Dua tahun kemudian …Tania menatap red velvet cake dengan taburan buah strawberry di atasnya. Ada lilin dengan angka dua puluh lima ikut terselip di sana. Bersamaan dengan itu terdengar suara teman-temannya melantunkan lagu Happy Birthday.Tania tersenyum simpul. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke dua puluh lima. Itu artinya sudah seperempat abad ia hidup di dunia. Tania bersyukur. Di usia yang masih muda ia memiliki kehidupan yang diimpi-impikan banyak orang. Karir cemerlang, matang dari segi finansial, memiliki teman-teman yang menyayanginya serta keluarga yang selalu ada untuknya. Jadi apa lagi yang tidak disyukurinya?“Make a wish dulu dong, Ta!”Tania mengerjap. Ternyata teman-temannya sudah selesai nyanyi. Semua mata kini tertuju padanya.Tania memejam, merapalkan doa dan harapan dalam hati. Hanya satu hal yang diinginkannya. Kebahagiaan.Setelah memanjatkan doa, Tania membuka mata dan meniup lilin yang disambut oleh tepuk tangan riuh teman-temannya.“Ruly mana, Ta?” ce
“Ta, gue duluan ya,” kata Claudia tahu diri ketika melihat sosok Ruly muncul.Tania mengesah tanpa mampu mencegah kepergian Claudia. Gadis itu tampak bertegur sapa dengan Ruly ketika mereka berpapasan di ambang pintu.Ruly berjalan mendekati Tania lalu menciumi pipi mulusnya sambil mengucapkan selamat ulang tahun. “Happy birthday, Ta, sorry telat, meeting-nya beneran baru kelar dan aku langsung ke sini."Tania tersenyum penuh pengertian. “Nggak apa-apa. Kamu udah nyempetin ke sini aku udah senang. Aku juga nggak tau ada acara kayak ginian, tiba-tiba aja langsung disuruh datang."Ruly lalu tersenyum. “Kadonya udah aku siapin, tapi nggak aku bawa, ada tuh di rumah. Besok ya!"Sekali lagi Tania menyunggingkan senyumnya.Tania tidak butuh kado. Ia tidak mengharapkannya. Baginya cukup dengan teman-temannya mengingat hari ulang tahunnya seperti saat ini dan memberi kejutan kecil sudah membuatnya sangat berarti. Tadi sepulang kerja Tania ditelepon, disuruh datang ke tempatnya sekarang. Siapa
“Gatra, jangan pergi, jangan, Gat. Aku mohon jangan. Gatraaaa!!!” Tania berteriak sekeras mungkin tapi Gatra terus melangkah meninggalkannya.Tania mengejar Gatra dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Namun malang, Tania tersandung dan jatuh. Tidak sanggup lagi untuk berdiri.Tania menangis tersedu-sedu.“Ta, bangun, Ta!”Sayup-sayup Tania mendengar namanya dipanggil. Ia membuka mata dan melihat Claudia sedang menatapnya dengan khawatir.“Gue mimpi,” jawab Tania lirih.“Ya udah lanjutin tidur lo, masih jam dua.” Claudia menarik selimut dan memunggunginya. Sedangkan Tania tidak bisa terpejam sampai pagi. Gatra kembali muncul dan menghantuinya.***Minggu siang yang panas, Tania keluar dari apartemennya. Tujuannya adalah ke rumah orang tuanya. Kalau saja tidak ada dokumen yang dibutuhkannya dan kebetulan ketinggalan di rumah itu ia tidak akan ke sana. Sejak memutuskan untuk pindah dari rumah tersebut bisa dihitung dengan jari berapa kali Tania datang dan menunjukkan muka.Selagi Tan
Beberapa hari kemudian Gatra menerima paket dari Tania. Dengan tidak sabar Gatra membukanya. Dan begitu melihat sendiri apa isinya selama beberapa detik Gatra termangu sebelum akhirnya tertawa.Sebuah baju kaos berwarna pink lembut dengan tulisan Je t’aime di dadanya. Sebenarnya biasa saja dengan baju itu. Hanya saja masalahnya Gatra tidak terbiasa memakai baju warna pink, bahkan nyaris tidak pernah. Namun Gatra tahu apa reaksi Tania jika menolaknya.Gatra mengambil ponsel. Ia akan mengabari Tania soal baju itu.“Ta, bajunya udah sampe. Makasih ya. Je t’aime, hehe.”Tania membalas pesan dari Gatra hanya dalam hitungan detik.“Je t’aime aussi, hehe. Kamu suka kan bajunya?”Tania harap-harap cemas menunggu jawaban Gatra. Jangan-jangan dugaan Claudia terbukti bahwa Gatra tidak akan memakai karena warnanya pink.“Suka dong! Aku pake bajunya sekarang ya, terus aku kirim fotonya.”Tania tersenyum senang. Itulah yang dinantikannya sejak tadi.Beberapa detik kemudian Tania menerima foto dari
Tania hanya tersenyum kecut. Ia kemudian memalingkan muka ke arah lain karena tidak ingin bicara. Tania yang tidak biasa melakukan perjalanan laut akhirnya muntah-muntah sepanjang perjalanan menuju Pulau Kecil. Kepalanya pusing, perutnya bergelombang. Keadaan itu membuatnya sangat tersiksa. Belum lagi kabar yang didengarnya dari penumpang sebelah mengenai Gatra.‘Dokter Gatra idola para gadis di tempat kami.’Kata-kata itu terus terngiang di telinga Tania. Ia bisa membayangkan bagaimana para wanita itu memuja Gatra. Tania tidak rela berbagi Gatra dengan yang lain. Gatra hanya miliknya.Tania sangat kecewa begitu mengetahui Gatra mengaku-ngaku belum menikah pada orang lain. Ia pikir Gatra adalah laki-laki setia. Namun dugaannya ternyata salah. Gatra malah tebar persona.Penderitaan Tania akhirnya berakhir ketika speed boat yang ditumpanginya berlabuh di dermaga. Keluar dari speed boat, Tania duduk menenangkan diri setelah kembali memuntahkan isi perutnya. Badannya betul-betul lemas se
Audry kaget ketika keesokan hari Tania muncul di rumah. “Lho, Kak? Kenapa sudah pulang?” tanyanya heran. Kemarin Tania izin padanya akan pergi selama tiga atau paling lama lima hari.Tania diam saja. Tanpa menjawab pertanyaan Audry Tania langsung menerobos masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam.“Kak! Buka pintunya dulu, Kak! Mommy mau bicara!” Audry mengetuk pintu kamar Tania. Tingkah putrinya itu membuat Audry khawatir. Berbagai bayangan buruk berputar di kepalanya. Apa yang terjadi pada Tania? Apa kemarin Tania jadi bertemu dengan Gatra? Apa ada sesuatu yang buruk?“Kak, jangan bikin Mommy cemas dong! Ayo, Kak, buka pintunya dulu, cerita sama Mommy!”Tidak ada sahutan dari dalam. Tania tidak bereaksi sampai bermenit-menit Audry menunggu di depan kamar. Gagal membuat Tania membuka pintu, Audry akhirnya menelepon Dypta.“Dyp, aku tahu kamu lagi sibuk, tapi anak kita lebih penting. Tolong kamu pulang dulu.”“Kiya kenapa, Yang?” Dypta jadi cemas mendengar suara panik Audry.“B
Tania membaca di dalam hati undangan pertunangan Gatra yang berada di tangannya. Sedangkan Audry berdiri di hadapannya dengan perasaan khawatir. Audry tidak ingin undangan tersebut memberikan imbas negatif pada sang putri.Tania memberikan undangan itu pada Audry setelah merekam setiap detail yang ada di sana. Termasuk tanggal dan hari acara itu akan digelar, yaitu kurang dari lima hari lagi.“Kak …” Audry menerima undangan itu dari tangan Tania sambil memerhatikan ekspresinya.Tania tersenyum, menyatakan bahwa ia baik-baik saja dan undangan tersebut sama sekali tidak memberi pengaruh apa pun padanya.“Nggak apa-apa, Mommy, Tata ikut senang.”“Tadi Mommy ketemu sama Tante Lena waktu arisan. Semuanya diundang, termasuk kita.” Audry memberitahu Tania kronologinya. Meskipun hubungannya dan Lena sudah renggang, namun siklus pertemanan mereka yang sama selalu menghubungkan keduanya. Lena juga tidak mungkin mengundang teman-temannya yang lain tapi meninggalkan Audry.Tania mengangguk tanda
Tania mengemasi barang-barang di meja kerjanya dengan terburu-buru. Hari ini Tania dan Claudia sudah berjanji akan mendatangi klinik kecantikan milik tunangan Gatra.“Lagi buru-buru, Ta?” Ruly muncul dan berdiri di sisi pintu.Tania mengangkat wajahnya dan tersenyum pada Ruly. “Kenapa, Rul?” tanyanya.“Aku mau ajak kamu jalan. Itu sih kalo kamu nggak buru-buru mau pulang,” jawab Ruly. Sudah cukup lama mereka tidak jalan berdua. Akhir-akhir ini Tania juga terkesan menghindar darinya.“Duh, sorry ya, aku nggak bisa,” jawab Tania menolak.“Udah ada janji?” tanya Ruly kecewa. Tadi ia berharap Tania mau jalan bersamanya malam ini.Tania mengangguk pelan. “Aku ada janji sama Claudia.”Ruly tersenyum mengerti sebelum meninggalkan ruangan Tania.Setelah mengemasi barang-barangnya Tania ikut keluar dari sana. Claudia ternyata sudah menunggu di lobi ketika Tania turun.“Kita langsung ke sana?” tanyanya.Tania mengiyakan. Ia tidak ingin membuang-buang waktu. Satu-satunya yang diinginkannya saat
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama