Kembaran Suamiku #4
"Eh kirain nyari baju buat Ibu sih, Mas,” sanggahku mengalihkan ucapan mengandung duga mengherankan itu.
Mungkin pipi ini sudah berubah merah seperti kepiting rebus karena tersipu, hanya saja rasa hangat menelusup di sela-sela rasa bahagia ini.
"Yang bulan madu siapa ?" Mas Hisyam menaikkan alis tebalnya seraya menoleh kepadaku.
"Kita, Mas. Hehe." Aku berusaha tetap bahagia di hadapannya.
"Ini cocok banget, Dek, sama kulit putihmu. Eh tapi apa aja cocok kok. Istri siapa dulu dong?" goda Mas Hisyam yang sudah kembali netral, semoga Mas Hisyam tak secemburu itu pada dugaannya yang belum tentu benar.
"Nurut aja aku, yang penting suamiku suka,” jawabku pasrah.
"Mbak, ini saya pilih,” ujar suamiku pada seorang SPG seraya menyerahkan beberapa stel baju tidur bernama lingerie dan model piyama pendek.
Terus terang aku malu saat Mas Hisyam menunjukkan benda itu pada SPG. Mas Hisyam tampak pede-pede saja.
"Oh iya, Kak. Nanti ambilnya di kasir ya,” kata SPG itu seraya mengulas senyum di bibir yang dipoles dengan lipstik merah.
"Ya." Mas Hisyam mengangguk singkat dan mengajakku ke tempat lain.
Kami naik ke lantai atas, khusus area gamis wanita dan jilbab.
"Pilih aja, Dek! Mana yang kamu suka? Bebas, sesuai selera kamu," tawarnya seraya menunjukkan deretan pakaian beraneka model dan bermerk mahal.
"Nggak usah, Mas. Masih banyak gamisku. Cari untuk Ibu aja yuk!" kilahku seraya mengusap lengan kekarnya.
Mas Hisyam justru terkekeh dan mengusap wajahnya sekilas.
"Iya, Ibu juga, kamu juga, Dek," bujuknya.
Terpaksa menerima, akhirnya aku mengangguk nurut.
Gamis berwarna terang lebih aku suka. Seterang hatiku saat ini dan untuk Ibu, Mas Hisyam pilihkan warna marun satu set dengan jilbabnya.
Selesai membayar, kami lanjut ke toko herbal membeli madu untuk Ibu.
Alhamdulillah, sejak rutin minum madu, Ibu sudah lumayan perubahannya, tangan beliau sudah bisa bergerak sedikit. Begitu pula dengan kaki.
Suatu hal yang sedikit, bila ditambah akan menjadi banyak. Begitu pula dengan perubahan kesehatan Ibu yang harus anak-anaknya syukuri.
Di dalam mobil, Mas Hisyam menceritakan masa kecilnya sedikit-sedikit. Aku menjadi pendengar setianya yang menyimak setulus hati. Eaaa!
Dengan hati-hati aku memberanikan diri untuk bertanya pada Mas Hisyam.
"Mas, kenapa Mas Hasyim belum menikah? Kan, dia kakaknya Mas?” tanyaku, semoga Mas Hisyam tidak marah ataupun tersinggung.
"Hmmm dulu sih dia punya incaran. Tapi udah nggak cerita lagi kenapa nggak berlanjut dilamar,” terang Mas Hisyam sambil fokus menyetir.
"Oh begitu. Akur nggak dulu masa kecilnya?"
"Dibilang akur ya akur. Ya berantem kecil ya wajar lah, namanya juga dari dalem perut udah bareng-bareng. Tapi emang sih kami sering memiliki kebiasaan, pikiran, kesukaan yang sama." Mas Hisyam tiba-tiba menoleh, tatapannya seolah menghunus hingga relung kalbuku.
Diriku bak wartawati dadakan, bertanya padanya, karena tak pernah tahu kehidupan orang kembar, dan tak pernah menyangka memiliki jodoh orang kembar.
Kepo banget, maklum diriku anak tunggal. Punya suami kembar rasanya spesial.
Kantuk menyerang tiba-tiba, suara Mas Hisyam seperti mendongeng, aku hanya iya iya dan ber'O' saja.
Tiba-tiba aku terbangun.
"Ha, udah sampe rumah ya, Mas?” tanyaku terkejut dan mengucek mata.
Kutoleh pria di sebelahku.
What? Kok gaya rambutnya keren banget? Mana suamiku? Itu siapa? Bertubi pertanyaan menyerang hati.
"Ka-kamu siapa?" tanyaku tergagap sambil mepet di pintu mobil.
"Sayang, ini suamimu! Beda, ya? Keren nggak?" tanyanya sambil menaikkan alis dan tersenyum.
"Kok, rambutnya berubah gitu, Mas?" Benar-benar bingung aku.
Aku membenarkan posisi duduk dan mengumpulkan kesadaran.
"Kamu tadi tidur, Dek. Aku mau bangunin kasian. Ya udah deh, aku tinggal turun ke barber shop sendiri. Adek tidur di mobil. Hehehe." Mas Hisyam justru terkekeh.
"Aku tadi tidur ya?"
"Enggak, cuman ngimpi aja. Aku tadi ngomongan sendiri ternyata, yang diajak ngomong khusyuk dalam mimpi," jawabnya terkekeh.
Ya salaam, ternyata aku ketiduran.
"Yuk turun. Malah bengong."
Mas Hisyam mengajakku turun dari mobil.
"Weeew, keren banget, Syam! Model baru, ya?" Mas Hasyim duduk di kursi teras bersama Ibu yang duduk di kursi roda.
"Iya, dong. Mau honey moon kami, Mas." jawabnya cengar cengir membuatku malu.
"Ibu gimana dong ?" tanya kakak iparku pada adiknya.
Mas Hisyam--suamiku duduk di bawah menghadap Ibu.
"Bu, sementara waktu, Hisyam pergi sama Zahara, ya. Kami mau kasih cucu buat Ibu. Ya kan, Dek?" ucapnya serius sambil nyengir menaikkan alis menoleh kepadaku.
Membuatku semakin tersipu di hadapan Ibu mertua dan kakak ipar.
Ibu mengulum senyum perlahan menatap Mas Hisyam dan berpindah menatapku.
Aku turut duduk di depan Ibu. Mengusap tangannya yang sudah berkeriput.
"Besok jadwal terapi Ibu. Ara besok baru pertama kali nemenin Ibu terapi, tinggal serahkan saja Ibu sama perawat, yang penting alat sudah lengkap. Maaf ya, saya besok ada meeting. Jadi nggak bisa izin ngurus terapinya Ibu,” kata Mas Hasyim, kakak iparku.
"Iya, Mas. Nggak apa-apa. Selagi ada Ara disini, Ara siap ngurus Ibu. Kan, Ibu juga udah jadi orangtua Ara sendiri,” jelasku pada Mas Hasyim.
"Ibu cepet sehat ya!" Mas Hisyam suamiku mengusap punggung tangan Ibunya.
"Ibu insyaallah cepet sehat, Syam ! Kalau kamu cepet ngasih cucu buat Ibu. Hehehe,” ucap Mas Hasyim pada suamiku.
"Pasti, Mas! Ibu pasti sembuh." Jawaban suamiku tampak sangat yakin.
***
Mentari melambung menuju barat, tanda sore semakin merangkak.
Senja menyapa dengan lambaian warna indahnya. Azan magrib sebentar lagi berkumandang.
Suara bel rumah berbunyi kemudian terdengar ketukan di pintu.
'Tok! Tok! tok!
Seperti ada yang mengetuk pintu saat aku merapikan kamar Ibu.
"Iya, sebentar."
Suara lelaki yang entah siapa, terdengar menyahuti si pengetuk.
Kuletakkan selimut yang sudah terlipat.
"Bentar ya, Bu,” ucapku pada Ibu yang sudah kubaringkan di ranjang.
Aku menyusul ke ruang tamu, Mas Hisyam suamiku lah yang akan membukakan pintu. Aku mengikuti di belakangnya.
Krek!
Pintu dibuka oleh Mas Hisyam.
Seorang wanita berjilbab biru mint senada dengan warna gamisnya, membawa parcel buah di tangannya.
"Assalamu'alaikum." Wanita itu menebar salam. Namun nadanya mendadak melemah saat melihatku hadir di belakang Mas Hisyam.
"W*'alaikumussalam," jawab kami serentak.
"Mas, siapa dia, Mas?" mata wanita itu berkaca-kaca serta membungkam mulutnya.
"Ini istri saya, Mbak,” jawab suamiku santai bak di pantai.
"Ka-kamu? Udah menikah, Mas? Kenapa kamu nggak bilang aku?" tanya Wanita itu memberondong.
Siapa wanita itu ? Kenapa dia terlihat sangat dekat dengan suamiku ?
Mataku tertutup embun, entah embun apa ini yang hadir kala senja. Mungkinkah Mas Hisyam dekat dengan wanita lain di luar sana? Bisa saja Mas Hisyam pura-pura biasa di hadapanku sehingga dengan tenang ia mengatakan bahwa aku istrinya. Bias wajah wanita itu seolah memendam rasa yang besar terhadap Mas Hisyam.
Bersambung..
Kembaran Suamiku #5"Alisa?" Terdengar suara khas dari belakangku yang datang dari dalam, ya, itu Mas Hasyim. Sebab, Mas Hisyam suamiku ada di depanku.Aku dan Mas Hisyam menoleh ke belakang.Wanita itu pun berkata, “Loh? Kok ada dua?" tanyanya heran sambil mengucek mata. Untung bulu matanya nggak jatuh. Oops!Mas Hasyim malah tertawa kecil, aku dan Mas Hisyam menyingkir, Mas Hasyim kemudian mendekati wanita itu."Ayo sini masuk!" titah Mas Hasyim pada wanita berparas cantik tetapi tak begitu tinggi postur tubuhnya.Oh ternyata tamunya Mas Hasyim, kembaran suamiku.Dada yang tadinya bergemuruh menjadi tenang. Kukira suamiku bermain api di belakangku. Ternyata wanita itu mencari kembaran suamiku.Namun, setelah rasa berkecamuk itu berperang dalam hati, sekarang aku justru katakutan kalau Mas Hisyam dekat dengan wanita lain. Ah, prasangkaku sangat buruk.Repot juga y
Kembaran Suamiku #6Pov. AraPagi ini cerah sekali, secerah hatiku menyambut datangnya hari bulan madu, eh.Para lelaki sudah berangkat kerja ke kantornya masing-masing.Terapis sudah datang, aku pasrahkan Ibu kepadanya karena persediaan bahan di kulkas sudah menipis."Bu, Ara ke pasar dulu ya, Bu. Ibu jangan tegang pas terapi. Biar cepet sembuh!" pamitku pada Ibu mertua sambil tersenyum.Ibu nampak mengangguk pelan dan tersenyum. Aku mencium tangan beliau."Mbak, titip Ibu, ya. Saya mau ke pasar sebentar,” kataku pada terapis itu."Iya, Mbak." Ia mengulas senyum seraya mengangguk.“Semua sudah saya siapkan, nanti Mbak yang atur sendiri. Permisi,” pamitku kemudian berlalu.Setelah motor kukeluarkan dari garasi, pagar kututup. Aku pergi sendiri mengendarai motor, supaya lebih leluasa. Lagian di rumah ini mobilnya dibawa pemiliknya sendiri-sendiri.Setelah s
Kembaran Suamiku #7Ia langsung berdiri mendekati Ibu dan mendorong kursi roda Ibu ke kamar."Ayuk, Bu. Kita pergi dari sini. Jomlo nggak cocok liat adegan mereka,” goda Mas Hasyim sambil tertawa kecil dan berlalu.“Mas ni ada-ada aja, kan, di kamar juga bisa,” kataku pada Mas Hisyam.“Biarin,” pungkasnya dengan senyum lebar.***Kucuci semua piring dan alat makan yang ada, Mas Hasyim mengelap meja makan, dan Mas Hisyam suamiku menata alat makan yang sudah kucuci. Ibu istirahat di kamar. Meskipun mereka lelaki, sepertinya tetap rajin membantu pekerjaan dapur."Mas, Aku udah dapet info ART yang bakal nemenin Ibu." Suamiku berkata pada kakaknya."Mulai kapan dia kesini?" tanya Mas Hasyim."Aku suruh besok. Biar Ara nggak kecapekan. Sekalian besok aku masuk dan ambil cuti,” terang Mas Hisyam."Baguslah,” jawab Mas Hasyim datar.Sedangkan suamiku hanya
Kembaran Suamiku #8“Kurang nyaman bagaimana, Sayang?” tanya Mas Hisyam menyelipkan helaian rambutku di balik telinga.“Ah, enggak ... gapapa, Mas.” Aku berkilah, tak ingin membuatnya susah.Usai subuh, suamiku pulang dari masjid. Ia bertilawah Alqur'an di ruang keluarga, sedangkan Mas Hasyim, biasa bertilawah di kamar Ibu.Aku dan Bu Marni membuat sarapan dan minuman hangat.Lebih bersemangat lagi aku di dapur karena dibantu Bu Marni.Setelah susu, kopi, dan teh tersaji sesuai dengan kesukaan masing-masing, aku memanggil Mas Hisyam, namun tidak ada di ruang keluarga.Aku ke kamar Ibu, ternyata mereka berkumpul disana.Ada Mas Hasyim yang membuatku canggung, haruskah seperti ini setiap kali bertemu dengannya?Aku memanggil, mereka menoleh. Kusampaikan kalau minuman serta sarapan sudah siap di meja makan.Ibu seperti berharap aku mendekati beliau, kuturuti dan masuk dalam kamar Ibu.
Kembaran Suami #9"Jangan ikut masuk dulu, Mas! Pakaian Ara belum lengkap," ucapku sambil menahan langkah kakakku itu. Tak sepantasnya ia terlalu khawatir pada istriku.“Oh, ya,” membalik arah ke kamar Ibu."Pak Hisyam, ada minyak kayu putih?" tanya Bu Marni."Ada, Bu. Di kotak p3k itu." Aku menunjuk lemari p3k di kamar.
Kembaran Suamiku #10"Ara, suami kamu sudah tiada, lebih baik kamu secepatnya pulang bersama Papa dan Mama." Papa berkata padaku, membujuk halus di hadapan Ibu juga Mas Hasyim."Bi-ar-kan Arr-ra di sinni." Ibu berusaha berkata meski terbata, manik matanya memancarkan duka.Kami semua menatap Ibu. Sungguh aku tidak tega melihat Ibu, tentu Ibu lebih terpukul daripada aku karena Ibu yang melahirkan Mas Hisyam. Sedangkan aku saja yang baru hampir lebih dari satu bulan bersama Mas Hisyam amatlah sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ya, tak pernah terbesit sedikit pun di benakku.Tangan Mas Hasyim memegang tangan Papa."Pak Nur, saya mohon, biarkan Ara di sini dulu. Supaya Ara bisa menenangkan diri di tempat yang sudah menjadi kenangan Ara dan Hisyam. Nafkah Ara dan calon bayinya, saya akan berusaha bertanggung jawab, karena itu juga termasuk pesan dari Hisyam." Mas Hasyim memohon pada Papa.Papa menoleh ke Mama. Mama pun samar ter
Kembaran Suamiku #11"Ra?" Suara Mas Hasyim mengejutkanku"Iya, Mas?"Aku kaget saat Mas Hasyim memanggilku, sehingga aku langsung membuka mata dan menolehnya."Kita sudah sampai, ayo turun!" ajaknya yang sudah memarkirkan mobil di tempat parkir sebuah mall."Udah, jangan banyak melamun, Ra. Ikhlaskan apa yang sudah menjadi ketentuan Allah. Kita tidak bisa mengembalikan apapun,” imbuh Mas Hasyim saat melihatku melamun.Aku menghela napas pelan dan menunduk sejenak.Mas Hasyim keluar dari mobil lebih dahulu dan membukakan pintu untukku.Kami pun turun.Saat di pintu masuk kami berhenti. Ada suara wanita memanggil Mas Hasyim dan membuat Mas Hasyim pun berbalik badan."Alisa?" ucap Mas Hasyim pelan.Aku menoleh ke arah Alisa.Wanita itu berjalan cepat ke arah kami, membuat Mas Hasyim memperhatikannya."Wah kebetulan, Mas, kita ketemu di sini,” sapa Alisa dengan
Kembaran Suamiku #12"Tumben, Mas pengen banget ketemu Mama sama Papa ? Biasanya nyari terus nanyain kabar doang?" selidikku sambil tersenyum."Ada hal yang mau aku sampaikan, Ra,” jawabnya sambil melihat bunga yang sedang kusiram.Sepagi ini Mas Hasyim datang, ternyata untuk mencari Mama dan Papa.Pagi ini aku mengenakan gamis bermotif bunga mawar berwarna pink bercorak fanta, dengan balutan jilbab paris fanta.Biasanya di rumah seperti ini jilbab paris yang kukenakan. Berbeda saat bepergian. Karena saat aktifitas rumah, tentu lebih mudah dan nyaman saat memakainya.Kusunggingkan senyum, seperti ada hal serius yang akan disampaikan Mas Hasyim nanti. Namun, bagaimana jika ia melamarku untuk menjadi istrinya? Atau ia bersedia menjadi pengganti Mas Hisyam yang telah tiada?Apakah secepat ini, aku menerima pinangan lelaki lain setelah suamiku tiada? Namun, bi