Share

Kematian Hisyam di awal kehamilan Ara.

Kembaran Suami #9

"Jangan ikut masuk dulu, Mas! Pakaian Ara belum lengkap," ucapku sambil menahan langkah kakakku itu. Tak sepantasnya ia terlalu khawatir pada istriku.

“Oh, ya,” membalik arah ke kamar Ibu.

"Pak Hisyam, ada minyak kayu putih?" tanya Bu Marni.

"Ada, Bu. Di kotak p3k itu." Aku menunjuk lemari p3k di kamar. Bu Marni mengambilnya.

Bu Marni mengoles pelipis Ara dengan minyak itu, dan jari telunjuknya di dekatkan hidung Ara. Istriku itu pun siuman.

Alhamdulillah bidadariku sudah tidak sadarkan diri.

Pakaiannya sudah lengkap dengan gamis dan jilbab.

Ingin kuajak ke dokter kandungan tapi dia masih lemas, sepagi ini pasti juga belum buka. Lebih baik aku memanggil bidan yang berada di seberang jalan raya dekat kompleks ini.

Aku mengendarai motor Ara yang biasa digunakan untuk belanja di pasar.

Rasa bahagia dan khawatir seperti perang dalam dadaku. Istriku, semoga kau sehat selalu, aku cinta lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Buah cinta kita sudah tertanam. Aku bersyukur sekali.

Jalanan hening, ku toleh kanan kiri tidak ada kendaraan yang lewat, akhirnya aku menarik gas masih dengan kendali.

Samar terdengar suara motor melaju cepat dari arah kiri.

Aku melayang, aku terhempas. Dan penglihatanku benar-benar gelap. 

***

Pov. Hasyim (Kakak Ipar Ara)

Aku turut bahagia kala mendengar kabar adikku semata wayang akan menjadi seorang ayah. Dua insan yang amat aku sayangi, ya, dialah Ara dan Hisyam. Aku tidak mampu untuk menyakiti hati keduanya. Sekiranya bukan berjodoh denganku, Zahara berjodoh dengan adikku. 

Sama-sama orang yang berharga dalam hidupku itu bersatu dalam ikatan cinta yang suci.

Pagi sekali, aku sangat khawatir ketika mendengar kabar Ara pingsan. Rasanya aku ingin cepat-cepat melihatnya. Namun, Hisyam melarangku karena Ara sedang tidak menutup auratnya. Aku maklum, sebagai seorang suami pasti Hisyam tidak ingin istrinya dilihat oleh orang lain, termasuk saudara kandungnya sendiri.

Ada rasa tidak nyaman saat aku menemani Ibu, hatiku gelisah, dan serasa pilu.

Aku berdiri di depan kamar Hisyam, Bu Marni keluar hendak mengambilkan air minum untuk Ara, tetapi Hisyam tidak ada.

Kutanya Bu Marni, Bu Marni menyampaikan padaku kalau Hisyam memanggil Bidan di seberang jalan raya dekat kompleks.

Terlihat dari luar, Ara sudah memakai pakaian yang sopan dan menutup aurat seperti biasanya. Aku masuk untuk menanyakan keadaannya.

Dia terlihat canggung dan memaksa duduk.

"Mas Hasyim?" ucapnya lembut, tetapi seperti orang ketakutan, wajahnya terlihat pucat ... membuat hatiku tersayat.

Wajah cantiknya tidak memudar, justru tambah cantik saat dalam keadaan seperti ini sekalipun.

"Tidurlah, Ara. Aku hanya ingin melihat kondisimu." Kukatakan padanya dengan wajah tertunduk.

"Aku sudah baikkan, Mas," jawabnya meremas  kain jilbab yang ia kenakan.

"Mbak Ara, diminum dulu teh hangatnya,” ucap Bu Marni sambil menyodorkan nampan kecil berisi teh hangat dan roti basah.

Ara meminumnya sedikit, dan berbaring lagi seraya mengucapkan terima kasih pada Bu Marni.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum?"

Terdengar suara pria dewasa mengucap salam dan mengetuk pintu di luar sana.

"W*'alaikumsalam, bentar," teriak Bu Marni sambil berlari kecil ke pintu depan.

Terdengar ia membukakan pintu.

"Apa? Pak Hisyam?" jerit Bu Marni. 

Aku langsung melangkah menyusul Bu Marni. 

"Pak Hisyam, Pak! Kecelakaan!" seru Bu Marni gemetaran menghadap padaku.

"Apa? Mas Hisyam? Nggak ... Nggak mungkin!"

Ternyata Ara sudah ada di belakangku, mungkin ia mendengar jeritan Bu Marni sehingga kemari.

Bruk!

Ara terhuyung ke lantai, ia pingsan lagi.

Kuraih tubuhnya ke pangkuan.

Kedua laki-laki ber baju cokelat dan biru tadi pamit pergi. Mereka mengabarkan, bahwa Hisyam sudah dibawa ke rumah sakit Kasih Ibu.

Bu Marni menutup pintu.

Ya Allah ujian apa lagi ini yang menimpa keluargaku. 

Kubawa Ara ke kamarnya, aku serahkan Ara dan Ibu pada Bu Marni.

Aku bergegas mengambil dompet dan kunci  mobil, menyusul Hisyam ke rumah sakit.

***

Hisyam berada di UGD, seorang bapak berkumis hitam campur putih berkulit cokelat menemaninya, dialah Pak Nasir, tetanggaku yang berada di ujung kompleks.

"Bagaimana Adik saya, Pak?"

"Mas ... Mas Hasyim,  ya?" tanya pria paruh baya itu setengah mengingat-ingat.

"Iya, Pak!"

"Saudara Mas kehilangan banyak darah, Mas, kecelakaannya begitu hebat."

"Ya Allah, Hisyam."

Aku mendekati bed adikku itu, ia terbaring lemah, perban terbalut di kepalanya.

"Hisyam... Kamu pasti sembuh, Syam!" Aku tak kuasa menahan bulir yang  berkaca-kaca di mata.

"M-mas, aku titip anakku dan Ara. Tolong sampaikan maafku karena tidak bisa merawatnya. Juga Ibu ...," ucap Hisyam terbata, aku menggenggam tangannya.

"Kamu sembuh, Syam! Jangan pergi dulu!" pintaku penuh penekanan.

Hisyam tidak menjawab, ia mengucapkan kalimah Thoyiba dan menghembuskan nafas terakhirnya.

"Hisyaam!"

Aku tergugu melihat tubuhnya yang mendadak tak berhembus itu.

Hisyam ...

Mengapa kau pergi di kala kau begitu bahagia ?

Harusnya sebentar lagi engkau menimang bayi.

Buah cintamu dan Ara.

Hisyam, adikku sayang..

Aku rela mengorbankan apa yang aku miliki

Sekalipun itu hati 

Aku yang selalu melihatmu bahagia

Meski terkadang hati merana.

“Innalillahi w* inna ilaihi roji’uun,” gumam Pak Nasir kemudian berangsur pergi memanggil dokter.

Bagaimana caranya mengatakan perihal ini pada Ara? Dia yang tengah tak berdaya tak sepatutnya mendengar kabar seperti ini. Tak ada yang menginginkan kehilangan pada awal, tengah ataupun akhir dari kehamilan.

Kalian begitu serasi.

Pov. Ara

Aku mendengar deru suara mesin dari mobil Mas Hasyim.

Dengan kepanikan, setelah sadar dari pingsan tadi aku duduk di ruang tamu. Menunggu suamiku datang.

Mas Hasyim datang dengan gontai. Perutku serasa mual dan kepala masih pusing.

"Gimana, Mas? Mas Hisyam baik-baik saja kan?"

"Ara, kamu tenangin diri dulu, ya!"

ucap Mas Hasyim dengan mata sendu.

"Bagaimana aku bisa tenang, Mas ? Aku belum tahu kabar suamiku !"

Aku mendengkus kesal. 

Mas Hasyim duduk di sofa, meminta Bu Marni membawa Ibu turut ke ruang tamu.

"Katakan, Mas! Tolong!" pintaku penuh kekhawatiran.

"Tunggu sebentar, ya, Ra. Biar Ibu datang dulu,” jawab Mas Hasyim dengan suara yang parau. Entah, apa dia habis menangis?

Bu Marni datang mendorong Ibu dengan kursi roda.

Kami semua duduk di ruang tamu.

Mas Hasyim seperti orang yang tertimpa beban amat berat, sesekali mengusap wajahnya kasar.

"Bismillah ...,” ucapnya sambil berdehem.

"Cepat, Mas!" desakku sambil menatap wajahnya. Aku sungguh tidak sabar mendengar apa yang akan dikatakannya.

Dia menoleh padaku dengan tatapan iba.

"Setiap titipan, akan diambil oleh pemiliknya. Ara, Ibu, dengan berat hati saya sampaikan. Tolong dengan sangat tolong, lapangkan dada, ikhlaskan, dan jangan meratap ...,” ucapnya terhenti.

Aku menyimak penuturan kakak iparku itu, dadaku sesak, pikiranku berkecamuk luar biasa. Bulir-bulir mendarat lancar tanpa rem.

"Hi-Hisyam, Hisyam sudah tiada. Allah lebih sayang pada Hisyam." Mas Hasyim tersedu. Kami semua terbelalak, pria di hadapanku itu merunduk sedangkan bahunya sedikit terguncang.

"Nggak! Nggak mungkin suamiku pergi ninggalin aku kan, Mas?" Kuguncangkan tubuh Mas Hasyim. "Mas Hasyim bohong, kan?"

Aku menangis sejadi-jadinya.

"Mas Hisyam itu sayang banget sama aku dan janinku ini, Mas! Nggak mungkin Mas Hisyam ninggalin aku!"

Aku terus meracau seperti orang gila tak sadarkan diri. Aku tidak peduli ekspresi mereka. Yang kubutuhkan adalah kehadiran suamiku !

Mas Hasyim dan Bu Marni menyuruhku bersabar dan beristighfar. Ibu juga tersedu.

***

Kupandangi wajah suamiku, sungguh ia sangat tampan. Bibir tipisnya tersenyum.

Wahai Sayang, apa yang kamu lihat di sana ?

Lihatlah perutku, di sini ada buah cinta kita.

Engkau sangat menyayangiku dan tentu calon anak kita.

Wahai Suamiku, mengapa secepat ini engkau pergi. Belum lama kita membubuhkan cinta, kau meninggalkan aku bersama sejuta kenangan.

Bangunlah ! Aku ingin kita berjalan bersama mengarungi bahtera kehidupan yang penuh cinta.

Jangan pergi, tetaplah di sini bersamaku.

"Secepat ini kah, Mas ?" ucapku terduduk di hadapan Mas Hisyam yang sudah terbujur kaku ditutup kain.

Mama memelukku erat, ia menguatkanku dengan menahan kesedihannya.

"Sabar, Sayang! Kasihan bayi kamu kalau kamu stres," ucap Mama.

Para tamu takziah menatapku iba. Terutama Ibu-ibu tetangga.

Setelah jenazah Mas Hisyam disemayamkan, kami pulang. Meski semua membujukku untuk meninggalkan pusara lelaki yang telah mengisi hatiku itu.

Mama dan Papa turut ke rumah Ibu.

Mereka membicarakan sesuatu. Apa aku akan diajak pulang?

Oh, secepat inikah aku menyandang status janda dengan anak yang ada dalam kandunganku?

Apakah aku bisa menjalani ini sendiri?

Bagaimana dengan kemungkinan anakku nanti?

Aku tidak ingin perasaan mereka.

Aku harus bagaimana?

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status