Teras kantor catatan sipil sudah dipenuhi oleh para wartawan dari berbagai media elektronik mau pun cetak di seluruh Mexico ini.
Baik wartawan wanita maupun pria yang membawa mic segera menghampiri sumber berita mereka–Bianna dan Damian–yang berjalan di belakang Eduardo saat ketiganya keluar dari pintu utama gedung itu. Bukan itu saja, lampu blitz dari kamera para pencari berita itu juga menyambut kedatangan ketiganya. Bianna yang belum terbiasa dengan keadaan seperti ini tentu mendadak grogi dan ketakutan. Dia, bahkan hampir melangkah mundur kalau saja tangan besar Damian tidak menahan lengannya. “Hadapi! Kalau kamu mundur sekarang berarti kamu kalah, Bia!” Singkat, tetapi cukup menyentak hati Bianna. “I-iya, Tuan.” “Damian. Mulai hari ini aku suamimu,” ujarnya penuh penekanan di akhir kalimatnya. “Baik, Damian. Aku mengerti,” sahut Bianna tergugu. “Sekarang tersenyumlah. Tunjukkan pada mereka kalau kamu bahagia atas pernikahan ini.” Bianna tidak bisa membantah setiap ucapan Damian. Pria tinggi dan gagah ini begitu irit bicara, tetapi sekalinya berkata bisa membuat Bianna seperti orang bodoh yang kehilangan kosa kata dalam otaknya. Akan tetapi, Bianna memang tidak punya pilihan lain, mau tidak mau, suka tidak suka, wanita berkulit putih itu harus bisa memainkan perannya dengan sangat sempurna. Setelah puas mewawancarai Eduardo yang tampak semringah saat memperkenalkan cucu menantunya itu ke khalayak ramai, tiba giliran Bianna dan Damian yang mendapatkan banyak pertanyaan. Sepanjang sesi wawancara di hadapan puluhan wartawan itu, tidak ada lagi Bianna yang kaku dan ketakutan. Yang ada hanyalah Bianna yang anggun dan berkharisma. Siapa pun di tempat itu berhasil dibuat terkesima oleh penampilan dan cara bicara istri dari pemilik perusahaan ekspor impor ternama di Mexico City ini. “Sepertinya cukup. Kami butuh istirahat. Silakan lanjutkan dengan asisten saya. Kami permisi,” ujar Damian memotong pertanyaan seorang wartawan yang mulai bertanya soal keluarga Bianna. Seketika Bianna bisa bernapas lega karena lagi-lagi perlindungan dari Damian menyelamatkannya. Wanita itu pun segera mengikuti langkah Damian pergi meninggalkan tempat itu untuk kemudian menerobos kerumunan para wartawan dibantu oleh ajudan sang Kakek. Namun, karena terlalu antusiasnya para pencari berita pada pasangan pengantin baru itu, mereka pun tak ingin melepaskan sumber berita mereka begitu saja. Para wartawan itu mencoba menghentikan langkah Bianna yang tertinggal beberapa meter dari Damian. “Kenapa tidak menjawab, Nyonya? Kami ingin tahu siapa keluarga Anda.” Salah satu wartawan wanita menghadang Bianna dengan mengacungkan mic tepat di depan wajah cantik natural itu. “Maaf, saya harus pergi!” Bianna mengelak dan mencoba keluar dari desakan wartawan-wartawan itu . Akan tetapi, saat dia pikir dirinya gagal, sebuah tangan kekar menarik tangannya cepat dan segera menjauhi tempat itu. “Masuklah,” titah pria yang ternyata adalah Damian ketika mereka sudah berada di dekat mobil miliknya. “Terima kasih Damian. Lagi-lagi kamu sudah menyelamatkan aku.” Damian berdecak, sambil memasukkan satu tangan ke kantong celana bahannya, pria itu pun berkata, “Tidak usah berlebihan. Lebih baik kita pulang sekarang.” Senyum di bibir Bianna pun mendadak memudar karena sikap dingin dan ketus pria yang baru saja menikahinya itu. Pada akhirnya mobil SUV keluaran Amerika itu melaju meninggalkan area parkir kantor catatan sipil. Di dalam kendaraan mewah itu, keduanya tidak ada yang berbicara. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terlebih Bianna yang harus mulai memikirkan langkah apa saja yang akan dia ambil setelah menikah dengan pria asing yang baru dia temui tiga hari ini dan bagaimana dia akan memulai aksi balas dendamnya. Tanpa Bianna sadari, mobil hitam itu sudah sampai ke tujuannya, yaitu rumah kediaman keluarga Lysander yang tampak megah dan mewah. Dari pintu pagarnya yang tinggi menjulang itu Bianna sudah dibuat kagum dengan arsitektur bangunan rumah dua lantai bercat putih tulang itu. Menatap rumah itu dari dalam mobil, tak disangka hati Bianna tersentil. Dulu dia juga seorang putri konglomerat, rumah mewah dengan kendaraan berbagai merk bukan lagi hal asing untuknya, tetapi semua lenyap dalam semalam oleh kelakuan buruk suaminya. “Ayo, turun!” Bianna berjengit kaget saat tangan kiri Damian menyentuh bahunya. “Ah,iya,” sahutnya sedikit gelagapan. Lalu, tanpa menunggu perintah dua kali, Bianna segera mengikuti Damian keluar dari mobil. Bianna terkesima dengan sambutan yang dia terima di dalam rumah itu. Eduardo yang sudah sampai lebih dulu menyambutnya di ambang pintu bersama kepala pelayan dan beberapa pelayan rumah itu. “Selamat datang di rumah kami, Bianna. Opa harap kamu akan betah. Anggaplah ini rumah kamu sendiri,” ucap pria paruh baya yang masih terlihat garis ketampanannya itu sambil tersenyum dan menepuk pelan bahunya. “Pasti, Opa. Aku akan berusaha sebaik-baiknya menjadi menantu Opa,” jawab Bianna yang berusaha tetap tersenyum meski dalam hati dia merasa sangat bersalah sudah membohongi orang tua itu karena pernikahan yang dia lakukan dengan Damian adalah pernikahan karena adanya maksud tertentu. “Baguslah.” Eduardo melihat pada Damian. “Kalau begitu bawa dia istirahat, Dami. Nanti malam Opa sudah buat acara kecil-kecilan buat kalian berdua.” “Apa maksud, Opa?” Damian sudah mengernyitkan dahinya, sedangkan Eduardo tersenyum saja. “Apalagi? Tentu saja pesta buat kalian berdua. Karena pernikahanmu ini begitu mendadak, Opa hanya mengundang beberapa relasi saja untuk merayakannya. Opa harap kamu nggak keberatan.” Terdengar decakan kecil dari bibir Damian, tak ada sedikit pun niatnya untuk menanggapi apa yang sudah direncanakan sang kakek. Dia lebih memilih menatap Bianna yang terlihat tenang. “Ikut, aku, Bia. Akan aku tunjukkan di mana kamar kita.” Sontak mata Bianna melotot sempurna. Kamar kita katanya? “Ya, Tuhan. Apa itu artinya aku dan Damian akan berbagi kamar sementara ini bukan pernikahan yang sesungguhnya?” gumam Bianna dalam hati sambil melihat pada Eduardo yang memberi anggukan sebagai isyarat agar dia menuruti apa kata Damian. Bersambung …Kaki jenjang Bianna memasuki sebuah kamar di lantai dua rumah mewah itu. Ada Damian menyusul di belakangnya, tanpa bicara dan hanya memperhatikan gerak gerik Bianna yang sedang menyusuri isi kamar miliknya. Bianna cukup terperangah melihat isi kamar paling luas yang ada di rumah ini. Kamar utama dengan ranjang besar berada di sebelah kanan pintu menjadi pemandangan pertama yang ditangkap mata almond wanita itu. Di sebelah kirinya terdapat satu ruangan dengan sliding door kaca buram yang Bianna tebak adalah ruang ganti Damian yang juga terhubung dengan kamar mandi kamar ini. Bianna melanjutkan langkahnya menuju dinding yang ditutupi dengan gorden transparan. Bianna yakin dibalik gorden itu pasti pemandangan luar rumah ini. Namun, sebelum membukanya, wanita berambut panjang itu menengok pada Damian yang ternyata sudah duduk di tepi ranjang dan sedang melonggarkan dasinya. “Maaf, Damian. Aku sudah terlalu lancang menyentuh isi kamar ini,” ujar Bianna yang merasa tak enak karena seda
Bianna masih merasa kesal pada Damian atas ucapannya tadi sore. Wanita itu berpikir seharusnya Damian tidak bicara sesarkas itu. Mana dia tahu kalau pria itu akan masuk ke ruang ganti saat dirinya masih beberes pakaiannya di dalam dan sialnya, Bianna memang sembarang meletakkan pakaian dalamnya tanpa menyadari kalau saat ini dia berada di rumah pria yang hanya pura-pura menjadi suaminya demi membantunya membalas dendam pada mantan suaminya. Sampai hari ini Bianna sendiri tidak tahu apa alasan Damian dan kenapa pria tampan itu mau menikahi janda miskin seperti dirinya. Bianna sedang merapikan rambut yang sudah dia catok hingga terlihat semakin lurus dan berkilau saat pintu kamarnya diketuk seseorang. “Masuk saja,” ucapnya sembari menyemprotkan hair mist agar rambutnya tetap rapi dan wangi.“Maaf, Nyonya. Anda sudah ditunggu oleh tuan Damian di bawah,” lapor Inara, salah satu pelayan muda di rumah ini. “Ah, iya, Nara. Aku sudah siap. Bisa minta tolong ambilkan sepatuku di dalam?” Pi
Bianna masih menatap heran pada wanita yang baru saja menyapanya. Sekeras apa pun dia mengingat, Bianna tetap tidak tahu siapa wanita itu. “Namaku Eveline, istri dari Tobias Fernando, kamu mungkin tak tahu aku, tapi mungkin mengenal suamiku.” Wanita bernama Eveline itu memperkenalkan dirinya seakan-akan tahu isyarat kebingungan di mata Bianna. Bianna kembali mengingat nama terakhir yang Eveline sebut. Bianna kembali mengumpat dalam hati sekaligus menyesali karena jarang ikut menghadiri pesta dan meeting yang dilakukan oleh Kevin dan ayahnya dulu. Alhasil dia jarang bertemu dengan para relasi perusahaan. Seperti yang terjadi saat ini. Bianna terpaksa tesenyum kikuk karena gagal mengingat nama suami Eveline.“Maafkan aku Eve. Aku tidak bisa mengingat kalian.” Eveline tersenyum simpul. “Sudah kuduga. It’s okay Bia. Seingatku, kita juga baru sekali bertemu saat pesta ulang tahun terakhir ayahmu. Setelah itu aku tidak pernah meli
Ditemani alunan musik Mariachi khas Meksiko pun suara denting sloki berisi tequila–minuman alkohol yang pasti selalu ada di setiap pergelaran pesta di kota ini–juga tawa ceria para tamu undangan yang sengaja turun ke area dansa untuk menari bergembira menggoyangkan tubuh mereka mengikuti irama musik yang sudah terkenal mendunia itu, menjadikan suasana pesta pernikahan Bianna dan Damian semakin meriah.Namun sayangnya, sang pengantin wanita yang tahun ini akan berusia dua puluh delapan tahun itu tidak bisa menikmatinya dengan tersenyum, melainkan dengan kesedihan dan derai air mata yang tak kunjung mereda meski beberapa kali dia menyeka pipinya yang basah. Rasa sakit di dadanya begitu menyesakkan. Sudahlah dianggap meninggal, kini dia harus menghadapi kenyataan kalau mantan suaminya sudah menuduhnya berselingkuh. Bianna yang malang harus berbuat apa sekarang? Saat nama baik yang dia jaga selama ini harus rusak oleh kelakuan pria yang tak bertanggung jawab
Mobil sedan Mercedes Benz C300 hitam sudah berhenti di pelataran lobi kantor Lysander Corporation. Pintu mobil bagian belakang segara dibuka oleh Dion. Wanita berpakaian layaknya orang kantoran, keluar dari dalam mobil. Bianna, nama wanita itu. Dia menatap pintu utama gedung pencakar langit di depan sana dengan perasaan takjub. Suami yang dia kenal saat berada di kamar rawat rumah sakit ternyata sekaya ini. Wanita itu, bahkan tidak bisa menebak kejutan apa lagi yang akan dia dapatkan nanti di dalam sana.“Silakan Nyonya. Tuan Damian sudah menunggu Anda di ruangannya.” Bianna tersenyum kikuk karena kedapatan Dion sedang melamun. “Iya, Makasih, Dion.” Pria muda itu tersenyum lalu mempersilakan Bianna jalan lebih dulu. Dua orang satpam pintu menyapa dengan menganggukkan kepalanya, Bianna balas sembari tersenyum. Begitu juga saat memasuki lobi kantor, wanita yang memakai blazer serba putih dengan rok sepan sebatas lutut itu disa
Ruang meeting yang tadi banyak orang, kini berubah lengang. Hanya ada Bianna yang duduk berhadapan dengan Eduardo dan tak jauh darinya, Damian masih bercengkrama dengan Dion dan Direktur keuangan. “Maafkan, Opa, Bia.” Eduardo menggenggam tangan halus Bianna.“Kenapa Opa bicara begitu? Aku tidak merasa Opa punya salah padaku,” sahut wanita itu dengan tatapan teduhnya. Eduardo tersenyum penuh arti. “Opa merasa sepanjang rapat tadi kamu begitu tertekan. Padahal kamu baru masuk ke keluarga kami, tapi mereka sudah mencecarmu dengan banyak pertanyaan dan juga tuntutan.” Bibir Bianna menyunggingkan senyum tipis sekali, kalau mau jujur, tentu saja meeting pagi ini seperti yang Eduardo bilang. Bianna sangat tertekan. Saat Damian memperkenalkannya sebagai istri sekaligus direktur pelaksana yang baru, berbagai tanggapan bermunculan. Dari yang meragukan kemampuan wanita lulusan MBA Harvard university ini sampai yang mendu
Satu per satu hal yang dijanjikan Damian mulai terwujud setelah pria itu menikahi Bianna. Dari merubah penampilannya, memberinya posisi bergengsi di perusahaan hingga ….“Lusa kita akan bertemu dengan mantan suamimu, Bia.”“Benarkah?” Bianna memekik tak percaya. “Secepat ini?”“Iya, Presentasikan semua yang ada di proposal itu dengan singkat dan jelas, kalahkan mereka dengan mendapatkan tender itu. Aku kira itu cukup memberikan shock therapy pertama untuk mereka.”Bianna ternganga dengan penjelasan Damian. “A-apa aku bisa, Dami?”Damian bertanya dengan sinis sambil satu tangan sudah dia simpan dikantong celana bahannya. “Kenapa? Kamu ingin menyerah sekarang?” Seketika Bianna membalas dengan tatapan sengit. Nada bicaranya pun berubah tak ramah lagi. “Siapa bilang aku akan menyerah? Aku memang ragu apa bisa mempresentasikan ini dengan baik tapi bukan berarti aku menyerah, Damian!”Sering
“Nona Bia? Ya Tuhan, benarkah ini Nona Bia?” Miranda Kherr tampak terkejut saat melihat anak dari majikannya berdiri di ambang pintu. Tentu saja karena dia dan semua orang pikir, Bianna memang sudah meninggal dalam kecelakaan itu, bukan? Kalau sekarang Bianna muncul dengan penampilan baru, siapa yang tidak akan terkejut. Miranda membingkai wajah ayu Bianna, menekan beberapa kali seakan-akan sedang memastikan kalau makhluk di hadapannya ini adalah benar-benar manusia yang dia kenali. Bianna tersenyum penuh arti. Dia raih tangan kiri Miranda sambil berkata, “Iya, Bik. Ini aku, Bia.” Tanpa basa-basi Miranda langsung merengkuh tubuh ramping Bianna. Memeluknya erat seolah-olah ini adalah saat terakhir mereka bisa melakukannya. “Puji Tuhan kalau Anda masih hidup, Non. Saya benar-benar bersyukur sekali.” Miranda menarik diru. “Ayo, masuk, Non.” Dia menuntun tangan Bianna masuk ke unit apartemen sederhananya. Miranda Kherr adalah pengasuh Bianna sejak bayi. Dia diangkat menjadi kepa
Tak bisa dipungkiri kalau semalam Damian Caesar Lysander sudah membuat Bianna terbuai oleh kehangatan tubuh suami kontraknya itu. Tanpa sadar, Bianna terlelap dalam pelukan pria bertubuh atletis itu. Tidak memedulikan pakaiannya yang belum berganti piyama, Bianna balas rangkulan sang suami. Namun, dalam posisi saling berhadapan, Bianna menyadari satu hal kalau Damian pulang setelah meminum minuman alkohol. Aroma itu tercium dari napasnya yang menerpa wajah Bianna. “Apa yang sudah terjadi? Kenapa Damian minum-minum? Tapi semalam dia tidak terlihat mabuk?” gumam Bianna sembari menyisir rambutnya. Tak ada Damian di kamar. Sejak Bianna bangun tadi, sang suami sudah tidak ada di atas ranjang. Dari pelayan yang masuk mengambil baju kotor ke kamarnya, Bianna tahu kalau Damian sedang pergi berkuda. Setelah memastikan penampilannya tidak ada yang kurang, Bianna memutuskan untuk keluar kamar menuju ke ruang makan. Dia yakin kakek dari Damian pasti sudah menunggunya di sana. “Selamat pagi, O
Bianna sudah mencoba untuk mengabaikan ataupun melupakan apa yang dia dengar di butik tadi. Akan tetapi, bukannya hatinya lega justru pikirannya semakin ke mana-mana. Bianna benar-benar dilanda penasaran hebat akan siapa sosok Viella ini. Bianna menghela napasnya berat, matanya tertuju pada ponsel di atas nakas. Wanita itu segera meraih benda pintar itu lalu dia kembali bersandar pada headboard ranjangnya. Daripada memendam rasa penasaran akut, Bianna memilih membuka laman pencarian di ponselnya. Dengan cepat dia ketik kata kunci ‘Kabar Terbaru Viella Roxanne’. Benar saja dalam laman berita online tersebut tersebar kabar kalau Viella memang akan kembali ke Meksiko, tetapi dari semua kabar yang Bianna baca, tidak ada yang menyebutkan kapan wanita itu akan datang. Suara handle pintu yang bergerak mengejutkan Bianna, dia yakin kalau itu adalah suaminya yang akan masuk ke kamar mereka. Wanita itu pun melihat jam yang ada di atas layar ponsel sebelah kiri. Pukul sebelas malam. “Kamu ba
“Sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat.” Sean menatap dingin pada Bianna dan Kevin. “Nggak, Om. Silakan duduk,” ucap Bianna sedikit gelagapan. Dia justru bersyukur Sean masuk ke ruangannya, dengan begitu dia bisa berhasil melepaskan diri dari rangkulan Kevin. Bianna tampak memaksakan tersenyum. Wajahnya terlihat memerah karena menahan malu dan kesal bersamaan. “Kalau kamu sibuk, biar nanti aku kembali lagi.” Sean tersenyum penuh arti. Bianna yang sudah tidak nyaman bersama Kevin pun segera menarik tangan Omnya Damian itu untuk duduk. “Nggak, Om. Kebetulan aku juga lagi mau cari Om. Om duduk sini dulu, ya?” Mau tak mau Sean menuruti saja apa yang Bianna katakan. Duduk tenang di depan meja kerja Bianna. Lalu wanita itu kembali ke hadapan Kevin. “I’m sorry Kevin. Aku ada urusan yang harus dibicarakan dengan Om Sean. Apa kamu bisa tinggalkan ruangan ini?” pinta Bianna to the point yang langsung ditanggapi senyum tipis oleh Kevin. “It’s okay. Nanti aku hubungi kamu lagi
“Bagaimana rasanya? Enak, kan?” Kevin menanyakan hal itu saat Bianna baru saja menyuapkan satu sendok cake ke mulutnya.Bianna menelan lebih dulu cake yang terbuat dari 80% keju itu sebelum akhirnya menjawab, “Lumayan. Masih kalah enak dengan toko kue langgananku.”“Oh ya? Katakan apa nama tokonya biar lain kali aku bisa membelikannya untukmu,” ujarnya antusias, tetapi ditanggapi cibiran oleh Bianna. “Jadi selama tiga tahun bersamaku, kamu benar-benar tidak tahu apa pun mengenai aku, Vin?” Sontak mata Kevin melebar. Itu jelas sekali terlihat oleh Bianna, reaksinya itu sekaligus membuktikan kalau apa yang Bianna tuduhkan benar, bukan?Kevin terdengar berdecak, sepertinya pria itu tidak terima dengan tuduhan Bianna karena setelahnya, dia pun bangkit dari kursinya berpindah duduk di sebelah wanita itu. Sedikit memiringkan duduknya, dia menghadap kepada Bianna. Hang tidak pernah Bianna siap, ternyata Kevin meraih kedua jemari tangannya, menggenggamnya dan mengunci tatapannya.“Maafin ak
Bianna masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Inez saat tadi mereka bicara di luar ruangannya Damian. Apa yang Inez sampaikan tidak mungkin sebuah kebohongan, kan? Tidak ada untungnya bagi gadis itu membohongi Bianna. Akan tetapi, sungguh sulit dipercaya kalau ternyata selama satu tahun ini Damian benar-benar telah menutup diri dari para wanita. Lantas, luka seperti apa yang Viella beri hingga membuat pria yang jarang tersenyum itu sulit keluar dari bayang-bayang wanita itu?Bianna kembali menggeleng lalu menghela napas kasar sembari menyandarkan punggung ke sandaran kursi kerjanya. Mencoba untuk mengingkari kabar yang didapat, tetapi semakin Bianna abaikan, kenyataan itu justru semakin nyata sebab sampai hari ini dia belum tahu bagaimana isi hati Damian yang sebenarnya, bukan?Ketukan pintu menarik bianna kembali pada kenyataan. Dia lebih dulu melihat jam di layar ponselnya barulah dia meminta si pengetuk untuk masuk. “Maaf, Nyonya. Anda sudah melewatkan makan siang Anda.” Es
Bianna keluar dari ruangan Damian dengan wajah lesu. Dia tidak langsung beranjak dari sana, melainkan dirinya menyandarkan punggung pada daun pintu. Bianna tidak habis pikir, laki-laki yang saat ini berstatus suaminya itu benar-benar sangat sulit ditebak isi hatinya. “Nyonya baik-baik saja?” Bianna berjengit kaget dengan kelopak mata yang langsung terbuka. Di depannya sudah ada Inez, sekretaris Damian menatapnya khawatir. “Oh, nggak apa-apa. Nez. Saya hanya agak lelah saja.” Bianna menegakkan punggungnya. Dia sudah melangkah menjauhi pintu ruang kerja Damian, tetapi tiba-tiba langkahnya kembali berhenti lalu dia berbalik tepat saat Inez akan duduk di kursi kerjanya. “Apa Anda melupakan sesuatu, Nyonya?” tanya Inez yang tampak tidak terkejut dama sekali. “Saya mau tanya, Nez. Sejak kapan kamu kerja dengan Damian?” Entah mengapa mendadak pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Inez melempar senyum manisnya. “Sudah lima tahun ini, Nyonya.”“Oh ya?” Bianna terlihat terkejut. “Kalau beg
“Siapa yang memintamu merubah jadwalku?” Suara Damian tetap sama, datar dan terlalu kaku. Namun, Dion yang sudah bekerja dengannya selama hampir tujuh tahun ini tentu sudah terbiasa mendenganya. “Itu—” “Aku yang perintahkan.” Dion tidak sempat menjawab karena Bianna lebih dulu bersuara saat memasuki ruang kerja Damian. “Kenapa begitu? Apa pentingnya datang ke acara dia?” Damian mendelik tak terima jadwal kerjanya diintervensi tanpa seizinnya. “Nemenin aku, lah. Dia rekan bisnis kita yang baru, masa kita tidak datang ke acaranya,” protes Bianna sambil duduk di kursi depan meja kerjanya. Damian masih ingin komplain, tetapi Bianna memberi kode melalui jaru telunjuk yang ditaruh di atas bibirnya. “Udah, tidak usah pusing, nanti aku yang akan pilihkan pakaianmu. Sekarang aku ke sini karena ada yang ingin aku bicarakan.” Mendengar hal itu tanpa diperintah, Dion berinisiatif undur diri. “Lain kali tanya dulu apa aku mau datang ke pesta atau tidak. Aku paling tidak suka keramaian.” Mata
“Tidak ada masalah dengan jantungku.” Bianna mendorong tubuh kekar Damian dengan kedua tangannya. Damian tidak marah. Dia justru terkekeh sambil merapikan kembali jasnya. “Baguslah kalau begitu. Setelah ini jangan biarkan mereka masuk ke rumahku, aku akan bilang ke satpam untuk mencegah mereka.”“Lalu bagaimana dengan permintaan Opa tadi?” Bianna terpaksa menghentikan gerakan Damian yang sudah berbalik. Dia kembali menoleh lalu tersenyum penuh arti. “Kenapa? Apa kamu menganggap serius permintaan Opa? Sayangnya aku tidak. Jadi, lupakan saja hal itu. Bersiaplah, Tian akan mengantarmu ke kantor.” Bianna terpaksa menelan kembali kata-kata yang siap meluncur dari bibirnya karena langkah pria itu terlalu cepat untuk dihentikan. “Dasar pria aneh! Tidak punya perasaan! Lalu apa yang harus aku katakan pada Opa kalau cucunya sendiri yang tidak mau punya anak?” gerutu Bianna yang akhirnya memutar badan lalu berjalan menuju ruang makan mengambil tas tangan miliknya. “Memangnya kamu mau hamil
Untuk sejenak saja, boleh, kan, Bianna meminta agar waktu berhenti saat ini juga? Saat dirinya tengah hanyut dalam kobaran api gairah yang baru saja dinyalakan oleh Damian? Saat dirinya hampir tenggelam dalam dahsyatnya gelombang kenikmatan yang Damian beri lewat sentuhan bibirnya itu? Namun sayang, sepertinya hanya Bianna yang merasakan perasaan itu karena detik berikutnya kembali tanpa aba-aba Damian melepaskan tautan bibirnya begitu saja. Tentu saja hal itu membuat Bianna terkejut, meski dia berusaha untuk segera kembali menapak bumi yang dia pijak. “Bagaimana? Apa ini sudah bisa membuktikan kalau kami adalah suami istri sungguhan?” Dengan percaya dirinya Damian bicara pada Eduardo, tidak lupa tangan kanannya merengkuh pinggang Bianna. “Lalu kenapa perempuan tadi marah-marah sama Bia? Dan bilang kalau suaminya ingin cerai gara-gara Bia, Dami?” Eduardo patut bertanya hal itu. Telinganya tidak tuli, tentu dia ingin memastikan apa yang sudah dia dengar. Damian menuntun Bian