Pria itu memiliki postur tinggi menjulang, berpakaian jas rapi membalut tubuhnya yang atletis, terlihat makin berwibawa dengan cambang tipisnya.
Meskipun buram, tapi Bianna yakin dia adalah pria yang tampan.
Hanya saja, Bianna juga yakin ia tidak mengenali pria itu seumur hidupnya.
“Saya mencari tahu siapa dirimu saat kamu masih koma.”
Bianna tertegun mendengar jawaban Damian. “Semua? Apa keluarga saya tahu saya di sini?” tanyanya memastikan.
Damian tidak langsung menjawab. Dia memilih mengambil iPad yang ada di atas sofa lalu membuka laman portal berita bisnis hari ini. Setelah ketemu yang dia cari, pria tampan itu mengulurkan benda pintar itu pada Bianna.
“Suamimu sudah menganggapmu mati dalam kecelakaan itu.”
Bianna terkejut dengan pernyataan Damian. Dia bawa matanya melihat layar sebelas inch tersebut. Seketika bola matanya membulat sempurna membaca headline news pagi ini.
Kevin, sang suami mengumumkan pernikahannya dengan Leony setelah memastikan dirinya tewas dalam kecelakaan malam itu.
“I-ini tidak mungkin!” pekik Bianna tak percaya.
Matanya yang buram semakin tidak jelas membaca semua tulisan yang terlalu kecil itu, Bianna hanya bisa menangis menahan sesak dan sakit hati karena tidak lagi dianggap keberadaannya.
Damian menyambar iPad itu dan meletakkannya begitu saja di atas nakas.
“Bukan itu saja,” ujar Damian lagi. Sikapnya masih begitu tenang padahal berita yang dibawanya begitu mencengangkan. “Apa kamu tahu kalau kamu dalam keadaan hamil saat mengalami kecelakaan itu?”
Bianna refleks menatap pria yang berwajah dingin karena pelit tersenyum itu. “Hamil? Kata siapa saya hamil?”
Damian tidak langsung menjawab. Sepasang manik matanya menelisik Bianna begitu tajam. “Kamu hamil enam minggu. Tapi karena terjadi benturan keras mengenai perutmu, janin itu tidak terselamatkan. Kamu bahkan hampir mati karena pendarahan hebat malam itu.”
Untuk kesekian kalinya Bianna dibuat terperangah. Apalagi ini? Dia hamil dan tak tahu sama sekali?!
“Kamu tidak sedang membohongi saya, kan? Saya tidak mungkin ham—”
“Tidak ada alasan untuk saya berbohong.”
Bianna menggeleng cepat. “Tidak! Ini tidak mungkin! Saya tidak mungkin membunuh anak sendiri!”
Bianna berteriak histeris. Hamil adalah keinginannya sejak lama. Akan tetapi, karena kecerobohannya, dia kehilangan anak yang bahkan belum sempat lahir itu.
Damian hanya diam melihat Bianna meraung dan menyalahkan dirinya sendiri. Dia ingin mendekat, tapi akal sehat menahan langkahnya.
“Saya sudah tidak punya keluarga, suami pun menganggap saya mati. Dan sekarang… saya harus terima kenyataan kalau saya keguguran.…”
Bianna menatap pria di hadapannya dengan matanya yang basah. Tatapannya tampak begitu putus asa.
“Apa gunanya saya hidup? Saya sudah tidak punya apa-apa lagi.”
Tanpa Bianna sadari, rahang Damian tampak mengeras, seolah tengah menahan diri setelah Bianna mengucapkan kalimat itu.
“Jadi kamu akan membiarkannya begitu saja?” tanya Damian dengan nada tajam.
Wanita cantik itu menatap pria di hadapannya dengan pandangan bertanya. “Apa maksud—”
“Setelah hampir meregang nyawa, kamu hanya diam dan tidak melakukan apapun?”
Nada dingin sekaligus menekan dari pria itu membuat Bianna meremang. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Tenggorokannya pun terasa kering.
“Sa-saya….” Bianna tergagap. Kepalanya pening menerima begitu banyak informasi dalam satu waktu.
Sedangkan pria di hadapannya itu tampak sangat tenang tapi begitu mengintimidasi. Mungkin karena dia hanyalah orang asing. Orang seperti Damian tidak akan tahu bagaimana rasanya berada di posisi Bianna.
Wanita itu praktis sudah tidak punya apa-apa lagi. Sekeras apapun ia ingin membalas semua perbuatan mantan suaminya, ia tak punya kuasa untuk itu.
Dengan keadaan ekonominya yang sekarang, bagaimana dia akan melawan Kevin yang kaya raya itu?
“Saya bisa membantumu.”
Damian tiba-tiba bersuara, memecah keheningan yang panjang.
Bianna mendongak menatapnya. Meskipun tidak terlalu jelas, namun ekspresi datar pria itu tampak sangat serius.
“Membantu saya?” tanya Bianna memastikan.
Damian tampak menyeringai tipis. Ia menatap Bianna dengan lekat. “Kamu ingin membalas semua perbuatan suami, bukan?”
Bianna menelan ludah. Tentu saja dia ingin membalas Kevin. Dia tak ingin berdiam diri dan membiarkan pria berengsek itu hidup tenang.
Tapi—
“Kamu bisa menggunakan saya untuk membalas pria itu.”
Bianna terperangah mendengarnya. “Menggunakan kamu?” tanyanya tak percaya.
Dia bahkan tidak mengenal pria ini, tapi mengapa Damian bersedia diperalat untuk balas dendamnya?
“Ya. Saya punya resource yang kamu butuhkan.”
Bianna terdiam. Ia mengerti maksud pria itu.
Damian memiliki sumber daya untuk mengalahkan orang seperti Kevin, berarti dia bukan orang sembarangan.
Sebenarnya siapa pria ini?
“Tapi kenapa?” tanya Bianna dengan mata memicing curiga. “Kenapa kamu ingin membantu saya?”
Seputus asa apapun dirinya, Bianna tidak ingin jatuh ke lubang singa setelah keluar dari lubang buaya.
Namun, kecurigaan Bianna nyatanya tidak mempengaruhi Damian sama sekali. Aura dingin dan tenangnya itu benar-benar tampak mematikan.
Damian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia menatap Bianna lekat.
“Kamu akan mendapatkan satu posisi penting di perusahaan saya,” ujar Damian tanpa menjawab pertanyaan Bianna sebelumnya.
“Saya akan bimbing kamu untuk menjadi pemimpin yang disegani, agar kamu bisa tampil di depan mantan suamimu itu dan melakukan pembalasan sesuai rencanamu.”
“Hah?” Kerutan di dahi Bianna bertambah banyak. Ia menatap Damian, mencoba mencari keseriusan di sana dan ia menemukannya.
“Bagaimana?”
Bianna menelan ludah. “Lalu apa yang harus saya lakukan sebagai gantinya?”
Damian tersenyum tipis mendengar ucapan Bianna. “Sudah saya duga, kamu bukan wanita bodoh.”
Bianna tidak menanggapi. Dia tahu, untuk bantuan sebesar itu, tidak mungkin bisa ia dapatkan secara cuma-cuma.
“Menikahlah denganku, Bianna.”
Mata Bianna langsung membola sempurna. “A-apa?!”
“Kamu mendengarnya,” sahut Damian, masih tampak tenang. Seolah ia baru saja mengatakan sesuatu yang remeh tentang cuaca.
Bagaimana mungkin Bianna menikah dengan pria yang baru ia temui beberapa menit yang lalu?!
“Saya beri waktu sampai kamu keluar dari rumah sakit nanti,” ujar Damian, membuat Bianna kembali menatapnya.
Setelah itu, Damian keluar dari ruangan inapnya.
“Menikah katanya? Apa dia sudah gila?!”
Namun, sepertinya Bianna juga sudah gila. Selama tiga hari ini, dia sudah memikirkan keputusannya ribuan kali. Ia mempertimbangkan baik-buruknya, dan ia sampai pada kesimpulan bahwa tawaran Damian adalah jalan keluar paling mudah. Bianna hanya perlu menikah dengan pria itu untuk mendapatkan sumber daya tak terbatas. Dimana lagi ia bisa mendapatkan kesempatan seperti itu?Jadi, hari ini, ia sudah tampak siap karena sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit oleh dokter. Sesuai ucapan Damian, pria itu datang ke sana untuk menjemputnya, juga untuk menagih jawaban atas tawaran yang dia layangkan.“Anda datang, Tuan?” sambut Bianna sambil tersenyum saat Damian masuk ke dalam ruangan. Pria itu tampak terkejut saat melihat penampilannya. Hari ini, Bianna memakai dress putih sepanjang lutut dengan rompi lengan panjang yang juga sewarna bajunya. Makeup tipis yang menghiasi wajah membuatnya tampak berseri, tidak pucat seperti sebelumnya.Damian tidak mengatakan apapun selama beberapa saat.
Teras kantor catatan sipil sudah dipenuhi oleh para wartawan dari berbagai media elektronik mau pun cetak di seluruh Mexico ini. Baik wartawan wanita maupun pria yang membawa mic segera menghampiri sumber berita mereka–Bianna dan Damian–yang berjalan di belakang Eduardo saat ketiganya keluar dari pintu utama gedung itu. Bukan itu saja, lampu blitz dari kamera para pencari berita itu juga menyambut kedatangan ketiganya. Bianna yang belum terbiasa dengan keadaan seperti ini tentu mendadak grogi dan ketakutan. Dia, bahkan hampir melangkah mundur kalau saja tangan besar Damian tidak menahan lengannya. “Hadapi! Kalau kamu mundur sekarang berarti kamu kalah, Bia!” Singkat, tetapi cukup menyentak hati Bianna. “I-iya, Tuan.” “Damian. Mulai hari ini aku suamimu,” ujarnya penuh penekanan di akhir kalimatnya. “Baik, Damian. Aku mengerti,” sahut Bianna tergugu. “Sekarang tersenyumlah. Tunjukkan pada mereka kalau kamu bahagia atas pernikahan ini.” Bianna tidak bisa membantah setiap ucap
Kaki jenjang Bianna memasuki sebuah kamar di lantai dua rumah mewah itu. Ada Damian menyusul di belakangnya, tanpa bicara dan hanya memperhatikan gerak gerik Bianna yang sedang menyusuri isi kamar miliknya. Bianna cukup terperangah melihat isi kamar paling luas yang ada di rumah ini. Kamar utama dengan ranjang besar berada di sebelah kanan pintu menjadi pemandangan pertama yang ditangkap mata almond wanita itu. Di sebelah kirinya terdapat satu ruangan dengan sliding door kaca buram yang Bianna tebak adalah ruang ganti Damian yang juga terhubung dengan kamar mandi kamar ini. Bianna melanjutkan langkahnya menuju dinding yang ditutupi dengan gorden transparan. Bianna yakin dibalik gorden itu pasti pemandangan luar rumah ini. Namun, sebelum membukanya, wanita berambut panjang itu menengok pada Damian yang ternyata sudah duduk di tepi ranjang dan sedang melonggarkan dasinya. “Maaf, Damian. Aku sudah terlalu lancang menyentuh isi kamar ini,” ujar Bianna yang merasa tak enak karena seda
Bianna masih merasa kesal pada Damian atas ucapannya tadi sore. Wanita itu berpikir seharusnya Damian tidak bicara sesarkas itu. Mana dia tahu kalau pria itu akan masuk ke ruang ganti saat dirinya masih beberes pakaiannya di dalam dan sialnya, Bianna memang sembarang meletakkan pakaian dalamnya tanpa menyadari kalau saat ini dia berada di rumah pria yang hanya pura-pura menjadi suaminya demi membantunya membalas dendam pada mantan suaminya. Sampai hari ini Bianna sendiri tidak tahu apa alasan Damian dan kenapa pria tampan itu mau menikahi janda miskin seperti dirinya. Bianna sedang merapikan rambut yang sudah dia catok hingga terlihat semakin lurus dan berkilau saat pintu kamarnya diketuk seseorang. “Masuk saja,” ucapnya sembari menyemprotkan hair mist agar rambutnya tetap rapi dan wangi.“Maaf, Nyonya. Anda sudah ditunggu oleh tuan Damian di bawah,” lapor Inara, salah satu pelayan muda di rumah ini. “Ah, iya, Nara. Aku sudah siap. Bisa minta tolong ambilkan sepatuku di dalam?” Pi
Bianna masih menatap heran pada wanita yang baru saja menyapanya. Sekeras apa pun dia mengingat, Bianna tetap tidak tahu siapa wanita itu. “Namaku Eveline, istri dari Tobias Fernando, kamu mungkin tak tahu aku, tapi mungkin mengenal suamiku.” Wanita bernama Eveline itu memperkenalkan dirinya seakan-akan tahu isyarat kebingungan di mata Bianna. Bianna kembali mengingat nama terakhir yang Eveline sebut. Bianna kembali mengumpat dalam hati sekaligus menyesali karena jarang ikut menghadiri pesta dan meeting yang dilakukan oleh Kevin dan ayahnya dulu. Alhasil dia jarang bertemu dengan para relasi perusahaan. Seperti yang terjadi saat ini. Bianna terpaksa tesenyum kikuk karena gagal mengingat nama suami Eveline.“Maafkan aku Eve. Aku tidak bisa mengingat kalian.” Eveline tersenyum simpul. “Sudah kuduga. It’s okay Bia. Seingatku, kita juga baru sekali bertemu saat pesta ulang tahun terakhir ayahmu. Setelah itu aku tidak pernah meli
Ditemani alunan musik Mariachi khas Meksiko pun suara denting sloki berisi tequila–minuman alkohol yang pasti selalu ada di setiap pergelaran pesta di kota ini–juga tawa ceria para tamu undangan yang sengaja turun ke area dansa untuk menari bergembira menggoyangkan tubuh mereka mengikuti irama musik yang sudah terkenal mendunia itu, menjadikan suasana pesta pernikahan Bianna dan Damian semakin meriah.Namun sayangnya, sang pengantin wanita yang tahun ini akan berusia dua puluh delapan tahun itu tidak bisa menikmatinya dengan tersenyum, melainkan dengan kesedihan dan derai air mata yang tak kunjung mereda meski beberapa kali dia menyeka pipinya yang basah. Rasa sakit di dadanya begitu menyesakkan. Sudahlah dianggap meninggal, kini dia harus menghadapi kenyataan kalau mantan suaminya sudah menuduhnya berselingkuh. Bianna yang malang harus berbuat apa sekarang? Saat nama baik yang dia jaga selama ini harus rusak oleh kelakuan pria yang tak bertanggung jawab
Mobil sedan Mercedes Benz C300 hitam sudah berhenti di pelataran lobi kantor Lysander Corporation. Pintu mobil bagian belakang segara dibuka oleh Dion. Wanita berpakaian layaknya orang kantoran, keluar dari dalam mobil. Bianna, nama wanita itu. Dia menatap pintu utama gedung pencakar langit di depan sana dengan perasaan takjub. Suami yang dia kenal saat berada di kamar rawat rumah sakit ternyata sekaya ini. Wanita itu, bahkan tidak bisa menebak kejutan apa lagi yang akan dia dapatkan nanti di dalam sana.“Silakan Nyonya. Tuan Damian sudah menunggu Anda di ruangannya.” Bianna tersenyum kikuk karena kedapatan Dion sedang melamun. “Iya, Makasih, Dion.” Pria muda itu tersenyum lalu mempersilakan Bianna jalan lebih dulu. Dua orang satpam pintu menyapa dengan menganggukkan kepalanya, Bianna balas sembari tersenyum. Begitu juga saat memasuki lobi kantor, wanita yang memakai blazer serba putih dengan rok sepan sebatas lutut itu disa
Ruang meeting yang tadi banyak orang, kini berubah lengang. Hanya ada Bianna yang duduk berhadapan dengan Eduardo dan tak jauh darinya, Damian masih bercengkrama dengan Dion dan Direktur keuangan. “Maafkan, Opa, Bia.” Eduardo menggenggam tangan halus Bianna.“Kenapa Opa bicara begitu? Aku tidak merasa Opa punya salah padaku,” sahut wanita itu dengan tatapan teduhnya. Eduardo tersenyum penuh arti. “Opa merasa sepanjang rapat tadi kamu begitu tertekan. Padahal kamu baru masuk ke keluarga kami, tapi mereka sudah mencecarmu dengan banyak pertanyaan dan juga tuntutan.” Bibir Bianna menyunggingkan senyum tipis sekali, kalau mau jujur, tentu saja meeting pagi ini seperti yang Eduardo bilang. Bianna sangat tertekan. Saat Damian memperkenalkannya sebagai istri sekaligus direktur pelaksana yang baru, berbagai tanggapan bermunculan. Dari yang meragukan kemampuan wanita lulusan MBA Harvard university ini sampai yang mendu
Tak bisa dipungkiri kalau semalam Damian Caesar Lysander sudah membuat Bianna terbuai oleh kehangatan tubuh suami kontraknya itu. Tanpa sadar, Bianna terlelap dalam pelukan pria bertubuh atletis itu. Tidak memedulikan pakaiannya yang belum berganti piyama, Bianna balas rangkulan sang suami. Namun, dalam posisi saling berhadapan, Bianna menyadari satu hal kalau Damian pulang setelah meminum minuman alkohol. Aroma itu tercium dari napasnya yang menerpa wajah Bianna. “Apa yang sudah terjadi? Kenapa Damian minum-minum? Tapi semalam dia tidak terlihat mabuk?” gumam Bianna sembari menyisir rambutnya. Tak ada Damian di kamar. Sejak Bianna bangun tadi, sang suami sudah tidak ada di atas ranjang. Dari pelayan yang masuk mengambil baju kotor ke kamarnya, Bianna tahu kalau Damian sedang pergi berkuda. Setelah memastikan penampilannya tidak ada yang kurang, Bianna memutuskan untuk keluar kamar menuju ke ruang makan. Dia yakin kakek dari Damian pasti sudah menunggunya di sana. “Selamat pagi, O
Bianna sudah mencoba untuk mengabaikan ataupun melupakan apa yang dia dengar di butik tadi. Akan tetapi, bukannya hatinya lega justru pikirannya semakin ke mana-mana. Bianna benar-benar dilanda penasaran hebat akan siapa sosok Viella ini. Bianna menghela napasnya berat, matanya tertuju pada ponsel di atas nakas. Wanita itu segera meraih benda pintar itu lalu dia kembali bersandar pada headboard ranjangnya. Daripada memendam rasa penasaran akut, Bianna memilih membuka laman pencarian di ponselnya. Dengan cepat dia ketik kata kunci ‘Kabar Terbaru Viella Roxanne’. Benar saja dalam laman berita online tersebut tersebar kabar kalau Viella memang akan kembali ke Meksiko, tetapi dari semua kabar yang Bianna baca, tidak ada yang menyebutkan kapan wanita itu akan datang. Suara handle pintu yang bergerak mengejutkan Bianna, dia yakin kalau itu adalah suaminya yang akan masuk ke kamar mereka. Wanita itu pun melihat jam yang ada di atas layar ponsel sebelah kiri. Pukul sebelas malam. “Kamu ba
“Sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat.” Sean menatap dingin pada Bianna dan Kevin. “Nggak, Om. Silakan duduk,” ucap Bianna sedikit gelagapan. Dia justru bersyukur Sean masuk ke ruangannya, dengan begitu dia bisa berhasil melepaskan diri dari rangkulan Kevin. Bianna tampak memaksakan tersenyum. Wajahnya terlihat memerah karena menahan malu dan kesal bersamaan. “Kalau kamu sibuk, biar nanti aku kembali lagi.” Sean tersenyum penuh arti. Bianna yang sudah tidak nyaman bersama Kevin pun segera menarik tangan Omnya Damian itu untuk duduk. “Nggak, Om. Kebetulan aku juga lagi mau cari Om. Om duduk sini dulu, ya?” Mau tak mau Sean menuruti saja apa yang Bianna katakan. Duduk tenang di depan meja kerja Bianna. Lalu wanita itu kembali ke hadapan Kevin. “I’m sorry Kevin. Aku ada urusan yang harus dibicarakan dengan Om Sean. Apa kamu bisa tinggalkan ruangan ini?” pinta Bianna to the point yang langsung ditanggapi senyum tipis oleh Kevin. “It’s okay. Nanti aku hubungi kamu lagi
“Bagaimana rasanya? Enak, kan?” Kevin menanyakan hal itu saat Bianna baru saja menyuapkan satu sendok cake ke mulutnya.Bianna menelan lebih dulu cake yang terbuat dari 80% keju itu sebelum akhirnya menjawab, “Lumayan. Masih kalah enak dengan toko kue langgananku.”“Oh ya? Katakan apa nama tokonya biar lain kali aku bisa membelikannya untukmu,” ujarnya antusias, tetapi ditanggapi cibiran oleh Bianna. “Jadi selama tiga tahun bersamaku, kamu benar-benar tidak tahu apa pun mengenai aku, Vin?” Sontak mata Kevin melebar. Itu jelas sekali terlihat oleh Bianna, reaksinya itu sekaligus membuktikan kalau apa yang Bianna tuduhkan benar, bukan?Kevin terdengar berdecak, sepertinya pria itu tidak terima dengan tuduhan Bianna karena setelahnya, dia pun bangkit dari kursinya berpindah duduk di sebelah wanita itu. Sedikit memiringkan duduknya, dia menghadap kepada Bianna. Hang tidak pernah Bianna siap, ternyata Kevin meraih kedua jemari tangannya, menggenggamnya dan mengunci tatapannya.“Maafin ak
Bianna masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Inez saat tadi mereka bicara di luar ruangannya Damian. Apa yang Inez sampaikan tidak mungkin sebuah kebohongan, kan? Tidak ada untungnya bagi gadis itu membohongi Bianna. Akan tetapi, sungguh sulit dipercaya kalau ternyata selama satu tahun ini Damian benar-benar telah menutup diri dari para wanita. Lantas, luka seperti apa yang Viella beri hingga membuat pria yang jarang tersenyum itu sulit keluar dari bayang-bayang wanita itu?Bianna kembali menggeleng lalu menghela napas kasar sembari menyandarkan punggung ke sandaran kursi kerjanya. Mencoba untuk mengingkari kabar yang didapat, tetapi semakin Bianna abaikan, kenyataan itu justru semakin nyata sebab sampai hari ini dia belum tahu bagaimana isi hati Damian yang sebenarnya, bukan?Ketukan pintu menarik bianna kembali pada kenyataan. Dia lebih dulu melihat jam di layar ponselnya barulah dia meminta si pengetuk untuk masuk. “Maaf, Nyonya. Anda sudah melewatkan makan siang Anda.” Es
Bianna keluar dari ruangan Damian dengan wajah lesu. Dia tidak langsung beranjak dari sana, melainkan dirinya menyandarkan punggung pada daun pintu. Bianna tidak habis pikir, laki-laki yang saat ini berstatus suaminya itu benar-benar sangat sulit ditebak isi hatinya. “Nyonya baik-baik saja?” Bianna berjengit kaget dengan kelopak mata yang langsung terbuka. Di depannya sudah ada Inez, sekretaris Damian menatapnya khawatir. “Oh, nggak apa-apa. Nez. Saya hanya agak lelah saja.” Bianna menegakkan punggungnya. Dia sudah melangkah menjauhi pintu ruang kerja Damian, tetapi tiba-tiba langkahnya kembali berhenti lalu dia berbalik tepat saat Inez akan duduk di kursi kerjanya. “Apa Anda melupakan sesuatu, Nyonya?” tanya Inez yang tampak tidak terkejut dama sekali. “Saya mau tanya, Nez. Sejak kapan kamu kerja dengan Damian?” Entah mengapa mendadak pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Inez melempar senyum manisnya. “Sudah lima tahun ini, Nyonya.”“Oh ya?” Bianna terlihat terkejut. “Kalau beg
“Siapa yang memintamu merubah jadwalku?” Suara Damian tetap sama, datar dan terlalu kaku. Namun, Dion yang sudah bekerja dengannya selama hampir tujuh tahun ini tentu sudah terbiasa mendenganya. “Itu—” “Aku yang perintahkan.” Dion tidak sempat menjawab karena Bianna lebih dulu bersuara saat memasuki ruang kerja Damian. “Kenapa begitu? Apa pentingnya datang ke acara dia?” Damian mendelik tak terima jadwal kerjanya diintervensi tanpa seizinnya. “Nemenin aku, lah. Dia rekan bisnis kita yang baru, masa kita tidak datang ke acaranya,” protes Bianna sambil duduk di kursi depan meja kerjanya. Damian masih ingin komplain, tetapi Bianna memberi kode melalui jaru telunjuk yang ditaruh di atas bibirnya. “Udah, tidak usah pusing, nanti aku yang akan pilihkan pakaianmu. Sekarang aku ke sini karena ada yang ingin aku bicarakan.” Mendengar hal itu tanpa diperintah, Dion berinisiatif undur diri. “Lain kali tanya dulu apa aku mau datang ke pesta atau tidak. Aku paling tidak suka keramaian.” Mata
“Tidak ada masalah dengan jantungku.” Bianna mendorong tubuh kekar Damian dengan kedua tangannya. Damian tidak marah. Dia justru terkekeh sambil merapikan kembali jasnya. “Baguslah kalau begitu. Setelah ini jangan biarkan mereka masuk ke rumahku, aku akan bilang ke satpam untuk mencegah mereka.”“Lalu bagaimana dengan permintaan Opa tadi?” Bianna terpaksa menghentikan gerakan Damian yang sudah berbalik. Dia kembali menoleh lalu tersenyum penuh arti. “Kenapa? Apa kamu menganggap serius permintaan Opa? Sayangnya aku tidak. Jadi, lupakan saja hal itu. Bersiaplah, Tian akan mengantarmu ke kantor.” Bianna terpaksa menelan kembali kata-kata yang siap meluncur dari bibirnya karena langkah pria itu terlalu cepat untuk dihentikan. “Dasar pria aneh! Tidak punya perasaan! Lalu apa yang harus aku katakan pada Opa kalau cucunya sendiri yang tidak mau punya anak?” gerutu Bianna yang akhirnya memutar badan lalu berjalan menuju ruang makan mengambil tas tangan miliknya. “Memangnya kamu mau hamil
Untuk sejenak saja, boleh, kan, Bianna meminta agar waktu berhenti saat ini juga? Saat dirinya tengah hanyut dalam kobaran api gairah yang baru saja dinyalakan oleh Damian? Saat dirinya hampir tenggelam dalam dahsyatnya gelombang kenikmatan yang Damian beri lewat sentuhan bibirnya itu? Namun sayang, sepertinya hanya Bianna yang merasakan perasaan itu karena detik berikutnya kembali tanpa aba-aba Damian melepaskan tautan bibirnya begitu saja. Tentu saja hal itu membuat Bianna terkejut, meski dia berusaha untuk segera kembali menapak bumi yang dia pijak. “Bagaimana? Apa ini sudah bisa membuktikan kalau kami adalah suami istri sungguhan?” Dengan percaya dirinya Damian bicara pada Eduardo, tidak lupa tangan kanannya merengkuh pinggang Bianna. “Lalu kenapa perempuan tadi marah-marah sama Bia? Dan bilang kalau suaminya ingin cerai gara-gara Bia, Dami?” Eduardo patut bertanya hal itu. Telinganya tidak tuli, tentu dia ingin memastikan apa yang sudah dia dengar. Damian menuntun Bian