Kembaran Suamiku #2
Ia mengerutkan kening. Tersirat tanya di wajahnya.
"Loh, kan kita sudah menikah tiga hari yang lalu."
"Jadi, ini Mas Hisyam?" Mataku membelalak menatap kening dan menjurus ke wajahnya serta turun melihat kaki yang masih memakai sepatu pantofel hitam.
"Iya, Dek." Mas Hisyam mengulas senyum dan mengusap rambutnya dengan jari, beriringan dengan dengkusan napasnya.
Huh. Lega!
"Ada apa sih, Dek Ara sayang?" Ia mengerutkan kening.
Wajah Mas Hisyam terlihat pucat bahkan matanya sedikit sayu.
Ternyata dia suamiku. Mungkin efek pandangan Mas Hasyim menuju mataku tadi pagi sehingga aku seperti trauma dan terkunci tak bisa membedakan atau karena faktor kelelahan. Entahlah.
Mulai saat ini, aku akan meneliti dan mengenali suamiku lebih dalam lagi. Aku hanya takut ada kekhilafan terjadi.
"Kok, udah pulang, Mas?" tanyaku seraya mengusap bahunya dengan tangan yang masih dingin dan gemetar karena kebingungan yang kuciptakan sendiri.
"Iya, Dek. Mas sedikit tak enak badan, kepala Mas pusing sekali," terangnya seraya mengusap daguku lalu menekan-nekan pelipisnya sendiri.
"Astaghfirullahal'adziim, istirahat dulu, Mas, aku ambilkan minum."
"Ibu udah minum obat?"
"Udah, Mas."
"Sabar ya, Sayang! Mas akan carikan perawat untuk Ibu. Kamu kelihatan capek sekali, sampai bingung mengenali suamimu sendiri." Mas Hisyam tampak mengerti dengan apa yang kurasakan saat ini. Begitu terharu dan penuh syukur aku memilikinya.
"Mas, selagi aku belum hamil, nggak apa-apa aku ngurus Ibu dan rumah. Toh, aku
'kan nggak kemana-kemana, Mas. Nanti kalau aku udah hamil, baru cari perawat untuk Ibu, Mas. Supaya nggak kelelahan aja."
Mas Hisyam menggenggam tanganku, menarikku dalam pelukan dadanya yang bidang.
"Makasih ya, Dek," ucapnya seraya mengulas senyum. Aku mengangguk dan tersenyum padanya.
Detak jantung itu, benar-benar Mas Hisyam.
Kukenakan gamis ungu dan jilbab instan dengan warna senada, dan keluar mengambilkan air minum serta kue untuk Mas Hisyam sekaligus menengok Ibu kalau-kalau sudah bangun.
***
Senja pun tiba.
Rumah sudah lengkap penghuninya. Mas Hasyim sudah pulang dari kantor berkutat di kamar dan keluar sudah dalam keadaan bersih dan segar memakai kaus dan celana tiga perempat. Entahlah, orang itu sepertinya tak punya lelah, terlihat dari kegiatannya yang setelah membersihkan diri langsung mengunjungi ibunya di kamar.
Dialah yang sangat telaten mengurus Ibu dibandingkan suamiku -Mas Hisyam-.
Aku masak dan menyiapkan makan malam setelah memandikan Ibu.
Suasana begitu hening, karena belum ada anak kecil di sini.
"Mas, ayo makan dulu," ajakku, menghampiri sang arjuna yang menghentikan gerak jemarinya di atas tombol laptop di ruang kerjanya.
Kulihat Mas Hisyam sesekali memijit pelipisnya, tanganku memijit keningnya, supaya rasa sakit itu berkurang.
"Iya ... Nanti Mas nyusul," ucapnya singkat.
Tidak ada sebutan 'Dek', tidak ada sebutan 'Sayang'. Bahkan tadi hanya memanggilku dengan nama panggilan.
Ah sudahlah!
Mungkin suamiku itu sedang benar-benar tidak enak badan, sehingga moodnya berkurang. Kenapa aku jadi baperan gini, sih?
Aku beranjak ke kamar Ibu, terdengar Mas Hasyim seperti berbicara pada Ibu, aku urungkan diri untuk masuk. Tak enak bila mengganggu mereka yang sedang berbincang hanya karena kehadiranku.
Samar terdengar sampai kata,
"Bu, Maafkan Hasyim ya, Bu! Impian Hasyim tertunda untuk meminang seseorang. Harusnya, Hasyim duluan yang menikah. Bukan Hisyam.
Sebagai seorang kakak meski kami berada di rahim Ibu secara bersama, Hasyim akan bertanggung jawab menjadi pelindung bagi Hisyam dan Ibu.
Tapi, yang terberat bagi Hasyim adalah wanita yang Hasyim incar dari dahulu sudah ...." Kalimat itu terpotong karena teriakanku.
"Allaah!" pekikku.
Belum sampai selesai, Mas Hisyam menepuk pundakku. Kaget bukan kepalang membuatku berteriak, sehingga Mas Hasyim pun bergegas keluar.
"Ada apa?" tanya Mas Hasyim menatapku dan Mas Hisyam bergantian.
"Loh, Dek? Kok disini? Ngapain?" Mas Hisyam menatapku.
Aku menggeleng, "Enggak, enggak kok, Mas. Cu-cuma mau ngajak Ibu makan bareng kita. Permisi," kataku melenggang masuk ke kamar Ibu. Mendorong kursi roda ke arah ruang makan.
Sungguh tebal sekali rasanya mukaku menahan malu antara mereka.
***
Sebelum meletakkan tubuh di ranjang, aku memijit tubuh suamiku.
Kusimak sampai aku harus benar-benar menghafalkan dan mengenalinya.
Kalau Ibu mertua sehat, pasti beliau bisa menceritakan perbedaan dua putranya itu.
Mungkin ini memang menjadi PR tersendiri untukku.
Tidak semua orang memiliki daya ingat yang kuat. Tapi mulai sekarang, aku harus lebih intens.
Mengolah otak agar mengerti perbedaan yang terlihat sama.
"Mas, bolehkah aku meminta sesuatu?"
Dengan memberanikan diri, kukatakan ini pada suamiku --Mas Hisyam.
Mas Hisyam, suamiku itu menoleh dan duduk menghadap wajahku.
"Minta apa, Dek?" tanyanya lembut.
"Mas, tolong pangkas rambutnya yang beda dari Mas Hasyim, ya?" Aku tertunduk malu.
"Memangnya kenapa, Sayang?"
Mas Hisyam malah terkekeh mendengar ucapanku. Aneh ya?
Apakah terdengar lucu ?
"Biar jadi tanda aja biar nggak salah akunya," ucapku sambil mengangkat alis.
Dia tersenyum, manis sekali. Membuatku takut terkena serangan diabetes akut.
"Memang, tidak mudah membedakan antara Aku dan kakak kembarku, kecuali ayah dan ibu, Dek. Eyangku dulu, dari kami lahir sampai kami besar saja selalu salah memanggil. Ok, Sayang. Mas turuti permintaanmu. Asal jangan ngalungin Mas pake pita merah dan kerincingan aja. Nanti malah kayak kucing. Hehehe," jawabnya diiringi gurauan.
"Ah, Mas bisa saja," ucapku menutup mulut.
Kami pun terkekeh bersama.
Alhamdulillah sedikit bebanku menjadi ringan, karena suamiku menuruti apa yang kuminta.
***
Pagi sekali, usai subuh aku bergirlya di dapur setelah menengok Ibu ke kamarnya.
"Ara, ada air panas ?" ucap seseorang di belakangku.
Aku terkejut dan menoleh, dekat sekali dari tempatku berdiri. Ternyata Mas Hasyim. Ya dia adalah Mas Hasyim, kembaran suamiku.
Karena tadi suamiku memakai kaus abu-abu, sedangkan ini memakai kaos putih dengan model yang sama.
"Ada, Mas," jawabku.
"Oh iya, saya minta untuk merendam kaki Ibu."
"Sebentar, Mas. Saya ambilkan."
Kuambilkan baskom khusus merendam kaki Ibu, dan mengisinya dengan air panas yang dicampur air dingin. Kembaran suamiku itu menunggu di kursi meja makan.
"Mas, ini airnya. Aku bawa ke kamar Ibu, ya?" tawarku padanya. Dia bergeleng.
"Oh nggak usah, biar saya saja," jawab Mas Hasyim (kembaran suamiku) sambil tersenyum. Ia mendekatiku meraih baskom yang kubawa.
Ada tatapan berbeda dari bola matanya, bahkan lebih dalam dibandingkan suamiku sendiri.
Astaghfirullah.
Kupalingkan wajah dan kembali ke dapur untuk melanjutkan masak.
"Sayaaang, masak apa?" Tangan kekar itu melingkar di tubuhku.
Suara itu sama!
Mengapa harus sama?
Aku menoleh, kaus abu-abu membalut tubuhnya.
"Mas ... Malu sama Mas Hasyim," ucapku pada suamiku.
Dari ruang makan terlihat Mas Hasyim kembaran suamiku itu melihat kami, dan langsung memalingkan wajah, ia berangsur meninggalkan ruang makan.
Seperti ada yang mengganjal, tetapi apa?
Bersambung...
Kembaran Suamiku #3Hari Minggu suamiku libur, setelah urusan mengurus Ibu mertuaku sudah tertunaikan, aku menghabiskan waktu bersama suamiku di dalam kamar.Namun, tetap menengok-nengok Ibu, kalau-kalau beliau butuh sesuatu."Dek, kita bulan madu, yuk ? Biar Mas carikan info orang yang bisa merawat Ibu, kalau udah dapet, nanti Mas ambil cuti," ucapnya mendekatkan hidung runcingnya di depan hidungku.Tangan hangatnya membelai pipiku. Kemudian beralih tidur di pangkuanku."Aku nurut aja, Mas."Aku mengusap rambut hitamnya, harum sekali. Ada tahi lalat berada di sela rambut di kepala sebelah kanan."Mas punya tahi lalat disini, ya?" tanyaku sambil memegang bagiannya."Iya, Dek, perbedaan antara Aku dan Mas Hasyim, kan, itu. Jadi kalau yang nggak kenal, tak mungkin, kan, bukain sela-sela rambut kami. Hehehe,” jelas suamiku terkekeh.Oh jadi tahi lalat di kepala yang jadi pembeda antara mereka?
Kembaran Suamiku #4"Eh kirain nyari baju buat Ibu sih, Mas,” sanggahku mengalihkan ucapan mengandung duga mengherankan itu.Mungkin pipi ini sudah berubah merah seperti kepiting rebus karena tersipu, hanya saja rasa hangat menelusup di sela-sela rasa bahagia ini."Yang bulan madu siapa ?" Mas Hisyam menaikkan alis tebalnya seraya menoleh kepadaku."Kita, Mas. Hehe." Aku berusaha tetap bahagia di hadapannya."Ini cocok banget, Dek, sama kulit putihmu. Eh tapi apa aja cocok kok. Istri siapa dulu dong?" goda Mas Hisyam yang sudah kembali netral, semoga Mas Hisyam tak secemburu itu pada dugaannya yang belum tentu benar."Nurut aja aku, yang penting suamiku suka,” jawabku pasrah."Mbak, ini saya pilih,” ujar suamiku pada seorang SPG seraya menyerahkan beberapa stel baju tidur bernama lingerie dan model piyama pendek.Terus terang aku malu saat Mas Hi
Kembaran Suamiku #5"Alisa?" Terdengar suara khas dari belakangku yang datang dari dalam, ya, itu Mas Hasyim. Sebab, Mas Hisyam suamiku ada di depanku.Aku dan Mas Hisyam menoleh ke belakang.Wanita itu pun berkata, “Loh? Kok ada dua?" tanyanya heran sambil mengucek mata. Untung bulu matanya nggak jatuh. Oops!Mas Hasyim malah tertawa kecil, aku dan Mas Hisyam menyingkir, Mas Hasyim kemudian mendekati wanita itu."Ayo sini masuk!" titah Mas Hasyim pada wanita berparas cantik tetapi tak begitu tinggi postur tubuhnya.Oh ternyata tamunya Mas Hasyim, kembaran suamiku.Dada yang tadinya bergemuruh menjadi tenang. Kukira suamiku bermain api di belakangku. Ternyata wanita itu mencari kembaran suamiku.Namun, setelah rasa berkecamuk itu berperang dalam hati, sekarang aku justru katakutan kalau Mas Hisyam dekat dengan wanita lain. Ah, prasangkaku sangat buruk.Repot juga y
Kembaran Suamiku #6Pov. AraPagi ini cerah sekali, secerah hatiku menyambut datangnya hari bulan madu, eh.Para lelaki sudah berangkat kerja ke kantornya masing-masing.Terapis sudah datang, aku pasrahkan Ibu kepadanya karena persediaan bahan di kulkas sudah menipis."Bu, Ara ke pasar dulu ya, Bu. Ibu jangan tegang pas terapi. Biar cepet sembuh!" pamitku pada Ibu mertua sambil tersenyum.Ibu nampak mengangguk pelan dan tersenyum. Aku mencium tangan beliau."Mbak, titip Ibu, ya. Saya mau ke pasar sebentar,” kataku pada terapis itu."Iya, Mbak." Ia mengulas senyum seraya mengangguk.“Semua sudah saya siapkan, nanti Mbak yang atur sendiri. Permisi,” pamitku kemudian berlalu.Setelah motor kukeluarkan dari garasi, pagar kututup. Aku pergi sendiri mengendarai motor, supaya lebih leluasa. Lagian di rumah ini mobilnya dibawa pemiliknya sendiri-sendiri.Setelah s
Kembaran Suamiku #7Ia langsung berdiri mendekati Ibu dan mendorong kursi roda Ibu ke kamar."Ayuk, Bu. Kita pergi dari sini. Jomlo nggak cocok liat adegan mereka,” goda Mas Hasyim sambil tertawa kecil dan berlalu.“Mas ni ada-ada aja, kan, di kamar juga bisa,” kataku pada Mas Hisyam.“Biarin,” pungkasnya dengan senyum lebar.***Kucuci semua piring dan alat makan yang ada, Mas Hasyim mengelap meja makan, dan Mas Hisyam suamiku menata alat makan yang sudah kucuci. Ibu istirahat di kamar. Meskipun mereka lelaki, sepertinya tetap rajin membantu pekerjaan dapur."Mas, Aku udah dapet info ART yang bakal nemenin Ibu." Suamiku berkata pada kakaknya."Mulai kapan dia kesini?" tanya Mas Hasyim."Aku suruh besok. Biar Ara nggak kecapekan. Sekalian besok aku masuk dan ambil cuti,” terang Mas Hisyam."Baguslah,” jawab Mas Hasyim datar.Sedangkan suamiku hanya
Kembaran Suamiku #8“Kurang nyaman bagaimana, Sayang?” tanya Mas Hisyam menyelipkan helaian rambutku di balik telinga.“Ah, enggak ... gapapa, Mas.” Aku berkilah, tak ingin membuatnya susah.Usai subuh, suamiku pulang dari masjid. Ia bertilawah Alqur'an di ruang keluarga, sedangkan Mas Hasyim, biasa bertilawah di kamar Ibu.Aku dan Bu Marni membuat sarapan dan minuman hangat.Lebih bersemangat lagi aku di dapur karena dibantu Bu Marni.Setelah susu, kopi, dan teh tersaji sesuai dengan kesukaan masing-masing, aku memanggil Mas Hisyam, namun tidak ada di ruang keluarga.Aku ke kamar Ibu, ternyata mereka berkumpul disana.Ada Mas Hasyim yang membuatku canggung, haruskah seperti ini setiap kali bertemu dengannya?Aku memanggil, mereka menoleh. Kusampaikan kalau minuman serta sarapan sudah siap di meja makan.Ibu seperti berharap aku mendekati beliau, kuturuti dan masuk dalam kamar Ibu.
Kembaran Suami #9"Jangan ikut masuk dulu, Mas! Pakaian Ara belum lengkap," ucapku sambil menahan langkah kakakku itu. Tak sepantasnya ia terlalu khawatir pada istriku.“Oh, ya,” membalik arah ke kamar Ibu."Pak Hisyam, ada minyak kayu putih?" tanya Bu Marni."Ada, Bu. Di kotak p3k itu." Aku menunjuk lemari p3k di kamar.
Kembaran Suamiku #10"Ara, suami kamu sudah tiada, lebih baik kamu secepatnya pulang bersama Papa dan Mama." Papa berkata padaku, membujuk halus di hadapan Ibu juga Mas Hasyim."Bi-ar-kan Arr-ra di sinni." Ibu berusaha berkata meski terbata, manik matanya memancarkan duka.Kami semua menatap Ibu. Sungguh aku tidak tega melihat Ibu, tentu Ibu lebih terpukul daripada aku karena Ibu yang melahirkan Mas Hisyam. Sedangkan aku saja yang baru hampir lebih dari satu bulan bersama Mas Hisyam amatlah sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ya, tak pernah terbesit sedikit pun di benakku.Tangan Mas Hasyim memegang tangan Papa."Pak Nur, saya mohon, biarkan Ara di sini dulu. Supaya Ara bisa menenangkan diri di tempat yang sudah menjadi kenangan Ara dan Hisyam. Nafkah Ara dan calon bayinya, saya akan berusaha bertanggung jawab, karena itu juga termasuk pesan dari Hisyam." Mas Hasyim memohon pada Papa.Papa menoleh ke Mama. Mama pun samar ter