Dibawah guyuran hujan dan sambaran petir yang terus menggelegaar, dua pria setengah baya terlihat berdiri tegak, diantara tumpukan mayat yang bergelimpangan sambil saling menatap satu sama lain.Sekilas tak ada yang aneh dengan mereka, namun jika dilihat lebih dekat, tetesan air yang mengguyur keduanya perlahan berubah memerah, karena bercampur dengan darah segar yang terus keluar dari luka sayatan pedang di tubuh masing-masing."Wiratama, aku cukup terkejut dengan ilmu kanuraganmu yang ternyata tidak lebih besar dari namamu! Sepertinya, julukan Dewa Pedang yang disematkan padamu terlalu berlebihan ..." Ucap salah satu pria berbadan besar yang terlihat lebih tua, sambil terkekeh puas.Pria setengah baya yang dipanggil Arya Wiratama itu tidak langsung menjawab. Dia masih cukup terkejut dengan kekuataan puluhan pendekar misterius yang muncul tiba-tiba di area pertarungan itu.Bagaimana tidak, hanya dalam waktu tak sampai tiga jam, para pendekar sakti aliran putih yang dipimpinnya tewas
"Ra.. Rasa sakit ini? Inikah yang dinamakan kematian?!"Arya Wiratama merasakan sakit yang luar biasa sesaat setelah kepalanya terpenggal oleh pedang Harsa Wiseso. Dia yang menyadari jika waktunya di dunia sudah habis, kemudian mencoba untuk meredam penyesalan dihatinya dan melupakan kejadian tragis yang baru saja dialaminya.Arya jelas tak ingin mati penasaran serta membawa penyesalannya ke alam kematian. Dia merasa sudah cukup dan ingin mati dengan tenang setelah apa yang dilewatinya semasa hidup.Namun semakin Arya Wiratama berusaha meredam rasa bersalah itu, hatinya justru semakin sakit, menggantikan rasa sakit ditubuhnya yang perlahan mulai menghilang."Dasar bodoh! Apa kau pikir bisa melupakan semua kesalahanmu yang telah mengakibatkan terbunuhnya ratusan pendekar aliran putih?!" Arya Wiratama seketika tersenyum kecut saat mengingat kembali apa yang baru saja terjadi.Walau kemunculan para pendekar misterius itu bukan sepenuhnya salahnya, tapi penyerangan besar-besaran para pend
"Perguruan Racun Selatan?! Ah sial, kenapa mereka selalu muncul disaat yang tidak tepat," Sudarta langsung menendang kayu bakar yang berada di dekatnya. Dia berusaha menahan jarum beracun yang bergerak mengincar Arya dengan kecepatan tinggi."Hei nak, cepat menjauh!" Teriak Sudarta sambil mencabut pedangnya.Arya mengangguk cepat, dia kemudian bergerak mundur, sambil menghindari lesatan beberapa jarum beracun yang lepas dari pengamatan Sudarta."Kakek, perhatikan sisi kananmu!!" Teriak Arya Wiratama cepat ketika teringat pada salah satu pendekar Racun Selatan yang dulu bersembunyi dibalik pohon dan berhasil membunuh Sudarta."Si... Sisi kanan?!!" Belum sempat Sudarta memahami ucapan Arya, lima pendekar Racun Selatan muncul dari segala arah dan langsung menyerang."Bedebah!!! Apa kalian hanya bisa bertarung dengan cara seperti ini!" Sudarta memutar tubuhnya di udara sebelum menyambut serangan mereka bersamaan."Jurus pedang Dewa Naga naik ke langit!""Tap!"Saat serangan pedang mereka
Arya kembali merasakan sakit yang luar biasa diseluruh tubuhnya saat mendapatkaan kembali kesadarannya. Namun berbeda dari sebelumnya yang tidak bisa langsung bergerak karena kehabisan tenaga, kini, dia merasa tubuhnya begitu bugar seolah sudah tertidur cukup lama."A ... Aku masih hidup?!" Ucap Arya pelan sambil memeriksa dadanya yang terkena tapak penghancur tulang para pendekar Racun Selatan."Oh kau sudah sadar? Kupikir akan butuh waktu beberapa hari untukmu siuman,""Beberapa hari?!! Memangnya, sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?" Balas Arya pelan sambil menoleh ke arah Sudarta yang duduk tidak jauh darinya."Sepertinya empat atau lima jam," Jawab Sudarta cepat."Hanya empat jam?!! Tapi bagaimana mungkin, aku bahkan merasa tubuhku begitu bugar dan...""Para pendekar yang menyerang kita tadi, adalah anggota Racun Selatan yang mengincarku dan sekarang, kau sudah terlibat dalam masalah ini.. Jika dirimu tidak memiliki tujuan, ikutlah denganku karena mereka pasti akan mengincarm
"Kenapa? Apa kau bisa menebak orang yang akan kutemui?!!" Wajah Sudarta berubah serius ketika melihat reaksi terkejut Arya."Ah tidak guru, aku hanya terkejut guru memiliki kenalan di desa kecil ini... " Jawab Arya sambil memasang wajah polos.Sudarta kembali terdiam saat melihat wajah Polos Arya Wiratama. Dia mulai merasa bersalah karena sempat curiga pada anak itu."Sepertinya, aku sudah terlalu berlebihan mencurigai anak ini," Ucap Sudarta dalam hati sebelum mengajak Arya menuju desa kecil, yang terlihat dikejauhan itu."Seseorang yang kutemui ini adalah teman masa kecilku. Lagupula tidak ada larangan bagi seorang pendekar untuk berteman dengan siapa saja, termasuk orang biasa selama bukan berasal dari aliran hitam," Jawab Sudarta pelan.Arya tampak tersenyum kecil, walau Sudarta merendah dengan mengatakan temannya itu orang biasa, tapi dia tahu sosok yang akan mereka temui kali ini bukan orang biasa."Anggara Dwipa ... Jika aku boleh menebak, pendekar jenuis itu yang akan ditemuin
Arya berjalan keluar gubuk dengan wajah gontai, dia terlihat kecewa sekaligus bingung, ketika Sudarta secara tiba-tiba memintanya keluar karena ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan Anggara.Hal ini jelas membuatnya kecewa karena kedua pendekar itu sedang membicarakan Iblis Petarung yang menjadi petunjuk Kamandaru."Ada apa ini sebenarnya? Apa mungkin guru memiliki petunjuk lain tentang Kamandaru?!" Tak punya pilihan lain, Arya Wiratama memutuskan berkeliling Desa untuk mencari udara segar. Dia masih ingat ada sungai disisi Utara desa yang pemandangannya indah di malam hari.Setelah bertanya beberapa hal pada Singgih tentang keberadaan Sungai itu, Arya langsung memutuskan pergi."Iblis Petarung .... Apa mungkin mereka sering berhubungan dengan pendekar Kamandaru?!!" Sepanjang perjalanan menuju sungai, Aryaa merenungkan banyak hal termasuk mmikirkan langkah berikutnya yang akan diambil setelah meninggalkan Desa kecil itu. Dia merasa situasi kali ini menjadi begitu rumit, karena
Perjalanan Sudarta dan Arya setelah singgah semalam di desa Karang Bambu tak menemui masalah berarti. Hal ini terjadi karena mereka sudah memasuki wilayah aliran putih. Dan, setelah keduanya berjalan hampir tiga hari, sebuah perguruan megah yang menjadi tujuan mulai terlihat dikejauhan."Arya, tempat itu yang akan menjadi rumah barumu mulai hari ini," Tunjuk Sudarta, sambil mempercepat langkah kakinya.Arya Wiratama langsung mengangguk penuh semangat. Walau dikehidupan sebelumnya dia tak pernah mengenal para pendekar Alang-Alang Kumitir karena mereka hancur beberapa saat setelah kematian Sudarta. Namun tak ada yang bisa membantah kehebatan mereka di masa lalu dan ini membuat Arya menjadi semangat."Aku akan berlatih dengan keras, dan mencegah mereka dihancurkan. Setelah itu, baru menyusun rencana melacak para pendekar Kamandaru," Tekad Arya dalam hati.Arya kemudian melangkahkan kaki sambil memgepalkan kedua tangan. Mulai saat ini dia akan berusaha lebih keras dari sebelumnya agar bis
"Ah gawat, aku terlambat ..." Arya langsung melompat dari atas tempat tidur, saat melihat sinar matahari sudah masuk ke dalam kamarnya. Dia kemudian berbegas menyambar pakaian dan pedang kayunya, sebelum berlari kearah pintu."Paman Dharma pasti akan marah besar padaku. Padahal, baru tadi malam aku ...""Kau pasti tidur larut malam lagi! Bukankah sudah kuperingatkan untuk tidak tidur terlaru larut?" Seorang gadis muda yang tak lain adalah Ayu langsung memasang wajah kesal saat melihat Arya keluar dari kamarnya.Arya langsung tersenyum kecut, dia kemudian merapihkan pakaiannya dan menutup pintu kamarnya."Apa ini waktu yang tepat untuk memahariku? Guru dan yang lainnya pasti sudah menunggu di gerbang utama," Tanpa mempedulikan tatapan tajam Ayu, Arya langsung berlari sambil menyelipkan pedang kayunya dipinggang."Hei tunggu, aku belum selesai bicara!" Teriak Ayu cepat."Tidak sekarang, kita berdua bisa dimarahi habis-habisan jika paman Dharma menunggu terlalu lama...." Balas Arya.Ayu