Kembaran Suamiku #18
"A-aku mampir ke tempat Ara sebentar, Dek. Ingin melihat anak Hisyam, ya, sudah nanti lagi, assalamualaikum," kataku tak bisa berbohong.
Alisa tak menjawab, tetapi langsung menutup telepon, fix ... dia marah. Kumasukkan ponsel dalam saku.
"Mas Hasyim? Mbak Alisa mana?" tanya Ara dengan mata berbinar menelisik ruangan mencari keberadaan Alisa.
"Sendiri, Ra. Tadi Alisa pulang duluan, aku lembur, jadi agak malam pulangnya. Apa kabar?"
Ara beranjak duduk dan memangku bayinya yang disokong lengan.
"Oh gitu, alhamdulillah baik, Mas. Mas Hasyim sama Mbak Alisa dan Ibu gimana? Juga Bu Marni?" tanyanya."Alhamdulillah baik, belum ke rumah Ibu, biasanya kalau libur, Ra."
"Mas, Mbak Alisa nggak marah, Mas ke sini?" tanyanya seraya menaikkan alis tebal alaminya.
"Dia sudah biasa seperti itu, Ra. Maaf, ya ... kamu tak perlu merasa sungkan. Bayinya Hisyam sudah seperti bayiku," kataku mencoba membut Ara nyaman
Kembaran Suamiku #19 "Kalau apa, Mas?" Alisa menampik cepat. "Jika saja harapanku sedari dulu terkabulkan," jawab Mas Hasyim lemah. "Harapan apa, Mas?" tanyaku mengerutkan kening. "Katakan, Mas. Apa itu? Mas ... sungguh, aku tak ingin kehilangan kamu, Mas. Katakan apa maumu, Mas?" Alisa terus antusias menatap suaminya yang tampak lemah. "Namun, semua tentu mustahil. Hal itu akan menyakiti perasaanmu," lirih Mas Hasyim menggerakkan bibirnya dengan menatap kosong. "Apapun itu," timpal Alisa. Mas Hasyim mencoba menoleh kepadaku. Alisa pun mengikuti arah bola mata sang suaminya itu. "Maafkan aku Alisa, aku ... aku sangat mencintai Ara." Mas Hasyim begitu lirih dan menundung memberi kejelasan tersebut. Bagai disambar petir aku mendengarnya, Mas Hasyim memang sedang memperjuangkan kesehatannya, tetapi tak seharusnya berkata demikian di hadapan sang istri. Aku juga wanita, tentu paham bagaimana sakitnya hati Alisa.
Kembaran Suamiku #20Pov Ara."Non, ada tamu." Mbok Lasmi berdiri di ambang pintu kamarku seraya menunjuk ke arah depan."Siapa, Mbok?" Aku merapikan pakaian yang kukenakan dan menggendong Zafran."Istrinya Den Hasyim," ucap Mbok Lasmi.Alisa? Untuk apa dia ke sini?"Iya, Mbok. Saya ke sana. Makasih ya," ucapku. Mbok Lasmi tersenyum dan menuju dapur.Setelah sampai ruang tamu, kulihat wajah sendu Alisa menyambutku dengan senyum beratnya."Mbak Alisa? Mas Hasyim sendiri di rumah sakit?" sapaku seraya duduk di sofa."Iya, Ra. Ada hal penting yang ingin kubicarakan padamu.""Apa itu, Mbak?" Aku menaikkan kedua alis seraya menatapnya lebih serius."Ra, bolehkah aku memohon sesuatu?" tanya Alisa dengan bibir yang bergetar."Jika aku bisa akan kulakukan, jika tidak ... sebelumnya aku minta maaf, Mbak." Mendengar ucapku, Alisa menghela napas."Menikahlah dengan Mas Hasyim, jadil
Kembaran Suamiku #21Lima hari berlalu begitu cepat. Alisa mengajakku untuk bertemu di sebuah cafe. Pertemuan ini membahas tentang tawarannya. Aku menyetujui hal itu. Meskipun belum tahu bagaimana nanti rumah tangga kami akan seperti apa.Alisa juga mengabarkan bahwa Mas Hasyim mulai ada perubahan pada kesehatannya.Syukur selalu terpanjatkan, aku merasa bahagia dengan kabar baik itu. Karena sakitnya adalah sakitku juga.Ia mengabarkan bahwa Mas Hasyim besok akan datang menemui Papa.Hatiku bak kuncup bunga yang bermekaran. Secerah mentari pagi dan sebiru langit penuh harapan.Apakah ini mimpi?Kupilih gamis merah bermotif polka, serta jilbab yang senada. Poles tipis make up di muka.Zafran si bayi tampak riang karena suasana hati Mamanya juga senang."Non, tamunya datang."Mbok Lasmi sudah berdiri di ambang pintu kamarku."Wuiiih Non Ara, tambah cakep aja nih.""Ah, Mbok bisa aja. Ya, Mbok. Ara ke depan
Kembaran Suamiku #22Tidak semua kisah cinta berakhir bahagia, Tidak semua kisah cinta dapat bertemu, Namun tidak semua kisah cinta bisa bersama, namun cinta itu harus merasakan sakit. Cinta harus berkorban. Cinta harus mengikhlaskan.
Kembaran Suamiku #23 "Salimnya besok habis akad !" Ucapku sambil nyengir. "Ok, kita tunggu aja besok." Jawabnya sambil menegakkan kepala melirik kearahku. Membuatku tergelak tawa. mas Hasyim mengucap salam dan aku menjawabnya. Aku memegang tangan Zafran untuk melambaikannya. Hingga mobil Mas Hayim tak terlihat, aku masuk. Mbok Lasmi datang dari pasar menyewa angkutan umum. Banyak sekali belanjaannya. *** Gaun putih menjadi pilihan. M
Kembaran Suamiku #24Di atas dada bidangnya tubuhku diletakkan, setelah rasa cinta yang saling beradu. Tak henti-hentinya kecup cium mendarat di pipi dan keningku."Akhirnya aku bisa memilikimu, Zahara."Senyuman dari bibir tipis itu begitu damai, deretan gigi yang rapi terlihat malu.Pelukannya semakin erat. Seperti rasa syukur yang begitu dahsyat.Akupun tersenyum menanggapinya lalu duduk sejenak, dan kembali memeluknya."Mas ..""Ya, Sayang ? Mau minta lagi ?""Hehehe, bukan. Ara mandi dulu ya. Udah mau subuh, jaga-jaga kalau Zafran nyari."Kutarik pelan hidung lancipnya."Habis subuh lagi, ya ?"Liriknya seraya mengedipkan satu mata. Aku mengangguk, perintah suami wajib ditaati. Ya 'kan ?Selesai membersihkan diri, menunaikan sholah tahajud sambil menunggu adzan berkumandang. Mas Hasyim masuk ke kamar mandi dengan balutan piyamanya.***Selepas shubuh kuambil Zafran dan me
Kembaran Suamiku #25#cerbung#Kembaran_suamikuPagi ini kubuat menu bekal untuk Mas Hasyim dan Mbak Alisa untuk makan siang.Aku akan ke kantornya lima menit sebelum jam istirahat supaya tidak terlambat.Nasi kebuli, daging, acar, irisan tomat buah, daun selada sambal dan kerupuk kuhias secantik mungkin di box bento dan tak lupa buah serta jus mangga. Dari rumah ke kantor, memakan waktu 20 menit untuk sampai sana.Setelah menyiapkan bekal selesai, aku mandi, merias wajah tipis-tipis dan mengoles liptint di bibir. Kukenakan gamis navy dengan jilbab senada.Zafran yang terlelap aku titipkan pada Mbok Lasmi.Taksi online yang kupesan datang, aku berangkat. Setelah sampai di kantor Mas Hasyim, aku masuk dan melapor serta menunggu di ruang tunggu sengaja tidak meminta masuk ke ruang Mas Hasyim. Takut mengganggu pekerjaannya."Mbak jangan kasih tau Pak Hasyim kalau ada saya." ucapku pada seorang karyawan yang berjaga.
Kembaran Suamiku26#cerbung#Kembaran_suamiku"Boleh minta alamat rumahnya?"Tanyanya tanpa bercanda."Alamat? Untuk apa ya?""Untuk menemui orangtuamu."Senyumnya merekah dengan mata yang saling bertatap. Duh pemandangan yang syahdu. Kutulis alamat rumah Mama, barangkali ia ada perlu.Hari berikutnya di jam yang sama, pria itu datang lagi seperti biasa. Duduk sendiri dengan posisi jas yang juga seperti biasa. Sepertinya ia sudah menjadi pelanggan tetap di resto Mama.*"Mbak Ara, gimana kabar? Lama banget nggak main ke resto?"Suara Weni memecahkan lamunanku.Kuusap wajah menyadarkan diri pada posisi takdirku saat ini."Eh Adek ganteng. Umur berapa ini, Mbak?""Oh, iya. Udah masuk empat bulan, Wen.""Mbak Ara melamun ya?""Lagi liat kolam ikan itu aja, Wen."Elakku yang sudah ketahuan."Oh, ya sudah, Mbak. Weni duluan masuk ya."Pamit We