Kembaran Suamiku #3
Hari Minggu suamiku libur, setelah urusan mengurus Ibu mertuaku sudah tertunaikan, aku menghabiskan waktu bersama suamiku di dalam kamar.
Namun, tetap menengok-nengok Ibu, kalau-kalau beliau butuh sesuatu.
"Dek, kita bulan madu, yuk ? Biar Mas carikan info orang yang bisa merawat Ibu, kalau udah dapet, nanti Mas ambil cuti," ucapnya mendekatkan hidung runcingnya di depan hidungku.
Tangan hangatnya membelai pipiku. Kemudian beralih tidur di pangkuanku.
"Aku nurut aja, Mas."
Aku mengusap rambut hitamnya, harum sekali. Ada tahi lalat berada di sela rambut di kepala sebelah kanan.
"Mas punya tahi lalat disini, ya?" tanyaku sambil memegang bagiannya.
"Iya, Dek, perbedaan antara Aku dan Mas Hasyim, kan, itu. Jadi kalau yang nggak kenal, tak mungkin, kan, bukain sela-sela rambut kami. Hehehe,” jelas suamiku terkekeh.
Oh jadi tahi lalat di kepala yang jadi pembeda antara mereka?
"Mas, hari ini jangan lupa pangkas rambut, ya!" Kuingatkan hal itu supaya tidak terjadi sesuatu.
"Kenapa memangnya, Dek ? Takut ketuker ?" Lagi-lagi Mas Hisyam tertawa. Padahal ini hal serius bagiku, bukan lelucon semata.
Soalnya banyak orang mewanti-wanti aku supaya nggak ketuker antara Mas Hisyam dan Mas Hasyim. Aku pun juga takut ketuker, sama-sama gantengnya sih. Eh. Bukan-bukan! Setan pintar menipu dengan muslihatnya. Bisa saja Mas Hasyim nyamar jadi Mas Hisyam, ah pikiranku terlalu suudzon.
"Please, Mas! Hari ini ya?" Gemas, aku mencubit pipinya.
Ia memekik, "Aw, iya, Sayang!"
***
"Mas, aku pergi dulu, ya! Mau dibeliin apa biar sekalian?" tanya suamiku pada kakak kembarnya yang sedang mengelap mobilnya sendiri.
Aku berdiri di samping suamiku, menggandeng tangan kekarnya.
Mas Hasyim malah menoleh ke arahku, melihat dari bawah sampai ke atas, dari atas sampai ke bawah lagi. Aku jadi kikuk dan merasa aneh.
"Mas?" panggil suamiku pada kakaknya.
"Eh, i-iya, Syam? Titip madu buat Ibu. Di toko biasanya." Mas Hasyim tampak gelagapan.
"Ya, nanti aku beliin." Terlihat sekali raut cemburu di wajahnya Mas Hisyam.
Kami pun berangkat.
Di dalam mobil, Mas Hisyam suamiku itu hanya diam saja.
Kenapa ya ?
"Dek ...." Panggilan Mas Hisyam padaku seolah mengambang.
"Iya, Mas?" Seksama aku menoleh dan menatap wajahnya yang fokus menyetir.
"Apa kita harus rumah sendiri aja ya?" tanyanya.
"Memangnya kenapa, Mas?" Aku mengerutkan kening karena tiba-tiba heran dengan usul Mas Hisyam, padahal dia sendiri yang mengajakku tinggal bersama ibunya.
"Aku cuma nggak mau terjadi apa-apa kalau kita serumah sama Mas Hasyim," tuturnya terdengar berat.
"Mas Hasyim perasaan baik, Mas. Malah Mas Hasyim telaten banget ngurus Ibu. Nggak ada salahnya kalau kita bantu Mas Hasyim ngurus Ibu,” terangku.
"Jadi, aku nggak bisa ngurus Ibu? Gitu, iya?" Nada Mas Hisyam terdengar kesal sekali.
Apa aku salah, ya, mengatakan hal itu?
Baru kali ini Mas Hisyam—suamiku berkata dengan nada seperti itu. Mataku rasanya berat dan menghangat.
"Bu-bukan gitu, Mas." Aku merasa gemetar.
Mas Hisyam mengusap wajahnya.
"Astaghfirullahal'adziim, maafkan Mas ya, Dek?" ucapnya sambil melambatkan mobilnya dan memberhentikan di pinggir jalan.
Melihatku yang sudah berkaca-kaca, Ia mencium tanganku dan memeluk serta mengusap punggungku.
Aku mengangguk meringkuk dalam dadanya. “Tak apa, Mas. Aku yang salah,” pungkasku.
Aku menyadari perkataanku tadi mungkin tak bisa diterima olehnya. Namun, apa sebabnya aku juga tak paham.
Perjalanan berlanjut, sampailah kami di sebuah stand pakaian wanita.
"Lho, Mas, kok kesini? Kan kita mau pangkas rambut dulu?" tanyaku sambil melihat luar.
"Gampang, Sayang! Nanti pulangnya aja mampir barber shop. Yuk turun!" ucapnya santai.
"Mau beli apa, Mas?" tanyaku sambil berjalan dan bergandeng dengan tangannya.
"Ada deh!" jawabnya tersenyum memoles pipiku. Mas Hisyam senang sekali memberikan teka-teki padaku.
Mungkin Mas Hisyam mau mencarikan baju untuk Ibu. Begitu dugaanku.
"Mau cari apa, Kak?"
Seorang SPG cantik bertubuh tinggi mengenakan seragam lengan pendek dan rok di atas lutut muncul dari sebelah kiri pintu masuk. Belahan dadanya terlihat kurang lebih dua senti. Seksi sekali. Pikiranku geram.
Mas Hisyam membalas senyum.
"Baju tidur dan gamis wanita," jawab Mas Hisyam singkat.
"Oh silahkan, Kak. Ada di sebelah sana. Dan gamis ada di lantai atas." Wanita itu menunjuk arah kanan dan atas. Mas Hisyam tampak mengangguk.
Kami berlalu.
Ternyata ada rasa tak nyaman juga ketika pasangan kita melihat lawan jenis, apa lagi yang berbaju seksi seperti itu. Seperti ada desiran-desiran lara yang datang tidak diundang.
Mungkin begitu juga perasaan Mas Hisyam, suamiku, yang melihat gelagat Mas Hasyim kakaknya yang melihatku sampai melongo tadi.
Meskipun tidak langsung melihat aurat, tetapi anehnya tatapan Mas Hasyim seakan-akan ada yang berbeda.
Alhamdulillah, orang tuaku mengajarkan aku untuk berhijab, yang sudah istiqomah sejak duduk di bangku tsanawiyah.
Sehingga tidak menjadi incaran mata jahat para lelaki.
Selain itu, berhijab dapat menyelamatkan lelaki mahrom, yakni : Ayah, Suami, Saudara laki-laki, dan Anak laki-laki.
Aku hanya mengekor di belakang Mas Hisyam. Ia memilih-milih baju tidur wanita. Modelnya tanpa lengan dan ber-renda. Imut dan menggemaskan.
"Bagus nggak, Dek?" tanya Mas Hisyam seraya menunjukkan sebuah benda padaku.
Baju tidur tipis bermodel you can see dengan celana sangat pendek dan ber-renda warna putih.
"Bagus, Mas. Apa Ibu mau dipakaikan kayak gitu, Mas?" tanyaku polos bin heran.
"Hahaha."
Mas Hisyam terbahak ringan menutup bibir tipisnya.
Aku mengerutkan kening,
"Kok ketawa sih, Mas?" tanyaku datar.
"Habis Kamu itu lucu sih! Ini tu, Mas beliin Kamu, Cintaa!" serunya membisik di telinga.
Jadi, Mas Hisyam mengganti pakaian di kamar untukku dengan pakaian seperti ini semua?
Ah aku malu! Tangan mana tangan? Ingin sekali menutup mukaku.
“Tapi Mas pesan sama kamu, tetap rapat menutup aurat kalau keluar kamar,” terangnya seraya memilih model baju tidur yang lain.
“Ya Allah, pasti itu, Mas. Ara juga takut dosa,” balasku.
“Kan, Mas nggak tahu, misal Mas gak di rumah, di rumah adanya Mas Hasyim, setan itu pandai bermuslihat jahat.” Kata-kata Mas Hisyam terdengar aneh. Mengapa bisa ia menduga seperti itu?
Bersambung...
Kembaran Suamiku #4"Eh kirain nyari baju buat Ibu sih, Mas,” sanggahku mengalihkan ucapan mengandung duga mengherankan itu.Mungkin pipi ini sudah berubah merah seperti kepiting rebus karena tersipu, hanya saja rasa hangat menelusup di sela-sela rasa bahagia ini."Yang bulan madu siapa ?" Mas Hisyam menaikkan alis tebalnya seraya menoleh kepadaku."Kita, Mas. Hehe." Aku berusaha tetap bahagia di hadapannya."Ini cocok banget, Dek, sama kulit putihmu. Eh tapi apa aja cocok kok. Istri siapa dulu dong?" goda Mas Hisyam yang sudah kembali netral, semoga Mas Hisyam tak secemburu itu pada dugaannya yang belum tentu benar."Nurut aja aku, yang penting suamiku suka,” jawabku pasrah."Mbak, ini saya pilih,” ujar suamiku pada seorang SPG seraya menyerahkan beberapa stel baju tidur bernama lingerie dan model piyama pendek.Terus terang aku malu saat Mas Hi
Kembaran Suamiku #5"Alisa?" Terdengar suara khas dari belakangku yang datang dari dalam, ya, itu Mas Hasyim. Sebab, Mas Hisyam suamiku ada di depanku.Aku dan Mas Hisyam menoleh ke belakang.Wanita itu pun berkata, “Loh? Kok ada dua?" tanyanya heran sambil mengucek mata. Untung bulu matanya nggak jatuh. Oops!Mas Hasyim malah tertawa kecil, aku dan Mas Hisyam menyingkir, Mas Hasyim kemudian mendekati wanita itu."Ayo sini masuk!" titah Mas Hasyim pada wanita berparas cantik tetapi tak begitu tinggi postur tubuhnya.Oh ternyata tamunya Mas Hasyim, kembaran suamiku.Dada yang tadinya bergemuruh menjadi tenang. Kukira suamiku bermain api di belakangku. Ternyata wanita itu mencari kembaran suamiku.Namun, setelah rasa berkecamuk itu berperang dalam hati, sekarang aku justru katakutan kalau Mas Hisyam dekat dengan wanita lain. Ah, prasangkaku sangat buruk.Repot juga y
Kembaran Suamiku #6Pov. AraPagi ini cerah sekali, secerah hatiku menyambut datangnya hari bulan madu, eh.Para lelaki sudah berangkat kerja ke kantornya masing-masing.Terapis sudah datang, aku pasrahkan Ibu kepadanya karena persediaan bahan di kulkas sudah menipis."Bu, Ara ke pasar dulu ya, Bu. Ibu jangan tegang pas terapi. Biar cepet sembuh!" pamitku pada Ibu mertua sambil tersenyum.Ibu nampak mengangguk pelan dan tersenyum. Aku mencium tangan beliau."Mbak, titip Ibu, ya. Saya mau ke pasar sebentar,” kataku pada terapis itu."Iya, Mbak." Ia mengulas senyum seraya mengangguk.“Semua sudah saya siapkan, nanti Mbak yang atur sendiri. Permisi,” pamitku kemudian berlalu.Setelah motor kukeluarkan dari garasi, pagar kututup. Aku pergi sendiri mengendarai motor, supaya lebih leluasa. Lagian di rumah ini mobilnya dibawa pemiliknya sendiri-sendiri.Setelah s
Kembaran Suamiku #7Ia langsung berdiri mendekati Ibu dan mendorong kursi roda Ibu ke kamar."Ayuk, Bu. Kita pergi dari sini. Jomlo nggak cocok liat adegan mereka,” goda Mas Hasyim sambil tertawa kecil dan berlalu.“Mas ni ada-ada aja, kan, di kamar juga bisa,” kataku pada Mas Hisyam.“Biarin,” pungkasnya dengan senyum lebar.***Kucuci semua piring dan alat makan yang ada, Mas Hasyim mengelap meja makan, dan Mas Hisyam suamiku menata alat makan yang sudah kucuci. Ibu istirahat di kamar. Meskipun mereka lelaki, sepertinya tetap rajin membantu pekerjaan dapur."Mas, Aku udah dapet info ART yang bakal nemenin Ibu." Suamiku berkata pada kakaknya."Mulai kapan dia kesini?" tanya Mas Hasyim."Aku suruh besok. Biar Ara nggak kecapekan. Sekalian besok aku masuk dan ambil cuti,” terang Mas Hisyam."Baguslah,” jawab Mas Hasyim datar.Sedangkan suamiku hanya
Kembaran Suamiku #8“Kurang nyaman bagaimana, Sayang?” tanya Mas Hisyam menyelipkan helaian rambutku di balik telinga.“Ah, enggak ... gapapa, Mas.” Aku berkilah, tak ingin membuatnya susah.Usai subuh, suamiku pulang dari masjid. Ia bertilawah Alqur'an di ruang keluarga, sedangkan Mas Hasyim, biasa bertilawah di kamar Ibu.Aku dan Bu Marni membuat sarapan dan minuman hangat.Lebih bersemangat lagi aku di dapur karena dibantu Bu Marni.Setelah susu, kopi, dan teh tersaji sesuai dengan kesukaan masing-masing, aku memanggil Mas Hisyam, namun tidak ada di ruang keluarga.Aku ke kamar Ibu, ternyata mereka berkumpul disana.Ada Mas Hasyim yang membuatku canggung, haruskah seperti ini setiap kali bertemu dengannya?Aku memanggil, mereka menoleh. Kusampaikan kalau minuman serta sarapan sudah siap di meja makan.Ibu seperti berharap aku mendekati beliau, kuturuti dan masuk dalam kamar Ibu.
Kembaran Suami #9"Jangan ikut masuk dulu, Mas! Pakaian Ara belum lengkap," ucapku sambil menahan langkah kakakku itu. Tak sepantasnya ia terlalu khawatir pada istriku.“Oh, ya,” membalik arah ke kamar Ibu."Pak Hisyam, ada minyak kayu putih?" tanya Bu Marni."Ada, Bu. Di kotak p3k itu." Aku menunjuk lemari p3k di kamar.
Kembaran Suamiku #10"Ara, suami kamu sudah tiada, lebih baik kamu secepatnya pulang bersama Papa dan Mama." Papa berkata padaku, membujuk halus di hadapan Ibu juga Mas Hasyim."Bi-ar-kan Arr-ra di sinni." Ibu berusaha berkata meski terbata, manik matanya memancarkan duka.Kami semua menatap Ibu. Sungguh aku tidak tega melihat Ibu, tentu Ibu lebih terpukul daripada aku karena Ibu yang melahirkan Mas Hisyam. Sedangkan aku saja yang baru hampir lebih dari satu bulan bersama Mas Hisyam amatlah sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ya, tak pernah terbesit sedikit pun di benakku.Tangan Mas Hasyim memegang tangan Papa."Pak Nur, saya mohon, biarkan Ara di sini dulu. Supaya Ara bisa menenangkan diri di tempat yang sudah menjadi kenangan Ara dan Hisyam. Nafkah Ara dan calon bayinya, saya akan berusaha bertanggung jawab, karena itu juga termasuk pesan dari Hisyam." Mas Hasyim memohon pada Papa.Papa menoleh ke Mama. Mama pun samar ter
Kembaran Suamiku #11"Ra?" Suara Mas Hasyim mengejutkanku"Iya, Mas?"Aku kaget saat Mas Hasyim memanggilku, sehingga aku langsung membuka mata dan menolehnya."Kita sudah sampai, ayo turun!" ajaknya yang sudah memarkirkan mobil di tempat parkir sebuah mall."Udah, jangan banyak melamun, Ra. Ikhlaskan apa yang sudah menjadi ketentuan Allah. Kita tidak bisa mengembalikan apapun,” imbuh Mas Hasyim saat melihatku melamun.Aku menghela napas pelan dan menunduk sejenak.Mas Hasyim keluar dari mobil lebih dahulu dan membukakan pintu untukku.Kami pun turun.Saat di pintu masuk kami berhenti. Ada suara wanita memanggil Mas Hasyim dan membuat Mas Hasyim pun berbalik badan."Alisa?" ucap Mas Hasyim pelan.Aku menoleh ke arah Alisa.Wanita itu berjalan cepat ke arah kami, membuat Mas Hasyim memperhatikannya."Wah kebetulan, Mas, kita ketemu di sini,” sapa Alisa dengan