“Shanon, tolong dibagikan buat kalian ya.”
Seorang pria asia bermata sipit menyerahkan sebuah kotak dengan tulisan ‘Tokiyo Banana’ pada Shanon.
Beliau adalah CFO di perusahaan baru di mana Shanon bekerja.
“Baik, Mr. Fumiyaki. Terima kasih banyak.” Shanon sedikit memekik ketika menerima kotak camilan kesukaannya itu.
Di hari pertama Shanon bekerja, atasannya itu langsung memberinya satu kotak penuh untuk ia nikmati sendiri.
Sejak hari itu, sudah hampir satu bulan Shanon bekerja sebagai sekretaris CFO, bersama dengan senior sekretaris bernama Diana Brown, di sebuah perusahaan kabel bernama Wiener Corp.
“Senior, kau sudah selesai rapat?” tanya Shanon saat tengah membagikan camilan yang baru diterimanya itu.
Diana—wanita paruh baya yang dipanggil ‘senior’ tadi, mengangguk sambil menempati kursi kerjanya. Wajahnya terlihat cukup lelah setelah mengikuti rapat dengan CEO.
“Ah ... kue kesukaanmu, hm?” kekehnya sambil membuka bungkus camilan.
Shanon pun mengangguk bahagia. Ia baru saja akan menggigit camilan lembut tersebut ketika tiba-tiba perutnya terasa mual.
Dengan cepat Shanon berlari ke dalam kamar mandi dan mulai terdengar seperti sedang memuntahkan sesuatu.
Mendengar kondisi Shanon yang sepertinya kurang baik, Diana dan beberapa rekan sekretaris di sana pun mulai panik.
Hampir setengah jam Shanon di dalam kamar mandi. Ketika gadis itu keluar dari sana, mereka semua terkejut melihat wajah Shanon yang semakin pucat.
“Shanon! Kau sangat pucat?!” pekik Diana, panik. Diikuti oleh anggukan semua rekan kerjanya.
Shanon pun menggeleng, tak paham dengan kondisi tubuhnya yang tiba-tiba saja tak enak. Ia mencoba menebak-nebak, “Sepertinya aku masuk angin, Senior. Aku akan minum teh hangat saja—“
“Tidak, Shanon. Kau harus periksa ke dokter!” perintah Diana.
Sekretaris senior itu kemudian beralih pandang pada seorang gadis muda dan memberi perintah, “Charlotte, segera minta supir untuk bersiap di lobi. Kamu antar Shanon ke rumah sakit!”
Namun Shanon bersikeras untuk tidak pergi ke rumah sakit. “Minum teh hangat saja pasti sembuh, Senior.”
Diana menggeleng kuat-kuat. “Kau ingat peraturan perusahaan? Kesehatan nomor satu. Jangan sampai terlambat mengobati atau malah mungkin kau bisa menularkan penyakit pada yang lain. Pergi ke rumah sakit bukan hanya untuk dirimu, tetapi untuk sekitarmu, Shanon.”
Shanon tertegun. Ia lupa kalau perusahaan ini—walau skalanya masih lebih kecil dari Regal Corp, tapi mereka sangat detail dalam hak dan kewajiban karyawan.
Akhirnya Shanon mengangguk. “Baiklah, Senior. Saya akan ke rumah sakit.”
Mereka segera membantu Shanon sampai masuk ke dalam mobil dinas.
“Charlotte, tolong temani Shanon ya.”
Gadis muda yang dipanggil dengan nama Charlotte itu pun mengangguk mantap. “Siap, Mrs.Nana. Tenang saja.”
30 menit perjalanan lamanya sampai mobil dinas yang ditumpangi Shanon berhenti di depan pintu UGD sebuah rumah sakit.
Staf rumah sakit pun segera membantu Shanon turun dari mobil, sampai membaringkannya di atas ranjang pasien.
Tak lama kemudian dokter jaga UGD datang memeriksanya.
Dan betapa terkejutnya Shanon ketika dokter tersebut malah tersenyum dan berkata dengan riang—hampir memekik, “Oh! Selamat, Nona. Anda akan menjadi ibu!”
“Hah?!”
Shanon dan Charlotte bersamaan mempertanyakan ucapan sang dokter. Charlotte malah menambahkan, “Apa Dokter tidak salah diagnosa? Teman saya ini masih belum berkeluarga.”
“Oh ... begitu ya? Sebaiknya kita lakukan tes cairan urin Anda, untuk lebih pasti.” Dokter tersebut segera keluar dari bilik dan mencari suster untuk membantunya mengerjakan tes tersebut.
Shanon terlihat menggantung kepalanya, seolah tak berani menatap Charlotte. Ia sangat terkejut mendapat berita itu. Seolah ada petir yang menghantam dirinya, Shanon membeku duduk di atas ranjang UGD.
Melihat kondisi Shanon yang rapuh seperti itu membuat Charlotte langsung bergerak memeluk rekan sekretarisnya tersebut.
“Sha. Tak apa. Tak apa. Kau ingin mengatakan apa, bilang saja, oke? Aku takkan menghakimi. Kalau kau butuh teman bicara, ada aku.”
Mendengar ucapan Charlotte, Shanon pun tak lagi bisa menahan air mata yang sudah ia lupakan dalam satu bulan ini. Sambil terisak, ia memutuskan untuk bercerita pada rekan sejawatnya itu.
“Astaga, Sha ... aku tidak menyangka kalau kau adalah sekretaris dalam video yang sempat viral itu. Sekarang videonya sudah tidak ada. Sepertinya dihapus oleh perusahaan itu.” Charlotte kembali memeluk Shanon erat, menunjukkan dukungan untuk moril Shanon.
“Lalu bagaimana? Kau mau apa dengan bayi ini, Sha?” tanya Charlotte dengan wajah khawatir.
Shanon menggeleng. “Aku belum tahu, Char.”
***
Keesokan harinya. Di kantor Wiener Group.
Shanon memutuskan untuk jujur pada sang senior terlebih dahulu. Dan saat ini Diana tengah tertegun di dalam ruang rapat berukuran kecil.
Sekretaris senior itu baru saja mendapatkan pengakuan yang mengejutkan dari Shanon yang notabene baru bekerja selama 1 bulan bersamanya. Ia tak menyangka bahwa video viral yang sempat ia abaikan itu ternyata berhubungan dengan sang junior.
Setelah diam cukup lama, Diana pun akhirnya membuka suara.
“Shan, apa benar CEO itu yang memaksamu? Karena dari video yang pernah kusaksikan, kau dituduh—“
“Tuduhan itu tidak benar, Senior!” seru Shanon tergesa, dengan suara tertahan. “Hari itu seharusnya hari kebahagiaanku. Aku mendapat pekerjaan sebagai sekretaris CEO dengan gaji setara senior.”
Diana terdiam mendengarkan penjelasan Shanon yang sebenarnya sulit dipercaya, karena hanya dari satu sumber.
Demikianpun, ia tetap mendengarkan dengan seksama.
“Kami mengadakan perayaan kecil dan Mr.Julian sangat mabuk. Supirnya sudah diminta pulang dan ponsel Mr.Julian dalam keadaan mati. Aku tidak bisa menemukan pengisi daya yang cocok dengan ponselnya. Dan karena tidak tahu di mana ia tinggal, aku membawanya ke apartemen dinas. Tapi Mr.Julian—“
Shanon tak bisa melanjutkan ceritanya. Mengingatnya lagi membuat air matanya kembali membasahi wajah.
Tanpa dijelaskan pun, Diana tahu apa yang terjadi setelahnya. Ia pun menghela napas panjang, sebelum berkata, “Shan, Kau tahu peraturan perusahaan bahwa sekretaris tidak boleh terikat pernikahan selama 3 tahun. Terlebih lagi punya anak. Dari ceritamu, aku percaya... ini bukan kesalahanmu, tapi—“
“Aku mohon, Senior. Tolong aku untuk tetap bekerja di sini. Setidaknya sampai usia kandunganku masuk bulan keenam,” pinta Shanon sambil berurai air mata.
Diana pun tak kuasa melihat kepedihan hati Shanon. Namun, kalau kondisinya seperti ini, bahkan Diana pun sadar, ia takkan bisa membantu Shanon mempertahankan pekerjaannya.
Sebagai seorang wanita, ia juga tidak mau mengusulkan untuk menggugurkan kandungan Shanon.
“Shanon, walau senior, tapi aku hanya seorang sekretaris. Peraturan perusahaan tidak bisa kuubah sembarangan,” ujar Diana pahit.
Ia tidak mau memberi harapan palsu pada sang junior. Karena sudah jelas peraturannya. Begitu seorang sekretaris menikah atau hamil, maka semua kontrak kerja dibatalkan. Terlebih lagi, ada penalti yang harus dibayar si pelanggar kontrak.
“Aku hanya bisa membantumu mendapatkan gaji pertamamu dan bonus yang seharusnya kau terima kalau sudah setahun bekerja. Aku juga akan membantu untuk meniadakan penalti. Jadi, tidak akan ada yang dipotong dari pendapatanmu. Bagaimana?” usul Diana setelah berpikir sesaat.
Shanon menutup matanya rapat-rapat, mencoba menahan air mata agar tidak lagi tumpah. Ia sadar tak bisa memaksa sang senior lebih jauh lagi.
Benar apa kata seniornya itu. Tidak mungkin mereka bisa mengubah peraturan perusahaan.
Bisa mendapatkan semua yang tadi disebutkan Diana saja, Shanon sudah sangat bersyukur. Ia bisa menerima gaji satu bulan ditambah bonus sebesar satu kali gaji.
Dengan keputusan Diana tersebut, Shanon akhirnya pamit pada atasannya langsung. Bersyukur, Mr.Fumiyaki mau mengerti kondisinya dan tidak menyalahkan gadis itu.
“Kau bisa pulang sendiri, Shanon?” tanya Diana yang khawatir melihat wajah Shanon kembali pucat.
Shanon mengangguk lemah. Ia kemudian membungkuk penuh hormat sambil berkata, “Senior, terima kasih banyak untuk bantuanmu selama ini. Maafkan aku sudah mengecewakanmu.”
Dipeluknya Diana erat. Ia sudah bahagia bisa dipertemukan dengan wanita itu, seolah mendapatkan seorang kakak perempuan. Walau pada akhirnya mereka harus berpisah.
Setelah puas berpamitan dengan rekan-rekan kerjanya, Shanon pun segera pergi dari area kantor Wienner Group tersebut.
Ia memutuskan untuk mengendarai taksi saja, karena ia butuh tempat sepi untuk meluapkan hatinya yang sesak.
Sekali lagi, hatinya menghitam mengingat siapa yang membuatnya kehilangan segala yang menjadi impian gadis itu.
Ckit!
Sebuah taksi kuning berhenti di hadapan Shanon. Tanpa berpikir lagi, ia pun segera mengulurkan tangannya untuk menarik gagang pintu mobil kabin depan.
Namun baru saja tangan Shanon menggenggam gagang pintu, seorang pria berteriak padanya, “Hey, Nona! Ini taksiku! Aku mengantri di depanmu sejak tadi! Apa kau buta?!”
Shanon bingung mendengar suara keras itu. Ia ingin membalas suara kasar itu, tetapi detik berikutnya pandangan Shanon berubah gelap.
Wajah pria yang memprotesnya tadi pun berubah pucat.
“Hey! Nona!”
“Astaga! Apa yang sudah Anda lakukan, Mister?!”“Apa Anda membuatnya pingsan?! Kasihan sekali.”“Sebaiknya cepat dibawa ke rumah sakit!”Terdengar protes dari beberapa penunggu kendaraan umum di halte tersebut. Suara mereka membuat pria yang tadi menegur Shanon merasa bersalah.Akhirnya ia memilih opsi ketiga. Segera membawa Shanon ke rumah sakit.Diangkatnya tubuh Shanon dan segera membaringkan gadis yang tak sadarkan diri itu di kabin belakang sebelum ia sendiri bertolak ke kabin depan.“Pak, tolong segera ke rumah sakit St. Xavier,” perintah pria tersebut sambil menutup pintu mobil di sampingnya.Supir taksi tersebut pun mengangguk dan langsung menaikkan kecepatan, meninggalkan halte.Dari lirikan matanya, sang supir bisa melihat kalau pelanggan prianya tengah sibuk menghubungi seseorang.“Chris! Saya sudah berpindah lokasi. Temui saya di rumah sakit St.Xavier.” Nada sang pria muda itu terdengar kesal dan sangat tidak bersahabat.Karena lawan bicaranya bersuara cukup lantang, supir
‘Apa yang dilakukan bos besar sepertinya di tempat ini?! Bukannya Damian tinggal di New York?! Apa aku sudah melakukan kesalahan?!’ pekik Shanon dalam hatinya.Lamunan Shanon buyar ketika pria itu dengan dingin berkata, “Kau sangat ahli membuat keributan, Nona.”Jantung Shanon berdegup sangat cepat ketika menyadari bahwa pria sempurna itu sedang mendekatinya. Ia tidak bisa mencerna kalimat bernada mengejek yang dilontarkan Damian, karena pandangannya sudah tersihir oleh ketampanan pria itu.‘Garis rahangnya—astaga! Aku tak seharusnya melamun!’ tegur Shanon pada dirinya sendiri.“Tu—tuan Damian. A—apa saya membuat masalah?” cicit Shanon.Tangannya meremas kuat selimut yang menutupi tubuhnya. Gadis itu ingin bersiap, kalau-kalau Damian mencaci maki dirinya.Damian menggeser tirai yang sebagian sudah lepas dan menjuntai sampai ke lantai itu sambil menjawab, “Yeah. Sedikit banyak. Tapi, sebagian juga kesalahan saya. Saya minta maaf.”Tertegun. Bukannya Shanon tidak terima dengan kata-kata
“Pamella Simons?"Dengan nada tercekat Shanon mengulang nama itu. Walau tidak suka dengan istri mantan bosnya tersebut, jangan sampai ia salah membenci orang. Lagi, ia mengkonfirmasi, "Istri CEO Regal Corp?” Dan gumaman membenarkan dari Caren membuat hati sang mantan sekretaris Regal Corp itu semakin gelap dengan sakit hati.Terganggu dengan kesunyian di antara mereka, Caren pun bersuara, “Aku tahu, kau tidak mungkin melakukan hal seperti menjadi pelakor, Shan.”Tulus ataupun tidak, kata-kata Caren cukup meneduhkan hati Shanon. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menepikan amarah yang kembali hendak merajai hatinya.“Terima kasih, Caren," ujar Shanon dengan nada pelan dan penuh syukur.Ia kemudian mencoba lagi peruntungannya, kalau-kalau Caren bisa membantunya mendapatkan pekerjaan. Karena sebelum ini, sahabatnya itu tengah berada di luar negeri untuk perjalanan dinas. Namun, Caren menjelaskan, “Untuk yang satu ini, aku tidak punya kekuasaan untuk menolongmu, Shan. Kau juga tahu
"Maaf, Nona. Anda tidak bisa menolak.”Damian yang tadinya sudah hampir melangkah keluar dari hotel itu, kembali berbalik karena tidak merasa anak buahnya mengikuti di belakang.Barulah pria berwajah tampan seperti Lee Min Oh itu sadar, kalau Shanon seperti sedang membuat keributan dengan para bodyguardnya.‘Astaga! Dilihat bagaimanapun, dia memang pembuat onar. Waktu itu tirai ranjang rumah sakit dan sekarang dia membuat keributan,’ keluh Damian sambil berbalik dan mendekati mereka lagi.Sudah cukup kekesalan Damian karena tiba-tiba mendapat mandat dari sang kakek, bahwa ia harus menjemput seorang perempuan di hotel ini. Pria itu semakin kesal ketika mengetahui kalau wanita yang harus dijemputnya adalah wanita yang sama, yang sudah merusak harinya dengan pingsan di halte bus.“Kalau tidak bisa cara halus, kalian boleh langsung mengangkatnya. Jangan membuang waktuku, Lucas!” tukas Damian pada salah satu bodyguard berponi lempar.‘Mengangkatku?!’“Apa?! Apa maksud—hey! Turunkan aku!” p
“Cerita lama?” tanya Shanon lagi dengan dahi berkerut.Herv mengangguk.Sejujurnya, gadis itu ingin menolak. Menurutnya, ini bukan saat yang tepat untuk mendengarkan cerita.Shanon butuh penjelasan, kenapa dia harus ikut ke rumah seorang kaya seperti keluarga Vadis dan kenapa semua barang-barangnya ada di sana.Tak mungkin menolak, Shanon pun akhirnya setuju untuk mendengarkan. Ia memilih untuk menenangkan diri sejenak dan mengesampingkan rasa penasaran mengenai alasannya berada di kediaman megah itu.Melihat Shanon siap mendengarkan, Herv membuka sebuah buku berlapis kulit yang sudah sejak tadi ada di atas meja.Pria tua itu lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalam selipan buku dan menyerahkan pada Shanon.Kening Sharon kembali berkerut heran. Pertanyaan pun muncul dalam hatinya.'Apa itu? Kenapa diberikan padaku?'"Kuharap kau tidak lupa dengan coretanmu sendiri," kekeh Herv lembut. Pria tua itu cukup terhibur melihat raut keheranan di wajah sang tamu.Penasaran dengan ucapan He
“Kau yakin dengan keputusanmu, Shan? Tidak ada pembatalan setelah kau memutuskan.” Herv mencoba membuat Shanon mempertimbangkan ulang keputusannya. Pria tua itu tidak mau kalau di tengah jalan, Shanon menyerah dan memilih pergi dari kediamannya.Shanon terdiam sesaat sebelum ia mengangguk. Ia kembali menyuarakan pilihannya, “Saya menerima tawaran Anda, Tuan Herv."Raut lega tergambar di wajah Herv.Kemudian Shanon menambahkan, "Apa yang bisa saya kerjakan? Saya tidak mau hanya menerima kebaikan Anda.” Walau Herv memberi judul ‘balas budi’, tetap saja bagi Shanon semua kebaikan pria tua itu jauh lebih besar ketimbang apa yang sudah pernah gadis itu berikan.Herv menatap Shanon lagi dalam-dalam. Ada rasa syukur terucap dalam hati si pemilik perusahaan Herv Co tersebut. ‘Shanon masih tetap murni, seperti dulu. Aku sangat bersyukur berhutang nyawa padanya,'’ ungkap pria tua itu dalam hati.Dengan senyum mengembang di wajahnya, Herv berkata, “Kalau begitu, mulai bulan depan kau akan ti
"A—apa?!" pekik Shanon terkejut. "Ti—tidak, Tu—ah, maksud saya, tidak Kakek. Saya tidak berniat menjalin hubungan romansa dengan Tuan—ahm, Kak Damian."Shanon tergagap langsung disodori pertanyaan demikian. Gadis muda itu tertunduk malu, karena sudah berlaku canggung seperti tadi. Bahkan memanggil Herv dengan sebutan baru pun masih salah.Mendengar jawaban Shanon, Herv pun kembali meyakinkan sang kakak. “Nah, Kak, kau dengar sendiri. Shanon tidak berpikir macam-macam dengan Damian.”Lemuel menyandarkan punggung yang sejak tadi menegang itu, kemudian menghela napas seolah lega. "Aku percaya untuk saat ini, Herv. Dan kuharap kau bisa memegang janjimu, Nona.""Ya, Kakek Lemuel."Gadis itu bisa mendengar suara Lemuel dan tawa renyah Herv setelah mencandainya dengan pertanyaan tadi.Namun, jauh di lubuk hatinya, Shanon merasa sedikit kecewa mengetahui Damian sudah bertunangan dengan seseorang.‘Well, aku tidak bermaksud mendekati Damian juga sih. Aku harus fokus untuk mencapai tujuanku,’
“Kau memanggilku, Kakek?” Nada lelah terdengar jelas dari kalimat yang dilontarkan Damian saat ia masuk dan bertatapan dengan Herv. Shanon yang baru detik itu memandang wajah Damian lagi, terlihat terpesona. Walau mereka tinggal satu rumah, Damian tidak sering terlihat berkeliaran. ‘Apa dia selalu menghadiri rapat ya?’ tanya Shanon dalam hati. Sementara itu Herv tersenyum simpul melihat wajah kusut Damian. “Ya, Damian. Rapatmu banyak masalah?” tanya Herv menggoda pria muda yang sudah 8 tahun lebih memegang kuasa penuh atas Herv Co.Damian mengangguk sembari melempar tubuhnya di atas sofa satu orang, kemudian memijat-mijat keningnya. Sedikit, Damian mencoba menjelaskan kondisi rapat yang ia ikuti barusan. “Ada beberapa klien baru yang membuat masalah dengan kontrak. Sudah kuminta Grey untuk mengurusnya.”“Kau bisa mengandalkan Grey, Damian. Tenang saja,” ujar Herv meyakinkan cucunya.Damian mengangguk setuju. Ia kemudian bertanya, “Lalu, ada apa Kakek memanggilku?”Herv menatap
“Jangan bicara sembarangan, Avantie!” seru Damian yang tidak rela label palsu itu bisa saja didengar Shanon. “Shanon akan segera menjadi istriku.” “Aku tidak sembarangan. Ada video—” “Shanon di jebak, Avantie,” potong Herv cepat, tak ingin lagi membahas masa lalu Shanon yang ia yakin tidak baik kalau sampai Shanon mendengarnya lagi. Lagi, Herv menambahkan, “Pelakunya sudah menyatakan permohonan maaf mereka dan sudah mengakui semua kesalahan. Yang sudah terjadi tidak bisa diubah, tapi Shanon sudah membersihkan namanya.” Damian turut mengangguk, membenarkan ucapan sang kakek. Mendengar kenyataan terbaru itu, Avantie tak bisa lagi berkata-kata. Ia tidak menyiapkan diri untuk hal ini. Tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk mempertahankan Damian. “Tapi aku lebih mencintaimu, Damian,” rintihnya sementara air mata mulai mengenang dan tak sedikit yang berjatuhan di atas pangkuan gadis malang itu. Herv menatap Damian, memberinya isyarat agar cucu laki-lakinya itu mengatakan s
“Lihat, Pa! Perempuan ini pasti menggoda Damian!” pekik Avantie sambil menunjukkan foto Shanon dan Damian masuk ke dalam mobil yang sama. Bahkan si pengintai yang dibayar Avantie juga melaporkan kalau mereka pergi ke butik gaun pernikahan setelah selesai dari pemakaman.Lemuel mendengarkan rengekan Avantie sambil memijat pelipisnya, tidak tahu harus bertindak bagaimana untuk memenangkan hati Damian yang baru disadari tidak pernah punya perasaan pada putrinya. Katanya, “Papa tidak bisa sembarang bergerak, Vantie, Nak. Jangan sampai kita membuat Herv marah dan kau malah kehilangan segalanya, Avantie.” Netra Avantie menyalak marah. “Apa maksud Papa? Damian adalah segalanya buatku! Kalau aku tidak bisa memilikinya, apa lagi yang Papa maksud dengan ‘segalanya’?!”Desahan berat terdengar keluar dari sela bibir Lemuel. Ia tahu kalau Avantie tidak pernah tahu tujuan lain ia bersikeras menjodohkannya dengan Damian adalah demi mendapatkan keyakinan bahwa seumur hidup, Avantie tidak akan kehi
‘Apa benar aku akan menikahi pria sempurna ini?’ Shanon diam-diam melirik ke sisi kanannya, di mana Damian duduk. Pria itu tidak melepaskan rangkulan di bahu Shanon, membuat gadis itu sedikit canggung dibuatnya.Ia jadi ingat bagaimana dulu teman-temannya paling berisik kalau Damian muncul dalam wawancara berita di televisi. SHanon tak sengaja terkekeh membuat Damian mengangkat salah satu alisnya. “Senang-senang sendirian, hm?” ledek Damian. Shanon menggelengkan kepalanya sementara tangannya menutupi bibir yang berusaha sekuat tenaga menahan tawa.“Apa ada yang aneh dengan penampilanku? Aku akan bertemu dengan Almarhum orang tuamu. Aku harus tampil baik, Shan.” Damian mencoba mengorek alasan di balik wajah bahagia Shanon barusan. Lagi, Shanon menggeleng dulu sebelum menjawab, “Tidak. Kau sempurna. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan soal penampilanmu, Damian.”‘Sudah mau datang ke makam mereka saja, aku sudah bersyukur. Pria berstatus tinggi sepertinya mendatangi makam orang tuak
51“Kak Damian, jangan bercanda,” kekeh Shanon dengan canggung. Ia tak tahu harus menatap ke mana, karena matanya terus saja kembali pada benda bulat melingkar yang duduk manis di dalam kotak itu. Lagi katanya, “Kau bukannya akan menikah dengan Avantie? Dan lagi, aku—”“Aku tidak pernah mengakui pertunanganku, apalagi menikahinya,” potong Damian dengan tenang. Rahang Shanon seperti lepas dari engselnya, ia tidak menyangka kalau selama ini semua kesedihan atas kenyataan rencana pernikahan Damian dan Avantie sia-sia belaka. Padahal pria itu sama sekali tidak menganggap hal tersebut ada.Damian menambahkan, “Aku menunggu sampai kau selesai dengan urusanmu, untuk menikahimu. Jadi, berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kakak’. Aku bisa menjadi suamimu.”Belum sempat membalas ucapan Damian, sebuah tawa menggelegar terdengar memasuki ruangannya. “Kalian ini, jangan lupa menutup pintu. Ha! Ha! Ha!” Herv masih saja tergelak, terlebih melihat wajah Shanon yang memerah karena sadar kalau keja
50“Me—menagih hutang?!” tanya Shanon dengan wajah panik. Terperangah dengan ucapan Damian.Ia memang harus mengembalikan uang yang dipinjamkan Damian saat membangun Steenkool. Hanya saja selama ini Damian tidak pernah menagih, karena setiap bulan Shanon pasti menyicilnya. “Apa Kakak butuh uangnya segera? Aku tahu aku harus mengembalikan uang modal pertama Steenkool—”Damian menggelengkan kepala, membuat Shanon berhenti bicara. Dengan wajah serius ia menjelaskan, “No. Aku menagih hutang rumah sakitmu.”Rahang Shanon seolah jatuh mendengar ucapan Damian. Satu-satunya kejadian ia harus di rawat di rumah sakit dan menggunakan uang Damian adalah saat pertama kali mereka bertemu. “Apa itu hutang, Mama?” tanya Alden yang berada di pangkuan Shanon. “Uhm … Mama pernah pakai uang Uncle Damian untuk berobat dan harus dikembalikan.” Shanon mencoba menjelaskan pada putranya sesederhana mungkin. Dalam hati, Shanon menganalisa permintaan Damian itu. ‘Tapi apa dia bakal nagih hutang 10 tahun la
“Saya menolak!” raung Pamella yang tidak mungkin membiarkan kondisi suaminya terpampang di media.Tidak mungkin ia membiarkan teman-teman sosialitanya mengetahui kondisi mengerikan seperti ini.Spontan Shanon tergelak mendengar penolakan Pamella. “Anda sadar siapa saya, tapi tidak satupun saya dengar permintaan maaf dari Anda. Begitu angkuhnya?” tegur Shanon. Pamella tertegun. Ia tidak tahu bagaimana membalas ucapan Shanon itu.Dan karena Pamella belum berkomentar atau menunjukkan tanda kalau ia menyerah dan meminta maaf pada Shanon, owner dari Steenkool itu menambahkan, “Saya hanya butuh waktu sebentar untuk menghancurkan kalian berdua. Kalau semua tahu Anda yang mandul, apakah ada lagi gunanya Anda untuk keluarga Simons?” Seperti ada yang menumpahkan es di atas tengkuk dan punggungnya, Pamella merasakan sekujur tubuhnya mulai mendingin. Panik. Pura-pura tenang, Pamella menghardik Shanon, “Apa maksud Anda?!”“Kalau Anda menundukkan kepala sampai ke lantai, saya berpikir untuk men
“Lantas, apa yang Anda mau dari saya sekarang, Nona Shanon? Saya tidak memiliki apa-apa lagi jika saya lepas dari keluarga istri saya.”Netra Shanon menyipit mendengar omong kosong Julian. Ia bertanya dengan santai walau sebenarnya ia tidak mengerti kalimat Julian, “Apa maksudnya dengan lepas dari keluarga istri?”Dengan percaya dirinya Julian menjelaskan, “Jika Anda bermaksud untuk meminta pertanggungjawaban saya setelah apa yang saya perbu—”“Cukup!” sentak Shanon memotong ucapan Julian. Lagi ia mengeluhkan kedangkalan pikiran pria itu, “Itu pemikiran yang sangat menjijikkan, Tuan Julian. Saya tidak percaya Anda bisa berpikir ke arah sana.”Baru saja Julian membelah mulutnya, Shanon buru-buru menyelak, “Kalau Anda tanya apa yang saya mau, itu adalah kehancuran hidup Anda.”Shanon mengambil sebuah benda yang biasa dipakai oleh para pencukur rambut pria dan menunjukkannya pada Julian.“Mata ganti mata. Gigi ganti gigi.” Seringai kebencian di wajah Shanon semakin terlihat. Sementara i
“Tuan Julian, bagaimana Anda bisa melakukan semua ini? Pada owner perusahaan pula!” tuduh salah satu direktur wanita yang ia kenal bernama Salome—direktur bidang personalia.Julian tercengang mengetahui bahwa wanita yang sekarang sedang duduk di kursi CEO itu adalah sang pemilik Steenkool. Wanita yang ia ketahui bernama Shanon. Hanya saja, ia tidak paham dengan konteks pembicaraan Salome barusan. Hal itu membuatnya merasa sembarangan dituduh. Namun, ia menyadari posisinya sebagai orang baru dan bertanya, “Apa maksud Anda? Melakukan apa? Saya? Soal apa ini?”Menjawab pertanyaan itu, Shanon melemparkan sesuatu ke lantai, dekat kaki Julian. Spontan Julian menunduk dan menatap apa yang dilempar kepadanya tadi.Netra Julian langsung membelalak melihat foto-foto yang memuat dirinya di dalam sana. Bukan sekedar foto biasa, ia bahkan bisa menyadari kalau ia sedang memaksakan dirinya, menyetubuhi seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Shanon. Ia mengenali dari bentuk rambutnya yang
“Apa istri Anda tak masalah, Anda malah bekerja di perusahaan lain?” Shanon mencoba mengorek kondisi rumah tangga Julian yang sebenarnya.Dan benar saja, begitu ia membicarakan sang istri, Julian terlihat murung. Mungkin juga karena mabuk, akal sehatnya mulai tak bisa membaca situasi.Wajah sedihnya mulai diikuti dengan mulut yang terpisah, menyuarakan isi hati. “Mereka melimpahkan semua kesalahan pada saya. Ada atau tidak ada saya di keluarga itu, sudah tidak jadi soal, Nona Steenkool,” kata Julian penuh kegetiran.Shanon yang memang sengaja menggunakan nama yang sama dengan perusahaannya itu tersenyum tipis mendengarkan Julian yang terus mengoceh soal istri dan mertuanya.Sedikit banyak ia bisa mengkonfirmasi kebenaran dari semua data yang sudah ia kumpulkan sebelumnya. Lagi, Julian berkata, “Soal tidak punya anak, saya juga yang dilabeli dengan kata ‘mandul’, tapi mereka tidak mau melakukan tes.”Netra Shanon membulat kaget sepersekian detik sebelum menampilkan senyumannya lagi.