Bianna tersenyum getir ketika dengan mata kepalanya sendiri melihat mobil yang tadi dia tumpangi akhirnya jatuh dan meledak di bawah jurang. Langit malam pun berubah terang karena api yang menyala dari badan mobil itu.
Dia beruntung karena sempat menyelamatkan diri meski blouse yang dia pakai robek di bagian lengan karena tersayat kaca jendela yang pecah. Wanita yang mengikat rambut hitam panjangnya itu pun memilih pergi dan menyingkir dari tempat itu sebelum warga sekitar mendekati lokasi kecelakaannya.
Belum lagi terlalu jauh dari tempat kecelakaan, Bianna merasa perutnya sakit sekali. Tidak ingin peduli, tetapi semakin dia berjalan, sakit itu semakin menjadi. Bianna sempatkan berhenti untuk mengatur napas.
“Tidak! Aku tidak boleh kalah. Aku masih harus kembali untuk merebut semua yang seharusnya menjadi milikku,” gumam Bianna sembari melanjutkan langkahnya, hingga entah sudah berapa lama dia berjalan tubuhnya semakin melemah dan matanya pun berkunang-kunang.
Saat Bianna mengira di seberang jalan ada sebuah kios untuk dirinya berteduh, dengan langkah sempoyongan dan juga sambil meremas perutnya yang sakit, wanita itu pun menyeberang.
Bianna terkejut ketika mendengar klakson sebuah mobil yang mendekatinya. Wanita itu menjerit sambil menutup mata yang sudah tidak pakai kacamata. Tepat saat mobil mengerem, Bianna pun jatuh tergeletak di atas aspal jalan.
Dia tidak sadarkan diri….
***
Bias cahaya matahari yang menyusup melalui celah gorden ruang rawat itu menerpa wajah seorang wanita yang terbaring tidak sadarkan diri sejak satu minggu yang lalu.
Kelopak matanya bergerak-gerak dan perlahan terbuka. Bianna mengerjap berulang kali untuk menyesuaikan pencahayaan yang masuk ke retinanya. Perlahan tetapi pasti dia bisa melihat sesuatu meski sedikit buram karena tanpa kacamata.
“Minum….” gumamnya lirih yang ternyata didengar oleh seorang pria yang sedari tadi duduk di sofa tidak jauh dari ranjangnya.
Pria itu segera meletakkan iPad yang dia pegang ke sisi sofa lalu beranjak berdiri menghampiri ranjang.
“Akhirnya kamu sadar juga. Sebentar saya panggilkan dokter.”
Tanpa menunggu jawaban Bianna, pria itu beralih mendekati dan menekan tombol interkom yang terhubung dengan ruang petugas kesehatan. Setelah itu dia mengambil gelas air minum yang ada di atas nakas.
“Minumlah,” ujar pria asing itu sambil memberikan ujung sedotan ke depan mulut Bianna.
Bianna membiarkan air mineral membasahi tenggorokannya dan merasakan sejuknya yang melegakan.
“Anda… siapa?” tanya gadis itu dengan suara serak. “Dan… di mana aku?”
Pria itu terdiam beberapa detik sebelum menjawab. “Saya Damian. Kamu ada di rumah sakit. Apa kamu tidak ingat apa yang terjadi pada dirimu?”
Bianna mengerjapkan kelopak matanya sekali lagi mencoba mengingat apa yang sudah terjadi pada dirinya sendiri. Sekelebat bayang kejadian saat dia menangis di dalam sebuah mobil lalu kecelakaan dan berakhir dirinya hampir tertabrak mobil terlintas di otaknya.
Sedetik kemudian, Bianna menangis saat ingatannya kembali pada waktu dia memergoki sang suami sedang bergumul bersama dengan sekretarisnya.
Melihatnya, Damian hanya diam dan membiarkan Bianna menumpahkan perasaannya lewat tangisan yang memilukan.
“Su-sudah berapa lama aku berada di sini?” tanya Bianna setelah tangisnya mereda.
Ekspresi Damian tidak terbaca. Dengan tenang dia menjawab, “Kamu tidak sadarkan diri sejak seminggu yang lalu.”
“A-apa?! Seminggu?” Bianna berusaha bangkit dari baringnya dan itu mengejutkan Damian.
“Hati-hati! Kamu baru saja sadar, jangan banyak bergerak dulu,” ujar pria itu sambil membantu Bianna yang memaksa untuk duduk.
“Tidak! Aku tidak boleh terus berbaring di sini. Aku harus menemui laki-laki itu dan mengambil kembali semua milikku!”
Damian mengernyitkan dahinya tidak mengerti apa yang dikatakan oleh wanita itu. “Tenanglah, tunggu dokter memeriksamu.”
Bianna tak bisa memberontak saat pria itu membantunya kembali berbaring karena tenaganya sama sekali tak ada.
Tepat saat itu, dokter memasuki ruang rawatnya bersama seorang suster. Tanpa basa-basi, Damian mempersilakan sang dokter untuk memeriksa keadaan Bianna.
“Syukurlah semua sudah kembali normal. Selamat Nyonya, kami sudah sempat khawatir kalau anda akan tidur cukup lama,” ucap dokter sambil tersenyum.
“Terima kasih, Dokter,” sahut Bianna lemah.
“Jangan terima kasih pada saya, berterima kasihlah pada Tuan yang ada di samping Anda. Jika bukan dia, mungkin nyawa Anda sudah sejak awal tidak tertolong.”
Mendengar pernyataan dokter, Bianna langsung menoleh pada Damian.
Meski matanya sedikit kabur karena tidak memakai kacamata, Bianna bisa menilai pria di sampingnya itu sepertinya bukan pria yang jahat.
“Bisakah saya mendapatkan kacamata saya lagi? Tanpa itu saya tidak bisa melihat dengan jelas,” ungkap Bianna jujur.
“Baik Nona, kami akan menyediakan kacamata untuk Anda. Kalau begitu kami permisi dulu, selamat pagi.” Dokter dan suster yang bersamanya pun segera meninggalkan ruangan itu.
“Terima kasih, Tuan. Saya berutang budi pada Anda. Tidak… saya sudah berutang nyawa pada Anda,” ucap Bianna tulus meskipun perasaannya gundah.
Damian menatapnya lekat. “Tidak perlu berterima kasih, saya menolongmu atas dasar kemanusiaan.”
Mendengar suara tenang tapi penuh intimidasi itu membuat Bianna menelan ludah. Namun, ia memaksakan diri agar kembali bersuara.
“Apa pun itu, saya janji setelah saya kembali normal, saya akan balas semua kebaikan Anda.”
“Tidak usah terburu-buru,” sahut Damian seolah itu bukan perkara besar. “Apa ada keluarga yang bisa kamu hubungi?”
Bianna tersenyum getir mendengarnya. Dia anak yatim piatu, dan kini dia pun seorang janda.
“Keluarga? Sayangnya mereka sudah musnah terbakar bersama mobil yang jatuh di jurang itu,” jawab Bianna dengan sarkas.
“Apa maksudmu, Bia?”
Sontak Bianna terbelalak. Ia menatap pria yang baru saja memanggil nama panggilan akrabnya dengan tatapan tak percaya.
“Anda mengenal saya?”
Pria itu memiliki postur tinggi menjulang, berpakaian jas rapi membalut tubuhnya yang atletis, terlihat makin berwibawa dengan cambang tipisnya. Meskipun buram, tapi Bianna yakin dia adalah pria yang tampan. Hanya saja, Bianna juga yakin ia tidak mengenali pria itu seumur hidupnya.“Saya mencari tahu siapa dirimu saat kamu masih koma.”Bianna tertegun mendengar jawaban Damian. “Semua? Apa keluarga saya tahu saya di sini?” tanyanya memastikan.Damian tidak langsung menjawab. Dia memilih mengambil iPad yang ada di atas sofa lalu membuka laman portal berita bisnis hari ini. Setelah ketemu yang dia cari, pria tampan itu mengulurkan benda pintar itu pada Bianna. “Suamimu sudah menganggapmu mati dalam kecelakaan itu.”Bianna terkejut dengan pernyataan Damian. Dia bawa matanya melihat layar sebelas inch tersebut. Seketika bola matanya membulat sempurna membaca headline news pagi ini.Kevin, sang suami mengumumkan pernikahannya dengan Leony setelah memastikan dirinya tewas dalam kecelakaan
Namun, sepertinya Bianna juga sudah gila. Selama tiga hari ini, dia sudah memikirkan keputusannya ribuan kali. Ia mempertimbangkan baik-buruknya, dan ia sampai pada kesimpulan bahwa tawaran Damian adalah jalan keluar paling mudah. Bianna hanya perlu menikah dengan pria itu untuk mendapatkan sumber daya tak terbatas. Dimana lagi ia bisa mendapatkan kesempatan seperti itu?Jadi, hari ini, ia sudah tampak siap karena sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit oleh dokter. Sesuai ucapan Damian, pria itu datang ke sana untuk menjemputnya, juga untuk menagih jawaban atas tawaran yang dia layangkan.“Anda datang, Tuan?” sambut Bianna sambil tersenyum saat Damian masuk ke dalam ruangan. Pria itu tampak terkejut saat melihat penampilannya. Hari ini, Bianna memakai dress putih sepanjang lutut dengan rompi lengan panjang yang juga sewarna bajunya. Makeup tipis yang menghiasi wajah membuatnya tampak berseri, tidak pucat seperti sebelumnya.Damian tidak mengatakan apapun selama beberapa saat.
Teras kantor catatan sipil sudah dipenuhi oleh para wartawan dari berbagai media elektronik mau pun cetak di seluruh Mexico ini. Baik wartawan wanita maupun pria yang membawa mic segera menghampiri sumber berita mereka–Bianna dan Damian–yang berjalan di belakang Eduardo saat ketiganya keluar dari pintu utama gedung itu. Bukan itu saja, lampu blitz dari kamera para pencari berita itu juga menyambut kedatangan ketiganya. Bianna yang belum terbiasa dengan keadaan seperti ini tentu mendadak grogi dan ketakutan. Dia, bahkan hampir melangkah mundur kalau saja tangan besar Damian tidak menahan lengannya. “Hadapi! Kalau kamu mundur sekarang berarti kamu kalah, Bia!” Singkat, tetapi cukup menyentak hati Bianna. “I-iya, Tuan.” “Damian. Mulai hari ini aku suamimu,” ujarnya penuh penekanan di akhir kalimatnya. “Baik, Damian. Aku mengerti,” sahut Bianna tergugu. “Sekarang tersenyumlah. Tunjukkan pada mereka kalau kamu bahagia atas pernikahan ini.” Bianna tidak bisa membantah setiap ucap
Kaki jenjang Bianna memasuki sebuah kamar di lantai dua rumah mewah itu. Ada Damian menyusul di belakangnya, tanpa bicara dan hanya memperhatikan gerak gerik Bianna yang sedang menyusuri isi kamar miliknya. Bianna cukup terperangah melihat isi kamar paling luas yang ada di rumah ini. Kamar utama dengan ranjang besar berada di sebelah kanan pintu menjadi pemandangan pertama yang ditangkap mata almond wanita itu. Di sebelah kirinya terdapat satu ruangan dengan sliding door kaca buram yang Bianna tebak adalah ruang ganti Damian yang juga terhubung dengan kamar mandi kamar ini. Bianna melanjutkan langkahnya menuju dinding yang ditutupi dengan gorden transparan. Bianna yakin dibalik gorden itu pasti pemandangan luar rumah ini. Namun, sebelum membukanya, wanita berambut panjang itu menengok pada Damian yang ternyata sudah duduk di tepi ranjang dan sedang melonggarkan dasinya. “Maaf, Damian. Aku sudah terlalu lancang menyentuh isi kamar ini,” ujar Bianna yang merasa tak enak karena seda
Bianna masih merasa kesal pada Damian atas ucapannya tadi sore. Wanita itu berpikir seharusnya Damian tidak bicara sesarkas itu. Mana dia tahu kalau pria itu akan masuk ke ruang ganti saat dirinya masih beberes pakaiannya di dalam dan sialnya, Bianna memang sembarang meletakkan pakaian dalamnya tanpa menyadari kalau saat ini dia berada di rumah pria yang hanya pura-pura menjadi suaminya demi membantunya membalas dendam pada mantan suaminya. Sampai hari ini Bianna sendiri tidak tahu apa alasan Damian dan kenapa pria tampan itu mau menikahi janda miskin seperti dirinya. Bianna sedang merapikan rambut yang sudah dia catok hingga terlihat semakin lurus dan berkilau saat pintu kamarnya diketuk seseorang. “Masuk saja,” ucapnya sembari menyemprotkan hair mist agar rambutnya tetap rapi dan wangi.“Maaf, Nyonya. Anda sudah ditunggu oleh tuan Damian di bawah,” lapor Inara, salah satu pelayan muda di rumah ini. “Ah, iya, Nara. Aku sudah siap. Bisa minta tolong ambilkan sepatuku di dalam?” Pi
Bianna masih menatap heran pada wanita yang baru saja menyapanya. Sekeras apa pun dia mengingat, Bianna tetap tidak tahu siapa wanita itu. “Namaku Eveline, istri dari Tobias Fernando, kamu mungkin tak tahu aku, tapi mungkin mengenal suamiku.” Wanita bernama Eveline itu memperkenalkan dirinya seakan-akan tahu isyarat kebingungan di mata Bianna. Bianna kembali mengingat nama terakhir yang Eveline sebut. Bianna kembali mengumpat dalam hati sekaligus menyesali karena jarang ikut menghadiri pesta dan meeting yang dilakukan oleh Kevin dan ayahnya dulu. Alhasil dia jarang bertemu dengan para relasi perusahaan. Seperti yang terjadi saat ini. Bianna terpaksa tesenyum kikuk karena gagal mengingat nama suami Eveline.“Maafkan aku Eve. Aku tidak bisa mengingat kalian.” Eveline tersenyum simpul. “Sudah kuduga. It’s okay Bia. Seingatku, kita juga baru sekali bertemu saat pesta ulang tahun terakhir ayahmu. Setelah itu aku tidak pernah meli
Ditemani alunan musik Mariachi khas Meksiko pun suara denting sloki berisi tequila–minuman alkohol yang pasti selalu ada di setiap pergelaran pesta di kota ini–juga tawa ceria para tamu undangan yang sengaja turun ke area dansa untuk menari bergembira menggoyangkan tubuh mereka mengikuti irama musik yang sudah terkenal mendunia itu, menjadikan suasana pesta pernikahan Bianna dan Damian semakin meriah.Namun sayangnya, sang pengantin wanita yang tahun ini akan berusia dua puluh delapan tahun itu tidak bisa menikmatinya dengan tersenyum, melainkan dengan kesedihan dan derai air mata yang tak kunjung mereda meski beberapa kali dia menyeka pipinya yang basah. Rasa sakit di dadanya begitu menyesakkan. Sudahlah dianggap meninggal, kini dia harus menghadapi kenyataan kalau mantan suaminya sudah menuduhnya berselingkuh. Bianna yang malang harus berbuat apa sekarang? Saat nama baik yang dia jaga selama ini harus rusak oleh kelakuan pria yang tak bertanggung jawab
Mobil sedan Mercedes Benz C300 hitam sudah berhenti di pelataran lobi kantor Lysander Corporation. Pintu mobil bagian belakang segara dibuka oleh Dion. Wanita berpakaian layaknya orang kantoran, keluar dari dalam mobil. Bianna, nama wanita itu. Dia menatap pintu utama gedung pencakar langit di depan sana dengan perasaan takjub. Suami yang dia kenal saat berada di kamar rawat rumah sakit ternyata sekaya ini. Wanita itu, bahkan tidak bisa menebak kejutan apa lagi yang akan dia dapatkan nanti di dalam sana.“Silakan Nyonya. Tuan Damian sudah menunggu Anda di ruangannya.” Bianna tersenyum kikuk karena kedapatan Dion sedang melamun. “Iya, Makasih, Dion.” Pria muda itu tersenyum lalu mempersilakan Bianna jalan lebih dulu. Dua orang satpam pintu menyapa dengan menganggukkan kepalanya, Bianna balas sembari tersenyum. Begitu juga saat memasuki lobi kantor, wanita yang memakai blazer serba putih dengan rok sepan sebatas lutut itu disa