Jujur saja, Bianna tidak menyukai keadaan seperti ini. Berdiri saling berhadapan dengan Damian dalam jarak yang sangat dekat membuat jantungnya tiba-tiba berdetak tak beraturan. Ditambah lagi embusan napas pria itu yang menerpa dahinya–Damian lebih tinggi darinya–hampir saja mengalihkan fokusnya. Bianna berpikir jika lebih lama lagi mereka di posisi seperti ini, bisa-bisa Bianna lupa akan tujuannya. Itu sebabnya dengan perlahan wanita itu jauhkan tubuh Damian dari dekatnya.
Seakan-akan tahu kesalahannya, Damian langsung meminta maaf. “Maaf, aku pasti sudah membuatmu tidak nyaman.”Bianna tersenyum canggung. Apa katanya memang benar, lagipula kenapa juga Damian mengambil tempat persembunyian yang begitu sempit. Di dinding belakang meja resepsionis.“Tidak masalah, hanya saja mereka sudah masuk lift jadi kita juga bisa keluar kan?” kilah Bianna agar tidak kentara kalau dirinya tengah salah tingkah.Damian menengok ke arah depanBianna sukses membuat Kevin dan Leony terperangah dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Itu jelas terlihat dari gelagat mereka yang saling berpandangan dan berbicara berdua saja, mungkin mereka membahas kenapa Bianna yang mereka pikir sudah meninggal bisa hadir di dalam ruang meeting penting seperti saat ini. Dari kursinya, Bianna tersenyum penuh arti melihat gestur kedua orang itu yang gelisah dan tidak henti-hentinya menatap dirinya. Bianna mencoba tidak peduli dengan cara menyibukkan diri bersama Demian dan juga Miguel yang duduk di sebelah kirinya. Tiba giliran perusahaan Damian yang memperkenalkan diri. Bianna yang bertugas, sudah berdiri dari kursinya. Harus diakui, wanita berusia dua puluh delapan tahun itu sangat grogi sekarang. Dia yang selama ini menutup diri dari pergaulan, tiba-tiba harus melakukan public speaking untuk memperkenalkan profil perusahaannya sebelum mereka menjabarkan proposal proyek yang diminta. Bianna menarik n
“Ini tidak mungkin! Kalian pasti sudah berbuat curang!” Kevin mengajukan protesnya pada pimpinan rapat yang juga direktur pelaksana dari Vicente Corporation karena perusahaannya tidak terpilih menjadi dua perusahaan terbaik yang akan bekerja sama dengan pihak Vicente dalam proyek besar bernilai jutaan peso. Bianna yang mendengar ocehan Kevin dari kursinya hanya menebar senyum sinis dan tatapan meremehkan pada mantan suami dan selingkuhannya yang sedang berdebat di meja paling depan. Bianna boleh bangga, tampil terakhir untuk mempresentasikan proposal perusahaannya tidak membuatnya gentar dan takut terhadap tekanan yang datang. Karena setelah itu, banyak dari anggota rapat yang akhirnya mengajukan pertanyaan atas dasar apa yang sudah dia sampaikan, tetapi dengan sigap dan cekatan, Bianna menjawab semua pertanyaan mereka dan mereka puas dengan jawaban wanita bertinggi 175 cm itu. Keunggulan penggunaan bahan baku yang terbaik pada proyek nanti juga bagaimana marketingnya dijalankan
Bianna tersenyum lega kalau akhirnya meeting pagi hari ini sudah ditutup dan keputusan pimpinan rapat tidak berubah sama sekali. Dirinya dan Thiago Cantara perwakilan dari Hawkers Ltd. langsung menandatangani MOU dengan Vicente Corporation yang diwakili oleh Miguel sang putra di hadapan para peserta rapat yang tersisa termasuk Kevin dan Leony yang masih ada di ruangan itu. “Selamat Bia, semoga kerjasama ini bisa saling menguntungkan,” ujar Miguel sambil berjabat tangan dengan Bianna. “Iya, terima kasih banyak atas kepercayaan Anda, Mister. Saya dan tim akan berusaha semaksimal mungkin untuk memajukan proyek kita ini.” Bianna terlihat begitu antusias. “Sama-sama, Bia. Kita pasti bisa. Bukan begitu mister Thiago?” Miguel pun menyapa rekan yang satunya. “Tentu Mister. Atasan saya pasti akan senang dengan kemenangan ini. Terima kasih atas apresiasi, Mister Miguel.” Miguel kembali memamerkan senyumnya. Bianna mengalihkan tatapan
“Kenapa melotot begitu? Lupa kalau dia itu mantan istrimu? Atau lupa kalau kamu sudah anggap dia mati?” Damian menepis kasar tangan Kevin dari lengan Bianna lalu menarik tubuh wanita itu lebih mendekatinya. Bukannya takut, Kevin masih saja berusaha mendekat Bianna, terapi lagi-lagi Damian menghalangi dengan berdiri di depan wanita itu “Minggir, ini urusanku dengan mantan istriku!” ucap Kevin ketus. Entah apa yang dipikirkannya, kenapa dia serius sekali ingin mendekati Bianna. Terdengar Damian berdecak. “Sepertinya ada yang tidak beres dengan otakmu itu, Kevin. Bianna memang mantan istrimu, tapi sekarang dia adalah istriku. Jadi, kamu tahu siapa yang lebih berhak atas dirinya, bukan? Aku harap kamu bisa jaga sikapmu itu.” Damian beralih menatap Bianna. “Kita pergi dari sini.”Itu hanya pemberitahuan karena nyatanya Damian tidak menginginkan jawaban atau pun penolakan dari Bianna. Damian meraih tangan kiri Bianna dan menggande
“Kalian sudah kembali?” baru saja menginjakkan kaki di depan ruang kerja Bianna, suara seseorang menghentikan langkah mereka memasuki ruangan itu. “Iya, Om. Om sengaja ke sini atau ada urusan denganku?” Bianna menyahuti pertanyaan Sean yang tiba-tiba muncul di belakang mereka. “Nggak ada, aku hanya sedang keliling kubikel aja lalu melihat kalian,” terang pria yang memakai jas hitam itu dengan santainya. “Kalau begitu kembali kerja, Om. Aku tidak menggaji orang malas.” “Ya ampun, Dami!” Sentak Bianna sambil memegang lengan Damian. Sementara Sean terkekeh saja, seakan-akan ucapan Damian hanya gurauan biasa. “Bisa bicara lebih sopan, kan? Dia Om kita, lho.” “No, this is the office. So, aku bosnya.” Damian melenggang masuk ke ruangan Bianna begitu saja, sedangkan Bianna jadi tidak enak hati pada paman suaminya itu. “Maaf, ya, Om. Dami—” “Dia benar, Bia. Aku cuma karyawan saja dan dia bosnya,” ucap Sean sambil tersenyum. “Kalau diperhatikan baik-baik, sikap Om Sean tidak la
Bianna berdiri tenang di tepi balkon kamarnya sambil melihat hamparan rumput di halaman depan kediaman mewah Lysander. Dia abaikan embusan angin malam ini yang sebenarnya terasa cukup dingin menusuk kulitnya. Maklum saja karena cuaca di bulan September ini memang sudah memasuki musim gugur akhir yang mana musim dingin pun akan segera tiba. Kedua tangan yang tadinya bertopang pada pagar balkon, kini dia lipat di depan dadanya sambil sedikit mengusap lengan. Kalau mau jujur Bianna sedang kedinginan, tetapi entah kenapa kaki jenjangnya seakan-akan enggan untuk beranjak dari tempat itu. Tiba-tiba saja bulir bening merembes ke atas pipinya yang mulus begitu saja seiring dengan ingatannya yang berputar pada obrolan Bianna dengan Miranda siang tadi. “Nyonya Stella sudah menyuruh orang untuk menyabotase mobil Anda, Nona. Dia tahu kalau hari itu Anda akan datang ke vila mencari Tuan Kevin,” jelas Miranda dari balik telepon. “Ini tidak mungkin, Bik. Mama tidak mungkin melakukan itu padak
Bianna menghela napasnya pelan, pagi ini dia tidak perlu buru-buru bangun karena ini hari libur. Dia pun menyandarkan punggungnya perlahan pada headboard ranjang seakan-akan sedang menikmati waktu luang yang jarang dia dapatkan. Bianna melirik jam digital di atas nakas, sudah jam delapan pagi tetapi dirinya masih enggan beranjak dari tempatnya sekarang. Bianna terkesiap saat rolling door Walk in closet kamarnya terbuka. Damian muncul dari sana sudah dengan pakaian casual celana jeans hitam dan kemeja longgar lengan pendek. Dia menatap Bianna sambil tersenyum. “Sudah bangun?” Lembut dan merdu sekali suaranya pagi ini. Bianna sampai menajamkan telinga seakan-akan memastikan kalau pendengarannya tidak salah. “I-iya, aku pikir kamu sudah tidak di kamar,” ujar Bianna membalas dengan suara senormal mungkin, jujur saja penampilan Damian pagi ini berhasil memesona matanya sampai-sampai dia kehilangan fokus. Damian tersenyum penuh a
Tatapan Damian semakin tajam dan menuntut. Itu membuat Bianna takut sebenarnya, tetapi wanita itu juga tidak berniat bergeming dari tempatnya berdiri. Karena Bianna tidak juga bersuara, pria yang rambutnya selalu rapi itu pun berjalan mendekatinya. Tentu saja tindakan Demian membuat Bianna terkejut dengan serta-merta dia pun mengatakan apa yang dia dengar. “Aku bersumpah tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Tapi aku sungguh tidak mendengar nama siapa yang kalian maksud.”Jawaban Bianna pun berhasil menghentikan langkah kaki Demian. “Apa kamu berkata benar?” tanya Damian dengan menatap serius. Bianna pun berdecak. “Buat apa aku bohong? Kalau aku tahu sejak tadi, aku sudah pasti ikut berkomentar.” Bianna berkata tak kalah sinis. Damian tampak sedang berpikir. Namun, sedetik kemudian dia kembali berjalan dengan tangan kanan sudah berada di dalam kantong celana jeans-nya. “Ya, sudah. Kita pergi se