“Pamella Simons?"
Dengan nada tercekat Shanon mengulang nama itu. Walau tidak suka dengan istri mantan bosnya tersebut, jangan sampai ia salah membenci orang.Lagi, ia mengkonfirmasi, "Istri CEO Regal Corp?”Dan gumaman membenarkan dari Caren membuat hati sang mantan sekretaris Regal Corp itu semakin gelap dengan sakit hati.Terganggu dengan kesunyian di antara mereka, Caren pun bersuara, “Aku tahu, kau tidak mungkin melakukan hal seperti menjadi pelakor, Shan.”Tulus ataupun tidak, kata-kata Caren cukup meneduhkan hati Shanon.Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menepikan amarah yang kembali hendak merajai hatinya.“Terima kasih, Caren," ujar Shanon dengan nada pelan dan penuh syukur.Ia kemudian mencoba lagi peruntungannya, kalau-kalau Caren bisa membantunya mendapatkan pekerjaan.Karena sebelum ini, sahabatnya itu tengah berada di luar negeri untuk perjalanan dinas.Namun, Caren menjelaskan, “Untuk yang satu ini, aku tidak punya kekuasaan untuk menolongmu, Shan. Kau juga tahu kan, seberapa kuat pengaruh daftar hitam itu. Kau bisa masuk ke perusahaan Senior Diana itu benar-benar ajaib,” jelas Caren panjang lebar. Ia tidak mau memberi harapan palsu pada sang sahabat.Setuju dengan ucapan Caren, Shanon menganggukkan kepalanya—padahal ia tahu Caren tak bisa melihatnya.Gadis yang tengah menganggur itu pun merasa bahwa diterimanya ia di tempat Diana, adalah sebuah mujizat.“Aku mengerti, Ren.”“Shan … kurasa kau harus segera menjauh dari Tinseltown. Wanita iblis itu sangat berkuasa di kota ini. Mungkin lebih baik kau pergi ke kota lain,” ujar sang teman lagi, memberi saran pada Shanon.Belum sempat Shanon membalas perkataannya itu, Caren tiba-tiba menambahkan, “Ah! Aku ingat sesuatu, tapi aku tak tahu kau mau atau tidak. Salah satu mantan kekasihku kemarin menawarkan, kalau-kalau aku mau belajar investasi batu bara. Apa kau mau ikut belajar?”Otak Shanon langsung berputar cepat mendengar cerita Caren. Sebagai sekretaris, ia sudah biasa mendengarkan soal investasi. Walau belum pernah terjun langsung, tapi Shanon merasa tidak ada masalah untuk mempelajari hal baru.Ia pun akhirnya menjawab, “Aku mau!”***Sejak keputusan Shanon mengikuti pelajaran pribadi mengenai investasi batu bara, 2 bulan berlalu. Semua pelajaran dasar mengenai investasi tersebut setidaknya membuat Shanon memiliki ilmu baru.Demikian pun, waktu 2 bulan tidaklah cukup untuk mempelajari hal rumit. Terutama untuk menjalankan investasinya langsung, Shanon tidak punya cukup uang.Ia menatap layar ponselnya yang menunjukkan sejumlah uang dalam akun rekening bank miliknya kemudian bergumam pelan, “Belum ada yang menghubungiku.”Pandangannya kemudian teralih ke arah meja rias, di mana ia meletakkan foto kedua orang tuanya. Ia teringat bagaimana wajah mereka saat Shanon lulus dengan nilai terbaik dari akademi sekretaris.‘Mama, Papa, Shanon rasa menjadi sekretaris hanya bisa menjadi kenangan saja. Aku sedang mencari pekerjaan lain. Bantu aku ya,’ doa Shanon dalam hatinya.Untuk saat ini, hanya mencari pekerjaan di bidang lain, yang bisa Shanon lakukan. Jika menuruti saran Caren—pergi dari Tinseltown, gadis malang itu membutuhkan lebih banyak uang, sedangkan tabungannya semakin menipis.Baru saja ia akan menutup matanya, tiba-tiba ponselnya berdering panjang. Seseorang yang tak dikenal, menghubunginya.Shanon mengerutkan dahi sambil memandangi sederet nomor tak bernama di layar ponselnya.“Siapa ya?” tanyanya pada diri sendiri.Biasanya, Shanon tidak pernah mengangkat telepon dari nomor tak dikenal.Tapi pikirannya menebak-nebak, kalau-kalau itu adalah panggilan telepon dari salah satu perusahaan yang menerima CV-nya.Dengan pemikiran itu, Shanon pun langsung menekan tombol hijau dan menyapa dengan penuh semangat, “Dengan Shanon, ada yang bisa saya bantu?”Menjawab sapaan Shanon, sang lawan bicara tersenyum simpul—bisa terasa dari nada balasannya, “Selamat siang, Nona Shanon. Saya dengan Metty dari Hotel Acronate Tinseltown. Saya sudah menerima CV Anda. Apa ada waktu untuk berbincang?”Tanpa berpikir lagi, Shanon langsung mengiyakan pertanyaan tersebut. “Silakan, Bu. Bagaimana?”“Ah, begini … kami sangat membutuhkan satu resepsionis dengan segera. Apa kami bisa melewatkan sesi tes dan langsung mempekerjakan Anda, Nona Shanon?” tanya si penelepon dengan nada sedikit ragu.Mendengar itu, Shanon ingin berteriak bahagia, tapi tentu saja tidak mungkin dilakukan. Ia pun menjawab dengan mantap, “Kalau menurut perusahaan, saya terlihat memenuhi syarat, saya siap, Bu.”“Terima kasih untuk semangatnya,” kekeh wanita paruh baya yang memperkenalkan diri dengan nama Metty.Ia melanjutkan, “Kamu bisa segera datang untuk melakukan pengenalan area kerja terlebih dahulu. Karena malam ini kami memerlukan tambahan resepsionis. Bagaimana?”Seperti sedang berhadapan dengan orang penting, Shanon langsung berdiri dengan tegap dan merespon, “Baik, Bu Metty. Saya butuh waktu 1 jam untuk tiba di sana.”“Baik. Kami tunggu kedatangannya, Nona Shanon.”Setelah mengakhiri percakapan itu, Shanon pun segera melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Ia sendiri sudah melompat turun dari kasur dan segera mencari pakaian terbaik.Sesuai janjinya, Shanon tiba di hotel Acronate 10 menit lebih cepat. Dan Metty secara langsung mendampingi Shanon mengenal area kerja dan tugas sebagai resepsionis hotel.Sebagai seorang sekretaris andal, menjadi resepsionis bukanlah hal sulit. Dengan mudah gadis muda itu bisa menguasai area kerja dan tugas-tugasnya.Metty sebagai kepala HRD juga merasa puas dengan pekerjaan Shanon.3 hari Shanon bekerja di sana dan merasa lebih tenang dengan lingkungan kerja yang tidak banyak tekanan.Di sela waktunya, gadis yang mulai menyukai pekerjaannya sebagai resepsionis hotel itu, masih bisa mempelajari investasi batu bara bersama dengan Caren. Ia sudah mulai menabung dari pendapatan sampingannya, untuk pelan-pelan berinvestasi pada tambang tersebut.Tengah mengurusi beberapa reservasi kamar hotel, ia mendengar rekan kerjanya berbisik soal keributan yang terjadi di ruang direktur.Penasaran, Shanon pun menghampiri mereka dan bertanya, “Ada apa?”“Ah! Shan! Kau tahu? Aku tadi lewat di lantai direksi. Ada tamu direksi yang ganteng banget. Entah siapa, tapi rasa-rasanya aku pernah lihat wajah itu,” celoteh salah satu rekannya dengan pandangan berbinar.Pahitnya hidup benar-benar membuat Shanon tidak pernah memikirkan soal pria tampan, apalagi cinta. Ia masih bisa merasakan bagaimana rasanya, teraniaya di bawah orang-orang berkuasa seperti Pamella dan Julian.Bahkan rekan sekretarisnya dulu, hanya bisa menonton. Tak punya kuasa untuk menolong Shanon.Begitupun Shanon pura-pura ikut penasaran. “Woah! Seperti apa wajahnya?!” tanyanya.“Lee Min Oh! Seperti wajah artis negara Goryu itu! Sangat macho!” pekik rekan perempuannya itu dengan nada tertahan.Mereka pun terkekeh-kekeh sementara mengawasi sekitar, tak ingin tertangkap basah sedang bergosip.Namun tak lama kemudian, Shanon harus terkejut ketika mendengar rekannya itu berseru dengan nada berbisik, “Itu dia! Si pria tampan!”Jari telunjuk yang mengarah ke sebuah lift yang baru saja terbuka itu, mengacu pada seorang pria yang Shanon tahu.“Hah?! Damian Vadis?!” gumamnya pelan, penuh kekagetan.Tanpa bisa dihindari, pandangan mereka bersirobok. Tubuh Shanon sedikit menegang, ketika Damian terlihat memutuskan untuk menghampirinya—dengan tidak melepas tatapan matanya.Shanon tergagap, “Tu—Tuan Dami—”“Segera bereskan barang-barang Anda! Ikut dengan saya!” potong Damian sambil berjalan menuju ke luar hotel.Namun, Shanon tidak mengerti mengapa Damian memberi perintah demikian. Ia tertegun di tempatnya berdiri.Pikirannya terus bertanya-tanya, ‘Aku? Ikut dengannya? Apa maksudnya?! Apa aku ada salah? Apa dia akhirnya memutuskan untuk menghitung jumlah tagihan rumah sakitku?’Dalam keadaan bingung, tiga orang pria kekar mendekatinya.“Nona, maaf. Tuan Damian meminta Anda untuk segera meninggalkan hotel ini dan mengikuti beliau,” ujar pria berkacamata hitam, dengan rambut abu mengkilap.Salah satu dari mereka membantu membereskan tas kerja Shanon, sementara yang lain bersiap membuka jalan bagi gadis itu untuk segera mengikuti Damian ke mobil.Namun, Shanon menolak menurut. Gadis itu tetap terdiam di tempatnya.Memberanikan diri, Shanon beralasan, “Maaf, Tuan-tuan. Saya tidak merasa punya urusan dengan keluarga Vadis. Lagipula, saya sedang bekerja—”“Nona Shanon, semua sudah diatur—”“Kalian siapa mengatur kehidupan saya?!” pekik Shanon mulai takut.Ia tahu, tidak mungkin bagi keluarga terpandang seperti keluarga Vadis, untuk melakukan tindak kriminal terhadap seorang yang tidak signifikan seperti Shanon.Tetapi, untuk begitu saja mengikuti orang asing, tentu bukan pilihan bijak seorang yang pintar.“Maaf, saya menolak untuk ikut!”"Maaf, Nona. Anda tidak bisa menolak.”Damian yang tadinya sudah hampir melangkah keluar dari hotel itu, kembali berbalik karena tidak merasa anak buahnya mengikuti di belakang.Barulah pria berwajah tampan seperti Lee Min Oh itu sadar, kalau Shanon seperti sedang membuat keributan dengan para bodyguardnya.‘Astaga! Dilihat bagaimanapun, dia memang pembuat onar. Waktu itu tirai ranjang rumah sakit dan sekarang dia membuat keributan,’ keluh Damian sambil berbalik dan mendekati mereka lagi.Sudah cukup kekesalan Damian karena tiba-tiba mendapat mandat dari sang kakek, bahwa ia harus menjemput seorang perempuan di hotel ini. Pria itu semakin kesal ketika mengetahui kalau wanita yang harus dijemputnya adalah wanita yang sama, yang sudah merusak harinya dengan pingsan di halte bus.“Kalau tidak bisa cara halus, kalian boleh langsung mengangkatnya. Jangan membuang waktuku, Lucas!” tukas Damian pada salah satu bodyguard berponi lempar.‘Mengangkatku?!’“Apa?! Apa maksud—hey! Turunkan aku!” p
“Cerita lama?” tanya Shanon lagi dengan dahi berkerut.Herv mengangguk.Sejujurnya, gadis itu ingin menolak. Menurutnya, ini bukan saat yang tepat untuk mendengarkan cerita.Shanon butuh penjelasan, kenapa dia harus ikut ke rumah seorang kaya seperti keluarga Vadis dan kenapa semua barang-barangnya ada di sana.Tak mungkin menolak, Shanon pun akhirnya setuju untuk mendengarkan. Ia memilih untuk menenangkan diri sejenak dan mengesampingkan rasa penasaran mengenai alasannya berada di kediaman megah itu.Melihat Shanon siap mendengarkan, Herv membuka sebuah buku berlapis kulit yang sudah sejak tadi ada di atas meja.Pria tua itu lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalam selipan buku dan menyerahkan pada Shanon.Kening Sharon kembali berkerut heran. Pertanyaan pun muncul dalam hatinya.'Apa itu? Kenapa diberikan padaku?'"Kuharap kau tidak lupa dengan coretanmu sendiri," kekeh Herv lembut. Pria tua itu cukup terhibur melihat raut keheranan di wajah sang tamu.Penasaran dengan ucapan He
“Kau yakin dengan keputusanmu, Shan? Tidak ada pembatalan setelah kau memutuskan.” Herv mencoba membuat Shanon mempertimbangkan ulang keputusannya. Pria tua itu tidak mau kalau di tengah jalan, Shanon menyerah dan memilih pergi dari kediamannya.Shanon terdiam sesaat sebelum ia mengangguk. Ia kembali menyuarakan pilihannya, “Saya menerima tawaran Anda, Tuan Herv."Raut lega tergambar di wajah Herv.Kemudian Shanon menambahkan, "Apa yang bisa saya kerjakan? Saya tidak mau hanya menerima kebaikan Anda.” Walau Herv memberi judul ‘balas budi’, tetap saja bagi Shanon semua kebaikan pria tua itu jauh lebih besar ketimbang apa yang sudah pernah gadis itu berikan.Herv menatap Shanon lagi dalam-dalam. Ada rasa syukur terucap dalam hati si pemilik perusahaan Herv Co tersebut. ‘Shanon masih tetap murni, seperti dulu. Aku sangat bersyukur berhutang nyawa padanya,'’ ungkap pria tua itu dalam hati.Dengan senyum mengembang di wajahnya, Herv berkata, “Kalau begitu, mulai bulan depan kau akan ti
"A—apa?!" pekik Shanon terkejut. "Ti—tidak, Tu—ah, maksud saya, tidak Kakek. Saya tidak berniat menjalin hubungan romansa dengan Tuan—ahm, Kak Damian."Shanon tergagap langsung disodori pertanyaan demikian. Gadis muda itu tertunduk malu, karena sudah berlaku canggung seperti tadi. Bahkan memanggil Herv dengan sebutan baru pun masih salah.Mendengar jawaban Shanon, Herv pun kembali meyakinkan sang kakak. “Nah, Kak, kau dengar sendiri. Shanon tidak berpikir macam-macam dengan Damian.”Lemuel menyandarkan punggung yang sejak tadi menegang itu, kemudian menghela napas seolah lega. "Aku percaya untuk saat ini, Herv. Dan kuharap kau bisa memegang janjimu, Nona.""Ya, Kakek Lemuel."Gadis itu bisa mendengar suara Lemuel dan tawa renyah Herv setelah mencandainya dengan pertanyaan tadi.Namun, jauh di lubuk hatinya, Shanon merasa sedikit kecewa mengetahui Damian sudah bertunangan dengan seseorang.‘Well, aku tidak bermaksud mendekati Damian juga sih. Aku harus fokus untuk mencapai tujuanku,’
“Kau memanggilku, Kakek?” Nada lelah terdengar jelas dari kalimat yang dilontarkan Damian saat ia masuk dan bertatapan dengan Herv. Shanon yang baru detik itu memandang wajah Damian lagi, terlihat terpesona. Walau mereka tinggal satu rumah, Damian tidak sering terlihat berkeliaran. ‘Apa dia selalu menghadiri rapat ya?’ tanya Shanon dalam hati. Sementara itu Herv tersenyum simpul melihat wajah kusut Damian. “Ya, Damian. Rapatmu banyak masalah?” tanya Herv menggoda pria muda yang sudah 8 tahun lebih memegang kuasa penuh atas Herv Co.Damian mengangguk sembari melempar tubuhnya di atas sofa satu orang, kemudian memijat-mijat keningnya. Sedikit, Damian mencoba menjelaskan kondisi rapat yang ia ikuti barusan. “Ada beberapa klien baru yang membuat masalah dengan kontrak. Sudah kuminta Grey untuk mengurusnya.”“Kau bisa mengandalkan Grey, Damian. Tenang saja,” ujar Herv meyakinkan cucunya.Damian mengangguk setuju. Ia kemudian bertanya, “Lalu, ada apa Kakek memanggilku?”Herv menatap
“Tuan besar, saya mendapat pesan dari sekretaris Tuan Lemuel.” Herv mengangkat kepala dengan pandangan mata melotot tajam ke arah Keenan—sang sekretaris, sementara tangannya menurunkan koran yang tengah ia baca pagi ini.“Sepagi ini?” keluh Herv kemudian melepas kacamatanya dan mengurut jembatan hidungnya. “Apa yang kakakku mau?”Keenan kembali membungkuk untuk memberi jawaban yang menurutnya pasti tidak enak didengar oleh sang majikan.“Sepertinya Nona Avantie sedang berada di Tinseltown, Tuan Besar. Mereka berencana berkunjung pagi ini,” ungkap Keenan cepat.Mulut Herv membuka bulat lalu menutup lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian mengurungkan niatnya.Keenan menambahkan, “Saya menilai, kemungkinan Tuan Lemuel masih tidak bisa menerima kehadiran Nona Shanon.”Selain sekretaris, Keenan juga sangat ahli dalam membaca situasi. Ia sudah dipercaya Herv untuk menyimpan semua rahasia keluarga Vadis.“Kurasa juga demikian, Keenan,” imbuh Herv sambil menghela nafas lelah.Na
“Sa—saya—”“Ah! Avantie, Nak. Kau sudah bertemu dengan Shanon. Dia adalah cucu kakek.” Herv buru-buru menengahi.Herv memperkenalkan keduanya, “Shanon, dia adalah Avantie, tunangan Damian.”Dahi Avantie pun berkerut tak mengerti. Ia pikir ia salah dengar dengan kata-kata Herv.“Hah?! Cucu?! Bukannya cucu kakek hanya Damian?” tanyanya.Herv hanya terkekeh santai sambil merangkul Shanon supaya gadis itu tidak merasa terintimidasi dengan kehadiran Avantie. Pria tua itu malah meminta Shanon untuk memperkenalkan dirinya. “Saya Shanon Moore—”“Vadis.” Herv menambahkan nama keluarga di belakang nama lengkap Shanon dengan wajah sumringah.Ia ingin meyakinkan Shanon bahwa nama Vadis layak ia sematkan.Shanon pun mengangguk, kemudian melanjutkan perkenalan dirinya. “Saya cucu dari kakek Herv sejak 4 hari yang lalu.”Netra Avantie pun membulat tak percaya.‘Cucu angkat?!’ pekik Avantie yang dengan cepat merangkum apa yang sedang terjadi di hadapannya.Namun, Avantie mengingat ucapan sang ayah.
“Tidak,” jawab Shanon buru-buru, sementara kepalanya menggeleng berkali-kali. Lagi, wanita muda yang masih tak percaya kalau Damian menawarkan diri untuk mengajarinya itu menegaskan, “Tidak hanya untuk balas dendam, Tuan.”Damian mengerutkan dahinya. Ia masih terganggu dengan Shanon yang menyebut dirinya ‘tuan’.‘Padahal sudah jelas sekarang kami satu keluarga,’ protes Damian dalam hati. Sementara Shanon semakin gugup karena ia pikir Damian tidak puas dengan jawabannya, sampai-sampai lawan bicaranya itu mengerutkan dahi. ‘Apa dia lebih suka kalau kujawab memang untuk balas dendam semata?' batin Shanon yang menyesali diri. Sikap canggung Shanon pun membuat Damian salah paham. Pria itu akhirnya berdiri dan berkata dengan nada dingin, “Akan kuminta seseorang mengajarimu. Sepertinya kau tidak suka kalau kuajari.” Netra Shanon membulat, kaget dengan ucapan Damian. Tanpa sadar gadis itu sudah mencengkram ujung jas Damian, menghentikan pria itu pergi.“Tidak. Aku sangat senang kalau Tu
“Jangan bicara sembarangan, Avantie!” seru Damian yang tidak rela label palsu itu bisa saja didengar Shanon. “Shanon akan segera menjadi istriku.” “Aku tidak sembarangan. Ada video—” “Shanon di jebak, Avantie,” potong Herv cepat, tak ingin lagi membahas masa lalu Shanon yang ia yakin tidak baik kalau sampai Shanon mendengarnya lagi. Lagi, Herv menambahkan, “Pelakunya sudah menyatakan permohonan maaf mereka dan sudah mengakui semua kesalahan. Yang sudah terjadi tidak bisa diubah, tapi Shanon sudah membersihkan namanya.” Damian turut mengangguk, membenarkan ucapan sang kakek. Mendengar kenyataan terbaru itu, Avantie tak bisa lagi berkata-kata. Ia tidak menyiapkan diri untuk hal ini. Tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk mempertahankan Damian. “Tapi aku lebih mencintaimu, Damian,” rintihnya sementara air mata mulai mengenang dan tak sedikit yang berjatuhan di atas pangkuan gadis malang itu. Herv menatap Damian, memberinya isyarat agar cucu laki-lakinya itu mengatakan s
“Lihat, Pa! Perempuan ini pasti menggoda Damian!” pekik Avantie sambil menunjukkan foto Shanon dan Damian masuk ke dalam mobil yang sama. Bahkan si pengintai yang dibayar Avantie juga melaporkan kalau mereka pergi ke butik gaun pernikahan setelah selesai dari pemakaman.Lemuel mendengarkan rengekan Avantie sambil memijat pelipisnya, tidak tahu harus bertindak bagaimana untuk memenangkan hati Damian yang baru disadari tidak pernah punya perasaan pada putrinya. Katanya, “Papa tidak bisa sembarang bergerak, Vantie, Nak. Jangan sampai kita membuat Herv marah dan kau malah kehilangan segalanya, Avantie.” Netra Avantie menyalak marah. “Apa maksud Papa? Damian adalah segalanya buatku! Kalau aku tidak bisa memilikinya, apa lagi yang Papa maksud dengan ‘segalanya’?!”Desahan berat terdengar keluar dari sela bibir Lemuel. Ia tahu kalau Avantie tidak pernah tahu tujuan lain ia bersikeras menjodohkannya dengan Damian adalah demi mendapatkan keyakinan bahwa seumur hidup, Avantie tidak akan kehi
‘Apa benar aku akan menikahi pria sempurna ini?’ Shanon diam-diam melirik ke sisi kanannya, di mana Damian duduk. Pria itu tidak melepaskan rangkulan di bahu Shanon, membuat gadis itu sedikit canggung dibuatnya.Ia jadi ingat bagaimana dulu teman-temannya paling berisik kalau Damian muncul dalam wawancara berita di televisi. SHanon tak sengaja terkekeh membuat Damian mengangkat salah satu alisnya. “Senang-senang sendirian, hm?” ledek Damian. Shanon menggelengkan kepalanya sementara tangannya menutupi bibir yang berusaha sekuat tenaga menahan tawa.“Apa ada yang aneh dengan penampilanku? Aku akan bertemu dengan Almarhum orang tuamu. Aku harus tampil baik, Shan.” Damian mencoba mengorek alasan di balik wajah bahagia Shanon barusan. Lagi, Shanon menggeleng dulu sebelum menjawab, “Tidak. Kau sempurna. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan soal penampilanmu, Damian.”‘Sudah mau datang ke makam mereka saja, aku sudah bersyukur. Pria berstatus tinggi sepertinya mendatangi makam orang tuak
51“Kak Damian, jangan bercanda,” kekeh Shanon dengan canggung. Ia tak tahu harus menatap ke mana, karena matanya terus saja kembali pada benda bulat melingkar yang duduk manis di dalam kotak itu. Lagi katanya, “Kau bukannya akan menikah dengan Avantie? Dan lagi, aku—”“Aku tidak pernah mengakui pertunanganku, apalagi menikahinya,” potong Damian dengan tenang. Rahang Shanon seperti lepas dari engselnya, ia tidak menyangka kalau selama ini semua kesedihan atas kenyataan rencana pernikahan Damian dan Avantie sia-sia belaka. Padahal pria itu sama sekali tidak menganggap hal tersebut ada.Damian menambahkan, “Aku menunggu sampai kau selesai dengan urusanmu, untuk menikahimu. Jadi, berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kakak’. Aku bisa menjadi suamimu.”Belum sempat membalas ucapan Damian, sebuah tawa menggelegar terdengar memasuki ruangannya. “Kalian ini, jangan lupa menutup pintu. Ha! Ha! Ha!” Herv masih saja tergelak, terlebih melihat wajah Shanon yang memerah karena sadar kalau keja
50“Me—menagih hutang?!” tanya Shanon dengan wajah panik. Terperangah dengan ucapan Damian.Ia memang harus mengembalikan uang yang dipinjamkan Damian saat membangun Steenkool. Hanya saja selama ini Damian tidak pernah menagih, karena setiap bulan Shanon pasti menyicilnya. “Apa Kakak butuh uangnya segera? Aku tahu aku harus mengembalikan uang modal pertama Steenkool—”Damian menggelengkan kepala, membuat Shanon berhenti bicara. Dengan wajah serius ia menjelaskan, “No. Aku menagih hutang rumah sakitmu.”Rahang Shanon seolah jatuh mendengar ucapan Damian. Satu-satunya kejadian ia harus di rawat di rumah sakit dan menggunakan uang Damian adalah saat pertama kali mereka bertemu. “Apa itu hutang, Mama?” tanya Alden yang berada di pangkuan Shanon. “Uhm … Mama pernah pakai uang Uncle Damian untuk berobat dan harus dikembalikan.” Shanon mencoba menjelaskan pada putranya sesederhana mungkin. Dalam hati, Shanon menganalisa permintaan Damian itu. ‘Tapi apa dia bakal nagih hutang 10 tahun la
“Saya menolak!” raung Pamella yang tidak mungkin membiarkan kondisi suaminya terpampang di media.Tidak mungkin ia membiarkan teman-teman sosialitanya mengetahui kondisi mengerikan seperti ini.Spontan Shanon tergelak mendengar penolakan Pamella. “Anda sadar siapa saya, tapi tidak satupun saya dengar permintaan maaf dari Anda. Begitu angkuhnya?” tegur Shanon. Pamella tertegun. Ia tidak tahu bagaimana membalas ucapan Shanon itu.Dan karena Pamella belum berkomentar atau menunjukkan tanda kalau ia menyerah dan meminta maaf pada Shanon, owner dari Steenkool itu menambahkan, “Saya hanya butuh waktu sebentar untuk menghancurkan kalian berdua. Kalau semua tahu Anda yang mandul, apakah ada lagi gunanya Anda untuk keluarga Simons?” Seperti ada yang menumpahkan es di atas tengkuk dan punggungnya, Pamella merasakan sekujur tubuhnya mulai mendingin. Panik. Pura-pura tenang, Pamella menghardik Shanon, “Apa maksud Anda?!”“Kalau Anda menundukkan kepala sampai ke lantai, saya berpikir untuk men
“Lantas, apa yang Anda mau dari saya sekarang, Nona Shanon? Saya tidak memiliki apa-apa lagi jika saya lepas dari keluarga istri saya.”Netra Shanon menyipit mendengar omong kosong Julian. Ia bertanya dengan santai walau sebenarnya ia tidak mengerti kalimat Julian, “Apa maksudnya dengan lepas dari keluarga istri?”Dengan percaya dirinya Julian menjelaskan, “Jika Anda bermaksud untuk meminta pertanggungjawaban saya setelah apa yang saya perbu—”“Cukup!” sentak Shanon memotong ucapan Julian. Lagi ia mengeluhkan kedangkalan pikiran pria itu, “Itu pemikiran yang sangat menjijikkan, Tuan Julian. Saya tidak percaya Anda bisa berpikir ke arah sana.”Baru saja Julian membelah mulutnya, Shanon buru-buru menyelak, “Kalau Anda tanya apa yang saya mau, itu adalah kehancuran hidup Anda.”Shanon mengambil sebuah benda yang biasa dipakai oleh para pencukur rambut pria dan menunjukkannya pada Julian.“Mata ganti mata. Gigi ganti gigi.” Seringai kebencian di wajah Shanon semakin terlihat. Sementara i
“Tuan Julian, bagaimana Anda bisa melakukan semua ini? Pada owner perusahaan pula!” tuduh salah satu direktur wanita yang ia kenal bernama Salome—direktur bidang personalia.Julian tercengang mengetahui bahwa wanita yang sekarang sedang duduk di kursi CEO itu adalah sang pemilik Steenkool. Wanita yang ia ketahui bernama Shanon. Hanya saja, ia tidak paham dengan konteks pembicaraan Salome barusan. Hal itu membuatnya merasa sembarangan dituduh. Namun, ia menyadari posisinya sebagai orang baru dan bertanya, “Apa maksud Anda? Melakukan apa? Saya? Soal apa ini?”Menjawab pertanyaan itu, Shanon melemparkan sesuatu ke lantai, dekat kaki Julian. Spontan Julian menunduk dan menatap apa yang dilempar kepadanya tadi.Netra Julian langsung membelalak melihat foto-foto yang memuat dirinya di dalam sana. Bukan sekedar foto biasa, ia bahkan bisa menyadari kalau ia sedang memaksakan dirinya, menyetubuhi seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Shanon. Ia mengenali dari bentuk rambutnya yang
“Apa istri Anda tak masalah, Anda malah bekerja di perusahaan lain?” Shanon mencoba mengorek kondisi rumah tangga Julian yang sebenarnya.Dan benar saja, begitu ia membicarakan sang istri, Julian terlihat murung. Mungkin juga karena mabuk, akal sehatnya mulai tak bisa membaca situasi.Wajah sedihnya mulai diikuti dengan mulut yang terpisah, menyuarakan isi hati. “Mereka melimpahkan semua kesalahan pada saya. Ada atau tidak ada saya di keluarga itu, sudah tidak jadi soal, Nona Steenkool,” kata Julian penuh kegetiran.Shanon yang memang sengaja menggunakan nama yang sama dengan perusahaannya itu tersenyum tipis mendengarkan Julian yang terus mengoceh soal istri dan mertuanya.Sedikit banyak ia bisa mengkonfirmasi kebenaran dari semua data yang sudah ia kumpulkan sebelumnya. Lagi, Julian berkata, “Soal tidak punya anak, saya juga yang dilabeli dengan kata ‘mandul’, tapi mereka tidak mau melakukan tes.”Netra Shanon membulat kaget sepersekian detik sebelum menampilkan senyumannya lagi.