Gatra dan Tania sama-sama berbaring di ranjang mereka setelah aksi tarik menarik tadi. Gatra memiringkan badan mengarah pada Tania, sedangkan Tania menelentang memandang langit-langit kamar.“Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?” tegur Tania menyadari Gatra tidak berkedip sedetik pun menatap wajahnya.Gatra hanya tersenyum. Ternyata begini rasanya beristrikan Tania. Tidak bisa disentuh dan juga dilarang melihatnya lebih dari tiga detik. Tadi waktu Gatra merengkuhnya hingga mereka sama-sama rebah ke tempat tidur, Tania bukan main marah walau ujung-ujungnya mereka tetap berbaring berdua di ranjang yang sama.“Malah senyum-senyum. Pasti sekarang lagi mikir jorok. Ingat ya, Gat, kamu jangan coba-coba jatuh cinta sama aku. Pernikahan kita hanya satu tahun.”“Iya.” Gatra menyahut singkat. Kantuk mulai menyerangnya.Gatra sudah memejamkan matanya ketika mendengar suara Tania.“Gat ... Kamu udah tidur?”“Udah.”“Udah tidur kok bisa ngomong?”Gatra membuka matanya yang berat lalu tersenyum.“Aku l
Gatra melepaskan diri dari Airin yang memeluknya meski sang mantan sepertinya belum rela mengurai dekapan.“Gimana kejadiannya?” tanya Gatra tidak ingin bertele-tele. Gatra mau setelah urusannya selesai langsung pergi secepatnya dari tempat itu.Airin tidak langsung menjawab. Perempuan itu malah menarik tangan Gatra mengajak masuk ke dalam rumah. Gatra memandang ke belakang, meminta Tania ikut dengannya.“Rin, aku bareng istriku.” Gatra memberitahu agar Airin bersikap wajar.Airin memandang sekilas ke belakang sambil tersenyum seadanya. Tania membalas dengan lengkungan bibir yang sama. Di dalam hati ia berpikir sendiri sedekat apa hubungan Gatra dengan pasiennya yang ini. Barulah Tania menyadari kalau sebelumnya pernah bertemu dengan Airin saat resepsi pernikahannya.“Tadi perutku sakit, terus waktu ke kamar mandi aku ngeliat ada darah di celana dalamku, Gat.” Airin mulai menjelaskan kronologi kejadian setelah Gatra mendesak sekali lagi.“Sebanyak apa darahnya?” tanya Gatra ingin me
Gatra terus menyetir, sedangkan Tania duduk membisu di sebelahnya. Setelah pembahasan mengenai pap smear tadi tidak ada lagi yang mereka bicarakan.Tania larut dalam pikirannya mengenai pap smear. Jujur saja, ia merasa ngeri. Tania meringis sendiri. Ia tidak sanggup membayangkan detailnya. Tania takut. Tania merasa ngeri dan sejenisnya pada apa pun yang berhubungan dengan hal-hal yang paling sensitif baginya sebagai perempuan.“Tegang amat, Ta, masih mikirin pap smear?” goda Gatra.Suara Gatra memaksa Tania untuk menoleh pada laki-laki itu. “Iya,” jawabnya jujur. Mungkin saat ini mukanya juga terlihat pasi.Gatra menahan senyum. Ternyata istrinya benar-benar polos. Tania tidak tahu kalau perempuan yang belum pernah berhubungan intim tidak bisa melakukan pap smear. Padahal tadi Gatra hanya iseng menguji Tania.“Kalau takut mending nggak usah.”“Nggak apa-apa memangnya?” tanya Tania ragu.“Sebelum aku jawab pertanyaan kamu, boleh aku tanya dulu?”“Apa?”“Kamu masih ... virgin?” Gatra be
Gatra mengikuti Tania yang berjalan meninggalkannya dari belakang. Sejujurnya Gatra merasa khawatir jika Tania tersinggung oleh ucapan Lena tadi.“Kayaknya kamu salah pilih istri deh.” Tania menyeletuk sambil mengambil handuk.“Tuh kan, baru beberapa menit yang lalu aku bilang kata-kata Mama nggak usah diambil hati tapi kamu udah baper aja.”“Aku nggak baper, cuma heran aja. Kayaknya Mama kamu baik, malah akrab sama Mommy aku, tapi kayaknya dugaanku salah.”“Maksud kamu apa, Ta? Kamu jangan salah paham hanya gara-gara ditegur Mama.”“Aku nggak salah paham, Gat, tapi cuma ngerasa heran mama kamu sampe seniat itu datang ke sini cuma untuk ngecek apa anaknya kukasih makan.”Gatra terkaget-kaget atas respon Tania. Tidak menyangka jika istrinya akan sesensitif itu.“Mama nggak sengaja datang ke sini. Mama kebetulan lewat terus mampir. Jadi tolong buang pikiran buruk kamu jauh-jauh, Ta.”Tania mendengkus halus. “Aku ingin sekali percaya, tapi kok sulit ya? Aku tau itu cuma modus para mertua
Tania menutup pintu mobil dengan gerakan setengah membanting. Setelah belanja tadi Tania mengantar Audry ke rumah, barulah melanjutkan perjalanannya ke café.Baru saja membuka pintu Tamara Latte, lensa mata Tania menangkap sosok Claudia sedang duduk di salah satu kursi. Tania menghampirinya dan ikut duduk di sebelah Claudia.“Lo kenapa, Ta, datang-datang langsung cemberut?” tanya Claudia melihat Tania menekuk muka.“Ternyata bener yang dibilang orang-orang,” cetus Tania.“Soal apa?” Claudia mengerutkan dahi. Ia ingin Tania memperjelas kata-katanya.“Tadi pagi mamanya Gatra sidak dan kebetulan gue masih belum bangun. Dia ngomel panjang lebar dan ngadu ke nyokap. Gimana gue nggak kesel coba?”Claudia tertawa. “Lo sih lemburnya sampe tengah malam.”“Ih, lembur apaan?” Tania mendelik.“Sama gue nggak usah malu kali. Eh gimana? Sakit nggak, Ta? Ada darahnya? Banyak?” “Ih apa sih lo?”“Dari tadi apa sih lo, apa sih lo mulu.”“Abis lo nanyanya aneh.”“Anehnya di mana coba? Beneran nih lo ng
Detik waktu seakan berhenti ketika bibir mereka bertemu.Seakan dipaku di tempatnya, Tania tidak mampu bergerak, sementara debaran di dadanya menghentak dengan cepat.Bibir Gatra yang dingin menempel dengan sempurna di permukaan bibir Tania. Namun sebelum lelaki itu memiliki waktu untuk melumatnya, Tania mendorong dada Gatra sekuat tenaga. Gatra terperanjat, pagutan bibirnya terlepas dari Tania. Ia hampir saja terjengkang ke belakang. Untung punggungnya segera disambut sandaran sofa.“Sakit, tau, Ta!”“Makanya jangan macam-macam!” Tania menyergah galak.“Kan udah aku bilang, aku nggak macam-macam, cuma semacam aja, cuma mau nyium kamu doang.”“Nggak tau malu banget ya kamu? Aku nggak mau tapi masih aja maksa.”“Apa bedanya sama kamu? Emang kamu nggak malu melakukan KDRT sama aku?”“Orang kayak kamu memang harus digituin!”Gatra memajukan langkah mendekati Tania. Sementara Tania memundurkan badan. Bersikap waspada kalau saja Gatra akan menciuminya lagi.“Memang di mata kamu aku orang
Pagi ini cukup berat buat Gatra. Bagaimana tidak. Setelah semalam berdebat dengan Tania, tengah malamnya ia harus bangun lagi menyediakan makanan untuk perempuan itu. Ketika seharusnya Gatralah sebagai suami yang harus dilayani, yang terjadi malah sebaliknya. Alhasil pagi ini Gatra terkantuk-kantuk lantaran kurang istirahat.Namun daripada menambah berat beban di kepalanya, Gatra lebih memilih untuk berpikir positif, menganggap itu hanyalah salah satu bentuk dari kemanjaan Tania.“Makasih,” ucap Gatra singkat saat Tania meletakkan secangkir teh hangat tepat di hadapannya. Tadi Gatra ingin membuatnya sendiri, namun Tania bersikeras ingin membuatkannya untuk Gatra. Aku nggak mau nanti mama kamu sidak lagi dan ngatain aku macam-macam. Itu alasan yang disampaikan Tania tadi.“Gat, selainya udah segini?” Tania menunjukkan selembar roti tawar dengan selai hazelnut di atasnya. Tadi Tania bersikeras untuk mengolesinya dengan alasan yang sama saat membuat teh.“Udah. Thanks ya.” Sekali lagi
Setelah diperkenalkan dengan Gandi, Tania juga berkenalan dengan pegawai lain di sana. Rata-rata pekerja di sana masih berusia muda. Tapi Tania adalah yang paling belia di antara mereka.“Jarang-jarang lho kantor kami merekrut fresh grad.” Itu yang dikatakan Gandi setelah mengenalkan Tania pada para karyawan lainnya.“Oh ya?” Tania merasa surprise mengetahuinya.“Iya, masa saya bohong,” jawab Gandi meyakinkan. "Itu artinya kamu istimewa, kamu sangat spesial,” sambungnya lagi.“Anda terlalu berlebihan, Pak,” tukas Tania menjawab pujian yang menurutnya terlalu ditinggikan.“Saya tidak berlebihan. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya. Selama ini kantor kami jarang sekali merekrut fresh grad. Oh iya, yang kedua, tolong jangan memanggil saya Bapak. Saya belum cukup tua untuk dipanggil begitu. Panggil saja Gandi.”“Oke, Gandi,” kata Tania menyebut nama tersebut seperti permintaan laki-laki itu.Gandi tersenyum lebar. “Oh ya, sebentar saya ke lobi dulu,” kata Tania meminta izin saat ingat