Teras kantor catatan sipil sudah dipenuhi oleh para wartawan dari berbagai media elektronik mau pun cetak di seluruh Mexico ini.
Baik wartawan wanita maupun pria yang membawa mic segera menghampiri sumber berita mereka–Bianna dan Damian–yang berjalan di belakang Eduardo saat ketiganya keluar dari pintu utama gedung itu. Bukan itu saja, lampu blitz dari kamera para pencari berita itu juga menyambut kedatangan ketiganya. Bianna yang belum terbiasa dengan keadaan seperti ini tentu mendadak grogi dan ketakutan. Dia, bahkan hampir melangkah mundur kalau saja tangan besar Damian tidak menahan lengannya. “Hadapi! Kalau kamu mundur sekarang berarti kamu kalah, Bia!” Singkat, tetapi cukup menyentak hati Bianna. “I-iya, Tuan.” “Damian. Mulai hari ini aku suamimu,” ujarnya penuh penekanan di akhir kalimatnya. “Baik, Damian. Aku mengerti,” sahut Bianna tergugu. “Sekarang tersenyumlah. Tunjukkan pada mereka kalau kamu bahagia atas pernikahan ini.” Bianna tidak bisa membantah setiap ucapan Damian. Pria tinggi dan gagah ini begitu irit bicara, tetapi sekalinya berkata bisa membuat Bianna seperti orang bodoh yang kehilangan kosa kata dalam otaknya. Akan tetapi, Bianna memang tidak punya pilihan lain, mau tidak mau, suka tidak suka, wanita berkulit putih itu harus bisa memainkan perannya dengan sangat sempurna. Setelah puas mewawancarai Eduardo yang tampak semringah saat memperkenalkan cucu menantunya itu ke khalayak ramai, tiba giliran Bianna dan Damian yang mendapatkan banyak pertanyaan. Sepanjang sesi wawancara di hadapan puluhan wartawan itu, tidak ada lagi Bianna yang kaku dan ketakutan. Yang ada hanyalah Bianna yang anggun dan berkharisma. Siapa pun di tempat itu berhasil dibuat terkesima oleh penampilan dan cara bicara istri dari pemilik perusahaan ekspor impor ternama di Mexico City ini. “Sepertinya cukup. Kami butuh istirahat. Silakan lanjutkan dengan asisten saya. Kami permisi,” ujar Damian memotong pertanyaan seorang wartawan yang mulai bertanya soal keluarga Bianna. Seketika Bianna bisa bernapas lega karena lagi-lagi perlindungan dari Damian menyelamatkannya. Wanita itu pun segera mengikuti langkah Damian pergi meninggalkan tempat itu untuk kemudian menerobos kerumunan para wartawan dibantu oleh ajudan sang Kakek. Namun, karena terlalu antusiasnya para pencari berita pada pasangan pengantin baru itu, mereka pun tak ingin melepaskan sumber berita mereka begitu saja. Para wartawan itu mencoba menghentikan langkah Bianna yang tertinggal beberapa meter dari Damian. “Kenapa tidak menjawab, Nyonya? Kami ingin tahu siapa keluarga Anda.” Salah satu wartawan wanita menghadang Bianna dengan mengacungkan mic tepat di depan wajah cantik natural itu. “Maaf, saya harus pergi!” Bianna mengelak dan mencoba keluar dari desakan wartawan-wartawan itu . Akan tetapi, saat dia pikir dirinya gagal, sebuah tangan kekar menarik tangannya cepat dan segera menjauhi tempat itu. “Masuklah,” titah pria yang ternyata adalah Damian ketika mereka sudah berada di dekat mobil miliknya. “Terima kasih Damian. Lagi-lagi kamu sudah menyelamatkan aku.” Damian berdecak, sambil memasukkan satu tangan ke kantong celana bahannya, pria itu pun berkata, “Tidak usah berlebihan. Lebih baik kita pulang sekarang.” Senyum di bibir Bianna pun mendadak memudar karena sikap dingin dan ketus pria yang baru saja menikahinya itu. Pada akhirnya mobil SUV keluaran Amerika itu melaju meninggalkan area parkir kantor catatan sipil. Di dalam kendaraan mewah itu, keduanya tidak ada yang berbicara. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terlebih Bianna yang harus mulai memikirkan langkah apa saja yang akan dia ambil setelah menikah dengan pria asing yang baru dia temui tiga hari ini dan bagaimana dia akan memulai aksi balas dendamnya. Tanpa Bianna sadari, mobil hitam itu sudah sampai ke tujuannya, yaitu rumah kediaman keluarga Lysander yang tampak megah dan mewah. Dari pintu pagarnya yang tinggi menjulang itu Bianna sudah dibuat kagum dengan arsitektur bangunan rumah dua lantai bercat putih tulang itu. Menatap rumah itu dari dalam mobil, tak disangka hati Bianna tersentil. Dulu dia juga seorang putri konglomerat, rumah mewah dengan kendaraan berbagai merk bukan lagi hal asing untuknya, tetapi semua lenyap dalam semalam oleh kelakuan buruk suaminya. “Ayo, turun!” Bianna berjengit kaget saat tangan kiri Damian menyentuh bahunya. “Ah,iya,” sahutnya sedikit gelagapan. Lalu, tanpa menunggu perintah dua kali, Bianna segera mengikuti Damian keluar dari mobil. Bianna terkesima dengan sambutan yang dia terima di dalam rumah itu. Eduardo yang sudah sampai lebih dulu menyambutnya di ambang pintu bersama kepala pelayan dan beberapa pelayan rumah itu. “Selamat datang di rumah kami, Bianna. Opa harap kamu akan betah. Anggaplah ini rumah kamu sendiri,” ucap pria paruh baya yang masih terlihat garis ketampanannya itu sambil tersenyum dan menepuk pelan bahunya. “Pasti, Opa. Aku akan berusaha sebaik-baiknya menjadi menantu Opa,” jawab Bianna yang berusaha tetap tersenyum meski dalam hati dia merasa sangat bersalah sudah membohongi orang tua itu karena pernikahan yang dia lakukan dengan Damian adalah pernikahan karena adanya maksud tertentu. “Baguslah.” Eduardo melihat pada Damian. “Kalau begitu bawa dia istirahat, Dami. Nanti malam Opa sudah buat acara kecil-kecilan buat kalian berdua.” “Apa maksud, Opa?” Damian sudah mengernyitkan dahinya, sedangkan Eduardo tersenyum saja. “Apalagi? Tentu saja pesta buat kalian berdua. Karena pernikahanmu ini begitu mendadak, Opa hanya mengundang beberapa relasi saja untuk merayakannya. Opa harap kamu nggak keberatan.” Terdengar decakan kecil dari bibir Damian, tak ada sedikit pun niatnya untuk menanggapi apa yang sudah direncanakan sang kakek. Dia lebih memilih menatap Bianna yang terlihat tenang. “Ikut, aku, Bia. Akan aku tunjukkan di mana kamar kita.” Sontak mata Bianna melotot sempurna. Kamar kita katanya? “Ya, Tuhan. Apa itu artinya aku dan Damian akan berbagi kamar sementara ini bukan pernikahan yang sesungguhnya?” gumam Bianna dalam hati sambil melihat pada Eduardo yang memberi anggukan sebagai isyarat agar dia menuruti apa kata Damian. Bersambung …Kaki jenjang Bianna memasuki sebuah kamar di lantai dua rumah mewah itu. Ada Damian menyusul di belakangnya, tanpa bicara dan hanya memperhatikan gerak gerik Bianna yang sedang menyusuri isi kamar miliknya. Bianna cukup terperangah melihat isi kamar paling luas yang ada di rumah ini. Kamar utama dengan ranjang besar berada di sebelah kanan pintu menjadi pemandangan pertama yang ditangkap mata almond wanita itu. Di sebelah kirinya terdapat satu ruangan dengan sliding door kaca buram yang Bianna tebak adalah ruang ganti Damian yang juga terhubung dengan kamar mandi kamar ini. Bianna melanjutkan langkahnya menuju dinding yang ditutupi dengan gorden transparan. Bianna yakin dibalik gorden itu pasti pemandangan luar rumah ini. Namun, sebelum membukanya, wanita berambut panjang itu menengok pada Damian yang ternyata sudah duduk di tepi ranjang dan sedang melonggarkan dasinya. “Maaf, Damian. Aku sudah terlalu lancang menyentuh isi kamar ini,” ujar Bianna yang merasa tak enak karena seda
Bianna masih merasa kesal pada Damian atas ucapannya tadi sore. Wanita itu berpikir seharusnya Damian tidak bicara sesarkas itu. Mana dia tahu kalau pria itu akan masuk ke ruang ganti saat dirinya masih beberes pakaiannya di dalam dan sialnya, Bianna memang sembarang meletakkan pakaian dalamnya tanpa menyadari kalau saat ini dia berada di rumah pria yang hanya pura-pura menjadi suaminya demi membantunya membalas dendam pada mantan suaminya. Sampai hari ini Bianna sendiri tidak tahu apa alasan Damian dan kenapa pria tampan itu mau menikahi janda miskin seperti dirinya. Bianna sedang merapikan rambut yang sudah dia catok hingga terlihat semakin lurus dan berkilau saat pintu kamarnya diketuk seseorang. “Masuk saja,” ucapnya sembari menyemprotkan hair mist agar rambutnya tetap rapi dan wangi.“Maaf, Nyonya. Anda sudah ditunggu oleh tuan Damian di bawah,” lapor Inara, salah satu pelayan muda di rumah ini. “Ah, iya, Nara. Aku sudah siap. Bisa minta tolong ambilkan sepatuku di dalam?” Pi
Bianna masih menatap heran pada wanita yang baru saja menyapanya. Sekeras apa pun dia mengingat, Bianna tetap tidak tahu siapa wanita itu. “Namaku Eveline, istri dari Tobias Fernando, kamu mungkin tak tahu aku, tapi mungkin mengenal suamiku.” Wanita bernama Eveline itu memperkenalkan dirinya seakan-akan tahu isyarat kebingungan di mata Bianna. Bianna kembali mengingat nama terakhir yang Eveline sebut. Bianna kembali mengumpat dalam hati sekaligus menyesali karena jarang ikut menghadiri pesta dan meeting yang dilakukan oleh Kevin dan ayahnya dulu. Alhasil dia jarang bertemu dengan para relasi perusahaan. Seperti yang terjadi saat ini. Bianna terpaksa tesenyum kikuk karena gagal mengingat nama suami Eveline.“Maafkan aku Eve. Aku tidak bisa mengingat kalian.” Eveline tersenyum simpul. “Sudah kuduga. It’s okay Bia. Seingatku, kita juga baru sekali bertemu saat pesta ulang tahun terakhir ayahmu. Setelah itu aku tidak pernah meli
Ditemani alunan musik Mariachi khas Meksiko pun suara denting sloki berisi tequila–minuman alkohol yang pasti selalu ada di setiap pergelaran pesta di kota ini–juga tawa ceria para tamu undangan yang sengaja turun ke area dansa untuk menari bergembira menggoyangkan tubuh mereka mengikuti irama musik yang sudah terkenal mendunia itu, menjadikan suasana pesta pernikahan Bianna dan Damian semakin meriah.Namun sayangnya, sang pengantin wanita yang tahun ini akan berusia dua puluh delapan tahun itu tidak bisa menikmatinya dengan tersenyum, melainkan dengan kesedihan dan derai air mata yang tak kunjung mereda meski beberapa kali dia menyeka pipinya yang basah. Rasa sakit di dadanya begitu menyesakkan. Sudahlah dianggap meninggal, kini dia harus menghadapi kenyataan kalau mantan suaminya sudah menuduhnya berselingkuh. Bianna yang malang harus berbuat apa sekarang? Saat nama baik yang dia jaga selama ini harus rusak oleh kelakuan pria yang tak bertanggung jawab
Mobil sedan Mercedes Benz C300 hitam sudah berhenti di pelataran lobi kantor Lysander Corporation. Pintu mobil bagian belakang segara dibuka oleh Dion. Wanita berpakaian layaknya orang kantoran, keluar dari dalam mobil. Bianna, nama wanita itu. Dia menatap pintu utama gedung pencakar langit di depan sana dengan perasaan takjub. Suami yang dia kenal saat berada di kamar rawat rumah sakit ternyata sekaya ini. Wanita itu, bahkan tidak bisa menebak kejutan apa lagi yang akan dia dapatkan nanti di dalam sana.“Silakan Nyonya. Tuan Damian sudah menunggu Anda di ruangannya.” Bianna tersenyum kikuk karena kedapatan Dion sedang melamun. “Iya, Makasih, Dion.” Pria muda itu tersenyum lalu mempersilakan Bianna jalan lebih dulu. Dua orang satpam pintu menyapa dengan menganggukkan kepalanya, Bianna balas sembari tersenyum. Begitu juga saat memasuki lobi kantor, wanita yang memakai blazer serba putih dengan rok sepan sebatas lutut itu disa
Ruang meeting yang tadi banyak orang, kini berubah lengang. Hanya ada Bianna yang duduk berhadapan dengan Eduardo dan tak jauh darinya, Damian masih bercengkrama dengan Dion dan Direktur keuangan. “Maafkan, Opa, Bia.” Eduardo menggenggam tangan halus Bianna.“Kenapa Opa bicara begitu? Aku tidak merasa Opa punya salah padaku,” sahut wanita itu dengan tatapan teduhnya. Eduardo tersenyum penuh arti. “Opa merasa sepanjang rapat tadi kamu begitu tertekan. Padahal kamu baru masuk ke keluarga kami, tapi mereka sudah mencecarmu dengan banyak pertanyaan dan juga tuntutan.” Bibir Bianna menyunggingkan senyum tipis sekali, kalau mau jujur, tentu saja meeting pagi ini seperti yang Eduardo bilang. Bianna sangat tertekan. Saat Damian memperkenalkannya sebagai istri sekaligus direktur pelaksana yang baru, berbagai tanggapan bermunculan. Dari yang meragukan kemampuan wanita lulusan MBA Harvard university ini sampai yang mendu
Satu per satu hal yang dijanjikan Damian mulai terwujud setelah pria itu menikahi Bianna. Dari merubah penampilannya, memberinya posisi bergengsi di perusahaan hingga ….“Lusa kita akan bertemu dengan mantan suamimu, Bia.”“Benarkah?” Bianna memekik tak percaya. “Secepat ini?”“Iya, Presentasikan semua yang ada di proposal itu dengan singkat dan jelas, kalahkan mereka dengan mendapatkan tender itu. Aku kira itu cukup memberikan shock therapy pertama untuk mereka.”Bianna ternganga dengan penjelasan Damian. “A-apa aku bisa, Dami?”Damian bertanya dengan sinis sambil satu tangan sudah dia simpan dikantong celana bahannya. “Kenapa? Kamu ingin menyerah sekarang?” Seketika Bianna membalas dengan tatapan sengit. Nada bicaranya pun berubah tak ramah lagi. “Siapa bilang aku akan menyerah? Aku memang ragu apa bisa mempresentasikan ini dengan baik tapi bukan berarti aku menyerah, Damian!”Sering
“Nona Bia? Ya Tuhan, benarkah ini Nona Bia?” Miranda Kherr tampak terkejut saat melihat anak dari majikannya berdiri di ambang pintu. Tentu saja karena dia dan semua orang pikir, Bianna memang sudah meninggal dalam kecelakaan itu, bukan? Kalau sekarang Bianna muncul dengan penampilan baru, siapa yang tidak akan terkejut. Miranda membingkai wajah ayu Bianna, menekan beberapa kali seakan-akan sedang memastikan kalau makhluk di hadapannya ini adalah benar-benar manusia yang dia kenali. Bianna tersenyum penuh arti. Dia raih tangan kiri Miranda sambil berkata, “Iya, Bik. Ini aku, Bia.” Tanpa basa-basi Miranda langsung merengkuh tubuh ramping Bianna. Memeluknya erat seolah-olah ini adalah saat terakhir mereka bisa melakukannya. “Puji Tuhan kalau Anda masih hidup, Non. Saya benar-benar bersyukur sekali.” Miranda menarik diru. “Ayo, masuk, Non.” Dia menuntun tangan Bianna masuk ke unit apartemen sederhananya. Miranda Kherr adalah pengasuh Bianna sejak bayi. Dia diangkat menjadi kepa