Ditemani alunan musik Mariachi khas Meksiko pun suara denting sloki berisi tequila–minuman alkohol yang pasti selalu ada di setiap pergelaran pesta di kota ini–juga tawa ceria para tamu undangan yang sengaja turun ke area dansa untuk menari bergembira menggoyangkan tubuh mereka mengikuti irama musik yang sudah terkenal mendunia itu, menjadikan suasana pesta pernikahan Bianna dan Damian semakin meriah.
Namun sayangnya, sang pengantin wanita yang tahun ini akan berusia dua puluh delapan tahun itu tidak bisa menikmatinya dengan tersenyum, melainkan dengan kesedihan dan derai air mata yang tak kunjung mereda meski beberapa kali dia menyeka pipinya yang basah.Rasa sakit di dadanya begitu menyesakkan. Sudahlah dianggap meninggal, kini dia harus menghadapi kenyataan kalau mantan suaminya sudah menuduhnya berselingkuh. Bianna yang malang harus berbuat apa sekarang? Saat nama baik yang dia jaga selama ini harus rusak oleh kelakuan pria yang tak bertanggung jawabMobil sedan Mercedes Benz C300 hitam sudah berhenti di pelataran lobi kantor Lysander Corporation. Pintu mobil bagian belakang segara dibuka oleh Dion. Wanita berpakaian layaknya orang kantoran, keluar dari dalam mobil. Bianna, nama wanita itu. Dia menatap pintu utama gedung pencakar langit di depan sana dengan perasaan takjub. Suami yang dia kenal saat berada di kamar rawat rumah sakit ternyata sekaya ini. Wanita itu, bahkan tidak bisa menebak kejutan apa lagi yang akan dia dapatkan nanti di dalam sana.“Silakan Nyonya. Tuan Damian sudah menunggu Anda di ruangannya.” Bianna tersenyum kikuk karena kedapatan Dion sedang melamun. “Iya, Makasih, Dion.” Pria muda itu tersenyum lalu mempersilakan Bianna jalan lebih dulu. Dua orang satpam pintu menyapa dengan menganggukkan kepalanya, Bianna balas sembari tersenyum. Begitu juga saat memasuki lobi kantor, wanita yang memakai blazer serba putih dengan rok sepan sebatas lutut itu disa
Ruang meeting yang tadi banyak orang, kini berubah lengang. Hanya ada Bianna yang duduk berhadapan dengan Eduardo dan tak jauh darinya, Damian masih bercengkrama dengan Dion dan Direktur keuangan. “Maafkan, Opa, Bia.” Eduardo menggenggam tangan halus Bianna.“Kenapa Opa bicara begitu? Aku tidak merasa Opa punya salah padaku,” sahut wanita itu dengan tatapan teduhnya. Eduardo tersenyum penuh arti. “Opa merasa sepanjang rapat tadi kamu begitu tertekan. Padahal kamu baru masuk ke keluarga kami, tapi mereka sudah mencecarmu dengan banyak pertanyaan dan juga tuntutan.” Bibir Bianna menyunggingkan senyum tipis sekali, kalau mau jujur, tentu saja meeting pagi ini seperti yang Eduardo bilang. Bianna sangat tertekan. Saat Damian memperkenalkannya sebagai istri sekaligus direktur pelaksana yang baru, berbagai tanggapan bermunculan. Dari yang meragukan kemampuan wanita lulusan MBA Harvard university ini sampai yang mendu
Satu per satu hal yang dijanjikan Damian mulai terwujud setelah pria itu menikahi Bianna. Dari merubah penampilannya, memberinya posisi bergengsi di perusahaan hingga ….“Lusa kita akan bertemu dengan mantan suamimu, Bia.”“Benarkah?” Bianna memekik tak percaya. “Secepat ini?”“Iya, Presentasikan semua yang ada di proposal itu dengan singkat dan jelas, kalahkan mereka dengan mendapatkan tender itu. Aku kira itu cukup memberikan shock therapy pertama untuk mereka.”Bianna ternganga dengan penjelasan Damian. “A-apa aku bisa, Dami?”Damian bertanya dengan sinis sambil satu tangan sudah dia simpan dikantong celana bahannya. “Kenapa? Kamu ingin menyerah sekarang?” Seketika Bianna membalas dengan tatapan sengit. Nada bicaranya pun berubah tak ramah lagi. “Siapa bilang aku akan menyerah? Aku memang ragu apa bisa mempresentasikan ini dengan baik tapi bukan berarti aku menyerah, Damian!”Sering
“Nona Bia? Ya Tuhan, benarkah ini Nona Bia?” Miranda Kherr tampak terkejut saat melihat anak dari majikannya berdiri di ambang pintu. Tentu saja karena dia dan semua orang pikir, Bianna memang sudah meninggal dalam kecelakaan itu, bukan? Kalau sekarang Bianna muncul dengan penampilan baru, siapa yang tidak akan terkejut. Miranda membingkai wajah ayu Bianna, menekan beberapa kali seakan-akan sedang memastikan kalau makhluk di hadapannya ini adalah benar-benar manusia yang dia kenali. Bianna tersenyum penuh arti. Dia raih tangan kiri Miranda sambil berkata, “Iya, Bik. Ini aku, Bia.” Tanpa basa-basi Miranda langsung merengkuh tubuh ramping Bianna. Memeluknya erat seolah-olah ini adalah saat terakhir mereka bisa melakukannya. “Puji Tuhan kalau Anda masih hidup, Non. Saya benar-benar bersyukur sekali.” Miranda menarik diru. “Ayo, masuk, Non.” Dia menuntun tangan Bianna masuk ke unit apartemen sederhananya. Miranda Kherr adalah pengasuh Bianna sejak bayi. Dia diangkat menjadi kepa
“Di mana sopan santun Anda, Om? Datang-datang langsung teriak-teriak begitu?” Damian menanggapi dengan sikap dingin kedatangan pria yang dipanggilnya Om, sedangkan Bianna menatap bingung pada pria yang kelihatannya memang lebih tua dari suaminya itu. “Bagaimana aku bisa sopan kalau orang yang aku hadapi ini manusia penipu!” sentak pria itu yang mana membuat Damian membelalakkan matanya. “Siapa yang menipu Anda?” tanya Damian dengan sinis. Dia sempat melihat pada Bianna yang memilih diam dan memperhatikan pembicaraan mereka. “Kamu. Kan, kamu yang suruh aku cepat pulang dari Jerman untuk menempati kursi direktur yang kosong, tapi apa ini? Aku dapat kabar kalau posisi itu sudah kamu berikan pada orang lain. Apa-apaan begitu caranya?” Bianna sepertinya paham apa yang mereka bahas. Posisi yang dimaksud pria itu pastilah jabatan dia saat ini. Terdengar decakan dari bibir Damian. “Hentikan membuat keributan yang tidak berarti. Maafkan aku tidak memberitahu Om lebih awal. Tapi jabatan
“Demi Tuhan jangan asal bicara, Damian!” gerutu Bianna setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri. Dia segera beringsut turun dari atas dada Damian yang terkekeh membalas ucapannya. Bianna membenarkan jubah tidurnya yang sempat tersingkap hingga bahunya terlihat. Bianna berharap pria itu tidak menyadarinya. “Aku mau kembali tidur. Selamat malam.” Bianna melangkah dengan cepat, tetapi kembali berhenti saat kata-kata Damian mengudara. “Aku suka parfumnya, Bia. Jangan gunakan itu kalau kamu keluar rumah, ngerti?” Bianna kembali terbelalak, dia segera memutar tubuhnya hanya untuk melihat wajah sang suami yang baru saja memujinya. “Kalau aku tidak mau, kamu mau apa?” tantang Bianna dengan nada sinis. Damian yang sudah duduk di sofanya tersenyum menyeringai. “Silakan kalau mau dicoba, aku jamin kamu tidak akan bisa keluar dari kamar ini.” Bianna ingin membantah, tetapi Damian kembali bicara. “Aku tidak suka dibantah, Bia. Jadi, menurutlah. Selamat malam.” Dengan santainya D
“Apa aku boleh tanya sesuatu, Dami?” Bianna memberanikan diri bertanya pada Damian saat mobil SUV Mercedes Benz yang membawa mereka sudah separuh perjalanan dari rumah. “Soal apa?” Damian balik bertanya tanpa melihat pada Bianna. Bianna menghela napasnya perlahan sebelum akhirnya mengungkapkan apa yang sedari tadi mengganjal di hatinya. “Apa kalian ada masalah? Maksudku, kamu dan Om Sean. Kenapa sepertinya kamu tidak suka dia tinggal di rumah itu.” Damian tak bereaksi. Itu membuat Bianna semakin yakin kalau kedua paman dan keponakan itu punya masalah yang tidak semua orang ketahui, tatapi apa itu? “Baiklah kalau kamu tidak mau jawab, maaf kalau aku sudah lancang.” “Bagus kalau kamu sadar.” Damian menengok pada Bianna dan melanjutkan bicaranya. “Karena tidak semua hal harus aku katakan padamu apalagi jika itu tak ada hubungannya denganmu. Jadi, diam dan turuti saja perintahku.” Bianna mendengkus sebal, tetapi tak berniat membantah ucapan sang pria. Masa bodoh dengan u
Bianna menekan keras pelipis kanan dengan jari telunjuknya. Kepalanya dirasa hampir pecah saat melihat dua menu sarapan di atas meja kerjanya. Sebelah kanan ada chicken cream soup yang masih hangat dengan lima buah garlic bread sudah menggodanya untuk segera disantap, tetapi saat melihat di sebelah kiri ada Taco salad berisi sayuran segar dan potongan daging panggang–makanan khas Meksiko–dengan saos sour cream yang pasti sangat lezat, Bianna mendadak dilema. Wanita pencinta salad ini tentu tahu siapa yang mengirim dua buah taco berukuran sedang ini karena Innez sendiri yang mengantarnya ke sini. Lantas siapa Mister Lysander satu lagi yang mengirim sarapan sebelumnya? “Astaga! Perutku lapar, tapi kenapa kalian buat aku bingung begini? Kalau ini dari Damian, lalu yang ini dari siapa? Apa iya, Opa yang kirim?” Belum lagi jawaban dia dapatkan, pintu ruang kerjanya kembali diketuk seseorang. “Masuk,” ucapnya
"Kalau begitu, duduklah sebentar," ujar Kevin akhirnya, mengisyaratkan Bianna untuk duduk di sofa panjang yang ada di sudut ruangan.Bianna menuruti ajakannya. Dia duduk dengan anggun, menyilangkan kakinya dengan tenang. Kevin mengambil tempat di seberangnya, menatapnya dengan tatapan penuh arti."Aku tidak akan berbohong," kata Kevin akhirnya. "Menjalankan Harland Group tidak semudah yang kamu bayangkan, terutama setelah tender terakhir yang kamu menangkan. Itu benar-benar menyulitkanku."Bianna tersenyum tipis, merasa puas dengan pengakuan Kevin. Dia tahu proyek besar itu akan berdampak besar pada Harland Group, dan itu adalah bagian dari rencananya."Oh?" Bianna memiringkan kepalanya sedikit, berpura-pura terkejut. "Kupikir Harland Group cukup kuat untuk mengatasi tantangan seperti itu."Kevin menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Harland Group memang kuat, tapi aku tak bisa menyangkal bahwa kemenanganmu dalam tender itu m
Saat Bianna keluar dari kafe, Tian yang sudah menunggu di dekat mobil segera mendekat dengan ekspresi terkejut. Matanya membesar saat melihat wajah Bianna yang masih basah, rambutnya yang sedikit menempel di pipi, dan sisa lemon tea yang mengering di ujung blazer yang dia kenakan."Nyonya, apa yang terjadi?" tanya Tian dengan khawatir. "Kenapa rambut Anda basah seperti ini?"Bianna menghela napas panjang dan mengibaskan sedikit rambutnya yang basah, mencoba menghilangkan sisa air yang masih menempel. "Bukan apa-apa," katanya santai, meskipun dalam hatinya masih terasa kesal dengan kejadian tadi.Tian menatapnya ragu. "Apa kita pulang saja? Saya bisa menyiapkan pakaian baru untuk Anda," usulnya.Bianna menggeleng tegas. "Tidak perlu. Aku ingin langsung pergi ke Harland Group."Tian tampak sedikit kaget dengan keputusan Bianna yang tetap ingin melanjutkan rencananya, meskipun jelas ada sesuatu yang terjadi di dalam kafe tadi. Namun, Tian su
Leony cukup terkejut dengan tawaran Bianna, dia menatap wanita yang masih berpakaian kerja itu dengan ekspresi enggan, tetapi setelah beberapa detik, akhirnya dia menarik kursi di depannya dan duduk dengan kasar. Tangannya mengepal di atas meja, menahan amarahnya yang masih membara.Bianna tersenyum tipis, matanya berbinar dengan ketenangan yang jelas membuat Leony semakin frustasi. "Aku sudah tahu kalau kamu akan melakukan sesuatu seperti ini," katanya seraya melipat serbet di tangannya. "Tapi aku tidak tahu kalau rasanya sememalukan ini."Leony mendengkus, matanya berkilat penuh kemarahan. "Aku tidak peduli bagaimana perasaanmu, Bia. Aku datang ke sini hanya untuk memperingatkanmu untuk tidak mendekati Kevin lagi."Bianna menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, menyilangkan kakinya dengan santai. "Salah paham," katanya ringan. "Aku bukan orang yang mendekati Kevin." Dia berhenti sejenak, menikmati reaksi Leony yang tampak semakin t
Bianna tersenyum samar, tetapi tidak menjawab langsung. Matanya justru beralih menatap jam di dinding. "Sudah hampir waktunya untuk rapat," katanya, mengalihkan pembicaraan.Sean menyadari bahwa Bianna tidak ingin membahasnya lebih jauh. Meskipun rasa penasarannya belum sepenuhnya terjawab, dia memilih untuk tidak memaksa."Baiklah," kata Sean akhirnya, bangkit dari kursinya. "Ayo ke ruang rapat."Bianna mengangguk dan ikut berdiri. Keduanya lalu berjalan keluar dari ruang kerja Bianna menuju ruang rapat, dengan Sean yang masih diam-diam memikirkan sesuatu di dalam benaknya.*** Bianna melangkah masuk ke dalam kafe dengan tenang. Pandangannya menyapu ruangan yang cukup ramai siang itu. Ia memilih tempat duduk di sudut yang agak jauh dari keramaian, lalu duduk dengan anggun sambil melirik jam tangannya. Leony belum datang.Dengan santai, Bianna memanggil pelayan dan memesan ice lemon tea. Dia tidak tahu berapa lama harus menunggu
Saat Bianna keluar dari rumah sakit dan berjalan menuju mobilnya, ponselnya tiba-tiba bergetar. Dia melihat layar dan mendapati nama Leony tertera di sana. Dahinya mengernyit. Apa lagi yang wanita itu inginkan?Tanpa banyak berpikir, Bianna mengangkat teleponnya."Ada apa?" tanyanya datar.Di seberang sana, suara Leony terdengar tajam. "Kita harus bertemu."Bianna mendesah pelan. “Maaf, aku sangat sibuk. Jika kamu hanya ingin membuang waktuku, lebih baik langsung ke intinya saja.” Suaranya terdengar malas.Leony tertawa sinis. “Jangan sok sibuk, ya? Padahal kamu tidak terlalu sibuk saat merebut suamiku.”Bianna menyipitkan mata. “Lucu sekali mendengar itu darimu. Kamu menelpon seseorang untuk meminta bertemu, tapi bahkan tidak bisa menjaga sopan santun? Di mana tata kramamu?” Nada sindiran Bianna jelas, dan itu membuat Leony semakin kesal."Jalang kamu, Bia!" suara Leony meninggi. “Aku tidak peduli seberapa sibuknya kamu
Suaranya terputus saat matanya bertemu dengan tatapan tajam pria itu. Damian kini berada di atasnya, tubuhnya sedikit menindih, dengan kakinya sebagai tumpuan, sementara tangan lainnya masih menggenggam erat pergelangan tangan Bianna.Bianna menatapnya dengan terkejut, merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Apa yang kamu lakukan?” Suaranya terdengar lebih lemah dari yang dia harapkan.Damian menatapnya dalam diam, lalu bibirnya melengkung membentuk smirk khasnya. “Aku hanya memainkan peranku.”Bianna menelan ludah, berusaha menormalkan napasnya. “Peran apa?” tanyanya, meskipun dia merasa sedikit gugup dengan kemungkinan jawaban yang akan diberikan Damian.Damian tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia mengangkat tangannya dan dengan gerakan santai, menyentuh wajah Bianna. Jemarinya yang besar dan hangat menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di dahi wanita itu, menyelipkannya ke belakang telinga.Lalu dengan suara
“Aku akan memainkan peranku dengan lebih baik mulai sekarang.”Jawaban Bianna sukses membuat dahi Damian berkerut. “Maksudmu?”Bianna menarik napas panjang, menegakkan bahunya, lalu berkata dengan tegas, “Aku akan masuk ke perusahaan Kevin. Aku akan mengambil alih perusahaan itu secara diam-diam.”Tercipta keheningan selama beberapa detik sebelum Damian tertawa kecil. “Akhirnya, kamu mulai berpikir seperti ini juga.”Namun, tawanya bukanlah tawa mengejek. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terdengar seperti kepuasan. Seolah-olah dia memang sudah menunggu saat ini terjadi.“Tapi itu belum cukup, Bia,” lanjut Damian, matanya berbinar tajam. “Menunjukkan diri dengan penampilan berbeda hanya langkah awal. Berusaha merebut hati Kevin kembali, itu bukan strategi yang matang. Kamu harus lebih dari itu.”Bianna mengangguk mantap. Dia tahu itu. Dia sadar hanya bersikap manis kepada Kevin tidak akan membawanya jatuh.Itulah seba
Bianna mengangkat wajahnya sedikit, lalu menggeleng. "Dami tidak pernah begitu, Opa.” Dia mencoba meyakinkan Eduardo kalau suaminya bukan seperti yang orang tua itu pikirkan.Eduardo terkekeh kecil. "Aku mengenal cucuku lebih lama daripada kamu mengenalnya, Bia," katanya bijak. "Dan aku juga mengenal wajah pura-pura. Kamu bisa mengatakan padaku jika hatimu sedang tidak baik-baik saja."Bianna membuka mulut, tetapi tidak ada kata yang keluar. Selama ini, dia selalu berpura-pura tegar, bahkan di depan dirinya sendiri. Dia menelan semua emosi, semua kesedihan, dan rasa sakit, berpikir bahwa dia bisa mengatasinya sendirian. Namun, mendengar kata-kata Opa, Bianna merasa dinding yang selama ini dia bangun mulai runtuh.Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, mencoba menahan gemetar yang mulai terasa.Eduardo tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya duduk di sana, memberi ruang bagi Bianna untuk menghadapi perasaannya sendiri.Bianna menunduk, menatap je
Kevin menatap Bianna dengan ekspresi penuh kebingungan dan kegelisahan, sedangkan Bianna tetap tenang, menikmati anggurnya tanpa tergesa-gesa. Setelah selesai makan, Kevin menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan menatap Bianna dengan lembut. "Aku akan mengantarmu pulang," katanya. Bianna meraih tas dan coat di samping tempatnya duduk dan berdiri. "Tidak perlu," jawabnya dengan nada tenang. "Sopirku sudah menunggu di luar." Kevin menghela napas, lalu ikut berdiri. "Bia," panggilnya pelan. Bianna menatapnya, menunggu kelanjutan ucapannya. "Terima kasih sudah mau makan malam denganku," kata Kevin dengan senyum tulus. "Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya." Bianna tersenyum tipis. "Terima kasih juga untuk makan malamnya," ucapnya sopan. "Aku harap kamu benar-benar menepati janjimu kali ini, Vin." Kevin menatapnya seakan-akan ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi akhirn