Gatra cepat menggulingkan badannya dari atas Tania. Namun perempuan itu merengkuhnya lagi. Kali ini melingkarkan tangannya dengan lebih erat ke leher Gatra.Berhasil membawa Gatra ke dalam cengkeramannya, Tania memenjarakan Gatra di bawahnya.Gatra ingin melepaskan diri. Ia tidak ingin semua ini terjadi di saat Tania berada dalam kondisi tidak biasa. Gatra tidak mau besok pagi ketika Tania bangun, dia akan menyesal serta menyalahkan Gatra. Atau yang lebih buruk lagi Tania akan menuding Gatra memaksanya melakukan hubungan tersebut.“Ta, jangan sekarang.” Gatra ingin beranjak dari bawah Tania.Belum ia sempat melakukan apa-apa, Tania menahannya dengan menekan kedua pergelangan tangan Gatra seperti yang dilakukan Gatra padanya beberapa jam yang lalu.“Ta …”“Ssssttt …” Tania menempelkan telunjuk di bibir Gatra sebelum melabuhkan kecupannya di sana.Gatra membalas dengan lumatan yang lebih panas. Namun kemudian ia terkesiap ketika tangan Tania membelai perutnya lalu perlahan turun ke bawa
Gatra melangkah pelan keluar dari ruangan. Langkahnya tertuju pada bilik kecil yang disebut kamar mandi. Tidak ada bath tub ataupun shower. Yang ada di sana hanyalah baskom serta ember penampung air.Di sana ia membersihkan tangan. Gatra mengambil air di baskom menggunakan gayung. Kemudian mengambil sabun batang, membasahkan dengan air, menggosok-gosok lalu membilasnya.“Pak dokter, mari minum dulu. Saya sudah buatkan teh hangat untuk Bapak." Suara seorang perempuan terdengar oleh Gatra.Gatra tersenyum dan berterima kasih. Ia lalu keluar dari kamar mandi yang tadi tidak ditutup pintunya.Gatra menyesap pelan-pelan teh hangat yang disuguhkan padanya. Sementara di hadapannya duduk seorang pria paruh baya yang wajahnya nampak begitu semringah.“Terima kasih, Pak dokter, berkat bantuan Pak dokter cucu saya lahir dengan selamat,” kata laki-laki itu pada Gatra.“Sama-sama, Pak, saya permisi dulu. Katakan pada Mira obatnya jangan lupa diminum dengan teratur. Kalau ada keluhan jangan sungkan
Malam ini cuaca cerah. Langit dipenuhi oleh taburan bintang-bintang. Seperti biasa Gatra mengisi waktunya dengan berbaur dengan penduduk setempat. Mereka mengajak Gatra bermain catur.“Skak!”“Yaaa ... Pak dokter menang lagi.” Suasana berubah riuh seketika oleh suara-suara yang mengelilingi Gatra.Gatra tersenyum. Ia menggeser duduknya, memberi kesempatan pada warga lain untuk bermain.“Mari Pak dokter, silakan diminum.” Istri kepala desa tempat Gatra berada sekarang datang membawa kopi hangat serta roti kompiang. “Terima kasih, Bu,” jawab Gatra. Ia lalu mengambil satu dari dalam piring dan mengunyahnya pelan-pelan.“Pak dokter pernah makan roti ini?” tanya istri kepala desa.“Belum, Bu.”“Ini namanya roti kompiang, Pak. Kemarin saudara saya datang dari Manggarai.”Gatra manggut-manggut sambil terus mengunyah cemilannya malam itu. Roti kompiang merupakan penganan khas Nusa Tenggara Timur. Roti kompiang sering juga disebut kompiang longa. Roti ini berbentuk bulat atau oval dan memili
"Kamu nggak usah khawatir, aku nggak lupa sama perjanjian itu. Satu bulan lagi kan?" ucap Gatra. Ia pikir Tania menanyakan kepulangannya adalah untuk mengurus perceraian mereka.Tania diam saja. Tiba-tiba koneksi terputus karena sinyal melemah.Gatra mengembalikan ponsel ke bawah bantal setelah percakapan jarak jauh dengan Tania berakhir. Kemudian terdengar embusan napas panjang meluncur dari bibirnya. Percakapan yang hanya beberapa menit itu sukses membuat hatinya galau.Bangkit dari tempat tidur, Gatra membuka pintu rumah lalu duduk di bangku kayu yang ada di teras. Ia mengeluarkan kotak rokok dari sakunya, mengambil sebatang, lalu menyalakan api.Gumpalan asap halus terbang ke udara lalu sirna begitu saja. Pikiran kacau Gatra ikut terbang ke mana-mana. Ke Jakarta, pada kejadian lebih dari delapan bulan yang lalu, pada Tania.Malam itu adalah awal dari semua bermula, sekaligus merupakan titik balik dari kehidupan mereka berdua. Gatra tidak ingin menyalahkan Tania, juga tidak mau me
Setelah Gatra pergi Tania kembali ke rumah Audry. Membiarkan apartemen yang mereka tempati selama ini kosong.Audry bukannya keberatan dengan kehadiran Tania. Tapi mengingat Tania pernah menyimpan perasaan yang dalam pada Dypta, Audry merasa was-was jika saja perasaan itu bersemih kembali.Audry sampai memasang CCTV diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Termasuk Dypta. Di setiap bagian rumah itu terdapat kamera tersembunyi, termasuk di kamarnya, kamar Tania hingga kamar Rogen dan Kiya. Bukannya tidak percaya pada suami sendiri, tapi untuk berjaga-jaga tidak ada salahnya juga kan? Dan hingga sejauh ini keduanya terpantau aman dan terkendali. Tidak ada gestur aneh yang terekam kamera. Interaksi keduanya biasa dan wajar.“Kak, gimana kalo sekali-sekali Kakak ambil cuti terus Kakak kunjungi Gatra.”Tania hampir tersedak mendengar kata-kata Audry.“Memangnya Kakak nggak kangen sama Gatra?” Audry melabuhkan matanya di wajah Tania.“Kangen,” jawab Tania singkat sambil mengaduk-aduk oatme
Ruly ikut berjalan menuju beranda bersama Tania. Tapi sebenarnya jauh di dalam hati Tania mengharapkan Ruly langsung pulang saja. Ia tidak ingin menambah kemarahan Audry.“Malam, Tante, saya mengantar Tania pulang,” ucapnya pada Audry.Audry hanya tersenyum masam dan memandang horor pada sang putri.“Ta, aku balik ya?” Ruly berpamitan pada Tania sambil memandang pada laki-laki yang berdiri di sebelah Audry sekilas. Ia tidak tahu siapa laki-laki itu karena baru kali ini melihatnya.Laki-laki itu adalah Gatra. Ia baru saja tiba di rumah itu.“Mommy telfon Kakak dari tadi kok nggak dijawab? Mommy cuma mau ngasih tau kalo Gatra pulang,” oceh Audry pada Tania.“Tata nggak tau, tadi hpnya di dalam tas,” jawab Tania.Audry kemudian meninggalkan Tania berdua dengan Gatra. Ia masuk ke dalam rumah. Seakan mengerti bahwa pasangan muda itu membutuhkan waktu berdua saja.Gatra menuntun Tania tanpa suara menuju kursi beranda. Tania yang tahu isyarat itu mengikuti dari belakang.“Kamu pulang kok ngg
Setelah berpamitan pada Lena, Gatra tidak membuang waktu. Ia langsung membawa Tania pulang ke apartemen. Ia hanya punya sedikit waktu karena besok akan kembali ke Pulau Kecil.“Kenapa nggak bilang dulu kalo kita mau ke apartemen? Aku pikir kita menginap di rumah Mama,” kata Tania memprotes.“Namanya juga kejutan,” jawab Gatra sambil membunyikan klakson, menujukannya pada Lena yang berdiri di ambang pintu melepas kepergian mereka.“Dari tadi kejutan mulu.” Tania tidak tahu setelah ini entah kejutan apa lagi yang akan diterimanya.Gatra hanya tersenyum sambil melirik Tania melalui ekor matanya.*Gatra membuka pintu apartemen. Sedangkan Tania berdiri di belakangnya. Ketika daun pintu terbuka aroma ruang kosong yang lama tak berpenghuni langsung menguar.Gatra menyalakan flashlight ponsel sambil mencari saklar yang tertanam di dinding. Agaknya ada yang kurang dari desain apartemen itu. Seharusnya saklar lampu terletak di dekat pintu, sehingga memudahkan penghuninya.Tania yang takut gela
Pengakuan Gatra membuat Tania terdiam. Ia kehilangan kata-kata selama hitungan detik. Pernyataan yang didengarnya dari Gatra tak pelak membuatnya terguncang. “Kamu nggak percaya, Ta?” tanya Gatra menyaksikan raut kaku Tania.“How could?” Tania balas bertanya lirih.“Aku nggak tau. Tapi perasaan itu ada. Sejauh apa pun aku pergi, yang tampak di mataku hanya kamu.”“Kamu gombalnya makin expert,” balas Tania. Seulas senyum samar terselip di bibirnya.“Kalo ceweknya kayak kamu gimana nggak expert?” Seperti biasa Gatra selalu memiliki jawaban untuk membalas Tania.“Memangnya aku kayak gimana?”“Hm, kayak gimana ya?” Gatra pura-pura berpikir. “Ntar kalo aku jabarin satu demi satu kamu malah kegeeran.”“Dih!” Tania mencebik.Dan Gatra sangat menyukai ekspresi Tania. Bagaimana perempuan itu mengerucutkan mulut, bagaimana mata bulatnya membundar. Apa pun yang terlukis di paras manisnya adalah favorit Gatra.Gatra berdiri, lalu menjangkau tangan Tania, menuntunnya untuk berdiri. “Yuk, Ta!”“Ke