"A—apa?!" pekik Shanon terkejut. "Ti—tidak, Tu—ah, maksud saya, tidak Kakek. Saya tidak berniat menjalin hubungan romansa dengan Tuan—ahm, Kak Damian."Shanon tergagap langsung disodori pertanyaan demikian. Gadis muda itu tertunduk malu, karena sudah berlaku canggung seperti tadi. Bahkan memanggil Herv dengan sebutan baru pun masih salah.Mendengar jawaban Shanon, Herv pun kembali meyakinkan sang kakak. “Nah, Kak, kau dengar sendiri. Shanon tidak berpikir macam-macam dengan Damian.”Lemuel menyandarkan punggung yang sejak tadi menegang itu, kemudian menghela napas seolah lega. "Aku percaya untuk saat ini, Herv. Dan kuharap kau bisa memegang janjimu, Nona.""Ya, Kakek Lemuel."Gadis itu bisa mendengar suara Lemuel dan tawa renyah Herv setelah mencandainya dengan pertanyaan tadi.Namun, jauh di lubuk hatinya, Shanon merasa sedikit kecewa mengetahui Damian sudah bertunangan dengan seseorang.‘Well, aku tidak bermaksud mendekati Damian juga sih. Aku harus fokus untuk mencapai tujuanku,’
“Kau memanggilku, Kakek?” Nada lelah terdengar jelas dari kalimat yang dilontarkan Damian saat ia masuk dan bertatapan dengan Herv. Shanon yang baru detik itu memandang wajah Damian lagi, terlihat terpesona. Walau mereka tinggal satu rumah, Damian tidak sering terlihat berkeliaran. ‘Apa dia selalu menghadiri rapat ya?’ tanya Shanon dalam hati. Sementara itu Herv tersenyum simpul melihat wajah kusut Damian. “Ya, Damian. Rapatmu banyak masalah?” tanya Herv menggoda pria muda yang sudah 8 tahun lebih memegang kuasa penuh atas Herv Co.Damian mengangguk sembari melempar tubuhnya di atas sofa satu orang, kemudian memijat-mijat keningnya. Sedikit, Damian mencoba menjelaskan kondisi rapat yang ia ikuti barusan. “Ada beberapa klien baru yang membuat masalah dengan kontrak. Sudah kuminta Grey untuk mengurusnya.”“Kau bisa mengandalkan Grey, Damian. Tenang saja,” ujar Herv meyakinkan cucunya.Damian mengangguk setuju. Ia kemudian bertanya, “Lalu, ada apa Kakek memanggilku?”Herv menatap
“Tuan besar, saya mendapat pesan dari sekretaris Tuan Lemuel.” Herv mengangkat kepala dengan pandangan mata melotot tajam ke arah Keenan—sang sekretaris, sementara tangannya menurunkan koran yang tengah ia baca pagi ini.“Sepagi ini?” keluh Herv kemudian melepas kacamatanya dan mengurut jembatan hidungnya. “Apa yang kakakku mau?”Keenan kembali membungkuk untuk memberi jawaban yang menurutnya pasti tidak enak didengar oleh sang majikan.“Sepertinya Nona Avantie sedang berada di Tinseltown, Tuan Besar. Mereka berencana berkunjung pagi ini,” ungkap Keenan cepat.Mulut Herv membuka bulat lalu menutup lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian mengurungkan niatnya.Keenan menambahkan, “Saya menilai, kemungkinan Tuan Lemuel masih tidak bisa menerima kehadiran Nona Shanon.”Selain sekretaris, Keenan juga sangat ahli dalam membaca situasi. Ia sudah dipercaya Herv untuk menyimpan semua rahasia keluarga Vadis.“Kurasa juga demikian, Keenan,” imbuh Herv sambil menghela nafas lelah.Na
“Sa—saya—”“Ah! Avantie, Nak. Kau sudah bertemu dengan Shanon. Dia adalah cucu kakek.” Herv buru-buru menengahi.Herv memperkenalkan keduanya, “Shanon, dia adalah Avantie, tunangan Damian.”Dahi Avantie pun berkerut tak mengerti. Ia pikir ia salah dengar dengan kata-kata Herv.“Hah?! Cucu?! Bukannya cucu kakek hanya Damian?” tanyanya.Herv hanya terkekeh santai sambil merangkul Shanon supaya gadis itu tidak merasa terintimidasi dengan kehadiran Avantie. Pria tua itu malah meminta Shanon untuk memperkenalkan dirinya. “Saya Shanon Moore—”“Vadis.” Herv menambahkan nama keluarga di belakang nama lengkap Shanon dengan wajah sumringah.Ia ingin meyakinkan Shanon bahwa nama Vadis layak ia sematkan.Shanon pun mengangguk, kemudian melanjutkan perkenalan dirinya. “Saya cucu dari kakek Herv sejak 4 hari yang lalu.”Netra Avantie pun membulat tak percaya.‘Cucu angkat?!’ pekik Avantie yang dengan cepat merangkum apa yang sedang terjadi di hadapannya.Namun, Avantie mengingat ucapan sang ayah.
“Tidak,” jawab Shanon buru-buru, sementara kepalanya menggeleng berkali-kali. Lagi, wanita muda yang masih tak percaya kalau Damian menawarkan diri untuk mengajarinya itu menegaskan, “Tidak hanya untuk balas dendam, Tuan.”Damian mengerutkan dahinya. Ia masih terganggu dengan Shanon yang menyebut dirinya ‘tuan’.‘Padahal sudah jelas sekarang kami satu keluarga,’ protes Damian dalam hati. Sementara Shanon semakin gugup karena ia pikir Damian tidak puas dengan jawabannya, sampai-sampai lawan bicaranya itu mengerutkan dahi. ‘Apa dia lebih suka kalau kujawab memang untuk balas dendam semata?' batin Shanon yang menyesali diri. Sikap canggung Shanon pun membuat Damian salah paham. Pria itu akhirnya berdiri dan berkata dengan nada dingin, “Akan kuminta seseorang mengajarimu. Sepertinya kau tidak suka kalau kuajari.” Netra Shanon membulat, kaget dengan ucapan Damian. Tanpa sadar gadis itu sudah mencengkram ujung jas Damian, menghentikan pria itu pergi.“Tidak. Aku sangat senang kalau Tu
“Mempercepat pernikahan? Kurasa kakak sudah gila!” keluh Herv sambil memijat kepalanya. Ia benar-benar tidak tahu kenapa sang kakak sangat ingin menikahkan putrinya dengan Damian.Herv kemudian mulai berdiskusi dengan Dafam. Sekretaris utamanya itu sangat ahli membaca seseorang sesulit Damian.“Dari respon Damian saja, aku tidak yakin ia akan setuju dengan rencana ini. Bagaimana menurut pandanganmu, Dafam?”Dafam terdiam sesaat sebelum berkata, “Sebelumnya, maafkan saya, Tuan Besar. Saya sempat membahas ini dengan Chris, sekretaris Tuan muda.”“Eh? Kalian membicarakan majikan kalian?” kekeh Herv menggoda Dafam yang selalu serius itu. Karena sifatnya yang kaku, Dafam pun langsung takut. “Tidak berani, Tuan besar. Hanya saja saat itu saya pikir ada baiknya Tuan muda memberi hadiah ulang tahun untuk Nona Avantie.”Dahi Herv berkerut. Kali ini dia cukup bersemangat mendengarkan cerita tentang cucunya itu. “Lalu, apa dia mau membelikannya?”Dafam pun menggeleng, “Tidak, Tuan besar. Tuan
‘Huh?! Pernikahan?!’ Kali ini Shanon bertanya-tanya dalam hati, apa yang baru saja ia dengar. Ia memutuskan untuk mengunjungi Damian setelah membersihkan diri. Terutama untuk memberitahu jam makan siang sudah tersedia.Namun, baru saja ia akan mengetuk pintu kamar Damian yang tidak rapat tertutup, Shanon malah mendengar pria itu berteriak dengan nada kesal.Terlambat mendengar suara langkah kaki Damian yang menuju ke arah pintu, Shanon terkejut ketika pintu dibuka lebar. Wajah marah Damian baru kali ini dilihatnya dengan jelas.‘Astaga! Marah pun ganteng,’ batinnya.“Shanon, apa yang kau lakukan di sini?!” tanya Damian dengan suara yang masih terdengar kesal.Gadis itu pun segera menjawab, “Sa—saya mau memberitahu kalau makan siang sudah siap.”Damian terdiam sesaat sambil menatap Shanon. Kemudian ia berdecak dan berkata, “Makan lebih dulu. Lain kali tak perlu menungguku. Aku punya urusan lain.”Dan tanpa menjelaskan lebih jauh, Damian segera berlalu dari hadapan Shanon.Shanon terk
‘Huh? Bicara denganku? Soal apa ya?’ batin Shanon. Netranya diam-diam mengamati raut wajah Damian, mencoba menebak dan menilai suasana hati pria yang lebih tua sekitar 9 tahun tersebut.‘Ugh! Wajahnya terlalu datar.’Lamunan Shanon dibuyarkan dengan suara sapaan seorang pria berambut pirang yang dikenalnya.Dia adalah sekretaris Damian yang mengurusi semua kebutuhan sang atasan. Baik kebutuhan pekerjaan maupun urusan keseharian sang CEO.“Selamat siang, Nona Shanon. Kondisi Anda sudah sehat?” sapa Christian sambil tersenyum ramah. Shanon pun segera mengangguk. Tidak ingin dicap sebagai orang yang tidak menghargai semua kemurahan Damian dalam menjaga kesehatannya. Bahkan masih menjadi misteri bagi Shanon mengenai insiden Damian memesankan sup hangat untuknya di pesawat.“Aku sangat sehat, Tuan Chris. Terima kasih sudah menanyakan keadaanku.”Dan tak Shanon sangka, pria pirang itu tidak hanya berbasa-basi saat bertanya tentang kondisinya barusan. Chris meletakkan buku berwarna hijau