Kembaran Suamiku #5
"Alisa?" Terdengar suara khas dari belakangku yang datang dari dalam, ya, itu Mas Hasyim. Sebab, Mas Hisyam suamiku ada di depanku.
Aku dan Mas Hisyam menoleh ke belakang.
Wanita itu pun berkata, “Loh? Kok ada dua?" tanyanya heran sambil mengucek mata. Untung bulu matanya nggak jatuh. Oops!
Mas Hasyim malah tertawa kecil, aku dan Mas Hisyam menyingkir, Mas Hasyim kemudian mendekati wanita itu.
"Ayo sini masuk!" titah Mas Hasyim pada wanita berparas cantik tetapi tak begitu tinggi postur tubuhnya.
Oh ternyata tamunya Mas Hasyim, kembaran suamiku.
Dada yang tadinya bergemuruh menjadi tenang. Kukira suamiku bermain api di belakangku. Ternyata wanita itu mencari kembaran suamiku.
Namun, setelah rasa berkecamuk itu berperang dalam hati, sekarang aku justru katakutan kalau Mas Hisyam dekat dengan wanita lain. Ah, prasangkaku sangat buruk.
Repot juga ya ternyata kalau punya pasangan kembar identik. Banyak tragedi-tragedi tidak terduga. Seperti prank-prank jaman now. Namun semua itu kembali pada diri sendiri. Mungkin akunya saja yang baperan.
Kami pun duduk bersama di ruang tamu.
"Jadi, mbaknya ini nyari siapa?" tanyaku lagi meyakinkan.
"Saya mau jenguk Ibunya Mas Hasyim, mbak,” terang wanita itu santai.
"Alisa, kenalkan, ini Hisyam adik kembarku, dan ini Ara, istrinya Hisyam."
Mas Hasyim memperkenalkan kami pada tamu itu.
"Oh begitu, maaf Aku nggak tau, Mas. Mas Hasyim nggak pernah cerita kalau kembar,” ucapnya sambil tertawa kecil.
"Ah, untunglaaah,” lontarku lega.
"Kenapa, Dek?" tanya Mas Hisyam tiba-tiba.
"Emm ... Nggak papa, Mas. Cuma kaget aja kirain mbaknya ini nyari Mas Hisyam,” terangku nyengir.
Mas Hisyam tampak tersenyum dan bergeleng serta menggenggam tanganku.
"Kok tau alamatku, Al?" Mas Hasyim bertanya pada Alisa.
"Tau lah, Mas. Hehe. Oh ya, aku pengen liat Ibunya Mas." Wanita itu menelisik pandang kiawabnya sambil melirik ruangan.
"Ayuk, Mbak Alisa, saya antar,” tawarku padanya.
"Iya, Mbak. Terima kasih,” ucapnya. Kami pun ke kamar Ibu bersama.
Mungkin Alisa adalah calon Mas Hasyim. Tapi aku nggak berani tanya, takutnya bukan. Hihi.
Setelah Shalat Maghrib bersama, Alisa pamit pulang.
***
Pov. Hasyim (kakak Ipar Ara)
Suatu keterpurukan bagiku saat aku harus kehilangan Ayah. Ibu masih menemaniku sampai saat ini. Aku yakin, meskipun Ibu belum bisa bergerak sempurna, tetapi doanya selalu mengalir untukku.
Tinggal lah Hisyam, adik kembarku yang utuh sehat jasmani rohaninya. Bagaimanapun, aku harus bertanggung jawab pada Hisyam. Aku tak ingin kehilangan anggota keluargaku lagi. Hisyamlah yang menemaniku untuk tetap semangat mengarungi kehidupan tanpa Ayah, dan tanpa gerak seorang Ibu.
Meskipun pekerjaan kami sudah mapan, apa daya tanpa nasihat orang tua.
Menikah memang menjadi dambaan setiap hamba. Namun, melihat orang yang disayang bahagia, biarlah esok sang jodoh akan datang sendirinya. Takdir cinta tak bisa dipaksakan.
Aku masih ingat saat Hisyam berkata padaku beberapa waktu yang sudah menjadi masa lalu. Di mana harapanku runtuh seketika.
***
"Mas, Aku mau taaruf. Tapi kalau cocok, apa Mas nggak apa-apa ku dahului nikahnya?" Hisyam meminta izin padaku.
"Nggak apa, Syam. Siapa sih gadis yang jadi incaranmu?" tanyaku.
"Ada, Mas. Dulu adik kelas kita di MA. Tapi aku tau dia, pas makan siang di resto Ladziidz dekat kantor. Ternyata dia anak pemilik resto itu." Hisyam, adikku, menjelaskan.
"Ya, baguslah kalau kamu udah tahu dikit-dikit asal-usulnya, Syam." Aku tersenyum dan merasa bahagia mendengar kabar itu.
"Iya, Mas. Temenin aku, ya?" pinta Hisyam, bola mata bulatnya menatap penuh harap.
"Iya." Aku mengangguk pasti dengan ulasan senyum dan haru padanya.
***
Tibalah hari Hisyam akan taaruf.
Hatiku turut berdebar, senang karena saudaraku akan melepas masa lajangnya.
Mungkin debaran ini sama seperti yang Hisyam rasakan.
Wanita yang akan bertaaruf dengan Hisyam, adalah wanita yang sering kulirik di gerbang utama Madrasah Aliyah. Diam-diam aku sudah menautkan hati sejak dahulu. Meski yang kuperhatikan tidak pernah tahu.
Demi kebahagiaan seorang adik, rasa itu kutepis, meski sulit.
Zahara, dengan panggilan Ara, resmi menikah dengan Hisyam.
Tidak salah memang pilihan Hisyam, Ara sangat menyayangi Ibu dan telaten mengurus rumah.
Aku semakin terpana saat Ara tinggal bersama-sama seatap denganku di rumah Ibu. Mungkin Hisyam tidak tega melihatku begitu sibuk dengan urusan kantor ditambah mengurus Ibu.
Mbok Minah sudah lama cuti, sampai sekarang belum kembali.
Rona sepasang pengantin baru itu sangat bahagia, ya, aku juga harus menampakkan kebahagiaan meski batin terasa seperti tersiksa.
Ada cemburu yang kuredam.
Ada rindu yang ingin kupeluk.
***
Kenapa Alisa kemari? Bukankah baru dua minggu ini dia dekat denganku?
Sebenarnya aku masih sulit untuk jatuh cinta. Aku berupaya mendapatkan wanita yang sama seperti Ara. Dari segi wajah dan bentuk tubuhnya, terlihat sedikit mirip.
Namun Ara lebih lembut dan polos dari Alisa.
Aku ingin membuka hati, tetapi rasanya masih sulit.
Ternyata memiliki perasaan yang sama itu tidak mudah. Akan ada yang mendapatkan, dan akan ada yang tersakiti.
Aku memendam sendiri, tanpa diketahui Hisyam, maupun Ara. Sebelumnya memang aku sudah mengincarnya, karena aku masih sibuk mengurus kantor juga Ibu, maka kuundur untuk mencari gadis adik tingkat ketika MA itu.
Ternyata, sudah kedahuluan adikku sendiri.
Haih!
Kadang aku harus meyakinkan hati, ini tentang takdir, bukan tentang perlombaan.
Biarlah adikku bahagia. Aku tidak ingin merusak hubungan mereka. Namun yang aku suka, saat aku bisa setiap hari bertemu dengan Ara.
***
"Alisa, kamu pulang sendiri ?" Ada rasa tidak tega padanya tapi, tipis. Sedikit sekali.
"Iya nggak apa-apa, Mas." Alisa mengulas senyum.
"Makasih ya, udah jenguk Ibu. Btw sorry nih, aku nggak pernah cerita kalau kembar, jadinya kamu salah orang tadi." Berusaha kujelaskan pada Alisa.
"Nggak apa-apa, Mas. Sampai berjumpa besok di kantor," ucap Alisa sambil membuka mobilnya.
"Hati-hati." Aku tersenyum padanya seraya memberikan lambaian tangan.
Ia mengacungkan jempol dan berlalu seraya menutup kaca jendela mobilnya.
"Eheemmmmm ... Nggak cerita-cerita, nih, punya gebetan," celetuk Hisyam yang sudah duduk di meja makan.
"Apaan sih? baru juga kenal. Aku masih susah move on dari gadis yang kuincar dulu," kilahku datar.
Opssss, keceplosan.
"Kenapa nggak nglamar yang jadi incaran itu aja, Mas?" Ara ikut menyambung, sambil menyuapi bubur Ibu.
"Ehmm, enggak. Dia udah nikah sama orang,” jawabku jujur tapi masih tersatir. Hiih rasanya sakit banget sih tenggorokan menelan saliva diiringi dentuman yang bergemuruh dalam dada.
"Ya, semoga jodoh sama Mbak Alisa, Mas," ucap Ara santai sambil mengelap bibir Ibu yang terkena bubur.
'Uhuk'.
Aku yang sedang makan ikan kuah pedas pun tersedak.
"Pelan, Mas ! Minum, minum dulu, Mas!" Hisyam menyodorkan segelas air putih di hadapanku.
Ara, kamu tidak tahu! Dambaanku adalah kamu, jika boleh tukar, akan aku berikan Alisa pada Hisyam.
Ah mengapa mereka harus membahas ini?
Seperti luka yang disiram cuka. Perih, Ra!
Bersambung...
Kembaran Suamiku #6Pov. AraPagi ini cerah sekali, secerah hatiku menyambut datangnya hari bulan madu, eh.Para lelaki sudah berangkat kerja ke kantornya masing-masing.Terapis sudah datang, aku pasrahkan Ibu kepadanya karena persediaan bahan di kulkas sudah menipis."Bu, Ara ke pasar dulu ya, Bu. Ibu jangan tegang pas terapi. Biar cepet sembuh!" pamitku pada Ibu mertua sambil tersenyum.Ibu nampak mengangguk pelan dan tersenyum. Aku mencium tangan beliau."Mbak, titip Ibu, ya. Saya mau ke pasar sebentar,” kataku pada terapis itu."Iya, Mbak." Ia mengulas senyum seraya mengangguk.“Semua sudah saya siapkan, nanti Mbak yang atur sendiri. Permisi,” pamitku kemudian berlalu.Setelah motor kukeluarkan dari garasi, pagar kututup. Aku pergi sendiri mengendarai motor, supaya lebih leluasa. Lagian di rumah ini mobilnya dibawa pemiliknya sendiri-sendiri.Setelah s
Kembaran Suamiku #7Ia langsung berdiri mendekati Ibu dan mendorong kursi roda Ibu ke kamar."Ayuk, Bu. Kita pergi dari sini. Jomlo nggak cocok liat adegan mereka,” goda Mas Hasyim sambil tertawa kecil dan berlalu.“Mas ni ada-ada aja, kan, di kamar juga bisa,” kataku pada Mas Hisyam.“Biarin,” pungkasnya dengan senyum lebar.***Kucuci semua piring dan alat makan yang ada, Mas Hasyim mengelap meja makan, dan Mas Hisyam suamiku menata alat makan yang sudah kucuci. Ibu istirahat di kamar. Meskipun mereka lelaki, sepertinya tetap rajin membantu pekerjaan dapur."Mas, Aku udah dapet info ART yang bakal nemenin Ibu." Suamiku berkata pada kakaknya."Mulai kapan dia kesini?" tanya Mas Hasyim."Aku suruh besok. Biar Ara nggak kecapekan. Sekalian besok aku masuk dan ambil cuti,” terang Mas Hisyam."Baguslah,” jawab Mas Hasyim datar.Sedangkan suamiku hanya
Kembaran Suamiku #8“Kurang nyaman bagaimana, Sayang?” tanya Mas Hisyam menyelipkan helaian rambutku di balik telinga.“Ah, enggak ... gapapa, Mas.” Aku berkilah, tak ingin membuatnya susah.Usai subuh, suamiku pulang dari masjid. Ia bertilawah Alqur'an di ruang keluarga, sedangkan Mas Hasyim, biasa bertilawah di kamar Ibu.Aku dan Bu Marni membuat sarapan dan minuman hangat.Lebih bersemangat lagi aku di dapur karena dibantu Bu Marni.Setelah susu, kopi, dan teh tersaji sesuai dengan kesukaan masing-masing, aku memanggil Mas Hisyam, namun tidak ada di ruang keluarga.Aku ke kamar Ibu, ternyata mereka berkumpul disana.Ada Mas Hasyim yang membuatku canggung, haruskah seperti ini setiap kali bertemu dengannya?Aku memanggil, mereka menoleh. Kusampaikan kalau minuman serta sarapan sudah siap di meja makan.Ibu seperti berharap aku mendekati beliau, kuturuti dan masuk dalam kamar Ibu.
Kembaran Suami #9"Jangan ikut masuk dulu, Mas! Pakaian Ara belum lengkap," ucapku sambil menahan langkah kakakku itu. Tak sepantasnya ia terlalu khawatir pada istriku.“Oh, ya,” membalik arah ke kamar Ibu."Pak Hisyam, ada minyak kayu putih?" tanya Bu Marni."Ada, Bu. Di kotak p3k itu." Aku menunjuk lemari p3k di kamar.
Kembaran Suamiku #10"Ara, suami kamu sudah tiada, lebih baik kamu secepatnya pulang bersama Papa dan Mama." Papa berkata padaku, membujuk halus di hadapan Ibu juga Mas Hasyim."Bi-ar-kan Arr-ra di sinni." Ibu berusaha berkata meski terbata, manik matanya memancarkan duka.Kami semua menatap Ibu. Sungguh aku tidak tega melihat Ibu, tentu Ibu lebih terpukul daripada aku karena Ibu yang melahirkan Mas Hisyam. Sedangkan aku saja yang baru hampir lebih dari satu bulan bersama Mas Hisyam amatlah sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ya, tak pernah terbesit sedikit pun di benakku.Tangan Mas Hasyim memegang tangan Papa."Pak Nur, saya mohon, biarkan Ara di sini dulu. Supaya Ara bisa menenangkan diri di tempat yang sudah menjadi kenangan Ara dan Hisyam. Nafkah Ara dan calon bayinya, saya akan berusaha bertanggung jawab, karena itu juga termasuk pesan dari Hisyam." Mas Hasyim memohon pada Papa.Papa menoleh ke Mama. Mama pun samar ter
Kembaran Suamiku #11"Ra?" Suara Mas Hasyim mengejutkanku"Iya, Mas?"Aku kaget saat Mas Hasyim memanggilku, sehingga aku langsung membuka mata dan menolehnya."Kita sudah sampai, ayo turun!" ajaknya yang sudah memarkirkan mobil di tempat parkir sebuah mall."Udah, jangan banyak melamun, Ra. Ikhlaskan apa yang sudah menjadi ketentuan Allah. Kita tidak bisa mengembalikan apapun,” imbuh Mas Hasyim saat melihatku melamun.Aku menghela napas pelan dan menunduk sejenak.Mas Hasyim keluar dari mobil lebih dahulu dan membukakan pintu untukku.Kami pun turun.Saat di pintu masuk kami berhenti. Ada suara wanita memanggil Mas Hasyim dan membuat Mas Hasyim pun berbalik badan."Alisa?" ucap Mas Hasyim pelan.Aku menoleh ke arah Alisa.Wanita itu berjalan cepat ke arah kami, membuat Mas Hasyim memperhatikannya."Wah kebetulan, Mas, kita ketemu di sini,” sapa Alisa dengan
Kembaran Suamiku #12"Tumben, Mas pengen banget ketemu Mama sama Papa ? Biasanya nyari terus nanyain kabar doang?" selidikku sambil tersenyum."Ada hal yang mau aku sampaikan, Ra,” jawabnya sambil melihat bunga yang sedang kusiram.Sepagi ini Mas Hasyim datang, ternyata untuk mencari Mama dan Papa.Pagi ini aku mengenakan gamis bermotif bunga mawar berwarna pink bercorak fanta, dengan balutan jilbab paris fanta.Biasanya di rumah seperti ini jilbab paris yang kukenakan. Berbeda saat bepergian. Karena saat aktifitas rumah, tentu lebih mudah dan nyaman saat memakainya.Kusunggingkan senyum, seperti ada hal serius yang akan disampaikan Mas Hasyim nanti. Namun, bagaimana jika ia melamarku untuk menjadi istrinya? Atau ia bersedia menjadi pengganti Mas Hisyam yang telah tiada?Apakah secepat ini, aku menerima pinangan lelaki lain setelah suamiku tiada? Namun, bi
Kembaran Suamiku #13Bibirku seolah terkunci saat pertanyaan itu muncul darinya.Aku meluapkan tangis sejadinya, menutup wajah dengan kedua tanganku. Tidak mungkin aku memeluk pria yang ada di hadapanku yang statusnya akan menjadi suami orang sebentar lagi.Tubuhku bergetar, hingga bayi yang aku kandung menendang-nendang aktif sekali.Sebuah kehangatan muncul, usapan lembut di bahuku tercipta dari uraian tangan Mas Hasyim."Menangislah, Ra0! Tapi tolong jangan terlalu sedih. Itu babynya nendang-nendang. Kalau dia udah bisa ngomong, pasti dia ngelarang Mamanya sedih. Dia nggak nyaman, Ra, kalau seseorang yang mengandungnya sedih."Ucapannya begitu lembut seraya meletakkan kepalaku di atas bahunya, perlahan tutur katanya menyadarkanku kalau aku sedang berbadan dua.Aku bangun dari sandarannya, mengusap mata dan pipi yang terlanjur basah.Mungkin Mas Hasyim melihat gerak di perutku yang tidak diju