“Ya, Shanon.”
Harold membalas singkat setelah berulang kali ia mendengar kalimat yang keluar dari mulut bibir Shanon. Belum pernah dalam masa kerjanya hingga hari ini, harus menghadapi kejadian mengenaskan seperti tadi.
Air mata Shanon tak berhenti mengalir.
Harold pun melirik ke arah sekretaris baru yang sudah dipecat di hari pertamanya bekerja itu. Helaan napas putus asa pun terlepas pelan dari bibir sang manajer HRD. ‘Naas.’
Mau tak mau netra Harold menelusur, memperhatikan bagaimana bentuk rambut Shanon yang sudah berantakan tidak karuan, karena digunting sembarangan oleh Pamella. Belum lagi kopi yang sudah mengering di kepalanya.
Tapi tak ada yang bisa dilakukan olehnya, walau ia memikul jabatan yang cukup penting di perusahaan.
Mereka tiba di depan teras lobi. Harold pun hanya bisa mengingatkan Shanon, “Segera bereskan barang-barangmu dari apartemen dinas itu. Selamat tinggal.”
Shanon mematung di depan lobi dengan air mata berurai tak henti. Pandangannya yang tengah menatap punggung Harold dari kejauhan kini mulai terfokus pada pantulan dirinya di pintu kaca gedung tersebut.
Pipi Shanon terlihat sangat merah, ada beberapa goresan merah tipis di sana. Kemungkinan terbaret oleh kuku Pamella yang panjang.
Riasannya pun sudah berantakan karena air mata dan juga kopi hitam yang sudah mengering di wajahnya.
Penampilannya saat ini benar-benar menyedihkan. Tangis senyap kembali membuat bahunya berguncang.
Rambut ikalnya sudah berantakan, panjang pendek tidak beraturan. Basah dan lepek seperti tikus tercebur dalam got. Ada sedikit ampas kopi hitam bertebaran di atas kepalanya.
Kota Tinseltown selalu ramai dengan orang lalu-lalang. Shanon pun hanya bisa menunduk ketika orang-orang yang berpapasan mendengkus geli melihat penampilannya.
‘Sebaiknya aku segera pulang dan membersihkan diri,’ batinnya sambil berdiri di barisan penunggu taksi.
Bibir Shanon bergetar hebat. Menahan tangis yang tak sudi ia pertontonkan di tempat umum. Untunglah tak lama ia menunggu giliran mendapatkan taksi.
Tiba di apartemen, ia segera membersihkan diri. Dan berganti pakaian. Sesuai perintah Harold untuk segera mengosongkan apartemen dinas itu, Shanon pun segera mengerjakannya.
Namun, tengah membereskan pakaiannya, Shanon mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia pun meninggalkan apa yang sedang dikerjakannya dan membukakan pintu untuk tamu tak diundang tersebut.
“Ya—“
Tak disangka, ternyata yang sekarang tengah berdiri di hadapannya adalah Pamella. Wajah wanita paruh baya itu sangat mengerikan.
“Nyo—nyonya—“
“Masih berani kamu ada di apartemen ini?!” bentak Pamella sambil menarik tubuh Shanon keluar dari kamar, hingga terjatuh di lorong apartemen.
“Sa—saya baru akan—“
Bruk!
Pamella membuang koper milik Shanon ke luar kamar dan melempar semua pakaian gadis malang itu ke lantai di luar kamar.
“Pergi kamu dari sini! Pelakor sialan! Jangan pernah lagi kamu tunjukkan wajahmu di sekitar sini!” raung Pamella.
Tentu saja keributan ini membuat beberapa penghuni apartemen yang sedang ada di tempat langsung keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi. Mereka juga mendengar ucapan Pamella yang mengatakan bahwa Shanon adalah seorang pelakor.
“Bo—bolehkah saya be—berganti pakaian—“
Blam!
Pintu apartemen itu langsung ditutup oleh Pamella. Jelas, tidak ada lagi akses Shanon untuk masuk ke dalam. Padahal saat ini ia hanya mengenakan jubah mandi.
Shanon menatap beberapa penghuni apartemen yang menatapnya dengan pandangan menuduh. Gadis itu hanya bisa tertunduk menyembunyikan tangisannya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Shanon membereskan pakaian yang berhamburan di lantai dan segera berganti baju di kamar mandi umum.
‘Tak ada satupun yang memihakku ...,’ isak Shanon dalam hatinya. Ia mengikat rambutnya dan pergi mencari losmen murah untuk menetap sementara.
Berjalan mengikuti sebuah tanda bertuliskan ‘losmen murah’, kaki Shanon membawanya tiba di depan sebuah losmen tua di area pinggiran kota Tinseltown.
Gadis naas itu bermaksud menggunakan sisa uangnya untuk hidup dan mencari pekerjaan baru.
“Mm ... aku tidak tahu ada losmen di daerah ini,” gumam Shanon bermonolog. “Tapi aku seperti pernah ke tempat ini.”
Ragu-ragu, Shanon mendorong terbuka pintu kayu yang dihiasi gantungan bertuliskan “Tempo Losmen”.
Sambil berjalan perlahan ke arah meja resepsionis yang sederhana, netranya menjelajah pemandangan yang disajikan losmen tersebut.
‘Walau terlihat seperti mau rubuh, ternyata dalamnya cukup nyaman,’ batin Shanon.
Kakinya berhenti di depan meja resepsionis. Netra Shanon pun disambut dengan tatapan ramah dari seorang pria berusia senior.
Sang resepsionis tua itu menyapanya hangat, “Selamat siang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?”
“Uhm ... selamat siang,” balas Shanon.
Kemudian menambahkan, “Apa ada kamar kosong? Ka—kalau saya menyewanya secara mingguan atau bulanan, berapa harganya?”
‘Kuharap harganya tidak terlalu mahal.’ Shanon berdoa dalam hati, berharap pria tua itu memberinya harga diskon.
“Mingguan atau bulanan? Tunggu sebentar.”
Pria tua itu membuka laci dan mengambil sebuah kertas kaku, lalu menyodorkannya pada Shanon.
“Ini daftar harganya.”
Shanon mengangguk sambil tersenyum canggung begitu melihat tulisan pada kertas kaku itu, sementara otaknya mulai menghitung.
‘Harian 45 dollar. Kalau aku mau tinggal selama seminggu, harus keluar uang 300 dollar. Satu bulan 1.200 dollar. Oh Tuhan, apa aku bisa hidup setelah ini?’
“Ka—kalau begitu sa—satu bulan saja. Saya bayar sekarang.” Shanon segera mengeluarkan ponselnya dan melakukan transaksi.
Uang dalam rekeningnya hanya tersisa enam ribu dollar. Shanon tidak yakin apakah ia akan bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, sebelum uangnya habis.
Setelah mencetak bukti pembayaran, pria tua itu menyerahkannya pada Shanon sambil berkata, “Semoga betah, Nona. Kalau butuh sesuatu, cari saya saja—Genio.”
***
Tiga minggu berlalu.
Di akhir minggu ke tiga, usaha Shanon mencari pekerjaan baru pun akhirnya membuahkan hasil. Ia diterima bekerja di sebuah perusahaan kecil sebagai staf sekretaris.
Shanon pun harus mencari tempat tinggal, yang lokasinya dekat dengan kantor baru.
“Paman Genio, aku pamit.” Shanon membungkuk penuh ucapan terima kasih.
Genio cukup terlihat sedih, karena selama ini, ia lumayan terhibur ditemani Shanon di meja kasir, sambil menikmati camilan gratis darinya. “Sedih harus berpisah darimu, Nona. Tapi aku turut bahagia, karena sepertinya kau sudah menemukan apa yang kau butuhkan, hm?”
Shanon mengangguk dengan penuh semangat. Wajahnya berbinar seolah kehidupan kembali meraja. “Aku sudah mendapatkan pekerjaan. Terima kasih untuk semuanya, Paman.”
“Sama-sama, Nona.” Genio tersenyum sambil mengutak-atik mesin kasirnya.
Laci penyimpanan uang pun terbuka. Pria tua penunggu meja kasir itu mengambil beberapa lembar uang dan menyerahkannya pada Shanon.
Dahi Shanon berkerut bingung. Kalaupun ingin mengembalikan kelebihan pembayaran, lembaran uangnya tidak akan sebanyak itu.
Gadis itu pun memutuskan untuk bertanya, “Apa ini, Paman? Kau tak perlu mengembalikan kelebihannya. Aku sangat terbantu dengan adanya tempat ini.”
Genio terlihat berpikir sesaat, sebelum menjawab, “Pemilik tempat ini memintaku untuk mengembalikan semua uangmu. Ia sudah membayar semuanya. Uang sewa kamar dan juga uang makanmu.”
Shanon ternganga. Ia tak pernah punya kenalan seorang pemilik losmen seperti ini.
“Apa aku mengenal pemilik losmen ini, Paman Genio?” tanya Shanon keheranan.
Lagi, Genio terlihat seperti kesulitan menjawab pertanyaan Shanon. Pada akhirnya ia mengangguk.
“Menurut beliau, Anda mengenalnya, Nona.”
Namun, baru saja Shanon hendak menanyakan nama sang pemilik losmen, Genio menambahkan, “Beliau tidak ingin memberitahukan namanya. Kalau-kalau kau penasaran, Nona Shanon.”
Shanon kembali menutup mulutnya yang tadi terlanjur menganga hendak bertanya. Pandangannya kembali fokus pada tumpukan lembar uang di atas meja kasir Genio.
‘Kalau kutebak, ini jumlahnya lebih dari tiga ribu dollar. Padahal aku yakin, uang makanku tidak akan semahal ini.’ Shanon berkonflik dalam hati.
“Nona, sepertinya taksimu menunggu di depan lobi?” tanya Genio yang melihat mobil sedan kuning dengan lampu putih di atas kap bertuliskan ‘taxi’.
“Astaga! Aku harus bagaimana dengan uang ini, Paman?” Shanon berbalik menatap taksi yang sudah menunggunya kemudian kembali menghadap Genio, panik.
Gadis muda itu masih belum memutuskan apakah akan menerima kebaikan hati pemilik penginapan yang asing baginya itu, atau mengambil uang sesuai porsinya.
Melihat Shanon masih ragu, tanpa basa-basi Genio meraup lembaran uang itu dan menjejalkannya pada tangan Shanon yang diraihnya dengan sedikit kencang.
“Bawa semua. Semua ini milikmu, Nona. Percaya saja padaku.”
Shanon menatap uang yang kini sudah ada di tangannya. Ia pun memutuskan untuk mengangguk dan berterima kasih terakhir kalinya sebelum ia meninggalkan losmen.
‘Siapapun Anda, terima kasih.’
“Shanon, tolong dibagikan buat kalian ya.”Seorang pria asia bermata sipit menyerahkan sebuah kotak dengan tulisan ‘Tokiyo Banana’ pada Shanon.Beliau adalah CFO di perusahaan baru di mana Shanon bekerja.“Baik, Mr. Fumiyaki. Terima kasih banyak.” Shanon sedikit memekik ketika menerima kotak camilan kesukaannya itu.Di hari pertama Shanon bekerja, atasannya itu langsung memberinya satu kotak penuh untuk ia nikmati sendiri.Sejak hari itu, sudah hampir satu bulan Shanon bekerja sebagai sekretaris CFO, bersama dengan senior sekretaris bernama Diana Brown, di sebuah perusahaan kabel bernama Wiener Corp.“Senior, kau sudah selesai rapat?” tanya Shanon saat tengah membagikan camilan yang baru diterimanya itu.Diana—wanita paruh baya yang dipanggil ‘senior’ tadi, mengangguk sambil menempati kursi kerjanya. Wajahnya terlihat cukup lelah setelah mengikuti rapat dengan CEO.“Ah ... kue kesukaanmu, hm?” kekehnya sambil membuka bungkus camilan.Shanon pun mengangguk bahagia. Ia baru saja akan me
“Astaga! Apa yang sudah Anda lakukan, Mister?!”“Apa Anda membuatnya pingsan?! Kasihan sekali.”“Sebaiknya cepat dibawa ke rumah sakit!”Terdengar protes dari beberapa penunggu kendaraan umum di halte tersebut. Suara mereka membuat pria yang tadi menegur Shanon merasa bersalah.Akhirnya ia memilih opsi ketiga. Segera membawa Shanon ke rumah sakit.Diangkatnya tubuh Shanon dan segera membaringkan gadis yang tak sadarkan diri itu di kabin belakang sebelum ia sendiri bertolak ke kabin depan.“Pak, tolong segera ke rumah sakit St. Xavier,” perintah pria tersebut sambil menutup pintu mobil di sampingnya.Supir taksi tersebut pun mengangguk dan langsung menaikkan kecepatan, meninggalkan halte.Dari lirikan matanya, sang supir bisa melihat kalau pelanggan prianya tengah sibuk menghubungi seseorang.“Chris! Saya sudah berpindah lokasi. Temui saya di rumah sakit St.Xavier.” Nada sang pria muda itu terdengar kesal dan sangat tidak bersahabat.Karena lawan bicaranya bersuara cukup lantang, supir
‘Apa yang dilakukan bos besar sepertinya di tempat ini?! Bukannya Damian tinggal di New York?! Apa aku sudah melakukan kesalahan?!’ pekik Shanon dalam hatinya.Lamunan Shanon buyar ketika pria itu dengan dingin berkata, “Kau sangat ahli membuat keributan, Nona.”Jantung Shanon berdegup sangat cepat ketika menyadari bahwa pria sempurna itu sedang mendekatinya. Ia tidak bisa mencerna kalimat bernada mengejek yang dilontarkan Damian, karena pandangannya sudah tersihir oleh ketampanan pria itu.‘Garis rahangnya—astaga! Aku tak seharusnya melamun!’ tegur Shanon pada dirinya sendiri.“Tu—tuan Damian. A—apa saya membuat masalah?” cicit Shanon.Tangannya meremas kuat selimut yang menutupi tubuhnya. Gadis itu ingin bersiap, kalau-kalau Damian mencaci maki dirinya.Damian menggeser tirai yang sebagian sudah lepas dan menjuntai sampai ke lantai itu sambil menjawab, “Yeah. Sedikit banyak. Tapi, sebagian juga kesalahan saya. Saya minta maaf.”Tertegun. Bukannya Shanon tidak terima dengan kata-kata
“Pamella Simons?"Dengan nada tercekat Shanon mengulang nama itu. Walau tidak suka dengan istri mantan bosnya tersebut, jangan sampai ia salah membenci orang. Lagi, ia mengkonfirmasi, "Istri CEO Regal Corp?” Dan gumaman membenarkan dari Caren membuat hati sang mantan sekretaris Regal Corp itu semakin gelap dengan sakit hati.Terganggu dengan kesunyian di antara mereka, Caren pun bersuara, “Aku tahu, kau tidak mungkin melakukan hal seperti menjadi pelakor, Shan.”Tulus ataupun tidak, kata-kata Caren cukup meneduhkan hati Shanon. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menepikan amarah yang kembali hendak merajai hatinya.“Terima kasih, Caren," ujar Shanon dengan nada pelan dan penuh syukur.Ia kemudian mencoba lagi peruntungannya, kalau-kalau Caren bisa membantunya mendapatkan pekerjaan. Karena sebelum ini, sahabatnya itu tengah berada di luar negeri untuk perjalanan dinas. Namun, Caren menjelaskan, “Untuk yang satu ini, aku tidak punya kekuasaan untuk menolongmu, Shan. Kau juga tahu
"Maaf, Nona. Anda tidak bisa menolak.”Damian yang tadinya sudah hampir melangkah keluar dari hotel itu, kembali berbalik karena tidak merasa anak buahnya mengikuti di belakang.Barulah pria berwajah tampan seperti Lee Min Oh itu sadar, kalau Shanon seperti sedang membuat keributan dengan para bodyguardnya.‘Astaga! Dilihat bagaimanapun, dia memang pembuat onar. Waktu itu tirai ranjang rumah sakit dan sekarang dia membuat keributan,’ keluh Damian sambil berbalik dan mendekati mereka lagi.Sudah cukup kekesalan Damian karena tiba-tiba mendapat mandat dari sang kakek, bahwa ia harus menjemput seorang perempuan di hotel ini. Pria itu semakin kesal ketika mengetahui kalau wanita yang harus dijemputnya adalah wanita yang sama, yang sudah merusak harinya dengan pingsan di halte bus.“Kalau tidak bisa cara halus, kalian boleh langsung mengangkatnya. Jangan membuang waktuku, Lucas!” tukas Damian pada salah satu bodyguard berponi lempar.‘Mengangkatku?!’“Apa?! Apa maksud—hey! Turunkan aku!” p
“Cerita lama?” tanya Shanon lagi dengan dahi berkerut.Herv mengangguk.Sejujurnya, gadis itu ingin menolak. Menurutnya, ini bukan saat yang tepat untuk mendengarkan cerita.Shanon butuh penjelasan, kenapa dia harus ikut ke rumah seorang kaya seperti keluarga Vadis dan kenapa semua barang-barangnya ada di sana.Tak mungkin menolak, Shanon pun akhirnya setuju untuk mendengarkan. Ia memilih untuk menenangkan diri sejenak dan mengesampingkan rasa penasaran mengenai alasannya berada di kediaman megah itu.Melihat Shanon siap mendengarkan, Herv membuka sebuah buku berlapis kulit yang sudah sejak tadi ada di atas meja.Pria tua itu lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalam selipan buku dan menyerahkan pada Shanon.Kening Sharon kembali berkerut heran. Pertanyaan pun muncul dalam hatinya.'Apa itu? Kenapa diberikan padaku?'"Kuharap kau tidak lupa dengan coretanmu sendiri," kekeh Herv lembut. Pria tua itu cukup terhibur melihat raut keheranan di wajah sang tamu.Penasaran dengan ucapan He
“Kau yakin dengan keputusanmu, Shan? Tidak ada pembatalan setelah kau memutuskan.” Herv mencoba membuat Shanon mempertimbangkan ulang keputusannya. Pria tua itu tidak mau kalau di tengah jalan, Shanon menyerah dan memilih pergi dari kediamannya.Shanon terdiam sesaat sebelum ia mengangguk. Ia kembali menyuarakan pilihannya, “Saya menerima tawaran Anda, Tuan Herv."Raut lega tergambar di wajah Herv.Kemudian Shanon menambahkan, "Apa yang bisa saya kerjakan? Saya tidak mau hanya menerima kebaikan Anda.” Walau Herv memberi judul ‘balas budi’, tetap saja bagi Shanon semua kebaikan pria tua itu jauh lebih besar ketimbang apa yang sudah pernah gadis itu berikan.Herv menatap Shanon lagi dalam-dalam. Ada rasa syukur terucap dalam hati si pemilik perusahaan Herv Co tersebut. ‘Shanon masih tetap murni, seperti dulu. Aku sangat bersyukur berhutang nyawa padanya,'’ ungkap pria tua itu dalam hati.Dengan senyum mengembang di wajahnya, Herv berkata, “Kalau begitu, mulai bulan depan kau akan ti
"A—apa?!" pekik Shanon terkejut. "Ti—tidak, Tu—ah, maksud saya, tidak Kakek. Saya tidak berniat menjalin hubungan romansa dengan Tuan—ahm, Kak Damian."Shanon tergagap langsung disodori pertanyaan demikian. Gadis muda itu tertunduk malu, karena sudah berlaku canggung seperti tadi. Bahkan memanggil Herv dengan sebutan baru pun masih salah.Mendengar jawaban Shanon, Herv pun kembali meyakinkan sang kakak. “Nah, Kak, kau dengar sendiri. Shanon tidak berpikir macam-macam dengan Damian.”Lemuel menyandarkan punggung yang sejak tadi menegang itu, kemudian menghela napas seolah lega. "Aku percaya untuk saat ini, Herv. Dan kuharap kau bisa memegang janjimu, Nona.""Ya, Kakek Lemuel."Gadis itu bisa mendengar suara Lemuel dan tawa renyah Herv setelah mencandainya dengan pertanyaan tadi.Namun, jauh di lubuk hatinya, Shanon merasa sedikit kecewa mengetahui Damian sudah bertunangan dengan seseorang.‘Well, aku tidak bermaksud mendekati Damian juga sih. Aku harus fokus untuk mencapai tujuanku,’