Setelah Gatra pergi Tania kembali ke rumah Audry. Membiarkan apartemen yang mereka tempati selama ini kosong.Audry bukannya keberatan dengan kehadiran Tania. Tapi mengingat Tania pernah menyimpan perasaan yang dalam pada Dypta, Audry merasa was-was jika saja perasaan itu bersemih kembali.Audry sampai memasang CCTV diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Termasuk Dypta. Di setiap bagian rumah itu terdapat kamera tersembunyi, termasuk di kamarnya, kamar Tania hingga kamar Rogen dan Kiya. Bukannya tidak percaya pada suami sendiri, tapi untuk berjaga-jaga tidak ada salahnya juga kan? Dan hingga sejauh ini keduanya terpantau aman dan terkendali. Tidak ada gestur aneh yang terekam kamera. Interaksi keduanya biasa dan wajar.“Kak, gimana kalo sekali-sekali Kakak ambil cuti terus Kakak kunjungi Gatra.”Tania hampir tersedak mendengar kata-kata Audry.“Memangnya Kakak nggak kangen sama Gatra?” Audry melabuhkan matanya di wajah Tania.“Kangen,” jawab Tania singkat sambil mengaduk-aduk oatme
Ruly ikut berjalan menuju beranda bersama Tania. Tapi sebenarnya jauh di dalam hati Tania mengharapkan Ruly langsung pulang saja. Ia tidak ingin menambah kemarahan Audry.“Malam, Tante, saya mengantar Tania pulang,” ucapnya pada Audry.Audry hanya tersenyum masam dan memandang horor pada sang putri.“Ta, aku balik ya?” Ruly berpamitan pada Tania sambil memandang pada laki-laki yang berdiri di sebelah Audry sekilas. Ia tidak tahu siapa laki-laki itu karena baru kali ini melihatnya.Laki-laki itu adalah Gatra. Ia baru saja tiba di rumah itu.“Mommy telfon Kakak dari tadi kok nggak dijawab? Mommy cuma mau ngasih tau kalo Gatra pulang,” oceh Audry pada Tania.“Tata nggak tau, tadi hpnya di dalam tas,” jawab Tania.Audry kemudian meninggalkan Tania berdua dengan Gatra. Ia masuk ke dalam rumah. Seakan mengerti bahwa pasangan muda itu membutuhkan waktu berdua saja.Gatra menuntun Tania tanpa suara menuju kursi beranda. Tania yang tahu isyarat itu mengikuti dari belakang.“Kamu pulang kok ngg
Setelah berpamitan pada Lena, Gatra tidak membuang waktu. Ia langsung membawa Tania pulang ke apartemen. Ia hanya punya sedikit waktu karena besok akan kembali ke Pulau Kecil.“Kenapa nggak bilang dulu kalo kita mau ke apartemen? Aku pikir kita menginap di rumah Mama,” kata Tania memprotes.“Namanya juga kejutan,” jawab Gatra sambil membunyikan klakson, menujukannya pada Lena yang berdiri di ambang pintu melepas kepergian mereka.“Dari tadi kejutan mulu.” Tania tidak tahu setelah ini entah kejutan apa lagi yang akan diterimanya.Gatra hanya tersenyum sambil melirik Tania melalui ekor matanya.*Gatra membuka pintu apartemen. Sedangkan Tania berdiri di belakangnya. Ketika daun pintu terbuka aroma ruang kosong yang lama tak berpenghuni langsung menguar.Gatra menyalakan flashlight ponsel sambil mencari saklar yang tertanam di dinding. Agaknya ada yang kurang dari desain apartemen itu. Seharusnya saklar lampu terletak di dekat pintu, sehingga memudahkan penghuninya.Tania yang takut gela
Pengakuan Gatra membuat Tania terdiam. Ia kehilangan kata-kata selama hitungan detik. Pernyataan yang didengarnya dari Gatra tak pelak membuatnya terguncang. “Kamu nggak percaya, Ta?” tanya Gatra menyaksikan raut kaku Tania.“How could?” Tania balas bertanya lirih.“Aku nggak tau. Tapi perasaan itu ada. Sejauh apa pun aku pergi, yang tampak di mataku hanya kamu.”“Kamu gombalnya makin expert,” balas Tania. Seulas senyum samar terselip di bibirnya.“Kalo ceweknya kayak kamu gimana nggak expert?” Seperti biasa Gatra selalu memiliki jawaban untuk membalas Tania.“Memangnya aku kayak gimana?”“Hm, kayak gimana ya?” Gatra pura-pura berpikir. “Ntar kalo aku jabarin satu demi satu kamu malah kegeeran.”“Dih!” Tania mencebik.Dan Gatra sangat menyukai ekspresi Tania. Bagaimana perempuan itu mengerucutkan mulut, bagaimana mata bulatnya membundar. Apa pun yang terlukis di paras manisnya adalah favorit Gatra.Gatra berdiri, lalu menjangkau tangan Tania, menuntunnya untuk berdiri. “Yuk, Ta!”“Ke
Tania sengaja izin kerja hari ini demi bisa menemani Gatra seharian. Meskipun Gatra tidak meminta, namun Tania melakukannya demi mematuhi kata-kata Audry.“Gatra kan cuma sehari di sini, Kak. Apa salahnya Kakak temenin.”Dari pada ibunya itu mengomel panjang lebar, Tania terpaksa meluangkan waktunya. Gatra sih senang-senang saja. Gatra memang bukan tipe suami penuntut. Jadi begitu Tania mengatakan akan menemani seharian ini, ia bagai mendapat hujan emas. Setengah hari ini Tania menemani Gatra berurusan. Mulai dari Dinas Kesehatan hingga apotik. Gatra memesan banyak obat-obatan.Waktu menunjukkan pukul satu siang ketika semuanya selesai. Itu artinya mereka hanya punya waktu tiga jam lagi untuk bersama sebelum Gatra berangkat jam empat sore nanti.Gatra tersenyum saat melihat jari manis Tania. Cincin nikahnya sudah kembali tersemat di sana. Tadi pagi saat ke rumah Audry Tania mengambil dan memakainya. Untuk bagian ini Tania melakukannya tanpa suruhan siapa-siapa. Ia melakukan atas kein
“Kamu sih, Gat, coba kalo dulu kamu nggak emosi dan buru-buru ambil keputusan.”Celetukan spontan Tania membuat Gatra langsung memandang padanya.“Emosi gimana?” Gatra balik bertanya.“Harusnya dulu kamu nggak usah ikut program segala macam.”Gatra tersenyum kecut. Keputusan impulsifnya dulu untuk mengikuti NSS ternyata telah mengubah segalanya, termasuk jalan hidup mereka. Tapi Gatra tidak menyesalinya. Jika dulu ia memilih tetap tinggal di Jakarta belum tentu pada akhirnya hubungan mereka akan membaik seperti sekarang.“Memangnya kenapa kalo dulu aku nggak ikut?” Gatra pura-pura bertanya.“Mungkin aku dan kamu nggak akan ada di sini hari ini,” jawab Tania.Saat itu mereka sudah berada di bandara. Beberapa saat lagi Gatra akan berangkat.“Kalo aku tetap di Jakarta dan nggak mengambil program itu, belum tentu sekarang kita akan begini,” jawab Gatra bijak sambil mengunci tangan Tania dalam genggamannya. Jika mereka masih berada dalam kota yang sama belum tentu keduanya akan saling mer
Dua tahun kemudian …Tania menatap red velvet cake dengan taburan buah strawberry di atasnya. Ada lilin dengan angka dua puluh lima ikut terselip di sana. Bersamaan dengan itu terdengar suara teman-temannya melantunkan lagu Happy Birthday.Tania tersenyum simpul. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke dua puluh lima. Itu artinya sudah seperempat abad ia hidup di dunia. Tania bersyukur. Di usia yang masih muda ia memiliki kehidupan yang diimpi-impikan banyak orang. Karir cemerlang, matang dari segi finansial, memiliki teman-teman yang menyayanginya serta keluarga yang selalu ada untuknya. Jadi apa lagi yang tidak disyukurinya?“Make a wish dulu dong, Ta!”Tania mengerjap. Ternyata teman-temannya sudah selesai nyanyi. Semua mata kini tertuju padanya.Tania memejam, merapalkan doa dan harapan dalam hati. Hanya satu hal yang diinginkannya. Kebahagiaan.Setelah memanjatkan doa, Tania membuka mata dan meniup lilin yang disambut oleh tepuk tangan riuh teman-temannya.“Ruly mana, Ta?” ce
“Ta, gue duluan ya,” kata Claudia tahu diri ketika melihat sosok Ruly muncul.Tania mengesah tanpa mampu mencegah kepergian Claudia. Gadis itu tampak bertegur sapa dengan Ruly ketika mereka berpapasan di ambang pintu.Ruly berjalan mendekati Tania lalu menciumi pipi mulusnya sambil mengucapkan selamat ulang tahun. “Happy birthday, Ta, sorry telat, meeting-nya beneran baru kelar dan aku langsung ke sini."Tania tersenyum penuh pengertian. “Nggak apa-apa. Kamu udah nyempetin ke sini aku udah senang. Aku juga nggak tau ada acara kayak ginian, tiba-tiba aja langsung disuruh datang."Ruly lalu tersenyum. “Kadonya udah aku siapin, tapi nggak aku bawa, ada tuh di rumah. Besok ya!"Sekali lagi Tania menyunggingkan senyumnya.Tania tidak butuh kado. Ia tidak mengharapkannya. Baginya cukup dengan teman-temannya mengingat hari ulang tahunnya seperti saat ini dan memberi kejutan kecil sudah membuatnya sangat berarti. Tadi sepulang kerja Tania ditelepon, disuruh datang ke tempatnya sekarang. Siapa