"Kebetulan sekali kamu menelepon, aku merindukanmu, Audry." Suara Jeff terdengar lagi.Meskipun perasaannya tidak enak dan tidak terima Jeff memanggil sayang pada Audry, Dypta menahan diri, mencoba untuk tidak berprasangka buruk dan berpikiran negatif."Ini Dypta, Om, bukan Audry."Hening mengisi selama puluhan detik lamanya. Jeff terkejut. Detik itu juga ia mengubah nada suaranya menjadi lebih tegas."Ternyata kamu, Dyp, aku pikir Audry.""Iya, Om, ini aku, suaminya Audry. Boleh aku tau kenapa tadi Om memanggil sayang pada istriku?"Jeff berdeham, mencoba mencari alasan yang tepat dalam waktu sesingkat mungkin."Tadi aku cuma becanda. Apa itu masalah?""Tapi Om becandanya tidak pada tempatnya. Untung aku yang jadi suami Audry. Kalau orang lain mungkin Om sudah babak belur.""Serius amat kamu, Dyp. Aku khawatir, orang yang miskin selera humor sepertimu biasanya umurnya tidak panjang." Jeff terkekeh di ujung telepon. Itulah sebabnya Dypta malas berhubungan dengan Jeff. Mereka selalu be
“Secepat itu?” Claudia menggeleng-geleng tak percaya begitu mengetahui kabar Tania akan menikah. Claudia syok mengetahuinya. Menurutnya ini adalah keputusan impulsif paling gila dari sahabatnya itu. Selama ini yang Claudia tahu, Tania begitu penuh pertimbangan sebelum melakukan sesuatu.Tania mengangguk pelan. Ia tidak lagi merasa heran melihat reaksi orang-orang yang terkejut mendengar rencana pernikahannya.“Tapi kenapa, Ta? Ada yang maksa lo?”“Ada yang aneh? Kenapa lo segitu hebohnya karena gue mau nikah?” tanya Tania santai sambil terus menyeruput mocca float-nya. Di saat orang-orang kalang kabut, Tania menanggapinya dengan begitu ringan.“Gimana gue nggak heboh. Pertama, kita baru lulus kuliah dan masih muda banget. Kedua, cowok yang mau lo nikahin adalah Gatra, yang setengah mati lo benci gara-gara kejadian salah masuk kamar. Ingat kan waktu di Phuket? Kalian baru aja kenal dan tiba-tiba udah mau nikah. Absurd banget.” Claudia mencerocos panjang lebar menyampaikan keheranannya
Alunan lagu I Finally Found Someone terdengar begitu romantis. Lagu itu dilantunkan oleh sepasang wedding singer yang tampak begitu selaras.Hari ini merupakan hari pernikahan Tania dan Gatra. Ya, pada akhirnya. Setelah Gatra memberikan Tania waktu untuk memikirkan lagi mengenai perjodohan tersebut, Tania menyatakan jika keputusannya tidak berubah. Ia akan tetap menikah dengan Gatra tanpa syarat apa-apa.Pernikahan mereka diadakan di ballroom sebuah hotel. Meskipun digelar secara mewah namun tidak berlebihan. Sepasang mempelai tampak serasi dalam balutan pakaian pengantin berwarna putih.Tania terlihat jelita di hari pernikahannya. Aura pengantinnya menguar dengan jelas. Tania tidak perlu menggunakan ball gown yang panjang ekornya bermeter-meter. Hanya dengan gaun putih lurus tanpa banyak detail serta rambut yang digerai biasa dengan hiasan jepit rambut berbentuk ranting, ia berhasil memukau berpasang-pasang mata. Begitu pun dengan Gatra. Pria itu tampak bagai pangeran dengan mengguna
Kepala Tania semakin pusing dan berat sekarang, seakan ada berton-ton beban yang menghantamnya.Lama kelamaan daya tangkap lensa matanya semakin berkurang. Badannya merosot ke lantai.“Tania!”Sayup-sayup Tania mendengar suara itu. Seseorang memanggil namanya. Lamunannya pun buyar.“Ta, kamu ada di dalam?”“Iya …” Tania menjawab pelan sambil bangkit dari lantai.Dengan langkah tertatih Tania berjalan untuk membuka pintu kamar mandi. Begitu daun pintu terkuak, ia melihat Gatra sedang berdiri tegak di hadapannya.“Ta, kamu baik-baik aja?” Pria yang mulai sekarang berstatus sebagai suaminya itu tampak khawatir.Tania mengangguk pelan, lalu ke luar dari kamar mandi.Gatra masih memindai wajah Tania. Istrinya itu tampak pucat, yang membuatnya harus bertanya sekali lagi. “Beneran nggak apa-apa? Tapi mukamu pucat lho, Ta.”Refleks Tania menyentuh pipinya, seakan dengan begitu ia bisa melihatnya langsung.“Mungkin Karena aku terlalu capek, kamu nggak usah khawatir.”“Kalo gitu coba deh kamu i
Gatra ikut duduk di tepi ranjang tepat di sebelah Tania. Ia sungguh tidak mengerti jalan pikiran perempuan yang lebih muda sepuluh tahun darinya itu."Ta, sekarang aku mau nanya sama kamu."Tania menatap Gatra tanpa suara. Ia menunggu apa yang akan disampaikan Gatra."Apa aku memaksa untuk menerima perjodohan itu?"Tania menggelengkan kepala."Apa ada yang menekan kamu untuk menerima perjodohan kita?"Tania kembali menidakkan."Seingatku kemarin aku juga sudah memberi waktu untuk memikirkan baik-baik. Aku nggak masalah kalau kamu memilih mundur. Apa kemarin waktu kuberi waktu kamu memikirkannya?""Sudah.""Jadi kenapa sekarang kamu mau kita berpisah?"Tania menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sadar sesadar-sadarnya bahwa keputusannya untuk menikah dengan Gatra adalah keputusan emosional. Namun di saat itu Tania sadar akan konsekuensinya. Tapi sekarang semuanya berbeda. Ada sesuatu yang tidak mungkin dikatakannya pada Gatra. Namun dengan tetap bertahan bersama Gatra, Tania yakin hal
“Pagi, Mommy …” Gatra menyapa mertuanya dengan sopan.“Pagi, Gatra,” balas Audry tidak kalah ramah. Audry memandang Tania sekilas sambil melempar senyum tipis. Tapi sang putri menundukkan kepalanya tanpa membalas senyum Audry. Audry pikir mungkin Tania malu kalau saja ia menanyakan malam pertamanya.Mereka kemudian sama-sama masuk begitu pintu lift terbuka.Audry berdiri di sebelah Kiya, sedangkan Tania memosisikan diri di samping Gatra. Tania terus menundukkan kepala menghindari kontak mata dengan sang ibu. “Kakak lagi sakit ya?” Audry bertanya melihat reaksi yang Tania tunjukkan. Di mata Audry sang putri tampak lesu dan tidak bersemangat.“Nggak, Mommy.” Tania mengangkat kepalanya lantas menatap Audry dengan gugup.Audry tersenyum lagi. Ia memaklumi kenapa Tania terlihat lemas dan lesu. Mungkin karena Tania kesakitan setelah malam pertama kemarin malam. Audry paham betul bagaimana rasanya. Tapi mengingat jati diri siapa menantunya, Audry yakin sepenuhnya jika Gatra memperlakukan Ta
“Jadi kita akan tinggal di sini?” tanya Tania ketika Gatra membawa ke apartemennya.“Iya. Ada masalah?”“Tapi kamarnya kan cuma satu.” “Dan kita Cuma berdua. Kita muat kok berdua di sana.”Tania berdecak di dalam hati. Ini bukanlah tentang ukuran atau kapasitas kamar tersebut, melainkan keadaannya. Jika hanya ada satu kamar, itu artinya Tania akan tidur berdua di sana dengan Gatra, di atas ranjang yang sama.Tania kemudian menjelajahi setiap sudut apartemen. Apartemen itu sepertinya ideal untuk pasangan baru seperti mereka. Ada satu kamar tidur. Satu kamar mandi di luar, dapur serta ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga.“Gimana, Ta, kamu suka?” tanya Gatra yang kini sedang berdiri di belakang Tania.“Suka,” jawab Tania singkat.Gatra tersenyum.“Tapi sayangnya kamarnya cuma satu,” cetus Tania lagi.Senyum Gatra memudar. “Memang kenapa kalau kamarnya cuma satu?”“Aku pengen apartemen yang kamarnya ada dua.”“Kalau kamu maunya begitu artinya kita harus sewa apartemen, sayang d
Dypta terdiam berdetik-detik lamanya. Lelaki itu kehilangan kata untuk menjawab pertanyaan anak tirinya. Sementara di hadapannya Tania masih berdiri dengan mata menantang.“Kenapa Om nggak jawab? Om takut karena dugaan aku ternyata benar? Om mau lari dari kenyataan? Om pengecut. Aku nggak nyangka kalau Om aslinya adalah pecundang." Tania mencecar Dypta bertubi-tubi.“Kenyataan apa, Kak? Dan menghilangkan jejak apa tadi maksud Kakak? Papa ganti cat mobil ini karena memang sudah terniat dari lama.”“Bisa sekebetulan gitu ya, Om, aneh banget,” balas Tania tidak percaya. "Dan satu lagi, jangan pernah sebut diri Om sebagai papa, setelah kejadian itu kita bukan lagi ayah dan anak."“Tentang mobil itu nggak apa-apa kalau Kakak nggak percaya. Papa paham. Apa pun kata-kata dan penjelasan yang Papa sampaikan Kakak kayaknya tetap nggak akan bisa terima. Dan bagi Papa selamanya kita adalah ayah dan anak. Tapi kalau Kakak ngotot, jadi ya sudah. Terserah Kakak,” pungkas Dypta menyudahi perdebatan y