"Maaf, Nona. Anda tidak bisa menolak.”
Damian yang tadinya sudah hampir melangkah keluar dari hotel itu, kembali berbalik karena tidak merasa anak buahnya mengikuti di belakang.Barulah pria berwajah tampan seperti Lee Min Oh itu sadar, kalau Shanon seperti sedang membuat keributan dengan para bodyguardnya.‘Astaga! Dilihat bagaimanapun, dia memang pembuat onar. Waktu itu tirai ranjang rumah sakit dan sekarang dia membuat keributan,’ keluh Damian sambil berbalik dan mendekati mereka lagi.Sudah cukup kekesalan Damian karena tiba-tiba mendapat mandat dari sang kakek, bahwa ia harus menjemput seorang perempuan di hotel ini.Pria itu semakin kesal ketika mengetahui kalau wanita yang harus dijemputnya adalah wanita yang sama, yang sudah merusak harinya dengan pingsan di halte bus.“Kalau tidak bisa cara halus, kalian boleh langsung mengangkatnya. Jangan membuang waktuku, Lucas!” tukas Damian pada salah satu bodyguard berponi lempar.‘Mengangkatku?!’“Apa?! Apa maksud—hey! Turunkan aku!” pekik Shanon yang sudah berada di atas lengan kekar Lucas.Para bodyguard itu tidak bisa, tidak menaati perintah Damian. Yang terpenting, mereka sudah diberitahu kondisi Shanon yang sedang hamil, makanya gadis itu dibopong dengan hati-hati.Shanon pun akhirnya berhasil dimasukkan ke dalam mobil. Dari dalam mobil gadis itu bisa melihat Damian membungkuk hormat pada Metty—HRD yang mempekerjakannya 3 hari lalu.“Maaf membuat keributan, Nona Metty. Silakan ajukan keluhan pada kakek. Beliau yang meminta wanita ini untuk kami bawa,” ujar Damian sambil membungkuk singkat.Metty pun hanya terkekeh-kekeh genit sambil berkata, “Tidak, tidak! Tidak apa-apa. Kalau Tuan Vadis memang menginginkan Shanon, saya tentu tidak punya kuasa menahannya.”Damian melemparkan senyum bisnis sebelum akhirnya ia pamit dan masuk ke mobil.Shanon sudah akan membuka mulut untuk bertanya apa yang diinginkan Damian dari dirinya, tapi langsung mengurungkan niat itu ketika merasakan aura yang menekan dari kehadiran pria tertampan di seluruh New York itu, duduk di samping Shanon.‘Ya sudahlah. Aku hanya bisa menuruti orang-orang kaya ini,’ batin Shanon sambil menutup matanya.Ia benar-benar tidak habis pikir, apa yang membuatnya harus mengikuti seorang Damian Vadis. Namun, ia tahu, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk melawan mereka saat ini.‘Semua orang kaya sama saja kah? Menggunakan kekuasaan sewenang-wenang? Merasa bisa menekan orang lain?’ keluh Shanon tanpa suara.Sepanjang perjalanan, Damian tidak berujar sepatah kata pun pada Shanon. Kekesalan jelas nampak di wajah pria berusia sekitar 35 tahun tersebut.Hingga tiba di depan sebuah kediaman yang tidak Shanon kenali, Damian hanya turun begitu saja dan menyerahkan Shanon diurus oleh anak buahnya.“Kalau boleh tahu, aku ada di mana?” tanya Shanon pada salah satu bodyguard Damian yang menemani di sampingnya.Bodyguard yang ditanya pun terdiam sesaat—menimbang boleh atau tidaknya ia menjawab pertanyaan itu. Namun, karena setahu mereka ini adalah undangan bertemu dengan sang tetua Vadis, jelas bukan hal yang perlu ditutupi.“Anda berada di kediaman keluarga Vadis, Nona Shanon. Silakan lewat sini,” jawab bodyguard tersebut sambil membuka jalan menuju ke pintu utama rumah mewah tersebut.Shanon menganggukkan kepalanya seraya menelan ludah. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya setelah ini, tapi sudah tidak mungkin baginya untuk kabur dari mereka.‘Ugh! Apa sih yang mereka mau dariku?!’ batin Shanon bertanya-tanya.TIba di depan pintu, seorang pria tua berbalut kemeja putih dan vest hitam membungkuk menyambutnya, “Selamat datang, Nona Shanon Moore. Silakan ikut saya.”Shanon mengangguk dan segera mengekor pria tersebut sementara para bodyguard berhenti di depan pintu, seolah menyerahkan sang tamu pada si pria tua.“Uhm … bagaimana saya memanggil Anda, Pak?” tanya Shanon yang sudah gatal ingin bertanya apa tujuan membawa dirinya ke tempat ini.Pria tua itu tersenyum ramah sambil menjawab, “Silakan panggil saya Brown, Nona. Saya kepala pelayan di rumah ini.”Shanon mengangguk.Pria tua yang memperkenalkan diri sebagai kepala pelayan itu menangkap raut panik di wajah Shanon.Dengan suara menenangkan, Brown berkata, “Nona adalah tamu kehormatan keluarga Vadis, mohon jangan terlalu tegang. Tuan Herv bukanlah pria jahat.”Mendengar nama itu disebut, Shanon pun membelalakkan matanya. ‘Jadi yang punya urusan denganku adalah Herv—tunggu dulu! Herv?! Vadis?!’“Herv Vadis?! Maksud Anda, Herv Vadis sang founder Herv Co?!” pekiknya dengan sangat terkejut.Baru saja Brown membuka mulutnya untuk menjawab, suara tawa ramah memenuhi ruangan yang kemungkinan adalah ruang keluarga.“Ha! Ha! Ha! Kau sangat tahu mengenai perusahaan Herv, Nona. Saya sangat tersanjung!” pekiknya dengan ceria.Seorang pria tua dengan pakaian sederhana—kaos berkerah dan celana bahan panjang, terlihat berjalan santai mendekati mereka.Melihat siapa yang memasuki ruangan, Brown pun langsung membungkuk dan menyapa, “Tuan Herv. Nona Shanon datang dengan selamat. Saya akan menyiapkan camilan.”Netra Shanon semakin membulat, menyadari bahwa pria tua bertongkat satu yang kini tersenyum bahagia di hadapannya adalah Herv Vadis—founder perusahaan tambang batu bara terbesar di New York.“Tu—tuan Herv Vadis?” sapa Shanon dengan ragu.Pria tua itu tersenyum lebar, seperti menyambut seorang yang sangat berharga baginya.“Selamat datang. Akhirnya kita berkenalan, Shanon Moore,” ujar Herv dengan nada bangga yang tak ditutupi.Kulit tipis di dahi Shanon pun berkumpul membentuk kerutan heran, sementara Herv sudah berbalik menuju sofa ruang keluarga.‘Dia bicara seolah kami pernah bertemu, namun belum sempat berkenalan.’ Shanon berujar dalam hati.Pikirannya mencoba mengingat-ingat, kalau memang mereka pernah bertemu. Sayang, tidak ada ingatan sesuai dengan keadaan sekarang.Shanon mengikuti gerakan Herv menuju sofa sambil memberanikan diri untuk bertanya, “Apa saya pernah bertemu Anda, Tuan Herv?”Alih-alih menjawab pertanyaan sederhana itu, Herv menunjuk ke arah sofa di seberang meja yang berhadapan dengannya, sambil memberi izin, “Duduklah dulu, Nak.”Herv belum ingin bicara, karena ia mendengar suara ramai dari arah ruang tamu. “Ah … sepertinya sudah sampai.” Herv bergumam sendiri.Ia kemudian membalikkan tubuh atasnya untuk mencari kepala pelayan yang tengah menuang teh di belakang mereka. “Brown, tolong minta mereka bawa semua ke sini.”“Baik, Tuan.” Bergegas, Brown menunda penyajian teh dan camilan itu, untuk mengurus hal yang diperintahkan barusan.Tak lama kemudian, Shanon bisa melihat beberapa bodyguard masuk membawa beberapa kardus besar yang tidak ia tahu untuk apa.Sementara ekor matanya menangkap apa saja yang dibawa para bodyguard itu, Shanon berujar, ‘Sepertinya bukan urusank—eh?! Itu koperku!’“Itu koper saya!” seru Shanon spontan, dengan nada panik.“Ah … tenang, Shanon. Maafkan saya, kalau tanpa persetujuan, saya mengemasi barang-barangmu,” ujar Herv dengan rasa bersalah.Tak tahu harus menyikapi bagaimana hal ini, Shanon hanya bisa bertanya, “Tapi kenapa Tuan?”Herv menatap netra Shanon dalam-dalam. “Aku tahu kau mendapat masalah dengan Julian. Dan kali ini aku tidak ingin diam saja, saat aku sudah bisa menolongmu, Shanon.”Semakin terkejut dengan semua yang dikatakan Herv, sedikitpun Shanon tidak bisa berpikir apa yang harus ia katakan.Semua ini terasa aneh baginya. Sejak ia selesai kuliah kemudian bekerja, tidak satu kali pun, mereka bersinggungan.Hatinya berkecamuk. ‘Tapi kenapa dia sampai tahu masalahku—aku tahu videonya viral, tapi orang selevel Tuan Herv, apa memperhatikan kehidupan orang biasa sepertiku? Aku tidak habis pik—astaga! Apa mungkin?!’“Apa anda memata-matai saya?” tanya Shanon dengan gamblang. Tatapannya mulai tidak setuju dengan apa yang sedang terjadi di hadapannya.Lagi, Herv menatapnya dalam-dalam.Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Shanon, pria tua itu malah meminta jawaban.“Apa kau mau mendengarkan sedikit cerita lamaku, Shanon?”“Cerita lama?” tanya Shanon lagi dengan dahi berkerut.Herv mengangguk.Sejujurnya, gadis itu ingin menolak. Menurutnya, ini bukan saat yang tepat untuk mendengarkan cerita.Shanon butuh penjelasan, kenapa dia harus ikut ke rumah seorang kaya seperti keluarga Vadis dan kenapa semua barang-barangnya ada di sana.Tak mungkin menolak, Shanon pun akhirnya setuju untuk mendengarkan. Ia memilih untuk menenangkan diri sejenak dan mengesampingkan rasa penasaran mengenai alasannya berada di kediaman megah itu.Melihat Shanon siap mendengarkan, Herv membuka sebuah buku berlapis kulit yang sudah sejak tadi ada di atas meja.Pria tua itu lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalam selipan buku dan menyerahkan pada Shanon.Kening Sharon kembali berkerut heran. Pertanyaan pun muncul dalam hatinya.'Apa itu? Kenapa diberikan padaku?'"Kuharap kau tidak lupa dengan coretanmu sendiri," kekeh Herv lembut. Pria tua itu cukup terhibur melihat raut keheranan di wajah sang tamu.Penasaran dengan ucapan He
“Kau yakin dengan keputusanmu, Shan? Tidak ada pembatalan setelah kau memutuskan.” Herv mencoba membuat Shanon mempertimbangkan ulang keputusannya. Pria tua itu tidak mau kalau di tengah jalan, Shanon menyerah dan memilih pergi dari kediamannya.Shanon terdiam sesaat sebelum ia mengangguk. Ia kembali menyuarakan pilihannya, “Saya menerima tawaran Anda, Tuan Herv."Raut lega tergambar di wajah Herv.Kemudian Shanon menambahkan, "Apa yang bisa saya kerjakan? Saya tidak mau hanya menerima kebaikan Anda.” Walau Herv memberi judul ‘balas budi’, tetap saja bagi Shanon semua kebaikan pria tua itu jauh lebih besar ketimbang apa yang sudah pernah gadis itu berikan.Herv menatap Shanon lagi dalam-dalam. Ada rasa syukur terucap dalam hati si pemilik perusahaan Herv Co tersebut. ‘Shanon masih tetap murni, seperti dulu. Aku sangat bersyukur berhutang nyawa padanya,'’ ungkap pria tua itu dalam hati.Dengan senyum mengembang di wajahnya, Herv berkata, “Kalau begitu, mulai bulan depan kau akan ti
"A—apa?!" pekik Shanon terkejut. "Ti—tidak, Tu—ah, maksud saya, tidak Kakek. Saya tidak berniat menjalin hubungan romansa dengan Tuan—ahm, Kak Damian."Shanon tergagap langsung disodori pertanyaan demikian. Gadis muda itu tertunduk malu, karena sudah berlaku canggung seperti tadi. Bahkan memanggil Herv dengan sebutan baru pun masih salah.Mendengar jawaban Shanon, Herv pun kembali meyakinkan sang kakak. “Nah, Kak, kau dengar sendiri. Shanon tidak berpikir macam-macam dengan Damian.”Lemuel menyandarkan punggung yang sejak tadi menegang itu, kemudian menghela napas seolah lega. "Aku percaya untuk saat ini, Herv. Dan kuharap kau bisa memegang janjimu, Nona.""Ya, Kakek Lemuel."Gadis itu bisa mendengar suara Lemuel dan tawa renyah Herv setelah mencandainya dengan pertanyaan tadi.Namun, jauh di lubuk hatinya, Shanon merasa sedikit kecewa mengetahui Damian sudah bertunangan dengan seseorang.‘Well, aku tidak bermaksud mendekati Damian juga sih. Aku harus fokus untuk mencapai tujuanku,’
“Kau memanggilku, Kakek?” Nada lelah terdengar jelas dari kalimat yang dilontarkan Damian saat ia masuk dan bertatapan dengan Herv. Shanon yang baru detik itu memandang wajah Damian lagi, terlihat terpesona. Walau mereka tinggal satu rumah, Damian tidak sering terlihat berkeliaran. ‘Apa dia selalu menghadiri rapat ya?’ tanya Shanon dalam hati. Sementara itu Herv tersenyum simpul melihat wajah kusut Damian. “Ya, Damian. Rapatmu banyak masalah?” tanya Herv menggoda pria muda yang sudah 8 tahun lebih memegang kuasa penuh atas Herv Co.Damian mengangguk sembari melempar tubuhnya di atas sofa satu orang, kemudian memijat-mijat keningnya. Sedikit, Damian mencoba menjelaskan kondisi rapat yang ia ikuti barusan. “Ada beberapa klien baru yang membuat masalah dengan kontrak. Sudah kuminta Grey untuk mengurusnya.”“Kau bisa mengandalkan Grey, Damian. Tenang saja,” ujar Herv meyakinkan cucunya.Damian mengangguk setuju. Ia kemudian bertanya, “Lalu, ada apa Kakek memanggilku?”Herv menatap
“Tuan besar, saya mendapat pesan dari sekretaris Tuan Lemuel.” Herv mengangkat kepala dengan pandangan mata melotot tajam ke arah Keenan—sang sekretaris, sementara tangannya menurunkan koran yang tengah ia baca pagi ini.“Sepagi ini?” keluh Herv kemudian melepas kacamatanya dan mengurut jembatan hidungnya. “Apa yang kakakku mau?”Keenan kembali membungkuk untuk memberi jawaban yang menurutnya pasti tidak enak didengar oleh sang majikan.“Sepertinya Nona Avantie sedang berada di Tinseltown, Tuan Besar. Mereka berencana berkunjung pagi ini,” ungkap Keenan cepat.Mulut Herv membuka bulat lalu menutup lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian mengurungkan niatnya.Keenan menambahkan, “Saya menilai, kemungkinan Tuan Lemuel masih tidak bisa menerima kehadiran Nona Shanon.”Selain sekretaris, Keenan juga sangat ahli dalam membaca situasi. Ia sudah dipercaya Herv untuk menyimpan semua rahasia keluarga Vadis.“Kurasa juga demikian, Keenan,” imbuh Herv sambil menghela nafas lelah.Na
“Sa—saya—”“Ah! Avantie, Nak. Kau sudah bertemu dengan Shanon. Dia adalah cucu kakek.” Herv buru-buru menengahi.Herv memperkenalkan keduanya, “Shanon, dia adalah Avantie, tunangan Damian.”Dahi Avantie pun berkerut tak mengerti. Ia pikir ia salah dengar dengan kata-kata Herv.“Hah?! Cucu?! Bukannya cucu kakek hanya Damian?” tanyanya.Herv hanya terkekeh santai sambil merangkul Shanon supaya gadis itu tidak merasa terintimidasi dengan kehadiran Avantie. Pria tua itu malah meminta Shanon untuk memperkenalkan dirinya. “Saya Shanon Moore—”“Vadis.” Herv menambahkan nama keluarga di belakang nama lengkap Shanon dengan wajah sumringah.Ia ingin meyakinkan Shanon bahwa nama Vadis layak ia sematkan.Shanon pun mengangguk, kemudian melanjutkan perkenalan dirinya. “Saya cucu dari kakek Herv sejak 4 hari yang lalu.”Netra Avantie pun membulat tak percaya.‘Cucu angkat?!’ pekik Avantie yang dengan cepat merangkum apa yang sedang terjadi di hadapannya.Namun, Avantie mengingat ucapan sang ayah.
“Tidak,” jawab Shanon buru-buru, sementara kepalanya menggeleng berkali-kali. Lagi, wanita muda yang masih tak percaya kalau Damian menawarkan diri untuk mengajarinya itu menegaskan, “Tidak hanya untuk balas dendam, Tuan.”Damian mengerutkan dahinya. Ia masih terganggu dengan Shanon yang menyebut dirinya ‘tuan’.‘Padahal sudah jelas sekarang kami satu keluarga,’ protes Damian dalam hati. Sementara Shanon semakin gugup karena ia pikir Damian tidak puas dengan jawabannya, sampai-sampai lawan bicaranya itu mengerutkan dahi. ‘Apa dia lebih suka kalau kujawab memang untuk balas dendam semata?' batin Shanon yang menyesali diri. Sikap canggung Shanon pun membuat Damian salah paham. Pria itu akhirnya berdiri dan berkata dengan nada dingin, “Akan kuminta seseorang mengajarimu. Sepertinya kau tidak suka kalau kuajari.” Netra Shanon membulat, kaget dengan ucapan Damian. Tanpa sadar gadis itu sudah mencengkram ujung jas Damian, menghentikan pria itu pergi.“Tidak. Aku sangat senang kalau Tu
“Mempercepat pernikahan? Kurasa kakak sudah gila!” keluh Herv sambil memijat kepalanya. Ia benar-benar tidak tahu kenapa sang kakak sangat ingin menikahkan putrinya dengan Damian.Herv kemudian mulai berdiskusi dengan Dafam. Sekretaris utamanya itu sangat ahli membaca seseorang sesulit Damian.“Dari respon Damian saja, aku tidak yakin ia akan setuju dengan rencana ini. Bagaimana menurut pandanganmu, Dafam?”Dafam terdiam sesaat sebelum berkata, “Sebelumnya, maafkan saya, Tuan Besar. Saya sempat membahas ini dengan Chris, sekretaris Tuan muda.”“Eh? Kalian membicarakan majikan kalian?” kekeh Herv menggoda Dafam yang selalu serius itu. Karena sifatnya yang kaku, Dafam pun langsung takut. “Tidak berani, Tuan besar. Hanya saja saat itu saya pikir ada baiknya Tuan muda memberi hadiah ulang tahun untuk Nona Avantie.”Dahi Herv berkerut. Kali ini dia cukup bersemangat mendengarkan cerita tentang cucunya itu. “Lalu, apa dia mau membelikannya?”Dafam pun menggeleng, “Tidak, Tuan besar. Tuan