Kembaran Suamiku #7
Ia langsung berdiri mendekati Ibu dan mendorong kursi roda Ibu ke kamar.
"Ayuk, Bu. Kita pergi dari sini. Jomlo nggak cocok liat adegan mereka,” goda Mas Hasyim sambil tertawa kecil dan berlalu.
“Mas ni ada-ada aja, kan, di kamar juga bisa,” kataku pada Mas Hisyam.
“Biarin,” pungkasnya dengan senyum lebar.
***
Kucuci semua piring dan alat makan yang ada, Mas Hasyim mengelap meja makan, dan Mas Hisyam suamiku menata alat makan yang sudah kucuci. Ibu istirahat di kamar. Meskipun mereka lelaki, sepertinya tetap rajin membantu pekerjaan dapur.
"Mas, Aku udah dapet info ART yang bakal nemenin Ibu." Suamiku berkata pada kakaknya.
"Mulai kapan dia kesini?" tanya Mas Hasyim.
"Aku suruh besok. Biar Ara nggak kecapekan. Sekalian besok aku masuk dan ambil cuti,” terang Mas Hisyam.
"Baguslah,” jawab Mas Hasyim datar.
Sedangkan suamiku hanya mengangguk, terlihat dari ekor mataku.
"Sayang, kamu duluan ke kamar, ya! Kasian kamu capek,” titah Mas Hisyam mendekatiku.
"Iya, Mas. Aku duluan, ya.”
Dua pasang mata itu menangkapku. Ada rasa salah tingkah dalam diriku. Aku bak berada di panggung yang menjadi pusat perhatian mereka.
Dug.
"Aw!" pekikku, kenapa dinding ini nggak bilang-bilang kalau berdiri disini? Haish, ada-ada saja.
Keningku mencium dinding dengan kasar, alias terbentur.
"Ara?" ucap Mas Hasyim.
"Sayang?" ucap Mas Hisyam.
Mereka bersamaan dalam memanggil.
"A-aku nggak papa." Aku menjawab singkat, dan berangsur pergi dari pandangan mereka.
***
Lama sekali rasanya aku tidak menelpon Mama, sehari rasanya setahun, kalau lima hari jadinya lima tahun. Mulai lebay.
Mungkin karena jadi anak semata wayang, aku tidak pernah haus dengan kasih sayang orang tuaku.
Kuusap gawai mencari kontak bernama Mama Sayang.
Berdering, beberapa detik lamanya, lalu Mama menjawab panggilanku.
"Assalamu'alaikum, Maaaa." Kusapa Mama yang menghadap kamera.
"W*'alaikumsalam Sayang. Gimana kabar kamu? Mama kangen!" Tersirat wajah kerinduan Mama yang masih tampak cantik di usianya.
"Ara baik, Ma. Mama sama Papa sehat kan ?"
"Iya, Sayang, Alhamdulillah. Kok kamu kurusan?"
"Ah, masa sih, Ma. Hehe nggak papa, Ma. Yang penting sehat."
"Jangan capek-capek. Kalau lelah istirahat, ya!" Mama berpesan penuh kekhawatiran.
"Iya, Ma. Maaf ya, Ma, Ara belum bisa ke situ. Mas Hisyam mau ngajak jalan-jalan semingu mendatang."
"Iya, nggak papa. Jalan-jalan atau jalan-jalan?" goda Mama.
"He he, bulan madu, Ma,” jawabku tersipu malu.
"Hati-hati, Sayang. Mama doakan berhasil. Biar Mama cepet menimang cucu yang lucu."
"Aamiin. Hehe."
Kami mengobrol dalam telpon cukup lama, dan berakhir dengan rasa yang sangat bahagia.
Melepas rindu ternyata mudah. Malam ini aku sangat bahagia. Atas karunia Allah, mengirimkanku orang-orang yang baik.
***
"Loh, Mas Hasyim nggak berangkat ke kantor?"
Aku terkejut saat melihat Mas Hasyim rebahan di depan televisi saat jam menunjukkan pukul delapan pagi. Mas Hisyam sudah berangkat setengah jam yang lalu.
"Lagi kurang fit, Ra. Saya izin daripada nggak fokus di kantor,” ucapnya dengan wajah merintih.
"Meriang kali, Mas,” sahutku.
"Mungkin, merindukan kasih sayang,” jawabnya sambil terkekeh.
"Ya udah, biar diobati Mbak Alisa aja, Mas," kataku pada Mas Hasyim
"Obat dari kamu aja, Ra,” pungkasnya, mungkin pikirnya aku punya stok obat kayak di apotek kali, ya?
Eh, iya. Aku punya tolak angin. Barangkali cocok, kan, ya?
"Oh, iya Mas. Aku ambilkan tolak angin, ya?" tawarku padanya.
Ia hanya tersenyum dan mengangguk.
"Makasih." Mas Hasyim mengulas senyum ringan.
Aku mengambil obat masuk angin itu ke kamar dan kembali lagi ke ruang televisi.
"Ini, Mas." Kusodorkan padanya.
Mas Hasyim pun bangun akan duduk meraih obat. Namun belum sampai terduduk, tubuhnya lemas hampir jatuh dengan tangan yang masih berjuang meraih obat yang kupegang. Bukan menyentuh obat, tapi tanganku yang tertarik oleh tangkapan tangan Mas Hasyim.
Tanpa sengaja, kejadian itu terjadi. Astaghfirullah. Jantungku berpacu cepat.
Aku terjatuh di atas tubuhnya. Ini bukan mauku.
Netra kami bertemu, jarak yang hanya kurang dari sejengkal wajah kami bertatap. Mas Hasyim justru menatap mataku dengan lekat.
Kutangkap rasa yang tidak biasa yang tersirat dari bola mata bulatnya. Denyut jantungnya memburu terdengar jelas.
Bruk!
Suara yang membuyarkan membuatku buru-buru bangkit dari dari tubuhnya yang kekar.
"Astaghfirullahal'adziim, astaghfirullah ...." Aku mengusap wajah.
"Suara apa itu?" Mas Hasyim tampak salah tingkah. Begitu pula aku yang cepat menjauhinya.
Aku hendak melangkah pergi.
Namun seperti ada suara jeritan.
"A ... Aa ... Huhuhu, tol-loong.” Suara itu berasal dari kamar Ibu.
Aku buru-buru pindah haluan ke kamar Ibu, Ya Allah kenapa Ibu?
"Ibu!" ucap Mas Hasyim setengah berlari seperti tidak merasakan sakit di badannya, mungkin menahan demi Ibunya.
"Ibu?" Aku langsung berjalan ke kamar Ibu juga.
Kami berlari ke kamar Ibu.
"Astaghfirullah, Ibu?" ucap Mas Hasyim segera merengkuh tubuh Ibu yang tersungkur di lantai.
"Ibu?" Aku segera mendekati beliau. Kumembantu Mas Hasyim mengangkat tubuh Ibu ke ranjang.
"Ibu kenapa bisa jatuh?" tanya putranya penuh khawatir.
"Hu-huhu, Mmau berrr-di-ri" jawab Ibu belum jelas tetapi bisa dipahami.
"Ya Allah, Ibu. Ibu jangan berdiri sendiri dulu. Biar pulih dan kuat dulu, Bu," ucapku sambil mengusap kaki beliau.
Mas Hasyim menggenggam tangan ibunya. Terlihat khawatir dan takut terjadi apa-apa.
Semenjak kejadian aku jatuh di atas dadanya yang bidang tadi, aku seperti canggung terhadapnya. Aku malu, mukaku serasa tebal. Pikiranku ternoda.
Aku takut, kalau Mas Hisyam marah jika mengetahui kejadian tadi.
"Minum obat dulu ya, Bu."
Aku mengupaskan obat dan menyuap air putih untuk Ibu, Mas Hisyam menyangga tubuh Ibu.
Tidak berapa lama Ibu terlihat mengantuk dan tidur.
Aku membenahi selimut Ibu dan berdiri hendak keluar.
"Ara ...."
Mas Hasyim memanggilku.
"Iya, Mas?"
Aku berhenti tanpa menoleh padanya, aku takut netra kami bertemu kembali.
"Maafkan, Aku. Tidak bermaksud ...,” ucapnya belum selesai tetapi kupotong agar tidak begitu panjang. Maksudnya agar tidak bingung memberi alasan, karena aku juga tahu, pasti Mas Hasyim tidak sengaja menarikku, dia benar-benar sakit dan lemas.
Husnudzon lebih baik.
"Iya, Mas. Tidak apa-apa. Tolong jangan ingat-ingat lagi, anggap saja hal itu tidak pernah terjadi. Permisi."
Aku melangkah keluar dari kamar Ibu dan berjalan cepat ke kamarku dan mengunci pintu.
***
Aku ketiduran selama satu jam, beranjak ke kamar mandi dan mencuci muka. Rasa kalut di hatiku sudah berkurang, tapi seperti masih trauma dengan kejadian pagi tadi.
"Ara, Ra ...!"
Suara pria yang memanggilku dan ketukan pintu yang mengiringinya. Aku masih canggung untuk keluar dari kamar.
"Si-siapa ?"
"Saya, Ra. Hasyim!"
Mau apa Mas Hasyim mengetuk pintu kamarku ? Aku takut hal yang tidak diinginkan terjadi, karena sesaleh apa pun manusia, masih bisa tergoda dengan hasutan setan.
Ah kenapa aku jadi bersuudzon seperti ini. Aku merutuki diriku sendiri.
"Ada apa, Mas?" sahutku.
"Ada Bu Marni yang mau bantu disini dan merawat Ibu, Ra!" jawabnya.
Aku bergegas keluar dengan gamis lavender dan berbalut jilbab pasmina hitam menutup kepala hingga dada.
"Oh, maaf. Saya ketiduran,” ucapku setelah sampai di ruang tamu.
"Ara, tolong kamu tunjukkan apa saja dan ruang apa saja di rumah ini sama Bu Marni, ya? Saya mau istirahat karena sore ada acara."
"Ya, Mas. Udah sembuh?"
Oops, mengapa aku begitu peduli padanya?
"Alhamdulillah sudah mendingan. Ya sudah, saya permisi. Silahkan, Bu Marni.” Ia pamit menelangkupkan tangan di dada, menunduk dan tersenyum.
Melihat gelagat Mas Hasyim seperti itu, berarti kejadian tadi tidak sengaja. Buktinya, bersalaman dengan yang bukan mahrom saja, dia tidak mau.
Ish, kenapa aku terngiang-ngiang terus.
Bu Marni mengangguk dan tersenyum menanggapi Mas Hasyim.
"Iya, Pak. Terimakasih."
Lalu kutunjukkan pekerjaan yang harus dikerjakan Bu Marni, dan apa yang tidak perlu ia kerjakan. Menunjukkan ruangan-ruangan rumah ini padanya.
***
"Sayaaang ...."
Sepertinya itu suara Mas Hisyam yang pulang dari kantor dengan suara yang sangat ceria.
Krek!
Mas Hisyam langsung membuka pintu kamar kami.
"Tumben kok nggak nyambut Mas dari kerja, Dek?" tanyanya sambil menutup pintu kamar kami.
"He he ... maaf, Mas," jawabku sembari mengeringkan rambut usai keramas di depan meja rias.
"Alhamdulillah, udah ambil cuti seminggu, Dek. Nanti siapin perlengkapan yang mau dibawa, ya," kata Mas Hisyam yang mengambil handuk hendak mandi.
"Kok murung gitu?" tanyanya dengan menjajarkan wajahnya di hadapanku.
"Nggak papa, Mas. Mandi dulu biar bersih!" suruhku dengan senyum dan menarik hidungnya yang lancip.
Ia tersenyum.
"Iya iya, Bidadariku yang cantik, yang udah bersih dan wangi!" goda suamiku sambil mengacak rambutku yang sudah mengering. Beginilah rasanya, rambut yang diacak, tetapi hati yang berantakan.
***
Malam ini aku sulit tidur, pikiranku bimbang antara berani dan takut untuk meminta Mas Hisyam dan aku tinggal sendiri. Aku tidak ingin membebani suamiku perihal ini. Kalau Mas Hisyam belum bisa menunaikan, aku takut dia marah atau sedih.
Tangannya melingkar di perutku, mengecup kening dengan lembut. Rasa itu meregangkan ketegangan batinku.
"Kenapa, Dek, kok diem aja ?
Aku membalas memeluknya.
"Nggak papa, Mas. Mas sendiri kenapa belum tidur?"
"Hemmm .... Seneng aja, besok mau pacaran."
“Mas, sebenarnya, aku kurang nyaman seatap dengan ... Mas Hasyim.” Mendengar ucapanku, Mas Hisyam berubah bias wajah bahagianya dengan tatapan terperanjat.
Bersambung...
Kembaran Suamiku #8“Kurang nyaman bagaimana, Sayang?” tanya Mas Hisyam menyelipkan helaian rambutku di balik telinga.“Ah, enggak ... gapapa, Mas.” Aku berkilah, tak ingin membuatnya susah.Usai subuh, suamiku pulang dari masjid. Ia bertilawah Alqur'an di ruang keluarga, sedangkan Mas Hasyim, biasa bertilawah di kamar Ibu.Aku dan Bu Marni membuat sarapan dan minuman hangat.Lebih bersemangat lagi aku di dapur karena dibantu Bu Marni.Setelah susu, kopi, dan teh tersaji sesuai dengan kesukaan masing-masing, aku memanggil Mas Hisyam, namun tidak ada di ruang keluarga.Aku ke kamar Ibu, ternyata mereka berkumpul disana.Ada Mas Hasyim yang membuatku canggung, haruskah seperti ini setiap kali bertemu dengannya?Aku memanggil, mereka menoleh. Kusampaikan kalau minuman serta sarapan sudah siap di meja makan.Ibu seperti berharap aku mendekati beliau, kuturuti dan masuk dalam kamar Ibu.
Kembaran Suami #9"Jangan ikut masuk dulu, Mas! Pakaian Ara belum lengkap," ucapku sambil menahan langkah kakakku itu. Tak sepantasnya ia terlalu khawatir pada istriku.“Oh, ya,” membalik arah ke kamar Ibu."Pak Hisyam, ada minyak kayu putih?" tanya Bu Marni."Ada, Bu. Di kotak p3k itu." Aku menunjuk lemari p3k di kamar.
Kembaran Suamiku #10"Ara, suami kamu sudah tiada, lebih baik kamu secepatnya pulang bersama Papa dan Mama." Papa berkata padaku, membujuk halus di hadapan Ibu juga Mas Hasyim."Bi-ar-kan Arr-ra di sinni." Ibu berusaha berkata meski terbata, manik matanya memancarkan duka.Kami semua menatap Ibu. Sungguh aku tidak tega melihat Ibu, tentu Ibu lebih terpukul daripada aku karena Ibu yang melahirkan Mas Hisyam. Sedangkan aku saja yang baru hampir lebih dari satu bulan bersama Mas Hisyam amatlah sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ya, tak pernah terbesit sedikit pun di benakku.Tangan Mas Hasyim memegang tangan Papa."Pak Nur, saya mohon, biarkan Ara di sini dulu. Supaya Ara bisa menenangkan diri di tempat yang sudah menjadi kenangan Ara dan Hisyam. Nafkah Ara dan calon bayinya, saya akan berusaha bertanggung jawab, karena itu juga termasuk pesan dari Hisyam." Mas Hasyim memohon pada Papa.Papa menoleh ke Mama. Mama pun samar ter
Kembaran Suamiku #11"Ra?" Suara Mas Hasyim mengejutkanku"Iya, Mas?"Aku kaget saat Mas Hasyim memanggilku, sehingga aku langsung membuka mata dan menolehnya."Kita sudah sampai, ayo turun!" ajaknya yang sudah memarkirkan mobil di tempat parkir sebuah mall."Udah, jangan banyak melamun, Ra. Ikhlaskan apa yang sudah menjadi ketentuan Allah. Kita tidak bisa mengembalikan apapun,” imbuh Mas Hasyim saat melihatku melamun.Aku menghela napas pelan dan menunduk sejenak.Mas Hasyim keluar dari mobil lebih dahulu dan membukakan pintu untukku.Kami pun turun.Saat di pintu masuk kami berhenti. Ada suara wanita memanggil Mas Hasyim dan membuat Mas Hasyim pun berbalik badan."Alisa?" ucap Mas Hasyim pelan.Aku menoleh ke arah Alisa.Wanita itu berjalan cepat ke arah kami, membuat Mas Hasyim memperhatikannya."Wah kebetulan, Mas, kita ketemu di sini,” sapa Alisa dengan
Kembaran Suamiku #12"Tumben, Mas pengen banget ketemu Mama sama Papa ? Biasanya nyari terus nanyain kabar doang?" selidikku sambil tersenyum."Ada hal yang mau aku sampaikan, Ra,” jawabnya sambil melihat bunga yang sedang kusiram.Sepagi ini Mas Hasyim datang, ternyata untuk mencari Mama dan Papa.Pagi ini aku mengenakan gamis bermotif bunga mawar berwarna pink bercorak fanta, dengan balutan jilbab paris fanta.Biasanya di rumah seperti ini jilbab paris yang kukenakan. Berbeda saat bepergian. Karena saat aktifitas rumah, tentu lebih mudah dan nyaman saat memakainya.Kusunggingkan senyum, seperti ada hal serius yang akan disampaikan Mas Hasyim nanti. Namun, bagaimana jika ia melamarku untuk menjadi istrinya? Atau ia bersedia menjadi pengganti Mas Hisyam yang telah tiada?Apakah secepat ini, aku menerima pinangan lelaki lain setelah suamiku tiada? Namun, bi
Kembaran Suamiku #13Bibirku seolah terkunci saat pertanyaan itu muncul darinya.Aku meluapkan tangis sejadinya, menutup wajah dengan kedua tanganku. Tidak mungkin aku memeluk pria yang ada di hadapanku yang statusnya akan menjadi suami orang sebentar lagi.Tubuhku bergetar, hingga bayi yang aku kandung menendang-nendang aktif sekali.Sebuah kehangatan muncul, usapan lembut di bahuku tercipta dari uraian tangan Mas Hasyim."Menangislah, Ra0! Tapi tolong jangan terlalu sedih. Itu babynya nendang-nendang. Kalau dia udah bisa ngomong, pasti dia ngelarang Mamanya sedih. Dia nggak nyaman, Ra, kalau seseorang yang mengandungnya sedih."Ucapannya begitu lembut seraya meletakkan kepalaku di atas bahunya, perlahan tutur katanya menyadarkanku kalau aku sedang berbadan dua.Aku bangun dari sandarannya, mengusap mata dan pipi yang terlanjur basah.Mungkin Mas Hasyim melihat gerak di perutku yang tidak diju
Kembaran Suamiku #14Tring!Tring!Tring!Dering nada chat aplikasi hijau berbunyi saat aku usai melipat mukena.Kuambil benda pipih itu, tiga pesan masuk dengan kontak bernama ... Mas Hasyim?Dada ini bergemuruh, jantung berdegup kencang, mengapa aku jadi gemetaran?"Assalamu'alaikum, Ara. Bagaimana kabarmu dan kehamilanmu ?""Kemarin aku tidak melihatmu saat bersama Mama kamu, apa kamu tidak ingin bertemu denganku?""Ara, mengapa kamu menjauh?"Balas, tidak?Balas, tidak?Balas, tidak?Balas, deh.Bismillah."Wa'alaikumussalam, alhamdulillah baik."Send. Centang dua berwarna abu berubah biru.Tring!"Ara, tumben kamu seperti ini? Maafkan aku, Ra."Aku pun mengetik."Tidak ada yang perlu dimaafkan, Mas. Mas nggak ada salah."Send.Mas Hasyim mengetik.Tring!"Ra, kumohon jangan seperti ini, aku tersi
Kembaran Suamiku #15Pov.HasyimBelum selesai Mama Ara berbicara, seorang suster keluar dari ruang bersalin."Keluarga Ibu Zahara!" serunya memanggil.Kamipun menoleh, dan cepat menghampiri suster itu."Saya, Sus !" jawab Bu Nur."Selamat ya, Bu, cucunya laki-laki. Bapaknya mana, ya? Bayinya siap untuk diazakan," ucap suster berbaju putih itu.Aku menelan saliva. Ada getaran hati untuk maju menggantikan posisi alm. Hisyam. Tanpa pikir panjang, aku maju dan berkata pada suster itu, "Biar saya yang mengadzankan, Sus.""Anda, suaminya? Selamat ya, Pak, pantas saja ... bayinya sangat mirip sekali dengan Bapak!Berarti bayinya Ara mirip dengan alm.Hisyam, karena alm.Hisyam kembar denganku, maka suster mengira bayi itu mirip denganku.Wajah Alisa berkerut, nampaknya ia tak suka dengan apa yang dilontarkan suster itu. Ah sabar, aku mencoba untuk tidak menghiraukannya.Tanpa ada yang menjawab, suster menyuruhku ke ruan