Pengakuan Gatra membuat Tania terdiam. Ia kehilangan kata-kata selama hitungan detik. Pernyataan yang didengarnya dari Gatra tak pelak membuatnya terguncang. “Kamu nggak percaya, Ta?” tanya Gatra menyaksikan raut kaku Tania.“How could?” Tania balas bertanya lirih.“Aku nggak tau. Tapi perasaan itu ada. Sejauh apa pun aku pergi, yang tampak di mataku hanya kamu.”“Kamu gombalnya makin expert,” balas Tania. Seulas senyum samar terselip di bibirnya.“Kalo ceweknya kayak kamu gimana nggak expert?” Seperti biasa Gatra selalu memiliki jawaban untuk membalas Tania.“Memangnya aku kayak gimana?”“Hm, kayak gimana ya?” Gatra pura-pura berpikir. “Ntar kalo aku jabarin satu demi satu kamu malah kegeeran.”“Dih!” Tania mencebik.Dan Gatra sangat menyukai ekspresi Tania. Bagaimana perempuan itu mengerucutkan mulut, bagaimana mata bulatnya membundar. Apa pun yang terlukis di paras manisnya adalah favorit Gatra.Gatra berdiri, lalu menjangkau tangan Tania, menuntunnya untuk berdiri. “Yuk, Ta!”“Ke
Tania sengaja izin kerja hari ini demi bisa menemani Gatra seharian. Meskipun Gatra tidak meminta, namun Tania melakukannya demi mematuhi kata-kata Audry.“Gatra kan cuma sehari di sini, Kak. Apa salahnya Kakak temenin.”Dari pada ibunya itu mengomel panjang lebar, Tania terpaksa meluangkan waktunya. Gatra sih senang-senang saja. Gatra memang bukan tipe suami penuntut. Jadi begitu Tania mengatakan akan menemani seharian ini, ia bagai mendapat hujan emas. Setengah hari ini Tania menemani Gatra berurusan. Mulai dari Dinas Kesehatan hingga apotik. Gatra memesan banyak obat-obatan.Waktu menunjukkan pukul satu siang ketika semuanya selesai. Itu artinya mereka hanya punya waktu tiga jam lagi untuk bersama sebelum Gatra berangkat jam empat sore nanti.Gatra tersenyum saat melihat jari manis Tania. Cincin nikahnya sudah kembali tersemat di sana. Tadi pagi saat ke rumah Audry Tania mengambil dan memakainya. Untuk bagian ini Tania melakukannya tanpa suruhan siapa-siapa. Ia melakukan atas kein
“Kamu sih, Gat, coba kalo dulu kamu nggak emosi dan buru-buru ambil keputusan.”Celetukan spontan Tania membuat Gatra langsung memandang padanya.“Emosi gimana?” Gatra balik bertanya.“Harusnya dulu kamu nggak usah ikut program segala macam.”Gatra tersenyum kecut. Keputusan impulsifnya dulu untuk mengikuti NSS ternyata telah mengubah segalanya, termasuk jalan hidup mereka. Tapi Gatra tidak menyesalinya. Jika dulu ia memilih tetap tinggal di Jakarta belum tentu pada akhirnya hubungan mereka akan membaik seperti sekarang.“Memangnya kenapa kalo dulu aku nggak ikut?” Gatra pura-pura bertanya.“Mungkin aku dan kamu nggak akan ada di sini hari ini,” jawab Tania.Saat itu mereka sudah berada di bandara. Beberapa saat lagi Gatra akan berangkat.“Kalo aku tetap di Jakarta dan nggak mengambil program itu, belum tentu sekarang kita akan begini,” jawab Gatra bijak sambil mengunci tangan Tania dalam genggamannya. Jika mereka masih berada dalam kota yang sama belum tentu keduanya akan saling mer
Dua tahun kemudian …Tania menatap red velvet cake dengan taburan buah strawberry di atasnya. Ada lilin dengan angka dua puluh lima ikut terselip di sana. Bersamaan dengan itu terdengar suara teman-temannya melantunkan lagu Happy Birthday.Tania tersenyum simpul. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke dua puluh lima. Itu artinya sudah seperempat abad ia hidup di dunia. Tania bersyukur. Di usia yang masih muda ia memiliki kehidupan yang diimpi-impikan banyak orang. Karir cemerlang, matang dari segi finansial, memiliki teman-teman yang menyayanginya serta keluarga yang selalu ada untuknya. Jadi apa lagi yang tidak disyukurinya?“Make a wish dulu dong, Ta!”Tania mengerjap. Ternyata teman-temannya sudah selesai nyanyi. Semua mata kini tertuju padanya.Tania memejam, merapalkan doa dan harapan dalam hati. Hanya satu hal yang diinginkannya. Kebahagiaan.Setelah memanjatkan doa, Tania membuka mata dan meniup lilin yang disambut oleh tepuk tangan riuh teman-temannya.“Ruly mana, Ta?” ce
“Ta, gue duluan ya,” kata Claudia tahu diri ketika melihat sosok Ruly muncul.Tania mengesah tanpa mampu mencegah kepergian Claudia. Gadis itu tampak bertegur sapa dengan Ruly ketika mereka berpapasan di ambang pintu.Ruly berjalan mendekati Tania lalu menciumi pipi mulusnya sambil mengucapkan selamat ulang tahun. “Happy birthday, Ta, sorry telat, meeting-nya beneran baru kelar dan aku langsung ke sini."Tania tersenyum penuh pengertian. “Nggak apa-apa. Kamu udah nyempetin ke sini aku udah senang. Aku juga nggak tau ada acara kayak ginian, tiba-tiba aja langsung disuruh datang."Ruly lalu tersenyum. “Kadonya udah aku siapin, tapi nggak aku bawa, ada tuh di rumah. Besok ya!"Sekali lagi Tania menyunggingkan senyumnya.Tania tidak butuh kado. Ia tidak mengharapkannya. Baginya cukup dengan teman-temannya mengingat hari ulang tahunnya seperti saat ini dan memberi kejutan kecil sudah membuatnya sangat berarti. Tadi sepulang kerja Tania ditelepon, disuruh datang ke tempatnya sekarang. Siapa
“Gatra, jangan pergi, jangan, Gat. Aku mohon jangan. Gatraaaa!!!” Tania berteriak sekeras mungkin tapi Gatra terus melangkah meninggalkannya.Tania mengejar Gatra dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Namun malang, Tania tersandung dan jatuh. Tidak sanggup lagi untuk berdiri.Tania menangis tersedu-sedu.“Ta, bangun, Ta!”Sayup-sayup Tania mendengar namanya dipanggil. Ia membuka mata dan melihat Claudia sedang menatapnya dengan khawatir.“Gue mimpi,” jawab Tania lirih.“Ya udah lanjutin tidur lo, masih jam dua.” Claudia menarik selimut dan memunggunginya. Sedangkan Tania tidak bisa terpejam sampai pagi. Gatra kembali muncul dan menghantuinya.***Minggu siang yang panas, Tania keluar dari apartemennya. Tujuannya adalah ke rumah orang tuanya. Kalau saja tidak ada dokumen yang dibutuhkannya dan kebetulan ketinggalan di rumah itu ia tidak akan ke sana. Sejak memutuskan untuk pindah dari rumah tersebut bisa dihitung dengan jari berapa kali Tania datang dan menunjukkan muka.Selagi Tan
Beberapa hari kemudian Gatra menerima paket dari Tania. Dengan tidak sabar Gatra membukanya. Dan begitu melihat sendiri apa isinya selama beberapa detik Gatra termangu sebelum akhirnya tertawa.Sebuah baju kaos berwarna pink lembut dengan tulisan Je t’aime di dadanya. Sebenarnya biasa saja dengan baju itu. Hanya saja masalahnya Gatra tidak terbiasa memakai baju warna pink, bahkan nyaris tidak pernah. Namun Gatra tahu apa reaksi Tania jika menolaknya.Gatra mengambil ponsel. Ia akan mengabari Tania soal baju itu.“Ta, bajunya udah sampe. Makasih ya. Je t’aime, hehe.”Tania membalas pesan dari Gatra hanya dalam hitungan detik.“Je t’aime aussi, hehe. Kamu suka kan bajunya?”Tania harap-harap cemas menunggu jawaban Gatra. Jangan-jangan dugaan Claudia terbukti bahwa Gatra tidak akan memakai karena warnanya pink.“Suka dong! Aku pake bajunya sekarang ya, terus aku kirim fotonya.”Tania tersenyum senang. Itulah yang dinantikannya sejak tadi.Beberapa detik kemudian Tania menerima foto dari
Tania hanya tersenyum kecut. Ia kemudian memalingkan muka ke arah lain karena tidak ingin bicara. Tania yang tidak biasa melakukan perjalanan laut akhirnya muntah-muntah sepanjang perjalanan menuju Pulau Kecil. Kepalanya pusing, perutnya bergelombang. Keadaan itu membuatnya sangat tersiksa. Belum lagi kabar yang didengarnya dari penumpang sebelah mengenai Gatra.‘Dokter Gatra idola para gadis di tempat kami.’Kata-kata itu terus terngiang di telinga Tania. Ia bisa membayangkan bagaimana para wanita itu memuja Gatra. Tania tidak rela berbagi Gatra dengan yang lain. Gatra hanya miliknya.Tania sangat kecewa begitu mengetahui Gatra mengaku-ngaku belum menikah pada orang lain. Ia pikir Gatra adalah laki-laki setia. Namun dugaannya ternyata salah. Gatra malah tebar persona.Penderitaan Tania akhirnya berakhir ketika speed boat yang ditumpanginya berlabuh di dermaga. Keluar dari speed boat, Tania duduk menenangkan diri setelah kembali memuntahkan isi perutnya. Badannya betul-betul lemas se