“Ruangannya di mana, Tania?” Gandi bertanya.“Dua belokan lagi kita nyampe di sana,” jawab Tania. “Itu Gatra, suami saya.” Tania menunjuk Gatra yang saat ini sedang menerima telepon.Langkah Gandi melambat setelah melihat ke arah dimaksud.“Tania, sepertinya saya harus pergi sekarang,” ucapnya tiba-tiba.“Kenapa mendadak?” tanya Tania bingung. Seingatnya tadi Gandi yang bersikukuh ingin ikut dengannya membesuk Dypta.“Saya lupa ada janji siang ini, jadi maaf ya. Titip salam buat orang tua kamu.” Gandi sudah memutar tubuh sebelum Tania sempat menjawab. Pria itu tampak berjalan cepat seakan sedang dinanti oleh sesuatu yang penting.Tania melanjutkan langkah. Tepat di saat itu Gatra selesai menelepon dan memandang ke arahnya. Gatra menunggu Tania di ujung koridor.“Aku baru tau kalau Papa sakit, tadi ditelfon Rogen,” ucapnya begitu Tania berada tepat di hadapannya.Tania menyejajarkan langkah dengan Gatra menuju ruang rawat Dypta. Tania ingin memberitahu mengenai pekerjaan barunya. Tapi
Hari ini tepat satu bulan setelah Tania dan Gatra menikah. Sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja meskipun kerap dibumbui oleh pertengkaran-pertengkaran kecil. Setiap kali setelah berselisih maka setelahnya pasti berbaikan. Meski terlihat bagai anjing dan kucing namun keduanya tetap saling membutuhkan.Tania menikmati pekerjaannya sebagai pekerja kantoran, sedangkan Gatra tetap dengan rutinitasnya sebagai seorang obgyn. Yang sering membuat Tania kesal adalah jika Gatra pergi secara mendadak karena harus mendapat panggilan di luar jam kerja nomal.Hari itu Tania pulang kerja lebih awal. Ya nggak awal juga sih. Mungkin lebih tepatnya adalah karena Gatra yang pulang lambat.Tania bangkit dari tempat tidur. Dengan malas dilangkahkannya kaki menuju kamar mandi. Sejak pulang jam enam tadi Tania langsung meringkuk di kasur saking lelahnya.“Tata ...”Tania menoleh, niatnya ke kamar mandi urung terlaksana. Gatra ternyata sudah pulang dan berjalan mendekati Tania. Ada sesuatu di tangannya.
“Messssumm …” Tania langsung menutup muka Gatra dengan bantal.“Mesum-mesum gini tapi aku kan suami kamu, Ta,” ujar Gatra dari balik bantal.“Suami sementara,” tukas Tania mengoreksi.“Tapi aku mau jadi suami selamanya,” ucap Gatra lagi, dan sayangnya Tania tidak mendengar kata-kata Gatra lantaran suara ponselnya lebih dulu menyela.Tania menjangkau nakas sambil melongokkan kepala ingin tahu siapa yang meneleponnya. Begitu melihat nama penelepon ia buru-buru duduk sambil menyandarkan punggung ke headboard.“Halo, Gan.”“Apa aku mengganggu?” tanya suara di seberang sana. Dia adalah Gandi.“Enggak kok, ada apa, Gan?” tanya Tania heran lantaran tidak biasanya Gandi menelepon larut malam.“Aku lagi di lobi apartemen kamu. Bisa ke sini sekarang?”“Di apartemenku?” ulang Tania heran. Sepanjang yang berhasil diingatnya, ia tidak pernah memberitahu alamat tempat tinggalnya pada Gandi.“Aku mau kasih flash disk. Di sana ada soft file laporan yang kamu minta.”“Nggak bisa besok di kantor aja,
Pagi itu Tania bekerja seperti biasa. Ia jauh lebih bersemangat menjalani hidup lantaran hubungannya dengan Gatra sudah jauh membaik. Tania mencoba berdamai dengan keadaan. Ia pun menerima dan berpikir seperti yang Gatra katakan. Mungkin tidak ada salahnya mereka mengisi sebelas bulan yang tersisa dengan segala yang manis-manis. Atau setidaknya dengan menjaga perdamaian di antara mereka berdua.Ting!Pintu lift terbuka. Tania bergegas keluar dari sana. Begitu melihat seseorang yang ia kenali dari belakang, Tania memacu langkahnya sambil berseru, “Gandi, tunggu!” Gandi memutar kepala, menahan langkahnya menanti Tania.“Aku pikir hari ini kamu masih di lapangan,” ucap Tania sambil memberikan flash disk milik Gandi.“Harusnya aku masih di sana, tapi tiba-tiba dipanggil bos, disuruh masuk hari ini.”“Ada yang penting?”“Paling cuma evaluasi kinerja.” Gandi menjawab sambil menyimpan flash disk dari Tania ke dalam sakunya.“Aku udah baca laporan kamu, Gan,” kata Tania memberitahu.“Sorry y
Jika kata orang wanita itu adalah makhluk paling unik sekaligus membingungkan, maka hal itu benar adanya. Gatra sudah membuktikannya sendiri. Bukan sekali dua kali, namun sudah berulang kali dan tidak terhitung lagi. Tania adalah contoh nyatanya.Bagaimana Gatra tidak sakit kepala. Belakangan ini hubungan mereka semakin membaik, bahkan Tania sudah mengizinkan Gatra tidur memeluknya. Tapi lihatlah sekarang, Tania memberengut sepanjang jalan dan tidak mengabaikan Gatra bicara.‘Duh gustiiii ... kesalahan apa lagi yang sudah hamba lakukan?’“Ta, butiknya yang ini kan?” Gatra tanyakan lantaran takut salah dan Tania akan mendampratnya lagi.“Batalin aja ke butiknya,” kata Tania tiba-tiba.“Gimana sih, Ta?” Gatra sudah terlanjur membelokkan mobil masuk ke halaman butik.“Aku nggak jadi ke rumah mama kamu,” ucap Tania memberengut sambil bersedekap.“Kok nggak jadi?” Gatra tentu terkejut. Baru sekitar dua puluh menit yang lalu mamanya menelepon guna memastikan kedatangannya dan Gatra sudah me
Gatra menghela napas panjang lalu menjatuhkan badan ke ranjang. Ia merasa benar-benar lelah dan frustrasi.Gatra tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Tania. Mungkin dipikirnya rumah tangga mereka adalah mainan yang bisa ditinggalkan di kala bosan.Entah apa yang terjadi sehingga Tania pergi. Gatra betul-betul buntu. Ia tidak punya clue apa pun. Andai saja Gatra tahu apa penyebabnya setidaknya ia bisa mencari solusi untuk menyelesaikan masalah mereka.Sambil berbaring di kasur Gatra merogoh ponsel di dalam saku celana. Ia kemudian mencoba menelepon Tania. Tapi seperti yang sudah diduga, Tania tidak bisa dihubungi. Dia mematikan ponselnya.“Ya ampun, Ta, salah apa sih aku?” Gatra mengerang sendiri.***Tania membelokkan mobilnya memasuki halaman rumah. Setelah tadi Gatra pergi, ia juga berpikir untuk pergi. Tania menyadari kepulangannya kali ini pasti disambut oleh berbagai tanda tanya dari orang tuanya. Tapi Tania sudah menyediakan jawaban untuk mengantisipasinya.Audry adalah ora
Tania berjalan ke arah jendela. Ia berdiri di sana bersedekap sambil membelakangi Gatra. Tania tidak mengerti kenapa Gatra begitu ringan menyikapi masalah mereka.Gatra melangkah pelan menghampiri Tania, lalu berdiri tepat di belakang istrinya itu. “Aku sengaja nggak kasih tau Mommy dan Papa. Jadi aku minta kamu bisa bersikap dewasa, Ta, jangan kekanakan kayak gini.”Refleks Tania menoleh. Ia tidak suka dianggap kekanakan. Justru Gatralah yang tidak peka pada perasaannya.“Kekanak-kanakan kamu bilang? Kamu yang nggak peka sebagai suami malah aku yang kamu bilang kekanakan.”“Kalau aku nggak peka nggak mungkin datang ke sini, Ta. Tapi yang jadi masalah aku nggak tau apa sebenarnya yang kamu permasalahkan. Sekali lagi, aku nggak ngerti bahasa telepati atau bahasa kalbu, jadi sebaiknya mari kita bicarakan dan selesaikan bersama.”Tania mengambil napas dalam-dalam. Ia lalu menyadari jika terus bertahan dalam diam maka Gatra tidak akan tahu apa-apa. Jadi lebih baik ia katakan saja sekarang
Detik waktu hari ini terasa begitu lama. Jarum jam seakan tidak bergerak dan tetap di tempat. Sebenarnya itu hanya perasaan Gatra saja. Karena ia tidak sabar ingin bertemu dengan mamanya dan langsung mengonfirmasi tentang pengakuan Airin tadi.Setelah melayani pasien terakhirnya malam itu, Gatra bergegas keluar dari ruangannya dan meninggalkan area rumah sakit. Ia memacu mobilnya menuju rumah Lena. Gatra ingin memastikan langsung kebenarannya.“Abang tumben malam-malam ke sini, Kak Tata mana?” tanya Niken saat membukakan pintu.“Dia nggak ikut, Mama mana?” tanya Gatra tanpa basa-basi.“Ada di kamar.”“Udah tidur?”“Nggak tau deh, kan aku nggak tidur sama Mama.” Niken menjawab sambil mengedikkan bahu.Saat gadis itu akan kembali ke kamar, suara Gatra menahannya. “Niken!”“Iya, Bang?”“Tiap Abang ke sini kamu selalu ke luar belajar kelompok. Itu beneran atau cuma alasan doang?” tanya Gatra menyelidik.“Beneran, masa aku bohong.”“Abang kan cuma nanya, masa kamu sewot?”“Abis nanyanya cu