasahkan dengan air, menggosok-gosok lalu membilasnya.“Pak dokter, mari minum dulu. Saya sudah buatkan teh hangat untuk Bapak." Suara seorang perempuan terdengar oleh Gatra.Gatra tersenyum dan berterima kasih. Ia lalu keluar dari kamar mandi yang tadi tidak ditutup pintunya.Gatra menyesap pelan-pelan teh hangat yang disuguhkan padanya. Sementara di hadapannya duduk seorang pria paruh baya yang wajahnya nampak begitu semringah.“Terima kasih, Pak dokter, berkat bantuan Pak dokter cucu saya lahir dengan selamat,” kata laki-laki itu pada Gatra.“Sama-sama, Pak, saya permisi dulu. Katakan pada Mira obatnya jangan lupa diminum dengan teratur. Kalau ada keluhan jangan sungkan
Malam ini cuaca cerah. Langit dipenuhi oleh taburan bintang-bintang. Seperti biasa Gatra mengisi waktunya dengan berbaur dengan penduduk setempat. Mereka mengajak Gatra bermain catur.“Skak!”“Yaaa ... Pak dokter menang lagi.” Suasana berubah riuh seketika oleh suara-suara yang mengelilingi Gatra.Gatra tersenyum. Ia menggeser duduknya, memberi kesempatan pada warga lain untuk bermain.“Mari Pak dokter, silakan diminum.” Istri kepala desa tempat Gatra berada sekarang datang membawa kopi hangat serta roti kompiang. “Terima kasih, Bu,” jawab Gatra. Ia lalu mengambil satu dari dalam piring dan mengunyahnya pelan-pelan.“Pak dokter pernah makan roti ini?” tanya istri kepala desa.“Belum, Bu.”“Ini namanya roti kompiang, Pak. Kemarin saudara saya datang dari Manggarai.”Gatra manggut-manggut sambil terus mengunyah cemilannya malam itu. Roti kompiang merupakan penganan khas Nusa Tenggara Timur. Roti kompiang sering juga disebut kompiang longa. Roti ini berbentuk bulat atau oval dan memili
"Kamu nggak usah khawatir, aku nggak lupa sama perjanjian itu. Satu bulan lagi kan?" ucap Gatra. Ia pikir Tania menanyakan kepulangannya adalah untuk mengurus perceraian mereka.Tania diam saja. Tiba-tiba koneksi terputus karena sinyal melemah.Gatra mengembalikan ponsel ke bawah bantal setelah percakapan jarak jauh dengan Tania berakhir. Kemudian terdengar embusan napas panjang meluncur dari bibirnya. Percakapan yang hanya beberapa menit itu sukses membuat hatinya galau.Bangkit dari tempat tidur, Gatra membuka pintu rumah lalu duduk di bangku kayu yang ada di teras. Ia mengeluarkan kotak rokok dari sakunya, mengambil sebatang, lalu menyalakan api.Gumpalan asap halus terbang ke udara lalu sirna begitu saja. Pikiran kacau Gatra ikut terbang ke mana-mana. Ke Jakarta, pada kejadian lebih dari delapan bulan yang lalu, pada Tania.Malam itu adalah awal dari semua bermula, sekaligus merupakan titik balik dari kehidupan mereka berdua. Gatra tidak ingin menyalahkan Tania, juga tidak mau me
Setelah Gatra pergi Tania kembali ke rumah Audry. Membiarkan apartemen yang mereka tempati selama ini kosong.Audry bukannya keberatan dengan kehadiran Tania. Tapi mengingat Tania pernah menyimpan perasaan yang dalam pada Dypta, Audry merasa was-was jika saja perasaan itu bersemih kembali.Audry sampai memasang CCTV diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Termasuk Dypta. Di setiap bagian rumah itu terdapat kamera tersembunyi, termasuk di kamarnya, kamar Tania hingga kamar Rogen dan Kiya. Bukannya tidak percaya pada suami sendiri, tapi untuk berjaga-jaga tidak ada salahnya juga kan? Dan hingga sejauh ini keduanya terpantau aman dan terkendali. Tidak ada gestur aneh yang terekam kamera. Interaksi keduanya biasa dan wajar.“Kak, gimana kalo sekali-sekali Kakak ambil cuti terus Kakak kunjungi Gatra.”Tania hampir tersedak mendengar kata-kata Audry.“Memangnya Kakak nggak kangen sama Gatra?” Audry melabuhkan matanya di wajah Tania.“Kangen,” jawab Tania singkat sambil mengaduk-aduk oatme
Ruly ikut berjalan menuju beranda bersama Tania. Tapi sebenarnya jauh di dalam hati Tania mengharapkan Ruly langsung pulang saja. Ia tidak ingin menambah kemarahan Audry.“Malam, Tante, saya mengantar Tania pulang,” ucapnya pada Audry.Audry hanya tersenyum masam dan memandang horor pada sang putri.“Ta, aku balik ya?” Ruly berpamitan pada Tania sambil memandang pada laki-laki yang berdiri di sebelah Audry sekilas. Ia tidak tahu siapa laki-laki itu karena baru kali ini melihatnya.Laki-laki itu adalah Gatra. Ia baru saja tiba di rumah itu.“Mommy telfon Kakak dari tadi kok nggak dijawab? Mommy cuma mau ngasih tau kalo Gatra pulang,” oceh Audry pada Tania.“Tata nggak tau, tadi hpnya di dalam tas,” jawab Tania.Audry kemudian meninggalkan Tania berdua dengan Gatra. Ia masuk ke dalam rumah. Seakan mengerti bahwa pasangan muda itu membutuhkan waktu berdua saja.Gatra menuntun Tania tanpa suara menuju kursi beranda. Tania yang tahu isyarat itu mengikuti dari belakang.“Kamu pulang kok ngg
Setelah berpamitan pada Lena, Gatra tidak membuang waktu. Ia langsung membawa Tania pulang ke apartemen. Ia hanya punya sedikit waktu karena besok akan kembali ke Pulau Kecil.“Kenapa nggak bilang dulu kalo kita mau ke apartemen? Aku pikir kita menginap di rumah Mama,” kata Tania memprotes.“Namanya juga kejutan,” jawab Gatra sambil membunyikan klakson, menujukannya pada Lena yang berdiri di ambang pintu melepas kepergian mereka.“Dari tadi kejutan mulu.” Tania tidak tahu setelah ini entah kejutan apa lagi yang akan diterimanya.Gatra hanya tersenyum sambil melirik Tania melalui ekor matanya.*Gatra membuka pintu apartemen. Sedangkan Tania berdiri di belakangnya. Ketika daun pintu terbuka aroma ruang kosong yang lama tak berpenghuni langsung menguar.Gatra menyalakan flashlight ponsel sambil mencari saklar yang tertanam di dinding. Agaknya ada yang kurang dari desain apartemen itu. Seharusnya saklar lampu terletak di dekat pintu, sehingga memudahkan penghuninya.Tania yang takut gela
Pengakuan Gatra membuat Tania terdiam. Ia kehilangan kata-kata selama hitungan detik. Pernyataan yang didengarnya dari Gatra tak pelak membuatnya terguncang. “Kamu nggak percaya, Ta?” tanya Gatra menyaksikan raut kaku Tania.“How could?” Tania balas bertanya lirih.“Aku nggak tau. Tapi perasaan itu ada. Sejauh apa pun aku pergi, yang tampak di mataku hanya kamu.”“Kamu gombalnya makin expert,” balas Tania. Seulas senyum samar terselip di bibirnya.“Kalo ceweknya kayak kamu gimana nggak expert?” Seperti biasa Gatra selalu memiliki jawaban untuk membalas Tania.“Memangnya aku kayak gimana?”“Hm, kayak gimana ya?” Gatra pura-pura berpikir. “Ntar kalo aku jabarin satu demi satu kamu malah kegeeran.”“Dih!” Tania mencebik.Dan Gatra sangat menyukai ekspresi Tania. Bagaimana perempuan itu mengerucutkan mulut, bagaimana mata bulatnya membundar. Apa pun yang terlukis di paras manisnya adalah favorit Gatra.Gatra berdiri, lalu menjangkau tangan Tania, menuntunnya untuk berdiri. “Yuk, Ta!”“Ke
Tania sengaja izin kerja hari ini demi bisa menemani Gatra seharian. Meskipun Gatra tidak meminta, namun Tania melakukannya demi mematuhi kata-kata Audry.“Gatra kan cuma sehari di sini, Kak. Apa salahnya Kakak temenin.”Dari pada ibunya itu mengomel panjang lebar, Tania terpaksa meluangkan waktunya. Gatra sih senang-senang saja. Gatra memang bukan tipe suami penuntut. Jadi begitu Tania mengatakan akan menemani seharian ini, ia bagai mendapat hujan emas. Setengah hari ini Tania menemani Gatra berurusan. Mulai dari Dinas Kesehatan hingga apotik. Gatra memesan banyak obat-obatan.Waktu menunjukkan pukul satu siang ketika semuanya selesai. Itu artinya mereka hanya punya waktu tiga jam lagi untuk bersama sebelum Gatra berangkat jam empat sore nanti.Gatra tersenyum saat melihat jari manis Tania. Cincin nikahnya sudah kembali tersemat di sana. Tadi pagi saat ke rumah Audry Tania mengambil dan memakainya. Untuk bagian ini Tania melakukannya tanpa suruhan siapa-siapa. Ia melakukan atas kein
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama