Bianna menekan keras pelipis kanan dengan jari telunjuknya. Kepalanya dirasa hampir pecah saat melihat dua menu sarapan di atas meja kerjanya. Sebelah kanan ada chicken cream soup yang masih hangat dengan lima buah garlic bread sudah menggodanya untuk segera disantap, tetapi saat melihat di sebelah kiri ada Taco salad berisi sayuran segar dan potongan daging panggang–makanan khas Meksiko–dengan saos sour cream yang pasti sangat lezat, Bianna mendadak dilema.
Wanita pencinta salad ini tentu tahu siapa yang mengirim dua buah taco berukuran sedang ini karena Innez sendiri yang mengantarnya ke sini. Lantas siapa Mister Lysander satu lagi yang mengirim sarapan sebelumnya? “Astaga! Perutku lapar, tapi kenapa kalian buat aku bingung begini? Kalau ini dari Damian, lalu yang ini dari siapa? Apa iya, Opa yang kirim?” Belum lagi jawaban dia dapatkan, pintu ruang kerjanya kembali diketuk seseorang. “Masuk,” ucapnya“Bia … Bia!” Suara bariton di depannya cukup berhasil membuat Bianna berjengit kaget. Wanita yang menggerai rambut panjangnya itu segera menengok pada si pemilik suara. “Iya, Dam. Kenapa?” tanya Bianna dengan polosnya. “Kamu melamun apa? Aku panggil kamu berkali-kali, sekarang baru noleh. Dan itu makanan kenapa tidak dihabiskan?” Bianna melihat wajah Damian yang tampak kesal dan sopa de lima–sup ayam dan tomat pedas dengan irisan jeruk nipis–bergantian, detik berikutnya dia tersenyum untuk menyembunyikan rasa malu karena ketahuan sedang melamun. “Kalau dingin nanti tidak enak lagi. Apa ada yang terjadi di kantor sampai kamu harus melamun begitu?” cecar Damian. Suaranya datar, tetapi penuh tuntutan begitu pun tatapan matanya yang tak beralih sedikit pun dari iris mata Bianna. “Tidak. Apa yang bisa terjadi pada direktur yang baru hari ini bekerja? Hanya saja ….”“Hanya saja apa?” Damian gunakan t
Bagi Bianna, kedua orang yang duduk tak jauh dari mejanya saat ini yang sedang bertukar saliva begitu intim seakan-akan pengunjung restoran yang lain hanya bayangan saja adalah target utama pembalasan dendam yang dia bawa sejak kembali dari peternakan Rancho Buenavista tempat vila keluarganya berada dan juga lokasi kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Bagi Bianna, kedua pengkhianat dan penipu itu tidak layak untuk hidup senang di atas penderitaannya saat ini. Kehilangan seluruh hak hidupnya karena sudah terdaftar sebagai almarhum di negaranya sendiri bukan satu-satunya hal yang melukainya. Akan tetapi, tuduhan yang tak berdasar belum lagi keguguran yang dia alami akibat kecelakaan itu membuat dendam di hatinya ibarat bola salju yang semakin menggelinding akan semakin membesar. Ingin sekali rasanya Bianna berlari dan menghampiri sepasang manusia tak beradab itu dan memberi setidaknya satu tamparan di pipi mereka agar sedikit lega beban di hatinya. Namun, ternyata Damian tida
Bianna segera melepaskan tangan besar dan kekar yang merangkul pinggangnya, kemudian dia membenarkan berdirinya.“Terima kasih, Om.” Sekali lagi Bianna ucapkan itu tak lebih sekadar basa-basi dan adab baik kepada seseorang yang sudah menolongnya. “Lain kali hati-hati. Kalau tadi tidak ada aku, bisa jadi kamu akan terluka,” ucap Sean tanpa ekspresi berlebihan.Bianna berdeham lalu menarik pelan ujung blazernya. “Biasanya juga aku hati-hati, kok. Ini saja lagi sial!” Dia pun memutar badannya untuk melanjutkan langkahnya menuju dapur, tetapi suara Sean lagi-lagi menghentikan gerak kakinya. “Kenapa tadi tidak kembali ke kantor? Apa ada yang terjadi di luar? Aku dengar kamu makan siang sama Damian, kan?” Bianna sudah mengepalkan kedua tangannya. Peduli apa Om Sean padaku? batin Bianna. Mungkin kalau tidak ada kejadian tadi pagi, Bianna akan senang-senang saja diperhatikan seperti ini. Namun, ucapan di
“Jangan berdandan lama-lama. Aku tunggu di ruang makan.” pintu kamar tertutup. Sosok tampan dengan setelan jas mahalnya pun hilang dibalik pintu bercat warna kayu itu. Bianna menengok sekilas lalu berdecak pelan setelahnya. “Bisanya cuma memerintah, giliran ditanya, tidak bisa jawab. Memang laki-laki egois.” Tak heran kalau Bianna merasa kesal dengan Damian pagi ini. Bagaimana tidak, kalau semalam semua pertanyaannya tidak ada yang pria itu jawab. Bianna tentu masih ingat betul saat pada akhirnya Damian bangkit dari duduknya dan mengatakan. “Tidak perlu memancingku dengan pertanyaan konyol seperti itu. Aku lelah, malam ini aku akan tidur di kamar sebelah.” Terang saja ucapannya itu membuat Bianna terkejut. “Kenapa begitu? Kalau kamu memang tidak mau jawab tidak masalah tapi Kenapa harus sampai tidur di luar kamar ini? Kalau Opa tahu gimana?” Giliran Damian yang berdecak. “Biar aku yang tanggung jawab nanti.” Damian siap melangkah pergi, tetapi tangan Bianna lebih cepat bergera
“Kamu juga duduk Valeria kalau mau ikut sarapan.” titah Eduardo, kemudian pria paruh baya itu melihat pada Bianna yang sudah duduk di sebelah Damian. “Kenalkan, Bia. Dia Valeria Dimitri, putri dari Giorgio Dimitri rekan bisnis perusahaan kita. Dia baru kembali dari New York.”Bianna kembali berdiri dan mengulurkan tangan kanannya, Valeria tampak tersenyum miring, entah apa yang dipikirkannya tentang Bianna, tetapi Bianna merasa wanita ini tidak menyukainya. “Senang bertemu denganmu,” sapa Bianna sambil tersenyum. “Sayang sekali aku pulang terlambat, kalau tidak, mana mungkin aku biarkan kalian menikah.” Sontak mata Bianna terbelalak. Wanita berambut pendek sebahu itu justru tersenyum sinis. Dia membawa matanya menelisik Bianna dari ujung kepala hingga kaki dan Bianna tidak suka itu. “Tidak perlu terkejut. Tadinya aku wanita yang mau dijodohkan Opa sama Damian. Bukan begitu, Opa?”“Sejak awal aku tidak setuju, Val. Jadi, janga
Jujur saja, Bianna tidak menyukai keadaan seperti ini. Berdiri saling berhadapan dengan Damian dalam jarak yang sangat dekat membuat jantungnya tiba-tiba berdetak tak beraturan. Ditambah lagi embusan napas pria itu yang menerpa dahinya–Damian lebih tinggi darinya–hampir saja mengalihkan fokusnya. Bianna berpikir jika lebih lama lagi mereka di posisi seperti ini, bisa-bisa Bianna lupa akan tujuannya. Itu sebabnya dengan perlahan wanita itu jauhkan tubuh Damian dari dekatnya.Seakan-akan tahu kesalahannya, Damian langsung meminta maaf. “Maaf, aku pasti sudah membuatmu tidak nyaman.”Bianna tersenyum canggung. Apa katanya memang benar, lagipula kenapa juga Damian mengambil tempat persembunyian yang begitu sempit. Di dinding belakang meja resepsionis. “Tidak masalah, hanya saja mereka sudah masuk lift jadi kita juga bisa keluar kan?” kilah Bianna agar tidak kentara kalau dirinya tengah salah tingkah. Damian menengok ke arah depan
Bianna sukses membuat Kevin dan Leony terperangah dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Itu jelas terlihat dari gelagat mereka yang saling berpandangan dan berbicara berdua saja, mungkin mereka membahas kenapa Bianna yang mereka pikir sudah meninggal bisa hadir di dalam ruang meeting penting seperti saat ini. Dari kursinya, Bianna tersenyum penuh arti melihat gestur kedua orang itu yang gelisah dan tidak henti-hentinya menatap dirinya. Bianna mencoba tidak peduli dengan cara menyibukkan diri bersama Demian dan juga Miguel yang duduk di sebelah kirinya. Tiba giliran perusahaan Damian yang memperkenalkan diri. Bianna yang bertugas, sudah berdiri dari kursinya. Harus diakui, wanita berusia dua puluh delapan tahun itu sangat grogi sekarang. Dia yang selama ini menutup diri dari pergaulan, tiba-tiba harus melakukan public speaking untuk memperkenalkan profil perusahaannya sebelum mereka menjabarkan proposal proyek yang diminta. Bianna menarik n
“Ini tidak mungkin! Kalian pasti sudah berbuat curang!” Kevin mengajukan protesnya pada pimpinan rapat yang juga direktur pelaksana dari Vicente Corporation karena perusahaannya tidak terpilih menjadi dua perusahaan terbaik yang akan bekerja sama dengan pihak Vicente dalam proyek besar bernilai jutaan peso. Bianna yang mendengar ocehan Kevin dari kursinya hanya menebar senyum sinis dan tatapan meremehkan pada mantan suami dan selingkuhannya yang sedang berdebat di meja paling depan. Bianna boleh bangga, tampil terakhir untuk mempresentasikan proposal perusahaannya tidak membuatnya gentar dan takut terhadap tekanan yang datang. Karena setelah itu, banyak dari anggota rapat yang akhirnya mengajukan pertanyaan atas dasar apa yang sudah dia sampaikan, tetapi dengan sigap dan cekatan, Bianna menjawab semua pertanyaan mereka dan mereka puas dengan jawaban wanita bertinggi 175 cm itu. Keunggulan penggunaan bahan baku yang terbaik pada proyek nanti juga bagaimana marketingnya dijalankan
Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Damian menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi tetap tenang. “Bukan itu maksudku, Kak.”“Tapi itulah yang kamu katakan!” Sean mendekat, dadanya naik turun menahan amarah. “Kamu berbicara seolah-olah kehadiran Rachel itu seperti pengganti Elara! Seperti Elara tidak ada artinya bagimu!”Mendengar ucapan Sean, Damian mengepalkan tangannya. “Aku tidak pernah bilang begitu! Aku hanya mengatakan bahwa melihat Rachel … aku merasa sedikit lebih baik. Itu bukan berarti aku melupakan Elara!”Sean menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Jangan bicara seolah-olah kamu lebih menderita dariku, Damian! Kamu bahkan tidak ada di sana saat Elara meninggal! Kamu tidak melihatnya sekarat di pelukanku! Kamu tidak merasakan ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui setiap detik hidupmu!”Suasana semakin memanas, napas mereka berdua memburu.Damian menatap Sean dengan tatapan dingin. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa kehilangan, Kak? Aku juga
Malam semakin larut, tetapi Damian belum juga bisa memejamkan mata. Dia menatap Bianna yang tertidur di samping Steven, memeluk putra mereka dengan penuh kasih sayang. Wajah putranya masih pucat, tetapi napasnya kini lebih teratur setelah mendapatkan perawatan intensif. Damian mengusap rambut Steven dengan lembut, memastikan bahwa putranya nyaman.Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Sean.Dengan hati yang dipenuhi berbagai emosi, Damian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kamar rawat sang anak. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, mencari keberadaan Sean. Dia tahu bahwa saudaranya itu pasti masih ada di sekitar sini.Saat dia sampai di taman di balkon rumah sakit, langkahnya terhenti.Di sana, di bawah redupnya cahaya lampu taman, Sean sedang duduk di bangku panjang bersama Rachel. Keduanya tampak berbincang dengan santai. Rachel terkadang tertawa kecil, sementara Sean terlihat lebih rileks dibandingkan s
Rachel tiba di rumah sakit, untuk menjenguk Steven. Saat dia melangkah ke dalam ruangan dan melihat ekspresi wajah semua orang, dia langsung menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. Bianna menghapus air matanya dan tersenyum. “Kak Sean cocok sebagai donor sumsum tulang untuk Steven.” Rachel terkejut. Dia menoleh ke arah Sean yang hanya berdiri diam di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Sean. Rachel melangkah mendekat dan berkata pelan, “Kau benar-benar akan melakukannya?” Sean menatap Rachel dan mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku akan menyelamatkan keponakanku.” Rachel menatapnya dalam-dalam. “Itu … luar biasa.” Sean tidak menjawab, hanya menoleh kembali ke Damian dan Bianna. “Kalau begitu, aku akan menyelesaikan tes tambaha