Bianna masih menatap heran pada wanita yang baru saja menyapanya. Sekeras apa pun dia mengingat, Bianna tetap tidak tahu siapa wanita itu.
“Namaku Eveline, istri dari Tobias Fernando, kamu mungkin tak tahu aku, tapi mungkin mengenal suamiku.” Wanita bernama Eveline itu memperkenalkan dirinya seakan-akan tahu isyarat kebingungan di mata Bianna. Bianna kembali mengingat nama terakhir yang Eveline sebut. Bianna kembali mengumpat dalam hati sekaligus menyesali karena jarang ikut menghadiri pesta dan meeting yang dilakukan oleh Kevin dan ayahnya dulu. Alhasil dia jarang bertemu dengan para relasi perusahaan. Seperti yang terjadi saat ini. Bianna terpaksa tesenyum kikuk karena gagal mengingat nama suami Eveline. “Maafkan aku Eve. Aku tidak bisa mengingat kalian.” Eveline tersenyum simpul. “Sudah kuduga. It’s okay Bia. Seingatku, kita juga baru sekali bertemu saat pesta ulang tahun terakhir ayahmu. Setelah itu aku tidak pernah melihatmu meski terbilang sering bertemu dengan Kevin di sebuah pesta. Dia suka sekali membawa sekretarisnya, tidak heran kalau akhirnya mereka saling jatuh cinta, bukan?” Bianna terkekeh, tetapi hatinya nyeri. Benar saja kalau dia tak ada artinya bagi Kevin. Setiap menghadiri pesta, selalu saja Leony yang diajak alasannya itu hanya pesta bisnis dirinya tidak akan pernah mengerti. Namun, ternyata semua itu hanya akal-akalannha saja yang ingin dekat dengan Leony tanpa dia ketahui. “Iya, terlebih lagi karena Papa sakit dan butuh perawatan makanya aku jarang ikut Kevin ke mana-mana.” Bianna tetap tak ingin menjelekkan mantan suaminya. Padahal ini kesempatannya membuka aib laki-laki berengsek itu. “Benarkah kamu sibuk merawat Tuan Felix, Bia? Kenapa Kevin mengatakan pada relasi bisnisnya kalau kamu telah mengkhianatinya? Dia bilang kamu berselingkuh dan kecelakaan waktu itu juga terjadi saat kalian sedang bersama-sama.” “What?” Sontak mata Bianna terbelalak lagi. Dia menoleh pada Damian yang memang sejak tadi berdiri menyimak obrolannya dengan Eveline. Bianna jelas melihat ekspresi terkejut dari pria rupawan itu. Akan tetapi, tak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya. Itu membuat Bianna berpikir apa Damian percaya dengan ucapan Eveline? “Itu nggak benar, Eve! Dia sudah memutarbalikkan fakta karena sebenarnya dialah yang sudah berselingkuh dengan sekretarisnya sampai menikahinya. Sumpah demi Tuhan, aku nggak pernah main curang di belakang suamiku.” Bianna tekankan kalimat terakhirnya. Untuk pemberitahuan sekaligus peringatan pada Eveline dan Damian agar tidak percaya dengan berita Hoax itu. “Kamu harus percaya padaku, Eve,” pinta Bianna saat Eveline tidak memberi reaksi apa pun setelah dia katakan kebenarannya. “Itu bukan urusanku, Bia. Yang mana yang benar atau salah, aku nggak peduli. Kita juga tidak sedekat itu sampai kamu harus memberi penjelasan padaku. Hanya saja, kamu perlu tahu, dengan berita itu, Kevin berhasil menarik simpati banyak relasi bisnisnya hingga saham perusahaan Harland Group cukup tinggi saat itu.” Untuk kesekian kalinya Bianna harus menjaga jantungnya agar tidak berhenti berdetak karena kejutan-kejutan yang dia dengar malam ini. “Baiklah, sepertinya aku sudah membuang banyak waktumu, aku akan kembali bergabung dengan teman-temanku di sana. Sekali lagi selamat atas pernikahanmu dan Damian ya.” Eveline mengulurkan tangannya. Mau tidak mau Bianna menyambutnya. Pun begitu saat wanita berambut lurus sebahu itu menatap Damian. “Selamat, Damian. Aku yakin Tobias pasti senang mendengar berita ini.” Damian tersenyum tipis. “Thank you Eve, kabari saja kalau dia sudah kembali ke Meksiko. Sepertinya aku butuh bicara banyak dengannya.” Eveline terkekeh lalu mengangguk mengerti. “Oke. Aku akan sampaikan hal ini padanya.” Wanita yang mengenakan gaun biru gelap itu pun beranjak dari hadapan kedua pengantin baru. Namun, baru beberapa langkah, Bianna kembali memanggilnya. “Ya?” sahutnya setelah menoleh. “Jangan katakan pada Kevin kalau kamu sudah bertemu denganku, Eve.” Eveline tersenyum penuh arti. “Tenang saja. Kamu bisa percayakan itu padaku, Bia.” Bibir tipis Bianna mengukir senyum terpaksa. Hatinya benar-benar sedang tidak baik-baik saja setelah mengetahui kenyataan yang ada. Tanpa dia sadari bulir bening yang dia tahan sejak tadi pun dengan semena-mena turun ke pipi mulusnya. “Minumlah.” Bianna kembali tersentak. Cepat dia menghapus jejak basah di pipinya dan menengok pada si pemilik suara. “Kamu membutuhkan ini. Minumlah sedikit.” Damian menyodorkan satu gelas red wine untuknya. Bianna tatap cairan merah itu dan wajah Damian yang masih tanpa ekspresi berlebihan secara bergantian. Pria itu benar. Sedikit alkohol mungkin bisa menenangkan gemuruh amarah dalam hatinya. Bianna sambar gelas itu lalu menenggak habis minuman beralkohol itu dalam hitungan detik. Dia biarkan rasa getir sedikit asam membasahi tenggorokannya. “Aku mau lagi!” ucap Bianna sambil mencari pelayan yang menjajakan minuman itu. Setelah menemukan, dia pun melangkahkan kakinya untuk mengambil minuman dalam nampan sang pelayan, tetapi belum lagi tangannya sempat meraih gelas itu, tangan Damian sudah lebih dulu menahannya. “Lepaskan aku! Kenapa kamu suruh dia pergi?” Bianna meronta sambil mencoba melepaskan cengkeraman tangan Damian. “Satu gelas sudah cukup untuk hari ini, Bia!” ujarnya datar, tetapi dengan Dirut mata yang tajam mengintimidasi. “Terserah aku mau minum berapa banyak, Dami. Aku butuh minuman itu buat lupakan semua yang aku dengar tadi. Jangan halangi aku.” Emosi Bianna semakin tak terkontrol. Suaranya mulai meninggi yang mana memancing perhatian para tamu undangan yang lain. “Jaga sikapmu! Semua tamu di sini sedang memperhatikanmu, Bia,” ujar Damian dengan suara mendesis. Tatapan pria itu semakin tidak ramah menanggapi sikap Bianna yang berubah arogan. Karena tak ingin lebih menarik perhatian tamu-tamunya, Damian menarik tangan Bianna untuk menjauhi area pesta sejenak. Damian membawa wanita yang kini sedang menangis tersedu-sedu itu ke gazebo sebelah kanan kolam renang rumahnya. Pria itu pun melepaskan cengkeraman tangannya agak kasar hingga Bianna sedikit terhuyung karenanya. “Menangislah sepuasmu di sini. Tapi mulai besok, jangan ingat-ingat lagi apa yang Eveline katakan padamu tadi dan mulailah fokus pada tujuanmu saja. Paham?” Bersambung …Ditemani alunan musik Mariachi khas Meksiko pun suara denting sloki berisi tequila–minuman alkohol yang pasti selalu ada di setiap pergelaran pesta di kota ini–juga tawa ceria para tamu undangan yang sengaja turun ke area dansa untuk menari bergembira menggoyangkan tubuh mereka mengikuti irama musik yang sudah terkenal mendunia itu, menjadikan suasana pesta pernikahan Bianna dan Damian semakin meriah.Namun sayangnya, sang pengantin wanita yang tahun ini akan berusia dua puluh delapan tahun itu tidak bisa menikmatinya dengan tersenyum, melainkan dengan kesedihan dan derai air mata yang tak kunjung mereda meski beberapa kali dia menyeka pipinya yang basah. Rasa sakit di dadanya begitu menyesakkan. Sudahlah dianggap meninggal, kini dia harus menghadapi kenyataan kalau mantan suaminya sudah menuduhnya berselingkuh. Bianna yang malang harus berbuat apa sekarang? Saat nama baik yang dia jaga selama ini harus rusak oleh kelakuan pria yang tak bertanggung jawab
Mobil sedan Mercedes Benz C300 hitam sudah berhenti di pelataran lobi kantor Lysander Corporation. Pintu mobil bagian belakang segara dibuka oleh Dion. Wanita berpakaian layaknya orang kantoran, keluar dari dalam mobil. Bianna, nama wanita itu. Dia menatap pintu utama gedung pencakar langit di depan sana dengan perasaan takjub. Suami yang dia kenal saat berada di kamar rawat rumah sakit ternyata sekaya ini. Wanita itu, bahkan tidak bisa menebak kejutan apa lagi yang akan dia dapatkan nanti di dalam sana.“Silakan Nyonya. Tuan Damian sudah menunggu Anda di ruangannya.” Bianna tersenyum kikuk karena kedapatan Dion sedang melamun. “Iya, Makasih, Dion.” Pria muda itu tersenyum lalu mempersilakan Bianna jalan lebih dulu. Dua orang satpam pintu menyapa dengan menganggukkan kepalanya, Bianna balas sembari tersenyum. Begitu juga saat memasuki lobi kantor, wanita yang memakai blazer serba putih dengan rok sepan sebatas lutut itu disa
Ruang meeting yang tadi banyak orang, kini berubah lengang. Hanya ada Bianna yang duduk berhadapan dengan Eduardo dan tak jauh darinya, Damian masih bercengkrama dengan Dion dan Direktur keuangan. “Maafkan, Opa, Bia.” Eduardo menggenggam tangan halus Bianna.“Kenapa Opa bicara begitu? Aku tidak merasa Opa punya salah padaku,” sahut wanita itu dengan tatapan teduhnya. Eduardo tersenyum penuh arti. “Opa merasa sepanjang rapat tadi kamu begitu tertekan. Padahal kamu baru masuk ke keluarga kami, tapi mereka sudah mencecarmu dengan banyak pertanyaan dan juga tuntutan.” Bibir Bianna menyunggingkan senyum tipis sekali, kalau mau jujur, tentu saja meeting pagi ini seperti yang Eduardo bilang. Bianna sangat tertekan. Saat Damian memperkenalkannya sebagai istri sekaligus direktur pelaksana yang baru, berbagai tanggapan bermunculan. Dari yang meragukan kemampuan wanita lulusan MBA Harvard university ini sampai yang mendu
Satu per satu hal yang dijanjikan Damian mulai terwujud setelah pria itu menikahi Bianna. Dari merubah penampilannya, memberinya posisi bergengsi di perusahaan hingga ….“Lusa kita akan bertemu dengan mantan suamimu, Bia.”“Benarkah?” Bianna memekik tak percaya. “Secepat ini?”“Iya, Presentasikan semua yang ada di proposal itu dengan singkat dan jelas, kalahkan mereka dengan mendapatkan tender itu. Aku kira itu cukup memberikan shock therapy pertama untuk mereka.”Bianna ternganga dengan penjelasan Damian. “A-apa aku bisa, Dami?”Damian bertanya dengan sinis sambil satu tangan sudah dia simpan dikantong celana bahannya. “Kenapa? Kamu ingin menyerah sekarang?” Seketika Bianna membalas dengan tatapan sengit. Nada bicaranya pun berubah tak ramah lagi. “Siapa bilang aku akan menyerah? Aku memang ragu apa bisa mempresentasikan ini dengan baik tapi bukan berarti aku menyerah, Damian!”Sering
“Nona Bia? Ya Tuhan, benarkah ini Nona Bia?” Miranda Kherr tampak terkejut saat melihat anak dari majikannya berdiri di ambang pintu. Tentu saja karena dia dan semua orang pikir, Bianna memang sudah meninggal dalam kecelakaan itu, bukan? Kalau sekarang Bianna muncul dengan penampilan baru, siapa yang tidak akan terkejut. Miranda membingkai wajah ayu Bianna, menekan beberapa kali seakan-akan sedang memastikan kalau makhluk di hadapannya ini adalah benar-benar manusia yang dia kenali. Bianna tersenyum penuh arti. Dia raih tangan kiri Miranda sambil berkata, “Iya, Bik. Ini aku, Bia.” Tanpa basa-basi Miranda langsung merengkuh tubuh ramping Bianna. Memeluknya erat seolah-olah ini adalah saat terakhir mereka bisa melakukannya. “Puji Tuhan kalau Anda masih hidup, Non. Saya benar-benar bersyukur sekali.” Miranda menarik diru. “Ayo, masuk, Non.” Dia menuntun tangan Bianna masuk ke unit apartemen sederhananya. Miranda Kherr adalah pengasuh Bianna sejak bayi. Dia diangkat menjadi kepa
“Di mana sopan santun Anda, Om? Datang-datang langsung teriak-teriak begitu?” Damian menanggapi dengan sikap dingin kedatangan pria yang dipanggilnya Om, sedangkan Bianna menatap bingung pada pria yang kelihatannya memang lebih tua dari suaminya itu. “Bagaimana aku bisa sopan kalau orang yang aku hadapi ini manusia penipu!” sentak pria itu yang mana membuat Damian membelalakkan matanya. “Siapa yang menipu Anda?” tanya Damian dengan sinis. Dia sempat melihat pada Bianna yang memilih diam dan memperhatikan pembicaraan mereka. “Kamu. Kan, kamu yang suruh aku cepat pulang dari Jerman untuk menempati kursi direktur yang kosong, tapi apa ini? Aku dapat kabar kalau posisi itu sudah kamu berikan pada orang lain. Apa-apaan begitu caranya?” Bianna sepertinya paham apa yang mereka bahas. Posisi yang dimaksud pria itu pastilah jabatan dia saat ini. Terdengar decakan dari bibir Damian. “Hentikan membuat keributan yang tidak berarti. Maafkan aku tidak memberitahu Om lebih awal. Tapi jabatan
“Demi Tuhan jangan asal bicara, Damian!” gerutu Bianna setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri. Dia segera beringsut turun dari atas dada Damian yang terkekeh membalas ucapannya. Bianna membenarkan jubah tidurnya yang sempat tersingkap hingga bahunya terlihat. Bianna berharap pria itu tidak menyadarinya. “Aku mau kembali tidur. Selamat malam.” Bianna melangkah dengan cepat, tetapi kembali berhenti saat kata-kata Damian mengudara. “Aku suka parfumnya, Bia. Jangan gunakan itu kalau kamu keluar rumah, ngerti?” Bianna kembali terbelalak, dia segera memutar tubuhnya hanya untuk melihat wajah sang suami yang baru saja memujinya. “Kalau aku tidak mau, kamu mau apa?” tantang Bianna dengan nada sinis. Damian yang sudah duduk di sofanya tersenyum menyeringai. “Silakan kalau mau dicoba, aku jamin kamu tidak akan bisa keluar dari kamar ini.” Bianna ingin membantah, tetapi Damian kembali bicara. “Aku tidak suka dibantah, Bia. Jadi, menurutlah. Selamat malam.” Dengan santainya D
“Apa aku boleh tanya sesuatu, Dami?” Bianna memberanikan diri bertanya pada Damian saat mobil SUV Mercedes Benz yang membawa mereka sudah separuh perjalanan dari rumah. “Soal apa?” Damian balik bertanya tanpa melihat pada Bianna. Bianna menghela napasnya perlahan sebelum akhirnya mengungkapkan apa yang sedari tadi mengganjal di hatinya. “Apa kalian ada masalah? Maksudku, kamu dan Om Sean. Kenapa sepertinya kamu tidak suka dia tinggal di rumah itu.” Damian tak bereaksi. Itu membuat Bianna semakin yakin kalau kedua paman dan keponakan itu punya masalah yang tidak semua orang ketahui, tatapi apa itu? “Baiklah kalau kamu tidak mau jawab, maaf kalau aku sudah lancang.” “Bagus kalau kamu sadar.” Damian menengok pada Bianna dan melanjutkan bicaranya. “Karena tidak semua hal harus aku katakan padamu apalagi jika itu tak ada hubungannya denganmu. Jadi, diam dan turuti saja perintahku.” Bianna mendengkus sebal, tetapi tak berniat membantah ucapan sang pria. Masa bodoh dengan u