‘Apa yang dilakukan bos besar sepertinya di tempat ini?! Bukannya Damian tinggal di New York?! Apa aku sudah melakukan kesalahan?!’ pekik Shanon dalam hatinya.
Lamunan Shanon buyar ketika pria itu dengan dingin berkata, “Kau sangat ahli membuat keributan, Nona.”
Jantung Shanon berdegup sangat cepat ketika menyadari bahwa pria sempurna itu sedang mendekatinya. Ia tidak bisa mencerna kalimat bernada mengejek yang dilontarkan Damian, karena pandangannya sudah tersihir oleh ketampanan pria itu.
‘Garis rahangnya—astaga! Aku tak seharusnya melamun!’ tegur Shanon pada dirinya sendiri.
“Tu—tuan Damian. A—apa saya membuat masalah?” cicit Shanon.
Tangannya meremas kuat selimut yang menutupi tubuhnya. Gadis itu ingin bersiap, kalau-kalau Damian mencaci maki dirinya.
Damian menggeser tirai yang sebagian sudah lepas dan menjuntai sampai ke lantai itu sambil menjawab, “Yeah. Sedikit banyak. Tapi, sebagian juga kesalahan saya. Saya minta maaf.”
Tertegun. Bukannya Shanon tidak terima dengan kata-kata Damian, justru karena apa yang keluar dari bibir Damian sangat jauh dari prasangkanya.
Shanon sudah yakin kalau Damian yang selalu dibicarakan para sekretaris adalah pria dingin yang tidak banyak bicara. Sekalinya bicara, pasti menyakitkan.
Nyatanya, pria itu bahkan meminta maaf padanya.
Tak mendapat respon dari Shanon, pria tampan yang hampir membuatnya jantungan itu menambahkan, “Setelah ini silakan Anda berobat sekehendak hati. Untuk pembayaran, bicarakan dengan sekretaris saya.”
Tanpa menunggu jawaban Shanon, Damian pun segera keluar dari ruangan itu.
Suara pintu yang terbuka lalu menutup lagi, menyadarkan Shanon kalau ia tidak bersuara sama sekali sejak tadi.
‘Astaga! Aku bahkan tidak bisa berterima kasih saking gugupnya!’ raung Shanon tanpa suara.
Baru saja ia akan memejamkan mata, pintu ruangannya kembali dibuka. Kali ini ia tidak mengenali orang yang masuk ke ruang perawatannya. Jadi, ia bertanya, “Maaf mencari siapa?”
“Ah! Anda sudah sadar rupanya, Nona Shanon. Saya sekretaris Tuan Damian Vadis. Panggil saja saya Chris,” sapa pria itu memperkenalkan diri.
Shanon pun langsung membalas sapaannya. Setelah cukup lama tersadar, gadis itu sudah tidak lagi merasa pusing. “Senang mengenal Anda, Tuan Chris.”
Chris tersenyum ramah. Ia tidak menyangka kalau Shanon akan menyematkan panggilan ‘tuan’ padanya, bahkan setelah ia meminta untuk memanggilnya dengan nama saja.
“Apa Nona masih ingin beristirahat di rumah sakit? Saya rasa tidak akan masalah jika Anda dirawat untuk satu minggu ke depan. Sepertinya—“
Gelengan kepala Shanon segera menghentikan ucapan Chris. Gadis itu tidak mungkin bisa menghabiskan banyak uang untuk dirawat di rumah sakit ini.
Kalau sebelumnya ia dilarikan ke rumah sakit mewah ini, itu hanya karena perusahaan membayar biayanya ketika ia masih menjadi karyawan. Tetapi saat ini, kondisi Shanon telah berubah.
“Apa Nona sudah merasa lebih baik?” tanya Chris dengan wajah khawatir.
Ia juga tak ingin kalau terjadi sesuatu pada Shanon yang notabene masuk rumah sakit karena bersinggungan dengan sang atasan.
“Saya tidak apa-apa, Tuan Chris. Saya bisa pulang hari ini juga.”
Kening Chris berkerut tak setuju. Ia bisa melihat bibir Shanon yang masih terlihat pucat. Netra yang sayu seolah tidak pernah beristirahat. Tapi, ia bukanlah orang yang berhak menahan Shanon, jika memang gadis itu lebih ingin beristirahat di rumah.
“Apa mungkin Nona memikirkan pembayaran? Tuan Damian sudah melunasi semua—“
Lagi, Shanon menggeleng kuat. “Saya tidak mau merepotkan Tuan Damian.”
Chris pun menghela napas panjang. Tak bisa lagi menahan Shanon untuk beristirahat di rumah sakit. “Kalau begitu, ijinkan saya mengantar Anda, Nona.”
Kali ini Shanon mengangguk. Setidaknya, ia sadar kalau tubuhnya masih tidak sekuat pengakuannya tadi.
***
Hari ketiga setelah Shanon keluar dari rumah sakit.
Gadis itu mulai frustrasi, karena tidak ada satupun perusahaan menerima surat lamarannya. Bahkan ketika memberanikan diri bertanya pada beberapa teman sekretarisnya, tidak ada satupun yang mau membantunya.
‘Apa mereka membenciku karena video itu? Jadi, aku sudah benar-benar dianggap seorang pelakor?’ rintih Shanon menahan sakit hatinya.
Tak tahu harus mencari pekerjaan di mana lagi, Shanon memutuskan untuk mengunjungi makam kedua orangtuanya.
Makamnya cukup jauh dari tempat Shanon tinggal saat ini, sehingga bisa dicapai dengan menggunakan kereta kota. Ia berpikir untuk menikmati perjalanannya sambil menenangkan diri.
‘Aku masih tidak tahu, haruskah aku membunuh bayi ini?’ batin Shanon sambil menyentuh perutnya yang masih rata itu. Air mata penyesalan pun kembali turun.
Lagi, pikirannya menyesali masa lalu yang tak kan pernah bisa ia ubah. ‘Seandainya hari itu aku tidak membawa Tuan Julian ke apartemen ... seandainya hari itu aku langsung berlari ke luar apartemen ....’
Perjalanan 30 menit dengan kereta pun berakhir. Shanon segera turun dari gerbong yang ternyata hanya berpenghuni 3 orang itu.
Setelahnya ia harus berjalan sebentar untuk tiba di area pemakaman. Tersungkurlah gadis yatim piatu itu di depan makam orangtuanya. Seolah ia bisa melihat tangan mereka yang merentang, memberi ucapan selamat datang padanya.
“Mama, Papa, maafkan Shanon,” raungnya sambil memeluk nisan yang mengukir nama dua orangtuanya.
Lama, Shanon terduduk di atas rumput menangisi hidupnya. Dan seolah mendapat kekuatan untuk menegarkan hati, Shanon pun mengurungkan niatnya untuk menggugurkan kandungan.
Ia berniat untuk membesarkan anak itu, darah dagingnya.
Tengah menangis, tiba-tiba ia merasakan ponselnya terus bergetar pendek-pendek, menandakan pesan baru diterima alat komunikasinya itu.
Mencoba menenangkan diri, Shanon pun menyeka air matanya dan mengeluarkan ponsel dari tasnya.
Kerutan di dahinya pun nampak. Seorang teman lama di perusahaan awal ia bekerja, mengirim pesan padanya.
‘Caren?’ batin Shanon.
Detik berikutnya ia sudah terkikik geli, setelah membuka pesan dari temannya yang bernama Caren itu.
Pasalnya Caren mengirim pesan per huruf. ‘Dasar gila! Makanya jadi terus bergetar tak jelas.’
‘AKU PERLU MENELEPONMU’ satu per satu huruf itu diketik dan dikirim Caren padanya, membentuk garis lurus ke bawah.
Dan tak lama kemudian, ponselnya bergetar panjang. Nama Caren muncul di sana.
Setelah menarik napas beberapa kali, untuk menenangkan dirinya, Shanon pun menerima sambungan telepon itu.
“Hal—“
“Shan! Beritamu heboh!” seru Caren begitu tersambung dengan Shanon.
Shanon pun mengerutkan dahinya. Kalau ini soal video tentang dirinya, bukankah itu sudah lama heboh. ‘Kenapa baru sekarang dia heboh?!’
“Maksudmu video itu?” tanya Shanon mengkonfirmasi.
Namun Caren menggeleng, walau ia tahu Shanon takkan bisa melihat gelengannya. Ia pun berseru panik, “Bukan! Ternyata namamu masuk dalam daftar hitam sekretaris sejak dua bulan lalu! Aku baru saja tahu.”
Hati Shanon mencelos. Kini ia tahu penyebab dirinya kesulitan mencari pekerjaan. Keajaiban baginya bisa bekerja di Wiener Corp.
“Dan kau tahu, siapa yang membuatmu masuk dalam daftar hitam itu?!” lanjut Caren lagi dengan nada penuh misteri.
Shanon punya tebakan, tapi ia tak mau menuduh ketika belum ada bukti. Walau sebenarnya, sudah jelas baginya, siapa yang punya kuasa untuk melakukan hal itu.
Caren pun menjawab dengan suara seperti orang berbisik melalui sambungan telepon itu.
“Pamella Simons.”
“Pamella Simons?"Dengan nada tercekat Shanon mengulang nama itu. Walau tidak suka dengan istri mantan bosnya tersebut, jangan sampai ia salah membenci orang. Lagi, ia mengkonfirmasi, "Istri CEO Regal Corp?” Dan gumaman membenarkan dari Caren membuat hati sang mantan sekretaris Regal Corp itu semakin gelap dengan sakit hati.Terganggu dengan kesunyian di antara mereka, Caren pun bersuara, “Aku tahu, kau tidak mungkin melakukan hal seperti menjadi pelakor, Shan.”Tulus ataupun tidak, kata-kata Caren cukup meneduhkan hati Shanon. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menepikan amarah yang kembali hendak merajai hatinya.“Terima kasih, Caren," ujar Shanon dengan nada pelan dan penuh syukur.Ia kemudian mencoba lagi peruntungannya, kalau-kalau Caren bisa membantunya mendapatkan pekerjaan. Karena sebelum ini, sahabatnya itu tengah berada di luar negeri untuk perjalanan dinas. Namun, Caren menjelaskan, “Untuk yang satu ini, aku tidak punya kekuasaan untuk menolongmu, Shan. Kau juga tahu
"Maaf, Nona. Anda tidak bisa menolak.”Damian yang tadinya sudah hampir melangkah keluar dari hotel itu, kembali berbalik karena tidak merasa anak buahnya mengikuti di belakang.Barulah pria berwajah tampan seperti Lee Min Oh itu sadar, kalau Shanon seperti sedang membuat keributan dengan para bodyguardnya.‘Astaga! Dilihat bagaimanapun, dia memang pembuat onar. Waktu itu tirai ranjang rumah sakit dan sekarang dia membuat keributan,’ keluh Damian sambil berbalik dan mendekati mereka lagi.Sudah cukup kekesalan Damian karena tiba-tiba mendapat mandat dari sang kakek, bahwa ia harus menjemput seorang perempuan di hotel ini. Pria itu semakin kesal ketika mengetahui kalau wanita yang harus dijemputnya adalah wanita yang sama, yang sudah merusak harinya dengan pingsan di halte bus.“Kalau tidak bisa cara halus, kalian boleh langsung mengangkatnya. Jangan membuang waktuku, Lucas!” tukas Damian pada salah satu bodyguard berponi lempar.‘Mengangkatku?!’“Apa?! Apa maksud—hey! Turunkan aku!” p
“Cerita lama?” tanya Shanon lagi dengan dahi berkerut.Herv mengangguk.Sejujurnya, gadis itu ingin menolak. Menurutnya, ini bukan saat yang tepat untuk mendengarkan cerita.Shanon butuh penjelasan, kenapa dia harus ikut ke rumah seorang kaya seperti keluarga Vadis dan kenapa semua barang-barangnya ada di sana.Tak mungkin menolak, Shanon pun akhirnya setuju untuk mendengarkan. Ia memilih untuk menenangkan diri sejenak dan mengesampingkan rasa penasaran mengenai alasannya berada di kediaman megah itu.Melihat Shanon siap mendengarkan, Herv membuka sebuah buku berlapis kulit yang sudah sejak tadi ada di atas meja.Pria tua itu lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalam selipan buku dan menyerahkan pada Shanon.Kening Sharon kembali berkerut heran. Pertanyaan pun muncul dalam hatinya.'Apa itu? Kenapa diberikan padaku?'"Kuharap kau tidak lupa dengan coretanmu sendiri," kekeh Herv lembut. Pria tua itu cukup terhibur melihat raut keheranan di wajah sang tamu.Penasaran dengan ucapan He
“Kau yakin dengan keputusanmu, Shan? Tidak ada pembatalan setelah kau memutuskan.” Herv mencoba membuat Shanon mempertimbangkan ulang keputusannya. Pria tua itu tidak mau kalau di tengah jalan, Shanon menyerah dan memilih pergi dari kediamannya.Shanon terdiam sesaat sebelum ia mengangguk. Ia kembali menyuarakan pilihannya, “Saya menerima tawaran Anda, Tuan Herv."Raut lega tergambar di wajah Herv.Kemudian Shanon menambahkan, "Apa yang bisa saya kerjakan? Saya tidak mau hanya menerima kebaikan Anda.” Walau Herv memberi judul ‘balas budi’, tetap saja bagi Shanon semua kebaikan pria tua itu jauh lebih besar ketimbang apa yang sudah pernah gadis itu berikan.Herv menatap Shanon lagi dalam-dalam. Ada rasa syukur terucap dalam hati si pemilik perusahaan Herv Co tersebut. ‘Shanon masih tetap murni, seperti dulu. Aku sangat bersyukur berhutang nyawa padanya,'’ ungkap pria tua itu dalam hati.Dengan senyum mengembang di wajahnya, Herv berkata, “Kalau begitu, mulai bulan depan kau akan ti
"A—apa?!" pekik Shanon terkejut. "Ti—tidak, Tu—ah, maksud saya, tidak Kakek. Saya tidak berniat menjalin hubungan romansa dengan Tuan—ahm, Kak Damian."Shanon tergagap langsung disodori pertanyaan demikian. Gadis muda itu tertunduk malu, karena sudah berlaku canggung seperti tadi. Bahkan memanggil Herv dengan sebutan baru pun masih salah.Mendengar jawaban Shanon, Herv pun kembali meyakinkan sang kakak. “Nah, Kak, kau dengar sendiri. Shanon tidak berpikir macam-macam dengan Damian.”Lemuel menyandarkan punggung yang sejak tadi menegang itu, kemudian menghela napas seolah lega. "Aku percaya untuk saat ini, Herv. Dan kuharap kau bisa memegang janjimu, Nona.""Ya, Kakek Lemuel."Gadis itu bisa mendengar suara Lemuel dan tawa renyah Herv setelah mencandainya dengan pertanyaan tadi.Namun, jauh di lubuk hatinya, Shanon merasa sedikit kecewa mengetahui Damian sudah bertunangan dengan seseorang.‘Well, aku tidak bermaksud mendekati Damian juga sih. Aku harus fokus untuk mencapai tujuanku,’
“Kau memanggilku, Kakek?” Nada lelah terdengar jelas dari kalimat yang dilontarkan Damian saat ia masuk dan bertatapan dengan Herv. Shanon yang baru detik itu memandang wajah Damian lagi, terlihat terpesona. Walau mereka tinggal satu rumah, Damian tidak sering terlihat berkeliaran. ‘Apa dia selalu menghadiri rapat ya?’ tanya Shanon dalam hati. Sementara itu Herv tersenyum simpul melihat wajah kusut Damian. “Ya, Damian. Rapatmu banyak masalah?” tanya Herv menggoda pria muda yang sudah 8 tahun lebih memegang kuasa penuh atas Herv Co.Damian mengangguk sembari melempar tubuhnya di atas sofa satu orang, kemudian memijat-mijat keningnya. Sedikit, Damian mencoba menjelaskan kondisi rapat yang ia ikuti barusan. “Ada beberapa klien baru yang membuat masalah dengan kontrak. Sudah kuminta Grey untuk mengurusnya.”“Kau bisa mengandalkan Grey, Damian. Tenang saja,” ujar Herv meyakinkan cucunya.Damian mengangguk setuju. Ia kemudian bertanya, “Lalu, ada apa Kakek memanggilku?”Herv menatap
“Tuan besar, saya mendapat pesan dari sekretaris Tuan Lemuel.” Herv mengangkat kepala dengan pandangan mata melotot tajam ke arah Keenan—sang sekretaris, sementara tangannya menurunkan koran yang tengah ia baca pagi ini.“Sepagi ini?” keluh Herv kemudian melepas kacamatanya dan mengurut jembatan hidungnya. “Apa yang kakakku mau?”Keenan kembali membungkuk untuk memberi jawaban yang menurutnya pasti tidak enak didengar oleh sang majikan.“Sepertinya Nona Avantie sedang berada di Tinseltown, Tuan Besar. Mereka berencana berkunjung pagi ini,” ungkap Keenan cepat.Mulut Herv membuka bulat lalu menutup lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian mengurungkan niatnya.Keenan menambahkan, “Saya menilai, kemungkinan Tuan Lemuel masih tidak bisa menerima kehadiran Nona Shanon.”Selain sekretaris, Keenan juga sangat ahli dalam membaca situasi. Ia sudah dipercaya Herv untuk menyimpan semua rahasia keluarga Vadis.“Kurasa juga demikian, Keenan,” imbuh Herv sambil menghela nafas lelah.Na
“Sa—saya—”“Ah! Avantie, Nak. Kau sudah bertemu dengan Shanon. Dia adalah cucu kakek.” Herv buru-buru menengahi.Herv memperkenalkan keduanya, “Shanon, dia adalah Avantie, tunangan Damian.”Dahi Avantie pun berkerut tak mengerti. Ia pikir ia salah dengar dengan kata-kata Herv.“Hah?! Cucu?! Bukannya cucu kakek hanya Damian?” tanyanya.Herv hanya terkekeh santai sambil merangkul Shanon supaya gadis itu tidak merasa terintimidasi dengan kehadiran Avantie. Pria tua itu malah meminta Shanon untuk memperkenalkan dirinya. “Saya Shanon Moore—”“Vadis.” Herv menambahkan nama keluarga di belakang nama lengkap Shanon dengan wajah sumringah.Ia ingin meyakinkan Shanon bahwa nama Vadis layak ia sematkan.Shanon pun mengangguk, kemudian melanjutkan perkenalan dirinya. “Saya cucu dari kakek Herv sejak 4 hari yang lalu.”Netra Avantie pun membulat tak percaya.‘Cucu angkat?!’ pekik Avantie yang dengan cepat merangkum apa yang sedang terjadi di hadapannya.Namun, Avantie mengingat ucapan sang ayah.