Kembaran Suamiku #11
"Ra?" Suara Mas Hasyim mengejutkanku
"Iya, Mas?"
Aku kaget saat Mas Hasyim memanggilku, sehingga aku langsung membuka mata dan menolehnya.
"Kita sudah sampai, ayo turun!" ajaknya yang sudah memarkirkan mobil di tempat parkir sebuah mall.
"Udah, jangan banyak melamun, Ra. Ikhlaskan apa yang sudah menjadi ketentuan Allah. Kita tidak bisa mengembalikan apapun,” imbuh Mas Hasyim saat melihatku melamun.
Aku menghela napas pelan dan menunduk sejenak.
Mas Hasyim keluar dari mobil lebih dahulu dan membukakan pintu untukku.
Kami pun turun.
Saat di pintu masuk kami berhenti. Ada suara wanita memanggil Mas Hasyim dan membuat Mas Hasyim pun berbalik badan.
"Alisa?" ucap Mas Hasyim pelan.
Aku menoleh ke arah Alisa.
Wanita itu berjalan cepat ke arah kami, membuat Mas Hasyim memperhatikannya.
"Wah kebetulan, Mas, kita ketemu di sini,” sapa Alisa dengan
Kembaran Suamiku #12"Tumben, Mas pengen banget ketemu Mama sama Papa ? Biasanya nyari terus nanyain kabar doang?" selidikku sambil tersenyum."Ada hal yang mau aku sampaikan, Ra,” jawabnya sambil melihat bunga yang sedang kusiram.Sepagi ini Mas Hasyim datang, ternyata untuk mencari Mama dan Papa.Pagi ini aku mengenakan gamis bermotif bunga mawar berwarna pink bercorak fanta, dengan balutan jilbab paris fanta.Biasanya di rumah seperti ini jilbab paris yang kukenakan. Berbeda saat bepergian. Karena saat aktifitas rumah, tentu lebih mudah dan nyaman saat memakainya.Kusunggingkan senyum, seperti ada hal serius yang akan disampaikan Mas Hasyim nanti. Namun, bagaimana jika ia melamarku untuk menjadi istrinya? Atau ia bersedia menjadi pengganti Mas Hisyam yang telah tiada?Apakah secepat ini, aku menerima pinangan lelaki lain setelah suamiku tiada? Namun, bi
Kembaran Suamiku #13Bibirku seolah terkunci saat pertanyaan itu muncul darinya.Aku meluapkan tangis sejadinya, menutup wajah dengan kedua tanganku. Tidak mungkin aku memeluk pria yang ada di hadapanku yang statusnya akan menjadi suami orang sebentar lagi.Tubuhku bergetar, hingga bayi yang aku kandung menendang-nendang aktif sekali.Sebuah kehangatan muncul, usapan lembut di bahuku tercipta dari uraian tangan Mas Hasyim."Menangislah, Ra0! Tapi tolong jangan terlalu sedih. Itu babynya nendang-nendang. Kalau dia udah bisa ngomong, pasti dia ngelarang Mamanya sedih. Dia nggak nyaman, Ra, kalau seseorang yang mengandungnya sedih."Ucapannya begitu lembut seraya meletakkan kepalaku di atas bahunya, perlahan tutur katanya menyadarkanku kalau aku sedang berbadan dua.Aku bangun dari sandarannya, mengusap mata dan pipi yang terlanjur basah.Mungkin Mas Hasyim melihat gerak di perutku yang tidak diju
Kembaran Suamiku #14Tring!Tring!Tring!Dering nada chat aplikasi hijau berbunyi saat aku usai melipat mukena.Kuambil benda pipih itu, tiga pesan masuk dengan kontak bernama ... Mas Hasyim?Dada ini bergemuruh, jantung berdegup kencang, mengapa aku jadi gemetaran?"Assalamu'alaikum, Ara. Bagaimana kabarmu dan kehamilanmu ?""Kemarin aku tidak melihatmu saat bersama Mama kamu, apa kamu tidak ingin bertemu denganku?""Ara, mengapa kamu menjauh?"Balas, tidak?Balas, tidak?Balas, tidak?Balas, deh.Bismillah."Wa'alaikumussalam, alhamdulillah baik."Send. Centang dua berwarna abu berubah biru.Tring!"Ara, tumben kamu seperti ini? Maafkan aku, Ra."Aku pun mengetik."Tidak ada yang perlu dimaafkan, Mas. Mas nggak ada salah."Send.Mas Hasyim mengetik.Tring!"Ra, kumohon jangan seperti ini, aku tersi
Kembaran Suamiku #15Pov.HasyimBelum selesai Mama Ara berbicara, seorang suster keluar dari ruang bersalin."Keluarga Ibu Zahara!" serunya memanggil.Kamipun menoleh, dan cepat menghampiri suster itu."Saya, Sus !" jawab Bu Nur."Selamat ya, Bu, cucunya laki-laki. Bapaknya mana, ya? Bayinya siap untuk diazakan," ucap suster berbaju putih itu.Aku menelan saliva. Ada getaran hati untuk maju menggantikan posisi alm. Hisyam. Tanpa pikir panjang, aku maju dan berkata pada suster itu, "Biar saya yang mengadzankan, Sus.""Anda, suaminya? Selamat ya, Pak, pantas saja ... bayinya sangat mirip sekali dengan Bapak!Berarti bayinya Ara mirip dengan alm.Hisyam, karena alm.Hisyam kembar denganku, maka suster mengira bayi itu mirip denganku.Wajah Alisa berkerut, nampaknya ia tak suka dengan apa yang dilontarkan suster itu. Ah sabar, aku mencoba untuk tidak menghiraukannya.Tanpa ada yang menjawab, suster menyuruhku ke ruan
Kembaran Suamiku #16Setelah satu hari di rumah sakit mengingat kondisiku sudah membaik, maka sudah diperbolehkan pulang.Namun masih harus hati-hati dalam bergerak. Kata Mama, tulang wanita yang baru saja melahirkan akan kembali muda, dalam arti rentan dan harus hati-hati dalam bergerak.Mama yang menggendong bayiku, Papa yang menyetir dan aku duduk di belakang bersama Mama.Setelah sampai rumah, aku duduk di tepian ranjang. Bayiku diletakkan di box bayi oleh Mama.Aku terkejut, para tetangga turut menjenguk. Begitu peduli dan mereka sangat ramah."Maasyaallah ganteng banget babynya mirip papanya ya, Mbak Ara!" ucap Bu Ratih"Dah seneng nih Mbak Ara punya hiburan," sahut Tante Yepi."Mirip juga sama Om nya yang sering kesini itu ya, Mbak." ujar Bu Nuri RT komplek ini."Ya iyalah, Bu Rt! Itukan kembaran suaminya Mbak Ara," celetuk Bu Maryam."Selamat ya, Mbak Ara cantik, babynya ganteng banget, moga jadi anak
Kembaran Suamiku #17PoV HasyimSetelah membagi penghasilanku untuk Alisa dan Ara serta Ibu dan gaji untuk Bu Marni, kupikir-pikir hal itu sudah biasa dan tak membuatku keberatan. Namun, alangkah indahnya jika Ara menjadi milikku.Berdosakah aku pada Alisa jika kulakukan hal itu? Rasaku pada Ara tak berkurang sedikit pun, dari masih belia sampai ia sudah menjadi seorang ibu muda, tak memudar setitik pun pesona dan ke-elokannya di mataku.Jam sudah menunjukkan pada angka 11 malam, seorang wanita sedari tadi bersolek di depan cermin. Ia mendekat dengan dress yang mini. Mendekatiku dengan senyum memancar.Ara? Aku bertanya dalam hati, wajah itu benar-benar Ara, ia sangat cantik memesona, kulit putih bersihnya tampak membuatnya semakin memancarkan aura cantiknya.Sungguh, penampilannya membuatku bergeming, menelan saliva berkali-kali, rasa hangat menjalari seluruh tubuh.Aku menangkapnya dalam dekap dan cumbu yang hebat. “Nggak bias
Kembaran Suamiku #18"A-aku mampir ke tempat Ara sebentar, Dek. Ingin melihat anak Hisyam, ya, sudah nanti lagi, assalamualaikum," kataku tak bisa berbohong.Alisa tak menjawab, tetapi langsung menutup telepon, fix ... dia marah. Kumasukkan ponsel dalam saku."Mas Hasyim? Mbak Alisa mana?" tanya Ara dengan mata berbinar menelisik ruangan mencari keberadaan Alisa."Sendiri, Ra. Tadi Alisa pulang duluan, aku lembur, jadi agak malam pulangnya. Apa kabar?"Ara beranjak duduk dan memangku bayinya yang disokong lengan."Oh gitu, alhamdulillah baik, Mas. Mas Hasyim sama Mbak Alisa dan Ibu gimana? Juga Bu Marni?" tanyanya."Alhamdulillah baik, belum ke rumah Ibu, biasanya kalau libur, Ra.""Mas, Mbak Alisa nggak marah, Mas ke sini?" tanyanya seraya menaikkan alis tebal alaminya."Dia sudah biasa seperti itu, Ra. Maaf, ya ... kamu tak perlu merasa sungkan. Bayinya Hisyam sudah seperti bayiku," kataku mencoba membut Ara nyaman
Kembaran Suamiku #19 "Kalau apa, Mas?" Alisa menampik cepat. "Jika saja harapanku sedari dulu terkabulkan," jawab Mas Hasyim lemah. "Harapan apa, Mas?" tanyaku mengerutkan kening. "Katakan, Mas. Apa itu? Mas ... sungguh, aku tak ingin kehilangan kamu, Mas. Katakan apa maumu, Mas?" Alisa terus antusias menatap suaminya yang tampak lemah. "Namun, semua tentu mustahil. Hal itu akan menyakiti perasaanmu," lirih Mas Hasyim menggerakkan bibirnya dengan menatap kosong. "Apapun itu," timpal Alisa. Mas Hasyim mencoba menoleh kepadaku. Alisa pun mengikuti arah bola mata sang suaminya itu. "Maafkan aku Alisa, aku ... aku sangat mencintai Ara." Mas Hasyim begitu lirih dan menundung memberi kejelasan tersebut. Bagai disambar petir aku mendengarnya, Mas Hasyim memang sedang memperjuangkan kesehatannya, tetapi tak seharusnya berkata demikian di hadapan sang istri. Aku juga wanita, tentu paham bagaimana sakitnya hati Alisa.