“Demi Tuhan jangan asal bicara, Damian!” gerutu Bianna setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri. Dia segera beringsut turun dari atas dada Damian yang terkekeh membalas ucapannya. Bianna membenarkan jubah tidurnya yang sempat tersingkap hingga bahunya terlihat. Bianna berharap pria itu tidak menyadarinya. “Aku mau kembali tidur. Selamat malam.” Bianna melangkah dengan cepat, tetapi kembali berhenti saat kata-kata Damian mengudara. “Aku suka parfumnya, Bia. Jangan gunakan itu kalau kamu keluar rumah, ngerti?” Bianna kembali terbelalak, dia segera memutar tubuhnya hanya untuk melihat wajah sang suami yang baru saja memujinya. “Kalau aku tidak mau, kamu mau apa?” tantang Bianna dengan nada sinis. Damian yang sudah duduk di sofanya tersenyum menyeringai. “Silakan kalau mau dicoba, aku jamin kamu tidak akan bisa keluar dari kamar ini.” Bianna ingin membantah, tetapi Damian kembali bicara. “Aku tidak suka dibantah, Bia. Jadi, menurutlah. Selamat malam.” Dengan santainya D
“Apa aku boleh tanya sesuatu, Dami?” Bianna memberanikan diri bertanya pada Damian saat mobil SUV Mercedes Benz yang membawa mereka sudah separuh perjalanan dari rumah. “Soal apa?” Damian balik bertanya tanpa melihat pada Bianna. Bianna menghela napasnya perlahan sebelum akhirnya mengungkapkan apa yang sedari tadi mengganjal di hatinya. “Apa kalian ada masalah? Maksudku, kamu dan Om Sean. Kenapa sepertinya kamu tidak suka dia tinggal di rumah itu.” Damian tak bereaksi. Itu membuat Bianna semakin yakin kalau kedua paman dan keponakan itu punya masalah yang tidak semua orang ketahui, tatapi apa itu? “Baiklah kalau kamu tidak mau jawab, maaf kalau aku sudah lancang.” “Bagus kalau kamu sadar.” Damian menengok pada Bianna dan melanjutkan bicaranya. “Karena tidak semua hal harus aku katakan padamu apalagi jika itu tak ada hubungannya denganmu. Jadi, diam dan turuti saja perintahku.” Bianna mendengkus sebal, tetapi tak berniat membantah ucapan sang pria. Masa bodoh dengan u
Bianna menekan keras pelipis kanan dengan jari telunjuknya. Kepalanya dirasa hampir pecah saat melihat dua menu sarapan di atas meja kerjanya. Sebelah kanan ada chicken cream soup yang masih hangat dengan lima buah garlic bread sudah menggodanya untuk segera disantap, tetapi saat melihat di sebelah kiri ada Taco salad berisi sayuran segar dan potongan daging panggang–makanan khas Meksiko–dengan saos sour cream yang pasti sangat lezat, Bianna mendadak dilema. Wanita pencinta salad ini tentu tahu siapa yang mengirim dua buah taco berukuran sedang ini karena Innez sendiri yang mengantarnya ke sini. Lantas siapa Mister Lysander satu lagi yang mengirim sarapan sebelumnya? “Astaga! Perutku lapar, tapi kenapa kalian buat aku bingung begini? Kalau ini dari Damian, lalu yang ini dari siapa? Apa iya, Opa yang kirim?” Belum lagi jawaban dia dapatkan, pintu ruang kerjanya kembali diketuk seseorang. “Masuk,” ucapnya
“Bia … Bia!” Suara bariton di depannya cukup berhasil membuat Bianna berjengit kaget. Wanita yang menggerai rambut panjangnya itu segera menengok pada si pemilik suara. “Iya, Dam. Kenapa?” tanya Bianna dengan polosnya. “Kamu melamun apa? Aku panggil kamu berkali-kali, sekarang baru noleh. Dan itu makanan kenapa tidak dihabiskan?” Bianna melihat wajah Damian yang tampak kesal dan sopa de lima–sup ayam dan tomat pedas dengan irisan jeruk nipis–bergantian, detik berikutnya dia tersenyum untuk menyembunyikan rasa malu karena ketahuan sedang melamun. “Kalau dingin nanti tidak enak lagi. Apa ada yang terjadi di kantor sampai kamu harus melamun begitu?” cecar Damian. Suaranya datar, tetapi penuh tuntutan begitu pun tatapan matanya yang tak beralih sedikit pun dari iris mata Bianna. “Tidak. Apa yang bisa terjadi pada direktur yang baru hari ini bekerja? Hanya saja ….”“Hanya saja apa?” Damian gunakan t
Bagi Bianna, kedua orang yang duduk tak jauh dari mejanya saat ini yang sedang bertukar saliva begitu intim seakan-akan pengunjung restoran yang lain hanya bayangan saja adalah target utama pembalasan dendam yang dia bawa sejak kembali dari peternakan Rancho Buenavista tempat vila keluarganya berada dan juga lokasi kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Bagi Bianna, kedua pengkhianat dan penipu itu tidak layak untuk hidup senang di atas penderitaannya saat ini. Kehilangan seluruh hak hidupnya karena sudah terdaftar sebagai almarhum di negaranya sendiri bukan satu-satunya hal yang melukainya. Akan tetapi, tuduhan yang tak berdasar belum lagi keguguran yang dia alami akibat kecelakaan itu membuat dendam di hatinya ibarat bola salju yang semakin menggelinding akan semakin membesar. Ingin sekali rasanya Bianna berlari dan menghampiri sepasang manusia tak beradab itu dan memberi setidaknya satu tamparan di pipi mereka agar sedikit lega beban di hatinya. Namun, ternyata Damian tida
Bianna segera melepaskan tangan besar dan kekar yang merangkul pinggangnya, kemudian dia membenarkan berdirinya.“Terima kasih, Om.” Sekali lagi Bianna ucapkan itu tak lebih sekadar basa-basi dan adab baik kepada seseorang yang sudah menolongnya. “Lain kali hati-hati. Kalau tadi tidak ada aku, bisa jadi kamu akan terluka,” ucap Sean tanpa ekspresi berlebihan.Bianna berdeham lalu menarik pelan ujung blazernya. “Biasanya juga aku hati-hati, kok. Ini saja lagi sial!” Dia pun memutar badannya untuk melanjutkan langkahnya menuju dapur, tetapi suara Sean lagi-lagi menghentikan gerak kakinya. “Kenapa tadi tidak kembali ke kantor? Apa ada yang terjadi di luar? Aku dengar kamu makan siang sama Damian, kan?” Bianna sudah mengepalkan kedua tangannya. Peduli apa Om Sean padaku? batin Bianna. Mungkin kalau tidak ada kejadian tadi pagi, Bianna akan senang-senang saja diperhatikan seperti ini. Namun, ucapan di
“Jangan berdandan lama-lama. Aku tunggu di ruang makan.” pintu kamar tertutup. Sosok tampan dengan setelan jas mahalnya pun hilang dibalik pintu bercat warna kayu itu. Bianna menengok sekilas lalu berdecak pelan setelahnya. “Bisanya cuma memerintah, giliran ditanya, tidak bisa jawab. Memang laki-laki egois.” Tak heran kalau Bianna merasa kesal dengan Damian pagi ini. Bagaimana tidak, kalau semalam semua pertanyaannya tidak ada yang pria itu jawab. Bianna tentu masih ingat betul saat pada akhirnya Damian bangkit dari duduknya dan mengatakan. “Tidak perlu memancingku dengan pertanyaan konyol seperti itu. Aku lelah, malam ini aku akan tidur di kamar sebelah.” Terang saja ucapannya itu membuat Bianna terkejut. “Kenapa begitu? Kalau kamu memang tidak mau jawab tidak masalah tapi Kenapa harus sampai tidur di luar kamar ini? Kalau Opa tahu gimana?” Giliran Damian yang berdecak. “Biar aku yang tanggung jawab nanti.” Damian siap melangkah pergi, tetapi tangan Bianna lebih cepat bergera
“Kamu juga duduk Valeria kalau mau ikut sarapan.” titah Eduardo, kemudian pria paruh baya itu melihat pada Bianna yang sudah duduk di sebelah Damian. “Kenalkan, Bia. Dia Valeria Dimitri, putri dari Giorgio Dimitri rekan bisnis perusahaan kita. Dia baru kembali dari New York.”Bianna kembali berdiri dan mengulurkan tangan kanannya, Valeria tampak tersenyum miring, entah apa yang dipikirkannya tentang Bianna, tetapi Bianna merasa wanita ini tidak menyukainya. “Senang bertemu denganmu,” sapa Bianna sambil tersenyum. “Sayang sekali aku pulang terlambat, kalau tidak, mana mungkin aku biarkan kalian menikah.” Sontak mata Bianna terbelalak. Wanita berambut pendek sebahu itu justru tersenyum sinis. Dia membawa matanya menelisik Bianna dari ujung kepala hingga kaki dan Bianna tidak suka itu. “Tidak perlu terkejut. Tadinya aku wanita yang mau dijodohkan Opa sama Damian. Bukan begitu, Opa?”“Sejak awal aku tidak setuju, Val. Jadi, janga