Bianna sukses membuat Kevin dan Leony terperangah dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Itu jelas terlihat dari gelagat mereka yang saling berpandangan dan berbicara berdua saja, mungkin mereka membahas kenapa Bianna yang mereka pikir sudah meninggal bisa hadir di dalam ruang meeting penting seperti saat ini.
Dari kursinya, Bianna tersenyum penuh arti melihat gestur kedua orang itu yang gelisah dan tidak henti-hentinya menatap dirinya. Bianna mencoba tidak peduli dengan cara menyibukkan diri bersama Demian dan juga Miguel yang duduk di sebelah kirinya.Tiba giliran perusahaan Damian yang memperkenalkan diri. Bianna yang bertugas, sudah berdiri dari kursinya. Harus diakui, wanita berusia dua puluh delapan tahun itu sangat grogi sekarang. Dia yang selama ini menutup diri dari pergaulan, tiba-tiba harus melakukan public speaking untuk memperkenalkan profil perusahaannya sebelum mereka menjabarkan proposal proyek yang diminta.Bianna menarik n“Ini tidak mungkin! Kalian pasti sudah berbuat curang!” Kevin mengajukan protesnya pada pimpinan rapat yang juga direktur pelaksana dari Vicente Corporation karena perusahaannya tidak terpilih menjadi dua perusahaan terbaik yang akan bekerja sama dengan pihak Vicente dalam proyek besar bernilai jutaan peso. Bianna yang mendengar ocehan Kevin dari kursinya hanya menebar senyum sinis dan tatapan meremehkan pada mantan suami dan selingkuhannya yang sedang berdebat di meja paling depan. Bianna boleh bangga, tampil terakhir untuk mempresentasikan proposal perusahaannya tidak membuatnya gentar dan takut terhadap tekanan yang datang. Karena setelah itu, banyak dari anggota rapat yang akhirnya mengajukan pertanyaan atas dasar apa yang sudah dia sampaikan, tetapi dengan sigap dan cekatan, Bianna menjawab semua pertanyaan mereka dan mereka puas dengan jawaban wanita bertinggi 175 cm itu. Keunggulan penggunaan bahan baku yang terbaik pada proyek nanti juga bagaimana marketingnya dijalankan
Bianna tersenyum lega kalau akhirnya meeting pagi hari ini sudah ditutup dan keputusan pimpinan rapat tidak berubah sama sekali. Dirinya dan Thiago Cantara perwakilan dari Hawkers Ltd. langsung menandatangani MOU dengan Vicente Corporation yang diwakili oleh Miguel sang putra di hadapan para peserta rapat yang tersisa termasuk Kevin dan Leony yang masih ada di ruangan itu. “Selamat Bia, semoga kerjasama ini bisa saling menguntungkan,” ujar Miguel sambil berjabat tangan dengan Bianna. “Iya, terima kasih banyak atas kepercayaan Anda, Mister. Saya dan tim akan berusaha semaksimal mungkin untuk memajukan proyek kita ini.” Bianna terlihat begitu antusias. “Sama-sama, Bia. Kita pasti bisa. Bukan begitu mister Thiago?” Miguel pun menyapa rekan yang satunya. “Tentu Mister. Atasan saya pasti akan senang dengan kemenangan ini. Terima kasih atas apresiasi, Mister Miguel.” Miguel kembali memamerkan senyumnya. Bianna mengalihkan tatapan
“Kenapa melotot begitu? Lupa kalau dia itu mantan istrimu? Atau lupa kalau kamu sudah anggap dia mati?” Damian menepis kasar tangan Kevin dari lengan Bianna lalu menarik tubuh wanita itu lebih mendekatinya. Bukannya takut, Kevin masih saja berusaha mendekat Bianna, terapi lagi-lagi Damian menghalangi dengan berdiri di depan wanita itu “Minggir, ini urusanku dengan mantan istriku!” ucap Kevin ketus. Entah apa yang dipikirkannya, kenapa dia serius sekali ingin mendekati Bianna. Terdengar Damian berdecak. “Sepertinya ada yang tidak beres dengan otakmu itu, Kevin. Bianna memang mantan istrimu, tapi sekarang dia adalah istriku. Jadi, kamu tahu siapa yang lebih berhak atas dirinya, bukan? Aku harap kamu bisa jaga sikapmu itu.” Damian beralih menatap Bianna. “Kita pergi dari sini.”Itu hanya pemberitahuan karena nyatanya Damian tidak menginginkan jawaban atau pun penolakan dari Bianna. Damian meraih tangan kiri Bianna dan menggande
“Kalian sudah kembali?” baru saja menginjakkan kaki di depan ruang kerja Bianna, suara seseorang menghentikan langkah mereka memasuki ruangan itu. “Iya, Om. Om sengaja ke sini atau ada urusan denganku?” Bianna menyahuti pertanyaan Sean yang tiba-tiba muncul di belakang mereka. “Nggak ada, aku hanya sedang keliling kubikel aja lalu melihat kalian,” terang pria yang memakai jas hitam itu dengan santainya. “Kalau begitu kembali kerja, Om. Aku tidak menggaji orang malas.” “Ya ampun, Dami!” Sentak Bianna sambil memegang lengan Damian. Sementara Sean terkekeh saja, seakan-akan ucapan Damian hanya gurauan biasa. “Bisa bicara lebih sopan, kan? Dia Om kita, lho.” “No, this is the office. So, aku bosnya.” Damian melenggang masuk ke ruangan Bianna begitu saja, sedangkan Bianna jadi tidak enak hati pada paman suaminya itu. “Maaf, ya, Om. Dami—” “Dia benar, Bia. Aku cuma karyawan saja dan dia bosnya,” ucap Sean sambil tersenyum. “Kalau diperhatikan baik-baik, sikap Om Sean tidak la
Bianna berdiri tenang di tepi balkon kamarnya sambil melihat hamparan rumput di halaman depan kediaman mewah Lysander. Dia abaikan embusan angin malam ini yang sebenarnya terasa cukup dingin menusuk kulitnya. Maklum saja karena cuaca di bulan September ini memang sudah memasuki musim gugur akhir yang mana musim dingin pun akan segera tiba. Kedua tangan yang tadinya bertopang pada pagar balkon, kini dia lipat di depan dadanya sambil sedikit mengusap lengan. Kalau mau jujur Bianna sedang kedinginan, tetapi entah kenapa kaki jenjangnya seakan-akan enggan untuk beranjak dari tempat itu. Tiba-tiba saja bulir bening merembes ke atas pipinya yang mulus begitu saja seiring dengan ingatannya yang berputar pada obrolan Bianna dengan Miranda siang tadi. “Nyonya Stella sudah menyuruh orang untuk menyabotase mobil Anda, Nona. Dia tahu kalau hari itu Anda akan datang ke vila mencari Tuan Kevin,” jelas Miranda dari balik telepon. “Ini tidak mungkin, Bik. Mama tidak mungkin melakukan itu padak
Bianna menghela napasnya pelan, pagi ini dia tidak perlu buru-buru bangun karena ini hari libur. Dia pun menyandarkan punggungnya perlahan pada headboard ranjang seakan-akan sedang menikmati waktu luang yang jarang dia dapatkan. Bianna melirik jam digital di atas nakas, sudah jam delapan pagi tetapi dirinya masih enggan beranjak dari tempatnya sekarang. Bianna terkesiap saat rolling door Walk in closet kamarnya terbuka. Damian muncul dari sana sudah dengan pakaian casual celana jeans hitam dan kemeja longgar lengan pendek. Dia menatap Bianna sambil tersenyum. “Sudah bangun?” Lembut dan merdu sekali suaranya pagi ini. Bianna sampai menajamkan telinga seakan-akan memastikan kalau pendengarannya tidak salah. “I-iya, aku pikir kamu sudah tidak di kamar,” ujar Bianna membalas dengan suara senormal mungkin, jujur saja penampilan Damian pagi ini berhasil memesona matanya sampai-sampai dia kehilangan fokus. Damian tersenyum penuh a
Tatapan Damian semakin tajam dan menuntut. Itu membuat Bianna takut sebenarnya, tetapi wanita itu juga tidak berniat bergeming dari tempatnya berdiri. Karena Bianna tidak juga bersuara, pria yang rambutnya selalu rapi itu pun berjalan mendekatinya. Tentu saja tindakan Demian membuat Bianna terkejut dengan serta-merta dia pun mengatakan apa yang dia dengar. “Aku bersumpah tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Tapi aku sungguh tidak mendengar nama siapa yang kalian maksud.”Jawaban Bianna pun berhasil menghentikan langkah kaki Demian. “Apa kamu berkata benar?” tanya Damian dengan menatap serius. Bianna pun berdecak. “Buat apa aku bohong? Kalau aku tahu sejak tadi, aku sudah pasti ikut berkomentar.” Bianna berkata tak kalah sinis. Damian tampak sedang berpikir. Namun, sedetik kemudian dia kembali berjalan dengan tangan kanan sudah berada di dalam kantong celana jeans-nya. “Ya, sudah. Kita pergi se
Kalau boleh meminta sungguh Bianna tidak ingin bertemu dengan perempuan yang saat ini sedang berjalan mendekatinya. Tatapan wanita itu terlihat sangat tajam dan juga meremehkan. Senyumnya juga bukanlah senyum yang wajar. Bianna ingat benar dulu dia tidak bisa seperti ini, tetapi lihatlah sekarang, sepertinya Stella–Ibu mertuanya–telah lupa asalnya dari mana. “Lihat ini, siapa yang ada di depanku ini? Orang yang seharusnya mati dalam jurang itu, bukan?” Telak sekali Stella mengucapkan kalimat itu, dia seakan-akan tidak takut kalau perkataannya akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Apa maksud Mam … tidak, kamu sama sekali tidak pantas disebut Mama!” ucap Bianna sarkas. Stella berdecih. “Terserah apa penilaianmu yang pasti aku senang karena akhirnya Kevin sudah lepas dari jeratanmu.” Setelah berkata seperti itu, Stella melihat pada Damian. “Tapi hebat juga kamu, Bia. Baru juga berpisah dari Kevin, sudah bisa mendapatkan barang bagus s
Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Damian menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi tetap tenang. “Bukan itu maksudku, Kak.”“Tapi itulah yang kamu katakan!” Sean mendekat, dadanya naik turun menahan amarah. “Kamu berbicara seolah-olah kehadiran Rachel itu seperti pengganti Elara! Seperti Elara tidak ada artinya bagimu!”Mendengar ucapan Sean, Damian mengepalkan tangannya. “Aku tidak pernah bilang begitu! Aku hanya mengatakan bahwa melihat Rachel … aku merasa sedikit lebih baik. Itu bukan berarti aku melupakan Elara!”Sean menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Jangan bicara seolah-olah kamu lebih menderita dariku, Damian! Kamu bahkan tidak ada di sana saat Elara meninggal! Kamu tidak melihatnya sekarat di pelukanku! Kamu tidak merasakan ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui setiap detik hidupmu!”Suasana semakin memanas, napas mereka berdua memburu.Damian menatap Sean dengan tatapan dingin. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa kehilangan, Kak? Aku juga
Malam semakin larut, tetapi Damian belum juga bisa memejamkan mata. Dia menatap Bianna yang tertidur di samping Steven, memeluk putra mereka dengan penuh kasih sayang. Wajah putranya masih pucat, tetapi napasnya kini lebih teratur setelah mendapatkan perawatan intensif. Damian mengusap rambut Steven dengan lembut, memastikan bahwa putranya nyaman.Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Sean.Dengan hati yang dipenuhi berbagai emosi, Damian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kamar rawat sang anak. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, mencari keberadaan Sean. Dia tahu bahwa saudaranya itu pasti masih ada di sekitar sini.Saat dia sampai di taman di balkon rumah sakit, langkahnya terhenti.Di sana, di bawah redupnya cahaya lampu taman, Sean sedang duduk di bangku panjang bersama Rachel. Keduanya tampak berbincang dengan santai. Rachel terkadang tertawa kecil, sementara Sean terlihat lebih rileks dibandingkan s
Rachel tiba di rumah sakit, untuk menjenguk Steven. Saat dia melangkah ke dalam ruangan dan melihat ekspresi wajah semua orang, dia langsung menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. Bianna menghapus air matanya dan tersenyum. “Kak Sean cocok sebagai donor sumsum tulang untuk Steven.” Rachel terkejut. Dia menoleh ke arah Sean yang hanya berdiri diam di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Sean. Rachel melangkah mendekat dan berkata pelan, “Kau benar-benar akan melakukannya?” Sean menatap Rachel dan mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku akan menyelamatkan keponakanku.” Rachel menatapnya dalam-dalam. “Itu … luar biasa.” Sean tidak menjawab, hanya menoleh kembali ke Damian dan Bianna. “Kalau begitu, aku akan menyelesaikan tes tambaha