Kepala Tania semakin pusing dan berat sekarang, seakan ada berton-ton beban yang menghantamnya.Lama kelamaan daya tangkap lensa matanya semakin berkurang. Badannya merosot ke lantai.“Tania!”Sayup-sayup Tania mendengar suara itu. Seseorang memanggil namanya. Lamunannya pun buyar.“Ta, kamu ada di dalam?”“Iya …” Tania menjawab pelan sambil bangkit dari lantai.Dengan langkah tertatih Tania berjalan untuk membuka pintu kamar mandi. Begitu daun pintu terkuak, ia melihat Gatra sedang berdiri tegak di hadapannya.“Ta, kamu baik-baik aja?” Pria yang mulai sekarang berstatus sebagai suaminya itu tampak khawatir.Tania mengangguk pelan, lalu ke luar dari kamar mandi.Gatra masih memindai wajah Tania. Istrinya itu tampak pucat, yang membuatnya harus bertanya sekali lagi. “Beneran nggak apa-apa? Tapi mukamu pucat lho, Ta.”Refleks Tania menyentuh pipinya, seakan dengan begitu ia bisa melihatnya langsung.“Mungkin Karena aku terlalu capek, kamu nggak usah khawatir.”“Kalo gitu coba deh kamu i
Gatra ikut duduk di tepi ranjang tepat di sebelah Tania. Ia sungguh tidak mengerti jalan pikiran perempuan yang lebih muda sepuluh tahun darinya itu."Ta, sekarang aku mau nanya sama kamu."Tania menatap Gatra tanpa suara. Ia menunggu apa yang akan disampaikan Gatra."Apa aku memaksa untuk menerima perjodohan itu?"Tania menggelengkan kepala."Apa ada yang menekan kamu untuk menerima perjodohan kita?"Tania kembali menidakkan."Seingatku kemarin aku juga sudah memberi waktu untuk memikirkan baik-baik. Aku nggak masalah kalau kamu memilih mundur. Apa kemarin waktu kuberi waktu kamu memikirkannya?""Sudah.""Jadi kenapa sekarang kamu mau kita berpisah?"Tania menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sadar sesadar-sadarnya bahwa keputusannya untuk menikah dengan Gatra adalah keputusan emosional. Namun di saat itu Tania sadar akan konsekuensinya. Tapi sekarang semuanya berbeda. Ada sesuatu yang tidak mungkin dikatakannya pada Gatra. Namun dengan tetap bertahan bersama Gatra, Tania yakin hal
“Pagi, Mommy …” Gatra menyapa mertuanya dengan sopan.“Pagi, Gatra,” balas Audry tidak kalah ramah. Audry memandang Tania sekilas sambil melempar senyum tipis. Tapi sang putri menundukkan kepalanya tanpa membalas senyum Audry. Audry pikir mungkin Tania malu kalau saja ia menanyakan malam pertamanya.Mereka kemudian sama-sama masuk begitu pintu lift terbuka.Audry berdiri di sebelah Kiya, sedangkan Tania memosisikan diri di samping Gatra. Tania terus menundukkan kepala menghindari kontak mata dengan sang ibu. “Kakak lagi sakit ya?” Audry bertanya melihat reaksi yang Tania tunjukkan. Di mata Audry sang putri tampak lesu dan tidak bersemangat.“Nggak, Mommy.” Tania mengangkat kepalanya lantas menatap Audry dengan gugup.Audry tersenyum lagi. Ia memaklumi kenapa Tania terlihat lemas dan lesu. Mungkin karena Tania kesakitan setelah malam pertama kemarin malam. Audry paham betul bagaimana rasanya. Tapi mengingat jati diri siapa menantunya, Audry yakin sepenuhnya jika Gatra memperlakukan Ta
“Jadi kita akan tinggal di sini?” tanya Tania ketika Gatra membawa ke apartemennya.“Iya. Ada masalah?”“Tapi kamarnya kan cuma satu.” “Dan kita Cuma berdua. Kita muat kok berdua di sana.”Tania berdecak di dalam hati. Ini bukanlah tentang ukuran atau kapasitas kamar tersebut, melainkan keadaannya. Jika hanya ada satu kamar, itu artinya Tania akan tidur berdua di sana dengan Gatra, di atas ranjang yang sama.Tania kemudian menjelajahi setiap sudut apartemen. Apartemen itu sepertinya ideal untuk pasangan baru seperti mereka. Ada satu kamar tidur. Satu kamar mandi di luar, dapur serta ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga.“Gimana, Ta, kamu suka?” tanya Gatra yang kini sedang berdiri di belakang Tania.“Suka,” jawab Tania singkat.Gatra tersenyum.“Tapi sayangnya kamarnya cuma satu,” cetus Tania lagi.Senyum Gatra memudar. “Memang kenapa kalau kamarnya cuma satu?”“Aku pengen apartemen yang kamarnya ada dua.”“Kalau kamu maunya begitu artinya kita harus sewa apartemen, sayang d
Dypta terdiam berdetik-detik lamanya. Lelaki itu kehilangan kata untuk menjawab pertanyaan anak tirinya. Sementara di hadapannya Tania masih berdiri dengan mata menantang.“Kenapa Om nggak jawab? Om takut karena dugaan aku ternyata benar? Om mau lari dari kenyataan? Om pengecut. Aku nggak nyangka kalau Om aslinya adalah pecundang." Tania mencecar Dypta bertubi-tubi.“Kenyataan apa, Kak? Dan menghilangkan jejak apa tadi maksud Kakak? Papa ganti cat mobil ini karena memang sudah terniat dari lama.”“Bisa sekebetulan gitu ya, Om, aneh banget,” balas Tania tidak percaya. "Dan satu lagi, jangan pernah sebut diri Om sebagai papa, setelah kejadian itu kita bukan lagi ayah dan anak."“Tentang mobil itu nggak apa-apa kalau Kakak nggak percaya. Papa paham. Apa pun kata-kata dan penjelasan yang Papa sampaikan Kakak kayaknya tetap nggak akan bisa terima. Dan bagi Papa selamanya kita adalah ayah dan anak. Tapi kalau Kakak ngotot, jadi ya sudah. Terserah Kakak,” pungkas Dypta menyudahi perdebatan y
Tania menyetir dengan perasaan galau. Beberapa kali ia hampir menabrak kendaraan lain di depannya karena kehilangan konsentrasi. Yang ada di benaknya hanya Dypta.Tania tidak langsung keluar dari mobil setelah sampai di area parkir apartemen. Ia menelungkupakan kepalanya di atas setir. Hingga saat ini pikirannya masih kacau. Kenapa begitu sulit untuk mematikan perasaannya pada Dypta? Suara klakson yang berasal dari mobil yang parkir di belakang mengejutkan Tania. Ia mengangkat kepalanya dari kemudi lalu mengambil ponsel dari dalam tas. Jari-jarinya mulai menari lincah di atas layar sentuh.To: Om DyptaTania mengembalikan ponselnya ke dalam tas setelah menyaksikan sendiri pesan tersebut telah terkirim untuk Dypta.Tania kemudian turun dari mobil, melangkah lesu sambil membawa kopernya ke unit apartemen Gatra yang terletak di lantai empat belas.Gatra ternyata belum pulang. Tania tidak tahu dia akan pulang jam berapa. Mungkin dia sibuk di rumah sakit. Bisa jadi pasiennya banyak. Entah
Gatra terkejut bukan main atas tudingan yang dituduhkan padanya. Namun kemudian ia hanya tersenyum sambil mengangkat tangannya. “Talk to my hand.”“Gatra, aku nggak minta apa-apa. Aku nggak mau ganggu kehidupan pribadi kamu. Aku cuma minta bantuan kamu buat jelasin ini sama Gandi.” Airin memohon dengan begitu penuh harap. Hanya Gatra yang diyakininya bisa menyelamatkan rumah tangganya yang masih seumur jagung.“Sorry, Rin, aku nggak bisa.” Gatra menolak saat itu juga.“Tapi ini juga menyangkut nama baik kamu, Gat.”“Aku nggak peduli. Sekali lagi, aku nggak mau ikut terlibat dalam masalah kalian. Masalahku sendiri udah banyak.”“Gatra, aku mohon …” Airin menahan tangan Gatra sekali lagi agar tidak pergi.“Mau aku kasih solusi?”Airin mengangguk dengan mata basah.“Datang ke rumah sakit lalu tes DNA.”“Tapi gimana caranya kalau dia nggak ada? Aku nggak mungkin tes DNA sendirian kan, Gat?”“Dan menurutmu aku yang bertanggung jawab untuk mencari dan membawa dia pulang?” Gatra menekan emos
Gatra dan Tania sama-sama berbaring di ranjang mereka setelah aksi tarik menarik tadi. Gatra memiringkan badan mengarah pada Tania, sedangkan Tania menelentang memandang langit-langit kamar.“Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?” tegur Tania menyadari Gatra tidak berkedip sedetik pun menatap wajahnya.Gatra hanya tersenyum. Ternyata begini rasanya beristrikan Tania. Tidak bisa disentuh dan juga dilarang melihatnya lebih dari tiga detik. Tadi waktu Gatra merengkuhnya hingga mereka sama-sama rebah ke tempat tidur, Tania bukan main marah walau ujung-ujungnya mereka tetap berbaring berdua di ranjang yang sama.“Malah senyum-senyum. Pasti sekarang lagi mikir jorok. Ingat ya, Gat, kamu jangan coba-coba jatuh cinta sama aku. Pernikahan kita hanya satu tahun.”“Iya.” Gatra menyahut singkat. Kantuk mulai menyerangnya.Gatra sudah memejamkan matanya ketika mendengar suara Tania.“Gat ... Kamu udah tidur?”“Udah.”“Udah tidur kok bisa ngomong?”Gatra membuka matanya yang berat lalu tersenyum.“Aku l