Kaki jenjang Bianna memasuki sebuah kamar di lantai dua rumah mewah itu. Ada Damian menyusul di belakangnya, tanpa bicara dan hanya memperhatikan gerak gerik Bianna yang sedang menyusuri isi kamar miliknya.
Bianna cukup terperangah melihat isi kamar paling luas yang ada di rumah ini. Kamar utama dengan ranjang besar berada di sebelah kanan pintu menjadi pemandangan pertama yang ditangkap mata almond wanita itu. Di sebelah kirinya terdapat satu ruangan dengan sliding door kaca buram yang Bianna tebak adalah ruang ganti Damian yang juga terhubung dengan kamar mandi kamar ini. Bianna melanjutkan langkahnya menuju dinding yang ditutupi dengan gorden transparan. Bianna yakin dibalik gorden itu pasti pemandangan luar rumah ini. Namun, sebelum membukanya, wanita berambut panjang itu menengok pada Damian yang ternyata sudah duduk di tepi ranjang dan sedang melonggarkan dasinya. “Maaf, Damian. Aku sudah terlalu lancang menyentuh isi kamar ini,” ujar Bianna yang merasa tak enak karena sedari tadi berkeliaran di dalam kamar pria itu. “Ini kamarmu juga,” jawabnya singkat pun tanpa melihat ke arah Bianna. “Apa itu artinya kita akan tidur bersama di sini?” Hati-hati Bianna bertanya, kedua tangannya sudah bertaut di depan tubuhnya. Jujur, bicara dengan Damian membutuhkan mental yang cukup agar siap dengan segala reaksinya yang sulit ditebak. Damian melepas dasi lalu jasnya dan meletakkannya ke sisi ranjang yang kosong. Sambil membuka kancing lengan kemejanya, pria bercambang tipis itu berkata, “Opa ada di sini, aku tidak bisa membiarkanmu tidur terpisah dariku.” Damian bangkit dari duduknya. Melihat raut wajah terkejut Bianna, seringai senyum tersungging di bibirnya. “Cukup mainkan peranmu sebagai istriku di depan Opa dan yang lainnya, bukan di hadapanku. Aku rasa kamu mengerti apa maksudku, Bia.” Jelas. Bianna tentu sangat mengerti apa yang diinginkan Damian. Mana mungkin pria tampan penuh kharisma itu akan tertarik pada dirinya yang sudahlah janda, miskin lagi. “Baiklah. Aku mengerti,” jawab Bianna. Baru saja Bianna akan bertanya lagi, tiba-tiba saja pintu kamar ada yang mengetuk. Damian segera menyahut dan pintu besar itu terbuka dari luar. Ada Marta datang bersama dua orang pelayan di sampingnya. “Maaf, kalau saya mengganggu waktu istirahat Tuan dan Nyonya,” ucap Marta dengan sedikit tertunduk. “Ada apa?” sahut Damian datar saja. “Gaun malam untuk Nyonya sudah tiba, Tuan. Juga pakaian harian yang Anda minta sudah ada di sini.” Marta menunjukkan tiga paper bag dan satu kantong pakaian berisi gaun malam yang dia maksud tadi. “Masuklah dan letakkan di dalam walk in closet,” titah Damian tanpa basa-basi. “Baik, Tuan. Apa Nyonya mau mencobanya dulu? Kita masih ada waktu kalau gaun ini tidak sesuai dengan keinginan Anda.” Bianna tersenyum, tetapi tidak langsung menyahut. Dia justru melihat pada suaminya. “Apa aku boleh mencobanya?” tanya Bianna terus terang. “Itu terserah kamu.” Tepat setelah bicara seperti itu, ponsel miliknya berdering. Damian segera menggeser ikon telepon dan bicara pada si penelepon. Sementara Bianna sudah mendekati kepala pelayan kediaman Lysander yang akan menuju ruang ganti kamarnya. Di dalam sana Bianna benar-benar mencoba gaun malam yang khusus dibeli untuknya yang akan dipakai di acara makan malam perayaan pernikahannya tadi siang. Gaun off shoulder warna merah marun yang sangat mewah itu terlihat semakin memukau saat melekat di tubuh tinggi dan ramping wanita itu. “Anda cantik sekali Nyonya Bia,” puji Marta setulus hati. “Benarkah? Ini tidak terlalu terbuka, bukan? Atau ini terlalu seksi, Marta?” Bianna merasa kurang nyaman dengan kedua bahunya yang terbuka. “Jangan khawatir, Nyonya. Ini ada scarf-nya. Kalau anda kurang nyaman pakai ini untuk menutupinya.” Selvi memberikan scarf warna senada gaun hanya beda bahannya saja. “Kamu benar. Terima kasih Selvi.” “Tidak usah sungkan, Nyonya. Tapi dipakai begini saja lebih elegan, lho, Nyonya.” Selvi kembali menyarankan. “Jangan dipaksakan, Nyonya. Senyamannya Nyonya saja,” ujar Marta menimpali. Wanita paruh baya ini terlihat sangat ramah dan baik hati. “Terima kasih, Marta,” ucap Bianna sambil menggenggam tangan wanita itu. Setelah beberapa saat Marta, Selvi, dan Inara keluar dari ruangan itu meninggalkan Bianna yang sedang membereskan baju-baju harian yang baru saja dibeli ke dalam lemari. Mungkin karena belum terbiasa dengan lingkungan barunya, Bianna tersentak kaget saat sliding door ruang ganti kamarnya terbuka. sontak Bianna menoleh pada orang yang baru saja masuk. “Damian?” pekik wanita itu. “Aku pikir sudah tidak ada orang di sini, Bia,” ucap pria yang menggulung lengan kemejanya hingga siku itu dengan santainya seperti tidak terkejut sama sekali. Bianna berdecak pelan, dalam hati dia harus membiasakan jika hal seperti ini akan sering terjadi nantinya. “Tidak masalah. Silakan kalau kamu mau memakai tempat ini, aku akan keluar dulu.” Bianna hentikan kegiatannya lalu segera beranjak dari sana. Namun, belum lagi dia mencapai pintu keluar, Damian kembali memanggilnya. “Apa ada yang bisa aku bantu?” Damian tersenyum penuh arti, lalu menunjukkan sesuatu yang membuat mata almond Bianna terbelalak dengan lebarnya. Refleks kedua tangan Bianna menyilang ke depan dadanya. Dia lupa tidak mengenakan bra saat berganti kaos longgar setelah mencoba gaun malamnya tadi. “Jangan coba-coba memancingku dengan trik murahan seperti ini, Bia.” Seketika mulut Bianna ternganga atas tuduhan Damian yang tidak berdasar itu. Dengan menahan kesal sekaligus malu, Bianna melangkah mendekati pria yang menatapnya penuh intimidasi itu. “Belajarlah untuk tidak menuduh sembarangan pada orang lain, Tuan Damian!” Bianna menyambar pakaian dalamnya yang dipegang oleh Damian dengan kasar. Dalam hati Bianna mengumpat pada diri sendiri karena sesaat melupakan kalau tempat ini bukanlah kamarnya yang dulu melainkan kamar pria dingin yang pelit bicara itu. Bersambung …Bianna masih merasa kesal pada Damian atas ucapannya tadi sore. Wanita itu berpikir seharusnya Damian tidak bicara sesarkas itu. Mana dia tahu kalau pria itu akan masuk ke ruang ganti saat dirinya masih beberes pakaiannya di dalam dan sialnya, Bianna memang sembarang meletakkan pakaian dalamnya tanpa menyadari kalau saat ini dia berada di rumah pria yang hanya pura-pura menjadi suaminya demi membantunya membalas dendam pada mantan suaminya. Sampai hari ini Bianna sendiri tidak tahu apa alasan Damian dan kenapa pria tampan itu mau menikahi janda miskin seperti dirinya. Bianna sedang merapikan rambut yang sudah dia catok hingga terlihat semakin lurus dan berkilau saat pintu kamarnya diketuk seseorang. “Masuk saja,” ucapnya sembari menyemprotkan hair mist agar rambutnya tetap rapi dan wangi.“Maaf, Nyonya. Anda sudah ditunggu oleh tuan Damian di bawah,” lapor Inara, salah satu pelayan muda di rumah ini. “Ah, iya, Nara. Aku sudah siap. Bisa minta tolong ambilkan sepatuku di dalam?” Pi
Bianna masih menatap heran pada wanita yang baru saja menyapanya. Sekeras apa pun dia mengingat, Bianna tetap tidak tahu siapa wanita itu. “Namaku Eveline, istri dari Tobias Fernando, kamu mungkin tak tahu aku, tapi mungkin mengenal suamiku.” Wanita bernama Eveline itu memperkenalkan dirinya seakan-akan tahu isyarat kebingungan di mata Bianna. Bianna kembali mengingat nama terakhir yang Eveline sebut. Bianna kembali mengumpat dalam hati sekaligus menyesali karena jarang ikut menghadiri pesta dan meeting yang dilakukan oleh Kevin dan ayahnya dulu. Alhasil dia jarang bertemu dengan para relasi perusahaan. Seperti yang terjadi saat ini. Bianna terpaksa tesenyum kikuk karena gagal mengingat nama suami Eveline.“Maafkan aku Eve. Aku tidak bisa mengingat kalian.” Eveline tersenyum simpul. “Sudah kuduga. It’s okay Bia. Seingatku, kita juga baru sekali bertemu saat pesta ulang tahun terakhir ayahmu. Setelah itu aku tidak pernah meli
Ditemani alunan musik Mariachi khas Meksiko pun suara denting sloki berisi tequila–minuman alkohol yang pasti selalu ada di setiap pergelaran pesta di kota ini–juga tawa ceria para tamu undangan yang sengaja turun ke area dansa untuk menari bergembira menggoyangkan tubuh mereka mengikuti irama musik yang sudah terkenal mendunia itu, menjadikan suasana pesta pernikahan Bianna dan Damian semakin meriah.Namun sayangnya, sang pengantin wanita yang tahun ini akan berusia dua puluh delapan tahun itu tidak bisa menikmatinya dengan tersenyum, melainkan dengan kesedihan dan derai air mata yang tak kunjung mereda meski beberapa kali dia menyeka pipinya yang basah. Rasa sakit di dadanya begitu menyesakkan. Sudahlah dianggap meninggal, kini dia harus menghadapi kenyataan kalau mantan suaminya sudah menuduhnya berselingkuh. Bianna yang malang harus berbuat apa sekarang? Saat nama baik yang dia jaga selama ini harus rusak oleh kelakuan pria yang tak bertanggung jawab
Mobil sedan Mercedes Benz C300 hitam sudah berhenti di pelataran lobi kantor Lysander Corporation. Pintu mobil bagian belakang segara dibuka oleh Dion. Wanita berpakaian layaknya orang kantoran, keluar dari dalam mobil. Bianna, nama wanita itu. Dia menatap pintu utama gedung pencakar langit di depan sana dengan perasaan takjub. Suami yang dia kenal saat berada di kamar rawat rumah sakit ternyata sekaya ini. Wanita itu, bahkan tidak bisa menebak kejutan apa lagi yang akan dia dapatkan nanti di dalam sana.“Silakan Nyonya. Tuan Damian sudah menunggu Anda di ruangannya.” Bianna tersenyum kikuk karena kedapatan Dion sedang melamun. “Iya, Makasih, Dion.” Pria muda itu tersenyum lalu mempersilakan Bianna jalan lebih dulu. Dua orang satpam pintu menyapa dengan menganggukkan kepalanya, Bianna balas sembari tersenyum. Begitu juga saat memasuki lobi kantor, wanita yang memakai blazer serba putih dengan rok sepan sebatas lutut itu disa
Ruang meeting yang tadi banyak orang, kini berubah lengang. Hanya ada Bianna yang duduk berhadapan dengan Eduardo dan tak jauh darinya, Damian masih bercengkrama dengan Dion dan Direktur keuangan. “Maafkan, Opa, Bia.” Eduardo menggenggam tangan halus Bianna.“Kenapa Opa bicara begitu? Aku tidak merasa Opa punya salah padaku,” sahut wanita itu dengan tatapan teduhnya. Eduardo tersenyum penuh arti. “Opa merasa sepanjang rapat tadi kamu begitu tertekan. Padahal kamu baru masuk ke keluarga kami, tapi mereka sudah mencecarmu dengan banyak pertanyaan dan juga tuntutan.” Bibir Bianna menyunggingkan senyum tipis sekali, kalau mau jujur, tentu saja meeting pagi ini seperti yang Eduardo bilang. Bianna sangat tertekan. Saat Damian memperkenalkannya sebagai istri sekaligus direktur pelaksana yang baru, berbagai tanggapan bermunculan. Dari yang meragukan kemampuan wanita lulusan MBA Harvard university ini sampai yang mendu
Satu per satu hal yang dijanjikan Damian mulai terwujud setelah pria itu menikahi Bianna. Dari merubah penampilannya, memberinya posisi bergengsi di perusahaan hingga ….“Lusa kita akan bertemu dengan mantan suamimu, Bia.”“Benarkah?” Bianna memekik tak percaya. “Secepat ini?”“Iya, Presentasikan semua yang ada di proposal itu dengan singkat dan jelas, kalahkan mereka dengan mendapatkan tender itu. Aku kira itu cukup memberikan shock therapy pertama untuk mereka.”Bianna ternganga dengan penjelasan Damian. “A-apa aku bisa, Dami?”Damian bertanya dengan sinis sambil satu tangan sudah dia simpan dikantong celana bahannya. “Kenapa? Kamu ingin menyerah sekarang?” Seketika Bianna membalas dengan tatapan sengit. Nada bicaranya pun berubah tak ramah lagi. “Siapa bilang aku akan menyerah? Aku memang ragu apa bisa mempresentasikan ini dengan baik tapi bukan berarti aku menyerah, Damian!”Sering
“Nona Bia? Ya Tuhan, benarkah ini Nona Bia?” Miranda Kherr tampak terkejut saat melihat anak dari majikannya berdiri di ambang pintu. Tentu saja karena dia dan semua orang pikir, Bianna memang sudah meninggal dalam kecelakaan itu, bukan? Kalau sekarang Bianna muncul dengan penampilan baru, siapa yang tidak akan terkejut. Miranda membingkai wajah ayu Bianna, menekan beberapa kali seakan-akan sedang memastikan kalau makhluk di hadapannya ini adalah benar-benar manusia yang dia kenali. Bianna tersenyum penuh arti. Dia raih tangan kiri Miranda sambil berkata, “Iya, Bik. Ini aku, Bia.” Tanpa basa-basi Miranda langsung merengkuh tubuh ramping Bianna. Memeluknya erat seolah-olah ini adalah saat terakhir mereka bisa melakukannya. “Puji Tuhan kalau Anda masih hidup, Non. Saya benar-benar bersyukur sekali.” Miranda menarik diru. “Ayo, masuk, Non.” Dia menuntun tangan Bianna masuk ke unit apartemen sederhananya. Miranda Kherr adalah pengasuh Bianna sejak bayi. Dia diangkat menjadi kepa
“Di mana sopan santun Anda, Om? Datang-datang langsung teriak-teriak begitu?” Damian menanggapi dengan sikap dingin kedatangan pria yang dipanggilnya Om, sedangkan Bianna menatap bingung pada pria yang kelihatannya memang lebih tua dari suaminya itu. “Bagaimana aku bisa sopan kalau orang yang aku hadapi ini manusia penipu!” sentak pria itu yang mana membuat Damian membelalakkan matanya. “Siapa yang menipu Anda?” tanya Damian dengan sinis. Dia sempat melihat pada Bianna yang memilih diam dan memperhatikan pembicaraan mereka. “Kamu. Kan, kamu yang suruh aku cepat pulang dari Jerman untuk menempati kursi direktur yang kosong, tapi apa ini? Aku dapat kabar kalau posisi itu sudah kamu berikan pada orang lain. Apa-apaan begitu caranya?” Bianna sepertinya paham apa yang mereka bahas. Posisi yang dimaksud pria itu pastilah jabatan dia saat ini. Terdengar decakan dari bibir Damian. “Hentikan membuat keributan yang tidak berarti. Maafkan aku tidak memberitahu Om lebih awal. Tapi jabatan