Kembaran Suamiku #8
“Kurang nyaman bagaimana, Sayang?” tanya Mas Hisyam menyelipkan helaian rambutku di balik telinga.
“Ah, enggak ... gapapa, Mas.” Aku berkilah, tak ingin membuatnya susah.
Usai subuh, suamiku pulang dari masjid. Ia bertilawah Alqur'an di ruang keluarga, sedangkan Mas Hasyim, biasa bertilawah di kamar Ibu.
Aku dan Bu Marni membuat sarapan dan minuman hangat.
Lebih bersemangat lagi aku di dapur karena dibantu Bu Marni.
Setelah susu, kopi, dan teh tersaji sesuai dengan kesukaan masing-masing, aku memanggil Mas Hisyam, namun tidak ada di ruang keluarga.
Aku ke kamar Ibu, ternyata mereka berkumpul disana.
Ada Mas Hasyim yang membuatku canggung, haruskah seperti ini setiap kali bertemu dengannya?
Aku memanggil, mereka menoleh. Kusampaikan kalau minuman serta sarapan sudah siap di meja makan.
Ibu seperti berharap aku mendekati beliau, kuturuti dan masuk dalam kamar Ibu.
Dua pria tampan yang sulit dibedakan itu sekarang sudah terlihat beda dalam pandanganku.
Mereka memapah Ibu agar belajar berjalan perlahan tanpa kursi roda.
"Semangat, Bu! Ibu pasti sembuh!" seruku penuh bahagia.
Ibu bak permaisuri yang sedang diiringi oleh dua pangerannya. Senyum Ibu merekah melihatku terus memberinya support.
***
Mas Hasyim mengantarkan kami ke stasiun, suamiku lebih memilih naik kereta daripada menyetir mobil sendiri. Selain kelelahan, memakan waktu yang banyak.
Tambahnya lagi, bisa menikmati perjalanan berdua.
Selama menuju stasiun yang jarak tempuhnya setengah jam dari rumah, Mas Hisyam meletakkan kepalaku di bahunya, kadang di dadanya. Tangannya tidak terlepas dari menggenggam tanganku.
Sebenarnya aku tidak enak sama Mas Hasyim yang sedang menyopir di depan, sering kali menangkap gambar kami dari kaca spion dalam.
Namun, Mas Hisyam kekeh untuk selalu merapatkan tubuhnya denganku.
Mereka mengobrol, aku hanya menyahut sedikit bila perlu.
Setelah sampai di stasiun, Mas Hasyim menemani kami di stasiun luar sampai kami akan masuk ke stasiun dalam tempat kereta berhenti.
Uh, setia sekali Mas Hasyim itu pada adiknya. Kalau lagi lihat Mas Hasyim seorang diri itu rasanya kasihan, harusnya dia kan nikah lebih dulu.
Waktu Mbak Alisa datang itu juga dia agak cuek. Mungkin belum siap nikah kali!
"Selamat bersenang-senang ya, Syam, Ra!” ucap Mas Hasyim pada kami dengan mengulur senyum dan mata berkaca, tangannya melambai dan cepat berbalik badan menuju tempat parkir mobil.
Kaus putih berlengan ketat dan celana warior mocca yang ia kenakan membuat pesonanya semakin menonjol. Banyak wanita yang memperhatikannya karena tampan nan rupawan. Memiliki kulit putih seukuran pria, berhidung bangir, bibir tipis dan alis tebal.
Kami membalas lambaian tangan dengan senyuman lalu masuk ke stasiun dalam, mencari tempat duduk yang kosong.
"Mas, kok Mas Hasyim tadi matanya berkaca-kaca gitu ya?" tanyaku pada Mas Hisyam yang sedang menggeser koper.
"Khawatir sama Adiknya yang ganteng ini kali?" ucapnya penuh percaya diri diiringi tawa ringan.
"Ah, Mas!"
Gemas sekali aku pada Mas Hisyam, ingin kucubit pinggangnya, namun urung. Banyak orang, malu!
"Ngapain juga dikhawatirin, udah ada yang jagain kok!" ucapku menggodanya.
"Yang jagain malah bidadari." Mas Hisyam terkekeh.
"Iya, ya! Harusnya bidadarinya yang dijagain," timpalku sedikit manyun.
"Jangan manyun gitu ah, Dek ! Bikin aku nggak kuat!" bisiknya mendekati telinga.
"Massss!" Tanganku menutup muka dengan jari meregang.
***
Setelah kami tiba di kota Batu, kami check in hotel dekat dengan wisata Jatim Park.
Suasana indah sekali. Usai kami masuk kamar, kami mandi dan membersihkan diri kukenakan pakaian dinas di hadapan suami, menempelkan make up tipis lalu lanjut membayar qodho' sholat yang kami kerjakan selama di kereta tadi.
Lumayan capek juga duduk selama perjalanan panjang.
Aku menata baju di lemari yang tersedia. Mas Hisyam terbaring di ranjang sambil memegang gawainya.
"Pemandangannya indah banget ya, Mas!"
Aku berdiri di depan kaca jendela melihat suasana luar yang sangat indah.
Mas Hisyam turun dari ranjang menyusulku, berdiri di belakangku, memandangi luar seraya memeluk dari belakang.
"Iya, Sayang. Seindah hati kita yang bersatu dalam ikatan cinta suci. Inilah cinta yang sesungguhnya, pacaran setelah menikah," jawab Mas Hisyam yang kubalas dengan pelukan.
Debar jantungku sangat cepat, aku terngiang dalam pelukannya yang hangat.
Segala do'a terperanjat
Dia mengecup ubun-ubunku penuh hayat.
Segala yang kami lakukan dengan hikmat.
Sungguh, menjelmakan kasih sayang dan cinta yang nikmat.
Merengguk nikmatnya cinta suci yang dahsyat.
Ini bukan hanya tentang menunaikan hasrat.
Melainkan karena kehendak Allah yang membawa berkat.
Semoga Allah lekas memberi kami dzurriyyat.
***
Sudah tiga hari kami di kota Batu yang amat terkenal ini. Aku mengajak Mas Hisyam pulang, selama tiga hari betul-betul kami manfaatkan sebaik mungkin, jalan-jalan, ibadah, dan aktifitas yang tidak sia-sia, bertukar pikiran agar terbina rumah tangga yang bahagia.
Namun, Mas Hisyam masih ingin berdua, dan menyetujui untuk pulang besok.
Katanya sayang dengan cutinya, aku memaklumi karena meminta izin di kantor tidaklah mudah.
Sebulan berlalu.
Aku lihat Bu Marni juga telaten merawat Ibu, aku dan dua putra Ibu selalu siaga merawat Ibu juga, meski seminggu sekali aku ke rumah Mama.
Pagi ini aku bangun dengan kepala yang amat pusing, meraba sebelahku, tetapi tidak ada Mas Hisyam di sana. Aku melirik jam dengan mata yang remang, samar-samar jarum jam menunjukkan pukul lima pagi. Mas Hisyam sudah berangkat ke masjid rupanya. Kenapa aku tidak dibangunkan?
Selimut yang menutup tubuh kubuka, terduduk tapi kepalaku serasa berputar dan pandangan gelap. Kupaksakan diri untuk menuju kamar mandi, membersihkan diri dan berwudhu.
Setelah Shalat, aku teringat harusnya aku sudah haid, tapi sampai sekarang belum juga haid.
Dengan gontai kuambil tespack di laci dan membawanya ke kamar mandi.
"Sayang! Dek?"
Panggil Mas Hisyam sambil mengetuk kamar mandi.
Makin deg-degan aku menunggu hasilnya.
"Iya, Mas. Bentar!" jawabku lemas.
Ku lihat benda pipih kecil itu sudah muncul garis yang berbeda, dua garis sangat jelas sekali warnanya.
Kucuci dan kubawa dalam genggaman.
Mas Hisyam ternyata menungguku di depan pintu. "Dek, kok pucat? Kamu sakit?” tanyanya merengkuh tubuhku.
Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
"Ini, Mas!"
Kutunjukkan benda kecil itu pada Mas Hisyam suamiku.
Ia terbelalak. Senyumnya merekah seperti ada kobaran semangat yang tiba-tiba muncul di wajahnya.
"Alhamdulillaah! Kamu hamil, Sayang?
Tangannya memelukku semakin erat.
Namun, tubuhku serasa ringan, pandanganku gelap. Aku tak sadarkan diri.
***
Pov. Hisyam (suami Ara)
Pukul setengah empat pagi kubangunkan Ara untuk salat malam. Biasanya Ara yang membangunkanku, tapi kali ini aku yang membangunkannya. Tumben sekali dia tak bangun. Hanya menggeliat sebagai jawaban saat kubangunkan.
Sampai azan subuh kubangunkan lagi, belum juga bangun, mulai dari kupijit tangannya, kakinya, kupencet hidung mancungnya, kucium pipinya, sama sekali belum juga bangun, hanya pindah haluan saja dan menarik selimut. Keningnya hangat. Apa dia demam?
Kuputuskan untuk berangkat ke masjid dalam keadaan Ara masih tidur.
Membuatku gelisah dan ingin cepat pulang setelah salat.
Tidak biasanya Ara seperti itu.
Aku masuk ke kamar, tidak kutemukan Ara. Namun, sajadahnya masih tergelar di karpet dengan mukena yang terlipat di atasnya. Tandanya dia sudah salat, tapi sepertinya belum sempat mengembalikan pada tempatnya.
Kulipat dengan mukena yang terbungkus sajadah seperti ia melipat biasanya, dan kuletakkan di lemari khusus alat salat kami.
Kulihat pintu kamar mandi dalam kamar tertutup, mungkin Ara sedang menunaikan hajatnya, anehnya hanya hening. Aku khawatir kalau Ara pingsan di dalam.
Aku memanggil istriku itu, alhamdulillah, dia menjawab dan tak lama kemudian dia keluar. Wajah cantiknya terlihat pucat, ada bulir bening meluncur di pipinya yang putih, halus, dan kenyal. Anehnya dia malah tersenyum.
Kurengkuh tubuh rampingnya, ia memperlihatkan benda pipih dari tangannya. Sebuah tespack dengan garis dua? Artinya, istriku hamil! Aku akan menjadi seorang Ayah. Alhamdulillaah, bahagiaku tiada terkira kupeluk erat istriku itu, tetapi tiba-tiba tubuhnya lemas. Ara tidak sadarkan diri.
Kekhawatiranku memuncak, aku takut terjadi apa-apa pada Ara dan janinnya.
Perlahan kubawa Ara ke atas ranjang.
Kupanggil Bu Marni agar memakaikan jilbab dan gamis di tubuh ara yang hanya memakai baju tidur kesukaanku.
Tidak mungkin aku membawa Ara ke rumah sakit sedangkan Ara hanya memakai baju seksi, aku tidak rela aurat Ara dilihat oleh siapa pun termasuk saudaraku sendiri.
Selain itu, Ara adalah wanita salehah yang selalu menutup auratnya di hadapan yang bukan mahromnya. Sedarurat apapun, aku harus bisa menjaga marwah istriku, ia bagaikan mutiara dan akulah kerangnya. Aku akan menjaga mutiara berhargaku itu.
"Ada apa, Syam?"
Mas Hasyim muncul dari luar pulang dari masjid melewati kamarku.
"Ara pingsan, Mas!" ucapku tergesa ke dapur mencari Bu Marni, tapi ternyata Bu Marni sedang melayani Ibu di kamar, merendam kaki Ibu dengan air hangat.
Aku minta tolong Mas Hasyim supaya menggantikan Bu Marni.
"Ara pingsan kenapa, Syam?" tanya Mas Hasyim, wajahnya terlihat khawatir.
"Biar aku bantu membawanya ke mobil!" ucapnya hendak membuntutiku ke kamar.
Bersambung..
Kembaran Suami #9"Jangan ikut masuk dulu, Mas! Pakaian Ara belum lengkap," ucapku sambil menahan langkah kakakku itu. Tak sepantasnya ia terlalu khawatir pada istriku.“Oh, ya,” membalik arah ke kamar Ibu."Pak Hisyam, ada minyak kayu putih?" tanya Bu Marni."Ada, Bu. Di kotak p3k itu." Aku menunjuk lemari p3k di kamar.
Kembaran Suamiku #10"Ara, suami kamu sudah tiada, lebih baik kamu secepatnya pulang bersama Papa dan Mama." Papa berkata padaku, membujuk halus di hadapan Ibu juga Mas Hasyim."Bi-ar-kan Arr-ra di sinni." Ibu berusaha berkata meski terbata, manik matanya memancarkan duka.Kami semua menatap Ibu. Sungguh aku tidak tega melihat Ibu, tentu Ibu lebih terpukul daripada aku karena Ibu yang melahirkan Mas Hisyam. Sedangkan aku saja yang baru hampir lebih dari satu bulan bersama Mas Hisyam amatlah sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ya, tak pernah terbesit sedikit pun di benakku.Tangan Mas Hasyim memegang tangan Papa."Pak Nur, saya mohon, biarkan Ara di sini dulu. Supaya Ara bisa menenangkan diri di tempat yang sudah menjadi kenangan Ara dan Hisyam. Nafkah Ara dan calon bayinya, saya akan berusaha bertanggung jawab, karena itu juga termasuk pesan dari Hisyam." Mas Hasyim memohon pada Papa.Papa menoleh ke Mama. Mama pun samar ter
Kembaran Suamiku #11"Ra?" Suara Mas Hasyim mengejutkanku"Iya, Mas?"Aku kaget saat Mas Hasyim memanggilku, sehingga aku langsung membuka mata dan menolehnya."Kita sudah sampai, ayo turun!" ajaknya yang sudah memarkirkan mobil di tempat parkir sebuah mall."Udah, jangan banyak melamun, Ra. Ikhlaskan apa yang sudah menjadi ketentuan Allah. Kita tidak bisa mengembalikan apapun,” imbuh Mas Hasyim saat melihatku melamun.Aku menghela napas pelan dan menunduk sejenak.Mas Hasyim keluar dari mobil lebih dahulu dan membukakan pintu untukku.Kami pun turun.Saat di pintu masuk kami berhenti. Ada suara wanita memanggil Mas Hasyim dan membuat Mas Hasyim pun berbalik badan."Alisa?" ucap Mas Hasyim pelan.Aku menoleh ke arah Alisa.Wanita itu berjalan cepat ke arah kami, membuat Mas Hasyim memperhatikannya."Wah kebetulan, Mas, kita ketemu di sini,” sapa Alisa dengan
Kembaran Suamiku #12"Tumben, Mas pengen banget ketemu Mama sama Papa ? Biasanya nyari terus nanyain kabar doang?" selidikku sambil tersenyum."Ada hal yang mau aku sampaikan, Ra,” jawabnya sambil melihat bunga yang sedang kusiram.Sepagi ini Mas Hasyim datang, ternyata untuk mencari Mama dan Papa.Pagi ini aku mengenakan gamis bermotif bunga mawar berwarna pink bercorak fanta, dengan balutan jilbab paris fanta.Biasanya di rumah seperti ini jilbab paris yang kukenakan. Berbeda saat bepergian. Karena saat aktifitas rumah, tentu lebih mudah dan nyaman saat memakainya.Kusunggingkan senyum, seperti ada hal serius yang akan disampaikan Mas Hasyim nanti. Namun, bagaimana jika ia melamarku untuk menjadi istrinya? Atau ia bersedia menjadi pengganti Mas Hisyam yang telah tiada?Apakah secepat ini, aku menerima pinangan lelaki lain setelah suamiku tiada? Namun, bi
Kembaran Suamiku #13Bibirku seolah terkunci saat pertanyaan itu muncul darinya.Aku meluapkan tangis sejadinya, menutup wajah dengan kedua tanganku. Tidak mungkin aku memeluk pria yang ada di hadapanku yang statusnya akan menjadi suami orang sebentar lagi.Tubuhku bergetar, hingga bayi yang aku kandung menendang-nendang aktif sekali.Sebuah kehangatan muncul, usapan lembut di bahuku tercipta dari uraian tangan Mas Hasyim."Menangislah, Ra0! Tapi tolong jangan terlalu sedih. Itu babynya nendang-nendang. Kalau dia udah bisa ngomong, pasti dia ngelarang Mamanya sedih. Dia nggak nyaman, Ra, kalau seseorang yang mengandungnya sedih."Ucapannya begitu lembut seraya meletakkan kepalaku di atas bahunya, perlahan tutur katanya menyadarkanku kalau aku sedang berbadan dua.Aku bangun dari sandarannya, mengusap mata dan pipi yang terlanjur basah.Mungkin Mas Hasyim melihat gerak di perutku yang tidak diju
Kembaran Suamiku #14Tring!Tring!Tring!Dering nada chat aplikasi hijau berbunyi saat aku usai melipat mukena.Kuambil benda pipih itu, tiga pesan masuk dengan kontak bernama ... Mas Hasyim?Dada ini bergemuruh, jantung berdegup kencang, mengapa aku jadi gemetaran?"Assalamu'alaikum, Ara. Bagaimana kabarmu dan kehamilanmu ?""Kemarin aku tidak melihatmu saat bersama Mama kamu, apa kamu tidak ingin bertemu denganku?""Ara, mengapa kamu menjauh?"Balas, tidak?Balas, tidak?Balas, tidak?Balas, deh.Bismillah."Wa'alaikumussalam, alhamdulillah baik."Send. Centang dua berwarna abu berubah biru.Tring!"Ara, tumben kamu seperti ini? Maafkan aku, Ra."Aku pun mengetik."Tidak ada yang perlu dimaafkan, Mas. Mas nggak ada salah."Send.Mas Hasyim mengetik.Tring!"Ra, kumohon jangan seperti ini, aku tersi
Kembaran Suamiku #15Pov.HasyimBelum selesai Mama Ara berbicara, seorang suster keluar dari ruang bersalin."Keluarga Ibu Zahara!" serunya memanggil.Kamipun menoleh, dan cepat menghampiri suster itu."Saya, Sus !" jawab Bu Nur."Selamat ya, Bu, cucunya laki-laki. Bapaknya mana, ya? Bayinya siap untuk diazakan," ucap suster berbaju putih itu.Aku menelan saliva. Ada getaran hati untuk maju menggantikan posisi alm. Hisyam. Tanpa pikir panjang, aku maju dan berkata pada suster itu, "Biar saya yang mengadzankan, Sus.""Anda, suaminya? Selamat ya, Pak, pantas saja ... bayinya sangat mirip sekali dengan Bapak!Berarti bayinya Ara mirip dengan alm.Hisyam, karena alm.Hisyam kembar denganku, maka suster mengira bayi itu mirip denganku.Wajah Alisa berkerut, nampaknya ia tak suka dengan apa yang dilontarkan suster itu. Ah sabar, aku mencoba untuk tidak menghiraukannya.Tanpa ada yang menjawab, suster menyuruhku ke ruan
Kembaran Suamiku #16Setelah satu hari di rumah sakit mengingat kondisiku sudah membaik, maka sudah diperbolehkan pulang.Namun masih harus hati-hati dalam bergerak. Kata Mama, tulang wanita yang baru saja melahirkan akan kembali muda, dalam arti rentan dan harus hati-hati dalam bergerak.Mama yang menggendong bayiku, Papa yang menyetir dan aku duduk di belakang bersama Mama.Setelah sampai rumah, aku duduk di tepian ranjang. Bayiku diletakkan di box bayi oleh Mama.Aku terkejut, para tetangga turut menjenguk. Begitu peduli dan mereka sangat ramah."Maasyaallah ganteng banget babynya mirip papanya ya, Mbak Ara!" ucap Bu Ratih"Dah seneng nih Mbak Ara punya hiburan," sahut Tante Yepi."Mirip juga sama Om nya yang sering kesini itu ya, Mbak." ujar Bu Nuri RT komplek ini."Ya iyalah, Bu Rt! Itukan kembaran suaminya Mbak Ara," celetuk Bu Maryam."Selamat ya, Mbak Ara cantik, babynya ganteng banget, moga jadi anak