Gatra sontak terlonjak saat mendengar ucapan lugas Tania. Apa? Menikah? Gadis itu salah makan obat apa lagi?“Kamu lagi di kelab mana? Udah ngewine berapa gelas, Ta? Butuh bantuan aku buat ngejemput ke sana?”“Aku nggak lagi becanda, Gat.” Tania tidak terpengaruh gurauan Gatra."Jadi kalo bukan di kelab, kamu lagi di mana sekarang?""Di jalan.""Malam-malam begini masih keluyuran di jalan?" ucap Gatra sambil memandang ke arah jam digital di dinding. Saat itu waktu menunjukkan pukul sebelas malam lewat lima menit.Tania tidak menjawab. Ia hanya butuh jawaban Gatra. "Kamu belum jawab pertanyaanku tadi, Gat." Ia mengingatkan."Aku mau ketemu kamu sekarang.""Di mana?""Terserah, di mana pun kamu bisa.""Di cafeku aja kalau gitu."Setelah memutuskan untuk bertemu, keduanya mengakhiri percakapan via telepon.Gatra langsung menyambar kunci mobil dan bergegas keluar dari kamar."Mau ke rumah sakit lagi, Gat?" tegur sang bunda saat mereka berpapasan."Bukan, Ma, ada perlu sebentar.""Hati-ha
Tania membeku bagai patung es dalam pelukan Dypta setelah balas melingkarkan tangannya ke tubuh laki-laki itu. Tania merindukannya. Amat sangat rindu. Merasa nyaman di pelukan Dypta, Tania merasa berat untuk melepaskannya. Jadi ketika Dypta mengurai pagutan mereka, Tania merasa ada sesuatu yang hilang.“Makin kurus aja, Kak. Kakak lagi diet?”“Masa sih, Om?” Tania tidak tahu jika ternyata Dypta memerhatikan dirinya hingga menyadari bahwa bobot tubuhnya menyusut.“Tanya Mommy deh kalo nggak percaya.”Tania tersenyum kikuk. Ia baru menyadari keberadaan Gatra yang sejak tadi berdiri di belakangnya. Tania bergeser ke kanan, memberi ruang untuk Gatra.“Om, kenalin ini Gatra.”Gatra tersenyum. Ia langsung mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan Dypta. Tak lupa menyabutkan nama. “Saya Gatra, Om. Saya mengantar Tania pulang.”Dypta menyambut uluran tangan Gatra sambil tersenyum hangat. Ia sudah tahu siapa Gatra dari foto yang ditunjukkan Audry fotonya. Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa
"Kebetulan sekali kamu menelepon, aku merindukanmu, Audry." Suara Jeff terdengar lagi.Meskipun perasaannya tidak enak dan tidak terima Jeff memanggil sayang pada Audry, Dypta menahan diri, mencoba untuk tidak berprasangka buruk dan berpikiran negatif."Ini Dypta, Om, bukan Audry."Hening mengisi selama puluhan detik lamanya. Jeff terkejut. Detik itu juga ia mengubah nada suaranya menjadi lebih tegas."Ternyata kamu, Dyp, aku pikir Audry.""Iya, Om, ini aku, suaminya Audry. Boleh aku tau kenapa tadi Om memanggil sayang pada istriku?"Jeff berdeham, mencoba mencari alasan yang tepat dalam waktu sesingkat mungkin."Tadi aku cuma becanda. Apa itu masalah?""Tapi Om becandanya tidak pada tempatnya. Untung aku yang jadi suami Audry. Kalau orang lain mungkin Om sudah babak belur.""Serius amat kamu, Dyp. Aku khawatir, orang yang miskin selera humor sepertimu biasanya umurnya tidak panjang." Jeff terkekeh di ujung telepon. Itulah sebabnya Dypta malas berhubungan dengan Jeff. Mereka selalu be
“Secepat itu?” Claudia menggeleng-geleng tak percaya begitu mengetahui kabar Tania akan menikah. Claudia syok mengetahuinya. Menurutnya ini adalah keputusan impulsif paling gila dari sahabatnya itu. Selama ini yang Claudia tahu, Tania begitu penuh pertimbangan sebelum melakukan sesuatu.Tania mengangguk pelan. Ia tidak lagi merasa heran melihat reaksi orang-orang yang terkejut mendengar rencana pernikahannya.“Tapi kenapa, Ta? Ada yang maksa lo?”“Ada yang aneh? Kenapa lo segitu hebohnya karena gue mau nikah?” tanya Tania santai sambil terus menyeruput mocca float-nya. Di saat orang-orang kalang kabut, Tania menanggapinya dengan begitu ringan.“Gimana gue nggak heboh. Pertama, kita baru lulus kuliah dan masih muda banget. Kedua, cowok yang mau lo nikahin adalah Gatra, yang setengah mati lo benci gara-gara kejadian salah masuk kamar. Ingat kan waktu di Phuket? Kalian baru aja kenal dan tiba-tiba udah mau nikah. Absurd banget.” Claudia mencerocos panjang lebar menyampaikan keheranannya
Alunan lagu I Finally Found Someone terdengar begitu romantis. Lagu itu dilantunkan oleh sepasang wedding singer yang tampak begitu selaras.Hari ini merupakan hari pernikahan Tania dan Gatra. Ya, pada akhirnya. Setelah Gatra memberikan Tania waktu untuk memikirkan lagi mengenai perjodohan tersebut, Tania menyatakan jika keputusannya tidak berubah. Ia akan tetap menikah dengan Gatra tanpa syarat apa-apa.Pernikahan mereka diadakan di ballroom sebuah hotel. Meskipun digelar secara mewah namun tidak berlebihan. Sepasang mempelai tampak serasi dalam balutan pakaian pengantin berwarna putih.Tania terlihat jelita di hari pernikahannya. Aura pengantinnya menguar dengan jelas. Tania tidak perlu menggunakan ball gown yang panjang ekornya bermeter-meter. Hanya dengan gaun putih lurus tanpa banyak detail serta rambut yang digerai biasa dengan hiasan jepit rambut berbentuk ranting, ia berhasil memukau berpasang-pasang mata. Begitu pun dengan Gatra. Pria itu tampak bagai pangeran dengan mengguna
Kepala Tania semakin pusing dan berat sekarang, seakan ada berton-ton beban yang menghantamnya.Lama kelamaan daya tangkap lensa matanya semakin berkurang. Badannya merosot ke lantai.“Tania!”Sayup-sayup Tania mendengar suara itu. Seseorang memanggil namanya. Lamunannya pun buyar.“Ta, kamu ada di dalam?”“Iya …” Tania menjawab pelan sambil bangkit dari lantai.Dengan langkah tertatih Tania berjalan untuk membuka pintu kamar mandi. Begitu daun pintu terkuak, ia melihat Gatra sedang berdiri tegak di hadapannya.“Ta, kamu baik-baik aja?” Pria yang mulai sekarang berstatus sebagai suaminya itu tampak khawatir.Tania mengangguk pelan, lalu ke luar dari kamar mandi.Gatra masih memindai wajah Tania. Istrinya itu tampak pucat, yang membuatnya harus bertanya sekali lagi. “Beneran nggak apa-apa? Tapi mukamu pucat lho, Ta.”Refleks Tania menyentuh pipinya, seakan dengan begitu ia bisa melihatnya langsung.“Mungkin Karena aku terlalu capek, kamu nggak usah khawatir.”“Kalo gitu coba deh kamu i
Gatra ikut duduk di tepi ranjang tepat di sebelah Tania. Ia sungguh tidak mengerti jalan pikiran perempuan yang lebih muda sepuluh tahun darinya itu."Ta, sekarang aku mau nanya sama kamu."Tania menatap Gatra tanpa suara. Ia menunggu apa yang akan disampaikan Gatra."Apa aku memaksa untuk menerima perjodohan itu?"Tania menggelengkan kepala."Apa ada yang menekan kamu untuk menerima perjodohan kita?"Tania kembali menidakkan."Seingatku kemarin aku juga sudah memberi waktu untuk memikirkan baik-baik. Aku nggak masalah kalau kamu memilih mundur. Apa kemarin waktu kuberi waktu kamu memikirkannya?""Sudah.""Jadi kenapa sekarang kamu mau kita berpisah?"Tania menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sadar sesadar-sadarnya bahwa keputusannya untuk menikah dengan Gatra adalah keputusan emosional. Namun di saat itu Tania sadar akan konsekuensinya. Tapi sekarang semuanya berbeda. Ada sesuatu yang tidak mungkin dikatakannya pada Gatra. Namun dengan tetap bertahan bersama Gatra, Tania yakin hal
“Pagi, Mommy …” Gatra menyapa mertuanya dengan sopan.“Pagi, Gatra,” balas Audry tidak kalah ramah. Audry memandang Tania sekilas sambil melempar senyum tipis. Tapi sang putri menundukkan kepalanya tanpa membalas senyum Audry. Audry pikir mungkin Tania malu kalau saja ia menanyakan malam pertamanya.Mereka kemudian sama-sama masuk begitu pintu lift terbuka.Audry berdiri di sebelah Kiya, sedangkan Tania memosisikan diri di samping Gatra. Tania terus menundukkan kepala menghindari kontak mata dengan sang ibu. “Kakak lagi sakit ya?” Audry bertanya melihat reaksi yang Tania tunjukkan. Di mata Audry sang putri tampak lesu dan tidak bersemangat.“Nggak, Mommy.” Tania mengangkat kepalanya lantas menatap Audry dengan gugup.Audry tersenyum lagi. Ia memaklumi kenapa Tania terlihat lemas dan lesu. Mungkin karena Tania kesakitan setelah malam pertama kemarin malam. Audry paham betul bagaimana rasanya. Tapi mengingat jati diri siapa menantunya, Audry yakin sepenuhnya jika Gatra memperlakukan Ta