Namun, sepertinya Bianna juga sudah gila.
Selama tiga hari ini, dia sudah memikirkan keputusannya ribuan kali. Ia mempertimbangkan baik-buruknya, dan ia sampai pada kesimpulan bahwa tawaran Damian adalah jalan keluar paling mudah.
Bianna hanya perlu menikah dengan pria itu untuk mendapatkan sumber daya tak terbatas. Dimana lagi ia bisa mendapatkan kesempatan seperti itu?
Jadi, hari ini, ia sudah tampak siap karena sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit oleh dokter.
Sesuai ucapan Damian, pria itu datang ke sana untuk menjemputnya, juga untuk menagih jawaban atas tawaran yang dia layangkan.
“Anda datang, Tuan?” sambut Bianna sambil tersenyum saat Damian masuk ke dalam ruangan.
Pria itu tampak terkejut saat melihat penampilannya. Hari ini, Bianna memakai dress putih sepanjang lutut dengan rompi lengan panjang yang juga sewarna bajunya. Makeup tipis yang menghiasi wajah membuatnya tampak berseri, tidak pucat seperti sebelumnya.
Damian tidak mengatakan apapun selama beberapa saat. Dia berjalan mendekat sambil mengantongi satu tangannya.
“Jadi kamu sudah membuat keputusan,” ujar pria itu dengan nada datar seperti biasa.
“Tepat sekali, Tuan. Sesuai pesan Anda, dengan memakai pakaian ini, artinya saya menerima tawaran Anda,” kata Bianna sambil tersenyum simpul.
Dalam hati wanita itu berusaha meyakinkan diri, bahwa ini adalah pilihan yang tepat. Hanya dengan menerima tawaran Damian-lah, dia akan punya kesempatan untuk membuat perhitungan dan membalaskan sakit hatinya pada mantan suaminya.
Bianna tidak boleh mundur apalagi menyerah karena dirinya yang masih hidup ini sudah dianggap mati. Kevin dan selingkuhannya harus dia binasakan!
Itu kenapa saat kemarin Dion datang membawakan pakaian pengantin untuknya, Bianna langsung berpikir keras dan memutuskan semuanya dengan penuh kesadaran dan pertimbangan yang matang.
“Bagus. Kalau begitu kita pergi sekarang,” kata Damian.
Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit hingga tiba di luar. Damian tidak mengatakan apapun saat mereka sudah masuk ke dalam mobil dan berkendara hingga beberapa lamanya.
Bianna bertanya-tanya ke mana pria ini akan membawanya. ‘Mungkinkah ke kantor catatan sipil?’ pikirnya dalam hati.
Namun, setelah perjalanan selama kurang lebih satu jam, Bianna terperangah saat mobil SUV Mercedes Benz AMG GLS63 hitam mengkilap milik Damian berhenti di depan sebuah butik dan salon ternama di Mexico City.
“Ma-mau apa kita ke sini, Tuan?” tanya Bianna bingung.
Damian tidak mengatakan apapun. Ia mengulurkan tangannya. “Ayo.”
Karena hanya bergeming, tangan Damian bergerak menggandeng tangan kiri Bianna dan mengajaknya keluar dari mobil yang pintunya sudah dibuka oleh Dion—sopirnya.
Sesampainya di dalam butik mewah tersebut, mereka disambut langsung oleh pemilik tempat itu—Bernata Lucia—wanita berpenampilan modis dengan make up tebal menutupi wajahnya yang mulai keriput.
“Anda sudah tahu apa yang saya inginkan, bukan?” tanya Damian setelah membiarkan Bernata memindai Bianna dari atas kepala hingga ujung kaki.
“Of course, Mister Lysander. Saya akan melakukannya sendiri untuk Anda. Mari, Nyonya.”
Bernata memandu Bianna masuk ke dalam salon yang mana dia sudah mempersiapkan tim untuk me-makeover Bianna.
Wanita itu sangat terkejut dengan apa yang sudah dipersiapkan Damian untuknya bersama para pegawai salon ini.
Sembari menunggu calon istrinya siap, Damian berkoordinasi dengan petugas catatan sipil untuk mengabarkan waktu kedatangannya, pun tak lupa memastikan sang kakek hadir di acara pernikahannya nanti.
Waktu berlalu dengan cepat, Bianna yang sudah menyelesaikan semua treatment kecantikan di salon tersebut kini telah kembali berada di depan meja rias untuk melakukan sentuhan terakhir pada wajahnya.
“Mister Lysander, calon istri Anda sudah siap.”
Mendengar namanya dipanggil, Damian mengangkat pandangannya dari iPad dan melihat pada si pemilik suara.
Damian tertegun menyaksikan penampilan Bianna yang berbeda jauh dari penampilannya saat baru datang.
Bagaimana tidak, wanita bertubuh ramping itu seperti berganti wajah saja. Matanya yang berganti memakai contact lens, make up yang menutupi wajahnya sangat natural dan menonjolkan kecantikannya yang alami, tak lupa rambutnya yang tergerai berkilau dengan indahnya.
Bianna merasa pipinya memanas ditatap seintens itu oleh Damian, apalagi saat pria itu berjalan semakin mendekatinya membuat gemuruh jantungnya semakin menjadi.
“A-apa saya terlihat aneh?” tanya Bianna karena Damian tidak mengatakan apapun soal penampilan barunya.
“Tidak,” sahut Damian sekenanya. Tapi tidak ada lanjutan yang membuat Bianna jadi bertanya-tanya bagaimana pendapat Damian sebenarnya.
“Petugas catatan sipil sudah menunggu,” kata Damian.
Bianna mendongak menatapnya. “Ah, ya…”
“Sekarang kita pergi dari sini.” Damian lantas menatap Bernata. “Terima kasih, Bernata, kamu bisa menghubungi Dion untuk pembayarannya.”
“Baik, Mister Lysander. Saya mengerti. Sekali lagi selamat untuk pernikahan Anda berdua.”
Bianna tertegun mendengar ucapan wanita itu.
Benar… sebentar lagi ia akan menikah dengan pria tampan di sampingnya ini. Entah bagaimana kehidupan yang akan dijalani Bianna ke depannya….
***
Damian dan Bianna telah menyelesaikan akad nikah mereka di catatan sipil. Tepat setelah mereka menandatangani dokumen pernikahan, Eduardo Lysander, kakek Damian datang bersama ajudannya.
“Opa terlambat,” ucap Damian datar saja.
Eduardo terkekeh. “Maaf, Dami. Tadinya Opa tidak percaya kamu akan menikah, Opa menunggu laporan dari orang kepercayaan Opa, itu kenapa Opa baru datang.”
Eduardo lantas menatap Bianna lekat-lekat dari atas kepala hingga ujung kaki. “Ternyata kamu pintar memilih wanita, Damian.”
Damian hanya menyunggingkan seringai tipis. “Papa dan Opa juga seperti itu di waktu muda, kan?”
Damian lantas menatap Bianna. “Bia, perkenalkan ini Opa sekaligus orang tuaku satu-satunya. Opa, ini Bianna. Istriku dan juga akan jadi partner kerjaku.”
Pria tua itu tampak tersenyum. “Terima kasih Bia, kamu sudah mau menikah dengan cucuku.”
Bianna tergagap. “Se-seharusnya saya yang berterima kasih karena Anda mau menerima saya menikah dengan cucu Anda satu-satunya, Tuan Eduardo.”
Belum sempat Eduardo menanggapi, Dion datang dengan terburu-buru. “Maaf, Tuan. Di luar banyak wartawan. Entah dari mana mereka tahu kalau hari ini Anda menikah.”
“Tentu saja, aku yang memberitahu mereka, Dion. Aku harus memperkenalkan cucu menantu keluarga Lysander pada khalayak.”
Sontak mata Bianna terbelalak. Itu artinya… wajahnya akan terpampang di semua media massa.
‘Bagaimana ini?’ batin Bianna gelisah. Ia menggigit bibir panik.
Bianna berjengit kaget saat tangan Damian menarik pinggangnya, mendekapnya dengan posesif.
Gadis itu menahan napas saat Damian mendekat dan berbisik di telinganya.
“Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Inilah saatnya mantan suamimu tahu kalau kamu masih hidup dan siap berhadapan dengannya. Bukan begitu, Bia?”
Teras kantor catatan sipil sudah dipenuhi oleh para wartawan dari berbagai media elektronik mau pun cetak di seluruh Mexico ini. Baik wartawan wanita maupun pria yang membawa mic segera menghampiri sumber berita mereka–Bianna dan Damian–yang berjalan di belakang Eduardo saat ketiganya keluar dari pintu utama gedung itu. Bukan itu saja, lampu blitz dari kamera para pencari berita itu juga menyambut kedatangan ketiganya. Bianna yang belum terbiasa dengan keadaan seperti ini tentu mendadak grogi dan ketakutan. Dia, bahkan hampir melangkah mundur kalau saja tangan besar Damian tidak menahan lengannya. “Hadapi! Kalau kamu mundur sekarang berarti kamu kalah, Bia!” Singkat, tetapi cukup menyentak hati Bianna. “I-iya, Tuan.” “Damian. Mulai hari ini aku suamimu,” ujarnya penuh penekanan di akhir kalimatnya. “Baik, Damian. Aku mengerti,” sahut Bianna tergugu. “Sekarang tersenyumlah. Tunjukkan pada mereka kalau kamu bahagia atas pernikahan ini.” Bianna tidak bisa membantah setiap ucap
Kaki jenjang Bianna memasuki sebuah kamar di lantai dua rumah mewah itu. Ada Damian menyusul di belakangnya, tanpa bicara dan hanya memperhatikan gerak gerik Bianna yang sedang menyusuri isi kamar miliknya. Bianna cukup terperangah melihat isi kamar paling luas yang ada di rumah ini. Kamar utama dengan ranjang besar berada di sebelah kanan pintu menjadi pemandangan pertama yang ditangkap mata almond wanita itu. Di sebelah kirinya terdapat satu ruangan dengan sliding door kaca buram yang Bianna tebak adalah ruang ganti Damian yang juga terhubung dengan kamar mandi kamar ini. Bianna melanjutkan langkahnya menuju dinding yang ditutupi dengan gorden transparan. Bianna yakin dibalik gorden itu pasti pemandangan luar rumah ini. Namun, sebelum membukanya, wanita berambut panjang itu menengok pada Damian yang ternyata sudah duduk di tepi ranjang dan sedang melonggarkan dasinya. “Maaf, Damian. Aku sudah terlalu lancang menyentuh isi kamar ini,” ujar Bianna yang merasa tak enak karena seda
Bianna masih merasa kesal pada Damian atas ucapannya tadi sore. Wanita itu berpikir seharusnya Damian tidak bicara sesarkas itu. Mana dia tahu kalau pria itu akan masuk ke ruang ganti saat dirinya masih beberes pakaiannya di dalam dan sialnya, Bianna memang sembarang meletakkan pakaian dalamnya tanpa menyadari kalau saat ini dia berada di rumah pria yang hanya pura-pura menjadi suaminya demi membantunya membalas dendam pada mantan suaminya. Sampai hari ini Bianna sendiri tidak tahu apa alasan Damian dan kenapa pria tampan itu mau menikahi janda miskin seperti dirinya. Bianna sedang merapikan rambut yang sudah dia catok hingga terlihat semakin lurus dan berkilau saat pintu kamarnya diketuk seseorang. “Masuk saja,” ucapnya sembari menyemprotkan hair mist agar rambutnya tetap rapi dan wangi.“Maaf, Nyonya. Anda sudah ditunggu oleh tuan Damian di bawah,” lapor Inara, salah satu pelayan muda di rumah ini. “Ah, iya, Nara. Aku sudah siap. Bisa minta tolong ambilkan sepatuku di dalam?” Pi
Bianna masih menatap heran pada wanita yang baru saja menyapanya. Sekeras apa pun dia mengingat, Bianna tetap tidak tahu siapa wanita itu. “Namaku Eveline, istri dari Tobias Fernando, kamu mungkin tak tahu aku, tapi mungkin mengenal suamiku.” Wanita bernama Eveline itu memperkenalkan dirinya seakan-akan tahu isyarat kebingungan di mata Bianna. Bianna kembali mengingat nama terakhir yang Eveline sebut. Bianna kembali mengumpat dalam hati sekaligus menyesali karena jarang ikut menghadiri pesta dan meeting yang dilakukan oleh Kevin dan ayahnya dulu. Alhasil dia jarang bertemu dengan para relasi perusahaan. Seperti yang terjadi saat ini. Bianna terpaksa tesenyum kikuk karena gagal mengingat nama suami Eveline.“Maafkan aku Eve. Aku tidak bisa mengingat kalian.” Eveline tersenyum simpul. “Sudah kuduga. It’s okay Bia. Seingatku, kita juga baru sekali bertemu saat pesta ulang tahun terakhir ayahmu. Setelah itu aku tidak pernah meli
Ditemani alunan musik Mariachi khas Meksiko pun suara denting sloki berisi tequila–minuman alkohol yang pasti selalu ada di setiap pergelaran pesta di kota ini–juga tawa ceria para tamu undangan yang sengaja turun ke area dansa untuk menari bergembira menggoyangkan tubuh mereka mengikuti irama musik yang sudah terkenal mendunia itu, menjadikan suasana pesta pernikahan Bianna dan Damian semakin meriah.Namun sayangnya, sang pengantin wanita yang tahun ini akan berusia dua puluh delapan tahun itu tidak bisa menikmatinya dengan tersenyum, melainkan dengan kesedihan dan derai air mata yang tak kunjung mereda meski beberapa kali dia menyeka pipinya yang basah. Rasa sakit di dadanya begitu menyesakkan. Sudahlah dianggap meninggal, kini dia harus menghadapi kenyataan kalau mantan suaminya sudah menuduhnya berselingkuh. Bianna yang malang harus berbuat apa sekarang? Saat nama baik yang dia jaga selama ini harus rusak oleh kelakuan pria yang tak bertanggung jawab
Mobil sedan Mercedes Benz C300 hitam sudah berhenti di pelataran lobi kantor Lysander Corporation. Pintu mobil bagian belakang segara dibuka oleh Dion. Wanita berpakaian layaknya orang kantoran, keluar dari dalam mobil. Bianna, nama wanita itu. Dia menatap pintu utama gedung pencakar langit di depan sana dengan perasaan takjub. Suami yang dia kenal saat berada di kamar rawat rumah sakit ternyata sekaya ini. Wanita itu, bahkan tidak bisa menebak kejutan apa lagi yang akan dia dapatkan nanti di dalam sana.“Silakan Nyonya. Tuan Damian sudah menunggu Anda di ruangannya.” Bianna tersenyum kikuk karena kedapatan Dion sedang melamun. “Iya, Makasih, Dion.” Pria muda itu tersenyum lalu mempersilakan Bianna jalan lebih dulu. Dua orang satpam pintu menyapa dengan menganggukkan kepalanya, Bianna balas sembari tersenyum. Begitu juga saat memasuki lobi kantor, wanita yang memakai blazer serba putih dengan rok sepan sebatas lutut itu disa
Ruang meeting yang tadi banyak orang, kini berubah lengang. Hanya ada Bianna yang duduk berhadapan dengan Eduardo dan tak jauh darinya, Damian masih bercengkrama dengan Dion dan Direktur keuangan. “Maafkan, Opa, Bia.” Eduardo menggenggam tangan halus Bianna.“Kenapa Opa bicara begitu? Aku tidak merasa Opa punya salah padaku,” sahut wanita itu dengan tatapan teduhnya. Eduardo tersenyum penuh arti. “Opa merasa sepanjang rapat tadi kamu begitu tertekan. Padahal kamu baru masuk ke keluarga kami, tapi mereka sudah mencecarmu dengan banyak pertanyaan dan juga tuntutan.” Bibir Bianna menyunggingkan senyum tipis sekali, kalau mau jujur, tentu saja meeting pagi ini seperti yang Eduardo bilang. Bianna sangat tertekan. Saat Damian memperkenalkannya sebagai istri sekaligus direktur pelaksana yang baru, berbagai tanggapan bermunculan. Dari yang meragukan kemampuan wanita lulusan MBA Harvard university ini sampai yang mendu
Satu per satu hal yang dijanjikan Damian mulai terwujud setelah pria itu menikahi Bianna. Dari merubah penampilannya, memberinya posisi bergengsi di perusahaan hingga ….“Lusa kita akan bertemu dengan mantan suamimu, Bia.”“Benarkah?” Bianna memekik tak percaya. “Secepat ini?”“Iya, Presentasikan semua yang ada di proposal itu dengan singkat dan jelas, kalahkan mereka dengan mendapatkan tender itu. Aku kira itu cukup memberikan shock therapy pertama untuk mereka.”Bianna ternganga dengan penjelasan Damian. “A-apa aku bisa, Dami?”Damian bertanya dengan sinis sambil satu tangan sudah dia simpan dikantong celana bahannya. “Kenapa? Kamu ingin menyerah sekarang?” Seketika Bianna membalas dengan tatapan sengit. Nada bicaranya pun berubah tak ramah lagi. “Siapa bilang aku akan menyerah? Aku memang ragu apa bisa mempresentasikan ini dengan baik tapi bukan berarti aku menyerah, Damian!”Sering
"Kalau begitu, duduklah sebentar," ujar Kevin akhirnya, mengisyaratkan Bianna untuk duduk di sofa panjang yang ada di sudut ruangan.Bianna menuruti ajakannya. Dia duduk dengan anggun, menyilangkan kakinya dengan tenang. Kevin mengambil tempat di seberangnya, menatapnya dengan tatapan penuh arti."Aku tidak akan berbohong," kata Kevin akhirnya. "Menjalankan Harland Group tidak semudah yang kamu bayangkan, terutama setelah tender terakhir yang kamu menangkan. Itu benar-benar menyulitkanku."Bianna tersenyum tipis, merasa puas dengan pengakuan Kevin. Dia tahu proyek besar itu akan berdampak besar pada Harland Group, dan itu adalah bagian dari rencananya."Oh?" Bianna memiringkan kepalanya sedikit, berpura-pura terkejut. "Kupikir Harland Group cukup kuat untuk mengatasi tantangan seperti itu."Kevin menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Harland Group memang kuat, tapi aku tak bisa menyangkal bahwa kemenanganmu dalam tender itu m
Saat Bianna keluar dari kafe, Tian yang sudah menunggu di dekat mobil segera mendekat dengan ekspresi terkejut. Matanya membesar saat melihat wajah Bianna yang masih basah, rambutnya yang sedikit menempel di pipi, dan sisa lemon tea yang mengering di ujung blazer yang dia kenakan."Nyonya, apa yang terjadi?" tanya Tian dengan khawatir. "Kenapa rambut Anda basah seperti ini?"Bianna menghela napas panjang dan mengibaskan sedikit rambutnya yang basah, mencoba menghilangkan sisa air yang masih menempel. "Bukan apa-apa," katanya santai, meskipun dalam hatinya masih terasa kesal dengan kejadian tadi.Tian menatapnya ragu. "Apa kita pulang saja? Saya bisa menyiapkan pakaian baru untuk Anda," usulnya.Bianna menggeleng tegas. "Tidak perlu. Aku ingin langsung pergi ke Harland Group."Tian tampak sedikit kaget dengan keputusan Bianna yang tetap ingin melanjutkan rencananya, meskipun jelas ada sesuatu yang terjadi di dalam kafe tadi. Namun, Tian su
Leony cukup terkejut dengan tawaran Bianna, dia menatap wanita yang masih berpakaian kerja itu dengan ekspresi enggan, tetapi setelah beberapa detik, akhirnya dia menarik kursi di depannya dan duduk dengan kasar. Tangannya mengepal di atas meja, menahan amarahnya yang masih membara.Bianna tersenyum tipis, matanya berbinar dengan ketenangan yang jelas membuat Leony semakin frustasi. "Aku sudah tahu kalau kamu akan melakukan sesuatu seperti ini," katanya seraya melipat serbet di tangannya. "Tapi aku tidak tahu kalau rasanya sememalukan ini."Leony mendengkus, matanya berkilat penuh kemarahan. "Aku tidak peduli bagaimana perasaanmu, Bia. Aku datang ke sini hanya untuk memperingatkanmu untuk tidak mendekati Kevin lagi."Bianna menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, menyilangkan kakinya dengan santai. "Salah paham," katanya ringan. "Aku bukan orang yang mendekati Kevin." Dia berhenti sejenak, menikmati reaksi Leony yang tampak semakin t
Bianna tersenyum samar, tetapi tidak menjawab langsung. Matanya justru beralih menatap jam di dinding. "Sudah hampir waktunya untuk rapat," katanya, mengalihkan pembicaraan.Sean menyadari bahwa Bianna tidak ingin membahasnya lebih jauh. Meskipun rasa penasarannya belum sepenuhnya terjawab, dia memilih untuk tidak memaksa."Baiklah," kata Sean akhirnya, bangkit dari kursinya. "Ayo ke ruang rapat."Bianna mengangguk dan ikut berdiri. Keduanya lalu berjalan keluar dari ruang kerja Bianna menuju ruang rapat, dengan Sean yang masih diam-diam memikirkan sesuatu di dalam benaknya.*** Bianna melangkah masuk ke dalam kafe dengan tenang. Pandangannya menyapu ruangan yang cukup ramai siang itu. Ia memilih tempat duduk di sudut yang agak jauh dari keramaian, lalu duduk dengan anggun sambil melirik jam tangannya. Leony belum datang.Dengan santai, Bianna memanggil pelayan dan memesan ice lemon tea. Dia tidak tahu berapa lama harus menunggu
Saat Bianna keluar dari rumah sakit dan berjalan menuju mobilnya, ponselnya tiba-tiba bergetar. Dia melihat layar dan mendapati nama Leony tertera di sana. Dahinya mengernyit. Apa lagi yang wanita itu inginkan?Tanpa banyak berpikir, Bianna mengangkat teleponnya."Ada apa?" tanyanya datar.Di seberang sana, suara Leony terdengar tajam. "Kita harus bertemu."Bianna mendesah pelan. “Maaf, aku sangat sibuk. Jika kamu hanya ingin membuang waktuku, lebih baik langsung ke intinya saja.” Suaranya terdengar malas.Leony tertawa sinis. “Jangan sok sibuk, ya? Padahal kamu tidak terlalu sibuk saat merebut suamiku.”Bianna menyipitkan mata. “Lucu sekali mendengar itu darimu. Kamu menelpon seseorang untuk meminta bertemu, tapi bahkan tidak bisa menjaga sopan santun? Di mana tata kramamu?” Nada sindiran Bianna jelas, dan itu membuat Leony semakin kesal."Jalang kamu, Bia!" suara Leony meninggi. “Aku tidak peduli seberapa sibuknya kamu
Suaranya terputus saat matanya bertemu dengan tatapan tajam pria itu. Damian kini berada di atasnya, tubuhnya sedikit menindih, dengan kakinya sebagai tumpuan, sementara tangan lainnya masih menggenggam erat pergelangan tangan Bianna.Bianna menatapnya dengan terkejut, merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Apa yang kamu lakukan?” Suaranya terdengar lebih lemah dari yang dia harapkan.Damian menatapnya dalam diam, lalu bibirnya melengkung membentuk smirk khasnya. “Aku hanya memainkan peranku.”Bianna menelan ludah, berusaha menormalkan napasnya. “Peran apa?” tanyanya, meskipun dia merasa sedikit gugup dengan kemungkinan jawaban yang akan diberikan Damian.Damian tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia mengangkat tangannya dan dengan gerakan santai, menyentuh wajah Bianna. Jemarinya yang besar dan hangat menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di dahi wanita itu, menyelipkannya ke belakang telinga.Lalu dengan suara
“Aku akan memainkan peranku dengan lebih baik mulai sekarang.”Jawaban Bianna sukses membuat dahi Damian berkerut. “Maksudmu?”Bianna menarik napas panjang, menegakkan bahunya, lalu berkata dengan tegas, “Aku akan masuk ke perusahaan Kevin. Aku akan mengambil alih perusahaan itu secara diam-diam.”Tercipta keheningan selama beberapa detik sebelum Damian tertawa kecil. “Akhirnya, kamu mulai berpikir seperti ini juga.”Namun, tawanya bukanlah tawa mengejek. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terdengar seperti kepuasan. Seolah-olah dia memang sudah menunggu saat ini terjadi.“Tapi itu belum cukup, Bia,” lanjut Damian, matanya berbinar tajam. “Menunjukkan diri dengan penampilan berbeda hanya langkah awal. Berusaha merebut hati Kevin kembali, itu bukan strategi yang matang. Kamu harus lebih dari itu.”Bianna mengangguk mantap. Dia tahu itu. Dia sadar hanya bersikap manis kepada Kevin tidak akan membawanya jatuh.Itulah seba
Bianna mengangkat wajahnya sedikit, lalu menggeleng. "Dami tidak pernah begitu, Opa.” Dia mencoba meyakinkan Eduardo kalau suaminya bukan seperti yang orang tua itu pikirkan.Eduardo terkekeh kecil. "Aku mengenal cucuku lebih lama daripada kamu mengenalnya, Bia," katanya bijak. "Dan aku juga mengenal wajah pura-pura. Kamu bisa mengatakan padaku jika hatimu sedang tidak baik-baik saja."Bianna membuka mulut, tetapi tidak ada kata yang keluar. Selama ini, dia selalu berpura-pura tegar, bahkan di depan dirinya sendiri. Dia menelan semua emosi, semua kesedihan, dan rasa sakit, berpikir bahwa dia bisa mengatasinya sendirian. Namun, mendengar kata-kata Opa, Bianna merasa dinding yang selama ini dia bangun mulai runtuh.Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, mencoba menahan gemetar yang mulai terasa.Eduardo tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya duduk di sana, memberi ruang bagi Bianna untuk menghadapi perasaannya sendiri.Bianna menunduk, menatap je
Kevin menatap Bianna dengan ekspresi penuh kebingungan dan kegelisahan, sedangkan Bianna tetap tenang, menikmati anggurnya tanpa tergesa-gesa. Setelah selesai makan, Kevin menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan menatap Bianna dengan lembut. "Aku akan mengantarmu pulang," katanya. Bianna meraih tas dan coat di samping tempatnya duduk dan berdiri. "Tidak perlu," jawabnya dengan nada tenang. "Sopirku sudah menunggu di luar." Kevin menghela napas, lalu ikut berdiri. "Bia," panggilnya pelan. Bianna menatapnya, menunggu kelanjutan ucapannya. "Terima kasih sudah mau makan malam denganku," kata Kevin dengan senyum tulus. "Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya." Bianna tersenyum tipis. "Terima kasih juga untuk makan malamnya," ucapnya sopan. "Aku harap kamu benar-benar menepati janjimu kali ini, Vin." Kevin menatapnya seakan-akan ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi akhirn