"Kenapa? Apa kau bisa menebak orang yang akan kutemui?!!" Wajah Sudarta berubah serius ketika melihat reaksi terkejut Arya.
"Ah tidak guru, aku hanya terkejut guru memiliki kenalan di desa kecil ini... " Jawab Arya sambil memasang wajah polos. Sudarta kembali terdiam saat melihat wajah Polos Arya Wiratama. Dia mulai merasa bersalah karena sempat curiga pada anak itu. "Sepertinya, aku sudah terlalu berlebihan mencurigai anak ini," Ucap Sudarta dalam hati sebelum mengajak Arya menuju desa kecil, yang terlihat dikejauhan itu. "Seseorang yang kutemui ini adalah teman masa kecilku. Lagupula tidak ada larangan bagi seorang pendekar untuk berteman dengan siapa saja, termasuk orang biasa selama bukan berasal dari aliran hitam," Jawab Sudarta pelan. Arya tampak tersenyum kecil, walau Sudarta merendah dengan mengatakan temannya itu orang biasa, tapi dia tahu sosok yang akan mereka temui kali ini bukan orang biasa. "Anggara Dwipa ... Jika aku boleh menebak, pendekar jenuis itu yang akan ditemuinya," Ucap Arya dalam hati penuh semangat. Arya kemudian mengingat kembali sosok Anggara, yang dikehidupan sebelumnya adalah ketua kelompok mata-mata terbesar bernama Sayap Iblis. Dimasa sekarang, nama Sayap Iblis mungkin masih terdengar asing di telinga banyak orang karena mereka baru "menggebrak" dunia persilatan saat Arya berusia dua puluh tujuh tahun, setelah Anggara berkonflik dengan perguruan Gagak Hitam yang saat itu adalah pemimpin tertinggi aliansi aliran hitam. Berkat informasi rahasia dan rencana matang Anggara saat itu, para tetua perguruan aliran putih pun berhasil menggagalkan siasat licik perguruan Gagak Hitam menghancurkan beberapa padepokan, yang saat itu merupakan pilar penting aliran putih. Sejak saat itulah nama Sayap Iblis mulai berkibar di dunia persilatan sebagai serikat pedagang dan juga organisasi mata-mata terbesar dan paling misterius Nusantara. Arya yang memiliki pengalaman di kehidupan sebelumnya pun tak bisa mencari tau siapa sebenarnya sosok Anggara Dwipa, selain seorang pria berbadan besar, yang konon berasal dari desa Karang bambu dan berteman baik dengan Alang-Alang Kumitir. "Seharusnya, saat ini Sayap Iblis sudah terbentuk walau masih beruba kelompok kecil," Arya bergumam pelan sambil mengamati sekitar. "Maaf tuan, ada perlu apa kalian di tempat ini?!" Saat Arya mulai larut dengan pikirannya, sebuah suara tiba-tiba tersengar di udara. Arya langsung mengalihkan pandangan dan menemukan empat pria berpakaian seperti petani, berdiri menghadang Sudarta di depan sebuah gubuk kecil dipinggiran desa. "Ah, maaf telah mengganggu kalian tuan-tuan... Apa aku bisa bertemu dengan tuan muda Anggara?!" Jawab Sudarta sopan. "Deg!" Jantung Arya seketika berdegup kencang ketika Sudarta menyembut nama Anggara, pendekar misterius yang dikehidupan pertamanya menjadi salah satu pendekar berpengaruh di Nusantara. "Aku tidak mengerti maksud ucapan anda tuan, sebaiknya kalian segera pergi karena tidak ada nama Anggara di desa i..." "Singgih, biarkan dia masuk.... Apa kalian ingin mencari masalah dengan Alang-Alang Kumitir?" Potong seorang pemuda dari dalam gubuk kecil itu. "Alang-Alang Kumitir?!" Salah satu pria yang memiliki luka sayatan di wajah tampak terkejut saat mendengar nama Alang-Alang Kumitir. "Ah, maaf terlambat memperkenalkan diri pada kalian.... namaku adalah Sudarta Prawira..." Sudarta segera menundukkan kepala memberi hormat. Sikap pria yang dipanggil Singgih itu langsung berubah, dia membalas hormat Sudarta sebelum mengajaknya masuk ke dalam gubuk. "Tetua, anak ini..." "Dia muridku, tolong izinkan kami masuk bersama," Jawab Sudarta. Singgih kembali mengangguk, dia kemudian mengantar mereka masuk menemui Anggara yang sudah siap menyambutnya. "Lama tak bertemu tetua," Sesosok pemuda langsung menyambut Sudarta begitu pintu gubuk terbuka. Arya yang untuk pertama kalinya melihat dari dekat wajah Anggara Dwipa tampak tertegun. Dia tidak menyangka organisasi terbesar di Musantara yang kelak disegani oleh para pendekar dunia persilatan itu dibentuk oleh seorang pemuda desa yang umurnya masih sangat muda. "Sepertinya anda bertambah kuat tuan muda. Mohon maafkan aku jika sedikit mengganggu waktu istirahat anda...." Sudara langsung memberi hormat pada pemuda dihadapannya. "Ah, mohon jangan terlalu sungkan tetua, mari kita bicara di dalam," Anggara memgajak Sudarta dan Arya duduk di kursi yang berada di sudut ruangan. Keduanya pun kemudian bersenda gurau sambil bertanya kabar. Mereka tampak cukup akrab seperti teman lama yang sudah lama tidak bertemu. "Jadi, kabar tentang Alang-Alang Kumitir yang berteman baik dengan Sayap Iblis itu benar ya.." Gumam Arya dalam hati. "Jadi, ada perlu apa anda sampai sudi singgah di desa kecil ini?" Setelah keduanya sempat berbasa basi, Anggara akhirnya menanyakan tujuan Sudarta datang ketempatnya. "Ah mengenai itu, sebenarnya aku ingin meminta bantuan anda tuan muda," Sudarta mengambil sebuah gulungan kecil dari balik pakaian dan menyerahkannya pada Anggara. "Bantuan?" Anggara menyambar gulungan itu dan membukanya. "Ini...." Wajah tenang Anggara seketika berubah saat membaca gulungan itu. "Dilihat dari ekspresi wajah anda, sepertinya kalian sudah tau tentang mereka ya?" Ucap Sudarta penasaran. Anggara terdiam sesaat, dia kemudian menutup gulungan itu, dan menatap ke arah Sudarta. "Darimana anda tau tentang Kamandaru tetua?" Tanya Anggara pelan. "Ka... Kamandaru?!" Jantung Arya hampir copot saat mendengar nama Kamandaru disebut. Dirinya bahkan hampir melompat dari kursi kayunya saking terkejutnya. "Anda belum menjawab pertanyaanku tuan muda... Jadi anda tau dimana tempat itu?" Balas Sudarta cepat. Anggara menggelengkan kepalanya, "Dibeberapa catatan kuno yang aku baca, memang sempat tersebut nama Kamandaru. Namun sayangnya sampai saat ini, aku belum juga berhasil menemukan petunjuk tentang tempat misterius itu. Ada kemungkinan itu hanya kesalahan tulisan atau sebuah tempat khayalan." "Tidak, itu bukan kesalahan tulisan ataupun tempat khayalan, aku pernah berhadapan melawan mereka ..." Ucap Arya dalam hati, sambil mengepalkan tangannya. "Kesalahan tulisan hampir di semua catatan kuno?! Apa itu mungkin?!!" Sahut Sudarta sambil tersenyum. "Hanya itu kemungkinannya tetua, karena jika Kamandaru memang ada, Sayap Iblis pasti sudah berhasil menemukan petunjuknya." "Bagaimana jika kalian memang belum berhasil menemukannya ...." Sudarta mengambil catatan kecil lainnya dari balik pakaian dan menyerahkan kepada Anggara. "Disalah satu catatan leluhur Alang-Alang Kumitir, Kamandaru digambarkan sebagai tempat para Dewa yang dipuja oleh Iblis Petarung. Anda jelas tahu jika para iblis itu nyata bukan?" "Iblis Petarung?" Sahut Anggara terkejut. "Benar, jika mereka saja nyata, ada kemungkinan Kamandaru juga bukan?!" "Te... Tempat para dewa yang dipuja oleh Iblis Petarung?!" Arya Wiratama menatap Sudartaa cukup lama, dia tak menyangka pria tua itu akan menemui Anggara untuk menanyakan Kamandaru. "Begitu ya, jadi kematian guru di kehidupan pertamaku yang kemudian diikuti dengan hancurnya perguruan Alang-Alang Kumitir beberapa bulan kemudian bukanlah sebuah kebetulan. Ada kemungkinan ini ulah Harsa untuk menghilangkan jejak yang tertinggal di Kumitir. Jadi... ada kemungkinan juga Racun Selatan terlibat masalah ini," Ucap Arya dalam hati.Arya berjalan keluar gubuk dengan wajah gontai, dia terlihat kecewa sekaligus bingung, ketika Sudarta secara tiba-tiba memintanya keluar karena ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan Anggara.Hal ini jelas membuatnya kecewa karena kedua pendekar itu sedang membicarakan Iblis Petarung yang menjadi petunjuk Kamandaru."Ada apa ini sebenarnya? Apa mungkin guru memiliki petunjuk lain tentang Kamandaru?!" Tak punya pilihan lain, Arya Wiratama memutuskan berkeliling Desa untuk mencari udara segar. Dia masih ingat ada sungai disisi Utara desa yang pemandangannya indah di malam hari.Setelah bertanya beberapa hal pada Singgih tentang keberadaan Sungai itu, Arya langsung memutuskan pergi."Iblis Petarung .... Apa mungkin mereka sering berhubungan dengan pendekar Kamandaru?!!" Sepanjang perjalanan menuju sungai, Aryaa merenungkan banyak hal termasuk mmikirkan langkah berikutnya yang akan diambil setelah meninggalkan Desa kecil itu. Dia merasa situasi kali ini menjadi begitu rumit, karena
Perjalanan Sudarta dan Arya setelah singgah semalam di desa Karang Bambu tak menemui masalah berarti. Hal ini terjadi karena mereka sudah memasuki wilayah aliran putih. Dan, setelah keduanya berjalan hampir tiga hari, sebuah perguruan megah yang menjadi tujuan mulai terlihat dikejauhan."Arya, tempat itu yang akan menjadi rumah barumu mulai hari ini," Tunjuk Sudarta, sambil mempercepat langkah kakinya.Arya Wiratama langsung mengangguk penuh semangat. Walau dikehidupan sebelumnya dia tak pernah mengenal para pendekar Alang-Alang Kumitir karena mereka hancur beberapa saat setelah kematian Sudarta. Namun tak ada yang bisa membantah kehebatan mereka di masa lalu dan ini membuat Arya menjadi semangat."Aku akan berlatih dengan keras, dan mencegah mereka dihancurkan. Setelah itu, baru menyusun rencana melacak para pendekar Kamandaru," Tekad Arya dalam hati.Arya kemudian melangkahkan kaki sambil memgepalkan kedua tangan. Mulai saat ini dia akan berusaha lebih keras dari sebelumnya agar bis
"Ah gawat, aku terlambat ..." Arya langsung melompat dari atas tempat tidur, saat melihat sinar matahari sudah masuk ke dalam kamarnya. Dia kemudian berbegas menyambar pakaian dan pedang kayunya, sebelum berlari kearah pintu."Paman Dharma pasti akan marah besar padaku. Padahal, baru tadi malam aku ...""Kau pasti tidur larut malam lagi! Bukankah sudah kuperingatkan untuk tidak tidur terlaru larut?" Seorang gadis muda yang tak lain adalah Ayu langsung memasang wajah kesal saat melihat Arya keluar dari kamarnya.Arya langsung tersenyum kecut, dia kemudian merapihkan pakaiannya dan menutup pintu kamarnya."Apa ini waktu yang tepat untuk memahariku? Guru dan yang lainnya pasti sudah menunggu di gerbang utama," Tanpa mempedulikan tatapan tajam Ayu, Arya langsung berlari sambil menyelipkan pedang kayunya dipinggang."Hei tunggu, aku belum selesai bicara!" Teriak Ayu cepat."Tidak sekarang, kita berdua bisa dimarahi habis-habisan jika paman Dharma menunggu terlalu lama...." Balas Arya.Ayu
"Tunggu kek, bukankah kita harusnya mengambil jalur selatan menuju desa Karang Anyar?" Arya masih larut dalam pikirannya sendiri, saat terikan Ayu kembali terdengar. Dia kemudian tersenyum kecil, sebelum menghitung sesuatu nenggunnakan jari tangannya. "Ini sudah kelima kalinya gadis itu memprotes keputusan guru yang lebih memilih jalur hutan dari pada harus melewati jalanan utama. Sepertinya, gadis ini tidak mudah menyerah...." Ucap Arya dalam hati. "Nona, tolong rendahkan nada bicara anda jika sedang..." "Kenapa?! Apa paman akan menghukumku lagi karena berteriak pada kakekku?! Sudah hampir tiga hari ini aku tidak bisa mandi, karena dia lebih memilih melewati jalur hutan ..." Potong Ayu cepat. "Nona, tolong mengertilah. Ketua memilih jalur hutan agar gerakan kita tidak terdeteksi oleh aliran hitam," Dharma mencoba menjelaskan maksud Sudarta, yang lebih memilih jalur tikus dari pada jalan utama. Namun, sekuat apapun dia berusaha, Ayu terus menyanggah dan mengakatan jika tak ad
"Tak ada waktu lagi untuk berpikir, pendekar itu bisa saja menyerangnya saat aku pergi mencari bantuan...." Setelah cukup lama mengamati posisi pendekar itu dari balik pohon, Arya Wiratama akhirnya memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya. Selain karena memikirkan nyawa Ayu yang bisa saja melayang ketika dia pergi mencari bantuan, Arya merasa masih mampu mengimbangi atau paling tidak, mengulur waktu sampai Dharma datang jika pendekar misterius itu menyerang tiba-tiba. "Saat ini, paman Dharma pasti sedang mencari kami," Ucap Arya dalam hati, sebelum berjalan kearah Ayu. "Ah, disini kau rupanya... Ayo kita kembali. Apa kau tau jika guru, dan yang lainnya mengkhawirkanmu?" Arya berteriak kencang, sambil sesekali melirik ke arah pepohonan yang ada di sisi kanannya. Ayu sempat menoleh kearah sumber suara itu, namun dirinya kembali memalingkan wajahnya saat melihat Arya berjalan mendekat. "Pergilah, aku akan kembali setelah suasana hatiku membaik.." Jawab Ayu datar. "Tidak.
"Hei, sialan! Akulah lawanmu!"Arya berlari keluar dari tempat persembunyiannya sambil menarik pedangnya. Dia bergerak lincah, menghindari belasan panah yang menghujaninya, sebelum melesat kearah pepohonan besar di sisi kirinya."Keluar kalian!! Apa ini cara bertarung Kalajengking Perak!" Teriakan Arya yang menggema ke seluruh penjuru hutan akhirnya berhasil menarik perhatian semua orang, tidak terkecuali Ayu yang sedang disibukkan oleh serangan lawannya."Ah, si bodoh itu .... Hei, Arya hentikan! Apa yang kau lakukan!!" Ayu sempat menoleh ke arah Arya sesaat, namun belum sempat dia bereaksi lebih jauh, dua pendekar yang menyerangnya sudah melepaskan serangan ke celah pertahanannya.Ayu berusaha menahan serangan cepat itu sekuat tenaga, namun salah satu pendekar tiba-tiba berputar ke sisi kiri dan melepaskan tendangan keras."Buagh!"Tubuh Ayu terdorong beberapa langkah kebelakang sebelum langsung dusambut hujanan anak panah dari sisi kirinya."Ayu!!" Melihat Ayu terpelanting diantara
"Hei, ada apa ini?!! Kalian sudah datang jauh-jauh dari Lembah Asan, dan sekarang berniat pergi begitu saja?"Dharma segera menarik pedangnya dan mengejar beberapa pemanah yang tadi hampir membunuh Arya. Sedangkan para pendekar Kumitir lainnya bergerak ke arah pepohonan besar untuk memblokir formasi panah Cakra Byuha yang mulai menargetkan Dharma."He... Hentikan dia! Cepat hentikan dia apapun caranya ... " Salah satu pemanah berteriak panik saat Dharma mulai melepaskan serangannya. Namun, sekuat apa pun para pendekar malang itu berusaha melawan, ayunan pedang Dharma, selalu bergerak lebih cepat dari bayangan mereka."Setelah menyerang dan melukai nona kami kalian berniat melarikan diri? Jangan pernah bermimpi ...." Teriak Dharma sambil meningkatkan kecepatan serangannnya."Tusukan Sayap Garuda!""Tap!"Dharma bergerak lincah diantara ranting pohon sambil mengayunkan pedang kesayangannya. Dia melesat bagaikan anak panah dan membunuh semua pendekar yang berada dalam jangkauannya.Beber
Dharma merebahkan tubuhnya di atas tanah sambil menatap matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat. Dia mulai gelisah menunggu Sudarta dan Arya yang masih belum juga kembali."Ini sudah terlalu lama, apa mungkin sesuatu terjadi pada mereka berdua?" Dharma merubah posisi tidurnya, dia berusaha membuang pikiran buruknya, sambil berharap mereka berdua akan segera kembali."Tuan, apa sebaiknya aku menyusul ketua?" Salah satu pendekar Alang-Alang Kumitir terlihat mendatangi Dharma, sambil membawa dua potong ayam hutan ditangannya."Anda belum menyentuh makanan apapun dari pagi tuan," Lanjut pendekar itu sopan."Tidak, ketua sudah meminta kita menunggu di sini..." Jawab Dharma cepat sambil menyambar ayam hutan itu dan memakannya."Tapi tuan, aku melihat sendiri anak itu menggunakan jurus pedang ciptaan tetua Abimanyu. Aku takut dia adalah penyusup yang berniat...""Penyusup? Jaga ucapanmu! Apa kau tau jika Dewa Pedang adalah salah satu perguruan aliran putih, yang sangat dihormati ketua?!!
"Tunggu, tolong jangan salah paham! Aku datang dengan damai dan berniat menawarkan jalan keluar pada kalian!"Arya segera menghentikan langkahnya saat melihat para pemanah Tringgani sudah bersiap melepaskan anak panah beracunnya. Dia kemudian meletakkan pedangnya di tanah untuk meyakinkan mereka jika dirinya Benar-benar tak berniat menyerang."Kumohon tetua, pertempuran terbuka seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa selain permusuhan. Aku takut kalian justru akan mendapat masalah baru jika mekaksa menghancurkan desa ini.." Lanjut Arya sambil mengamati para pendekar suku Trenggani untuk mencari keberadaan Kandamanik."Masalah baru?!!! Apa kau pikir aku peduli pada semua itu?" Sahut salah satu pendekar suku Trenggani sambil melompat turun dari atas gajah yang ditungganginya."Ka... Kandamanik?" Arya langsung meningkatkan kewaspadaannya, saat mengenali pria berbadan besar itu. Dia tampak terkejut karena di usia yang masih sangat muda, Kandamanik sudah memiliki hawa membunuh yang beg
"Meredam amarah mereka?"Wajah Sekar seketika berubah saat mendengar jawaban Arya. Dia, yang awalnya mengira pemuda itu adalah anak yang pintar, terlihat kecewa karena sempat berharap padanya."Dengar nak, jika semua masalah di dunia ini bisa diselesaikan dengan bicara, tidak akan ada pertarungan dan permusuhan antar perguruan..." Sekar segera bangkit dari duduknya, dan meminta Arya untuk bersembunyi diruangannya sementara waktu."Bersembunyilah sementara waktu di ruangan ini, sampai gurumu datang. Aku akan meminta ...""Kalian tak akan bisa menyelesaikan masalah ini dengan pertarungan nona, dan jika kau tetap memaksa, puluhan penduduk desa akan mengerang nyawa ditangan mereka," Potong Arya cepat."Lalu apa yang harus aku lakukan? Mengajak mereka bicara baik-baik, dan mengatakan jika anaknya tidak sengaja terbunuh?!!!" Sahut Sekar sambil menyambar pedangnya."Tunggu, beri aku waktu beberapa jam untuk bersiap, dan setelah itu ....""Brak!""Nona..."Belum selesai Arya bicara, seorang p
Sekar menarik nafas panjang sebelum menceritakan semuanya pada Sudarta. Sambil, sesekali memijat keningnya yang mulai terasa sakit, gadis itu juga menjelaskan, jika sebenarnya masalah ini tidak terkait langsung dengan Sayap Iblis."Begitulah kira-kira garis besarnya tetua. Semua masalah ini sebenarnya berawal dari beberapa pemuda Karang Waringin yang merampok dan membunuh putri ketua suku Tringgani..." Ucap Sekar menutup penjelasannya."Dan sekarang mereka ingin menuntut balas?" Kejar Sudarta cepat.Sekar Pitaloka mengangguk pelan, sebelum menyambar gulungan kecil yang ada didekatnya, dan menulis sesuatu."Harusnya aku membunuh mereka semua saat pertama kali tiba di desa ini.""Kenapa kalian tidak segera pergi dari desa ini jika sudah tau akar masalahnya?" Tanya Sudarta cepat."Kami tidak bisa melakukan itu tetua karena, ada sesuatu di desa ini yang harus kami lindungi," Jawab Sekar."Jangan bodoh! Suku Tringgani tidak akan berhenti memburu kalian sampai semua yang terlibat tewas!"Ar
"Guru, anda yakin semua akan baik-baik saja?"Arya segera mempercepat langkahnya dan berjalan di sisi kanan Sudarta saat menyadari belasan pasang mata menatap tajam kearah mereka sambil berbisik. Dia, mulai merasa tidak nyaman, karena para penduduk desa itu seperti sedaang mendiskusikan sesutu."Jangan khawatir, mereka tidak akan berani melakukan apa-apa selama kita memegang pedang .... " Jawab Sudarta pelan, sambil memperhatikan bangunan-bangunan disekelilingnya."Bu.. Bukan itu maksudku guru, apa anda tidak merasakan keanehan dari sorot mata para penduduk desa itu?" Sahut Arya cepat."Sorot mata mereka?" Sudarta terdiam sesaat. Namun, ketika dirinya hendak mengamati lebih jelas orang-orang di sekitarnya, seorang wanita tiba-tiba menabraknya hingga terjatuh."Ah, maaf tuan ...." Wanita tua itu segera bangkit dan kembali berjalan cepat kearah gerbang desa."Hei tunggu nyonya, anda menjatuhkan sesuatu," Sudarta mengambil gulungan kecil yang tergeletak ditanah sambil memanggil wanita it
"Tidak, kalian tetap tidak boleh lewat apapun alasannya!! Silakan kembali lagi saat perbatasan ini sudah dibuka!" Arya Wiratama seketika menoleh ke arah kerumunan manusia yang sedang mengantri di depan pintu perbatasan saat mendengar suara keributan. Tak berselang lama, teriakan protes dari beberapa pedagang memanaskan suasana hingga terjadi aksi dorong mendorong yang hampir Saja memicu kericuhan. Beruntung para prajurit penjaga itu dengan sigap, mengendalikan situasi dan memblokir pintu masuk perbatasan. "Berhenti! Tolong jangan seperti ini atau kami terpaksa bertindak tegas," Beberapa prajurit penjaga perbatasan segera bergerak membentuk pertahanan berlapis untuk menghadang gerombolan pedagang yang berusaha menerobos. "Sial, apa lagi ini?!" Arya mendesah keras, dia sudah bisa menebak mereka kembali mendapatkan masalah, setelah suara keributan itu terdengar. "Ini sudah terlalu lama, aku harus melihat sendiri apa yang sebenarnya sedang ..." "Arya, tetap ditempatmu! Situasi
Dharma merebahkan tubuhnya di atas tanah sambil menatap matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat. Dia mulai gelisah menunggu Sudarta dan Arya yang masih belum juga kembali."Ini sudah terlalu lama, apa mungkin sesuatu terjadi pada mereka berdua?" Dharma merubah posisi tidurnya, dia berusaha membuang pikiran buruknya, sambil berharap mereka berdua akan segera kembali."Tuan, apa sebaiknya aku menyusul ketua?" Salah satu pendekar Alang-Alang Kumitir terlihat mendatangi Dharma, sambil membawa dua potong ayam hutan ditangannya."Anda belum menyentuh makanan apapun dari pagi tuan," Lanjut pendekar itu sopan."Tidak, ketua sudah meminta kita menunggu di sini..." Jawab Dharma cepat sambil menyambar ayam hutan itu dan memakannya."Tapi tuan, aku melihat sendiri anak itu menggunakan jurus pedang ciptaan tetua Abimanyu. Aku takut dia adalah penyusup yang berniat...""Penyusup? Jaga ucapanmu! Apa kau tau jika Dewa Pedang adalah salah satu perguruan aliran putih, yang sangat dihormati ketua?!!
"Hei, ada apa ini?!! Kalian sudah datang jauh-jauh dari Lembah Asan, dan sekarang berniat pergi begitu saja?"Dharma segera menarik pedangnya dan mengejar beberapa pemanah yang tadi hampir membunuh Arya. Sedangkan para pendekar Kumitir lainnya bergerak ke arah pepohonan besar untuk memblokir formasi panah Cakra Byuha yang mulai menargetkan Dharma."He... Hentikan dia! Cepat hentikan dia apapun caranya ... " Salah satu pemanah berteriak panik saat Dharma mulai melepaskan serangannya. Namun, sekuat apa pun para pendekar malang itu berusaha melawan, ayunan pedang Dharma, selalu bergerak lebih cepat dari bayangan mereka."Setelah menyerang dan melukai nona kami kalian berniat melarikan diri? Jangan pernah bermimpi ...." Teriak Dharma sambil meningkatkan kecepatan serangannnya."Tusukan Sayap Garuda!""Tap!"Dharma bergerak lincah diantara ranting pohon sambil mengayunkan pedang kesayangannya. Dia melesat bagaikan anak panah dan membunuh semua pendekar yang berada dalam jangkauannya.Beber
"Hei, sialan! Akulah lawanmu!"Arya berlari keluar dari tempat persembunyiannya sambil menarik pedangnya. Dia bergerak lincah, menghindari belasan panah yang menghujaninya, sebelum melesat kearah pepohonan besar di sisi kirinya."Keluar kalian!! Apa ini cara bertarung Kalajengking Perak!" Teriakan Arya yang menggema ke seluruh penjuru hutan akhirnya berhasil menarik perhatian semua orang, tidak terkecuali Ayu yang sedang disibukkan oleh serangan lawannya."Ah, si bodoh itu .... Hei, Arya hentikan! Apa yang kau lakukan!!" Ayu sempat menoleh ke arah Arya sesaat, namun belum sempat dia bereaksi lebih jauh, dua pendekar yang menyerangnya sudah melepaskan serangan ke celah pertahanannya.Ayu berusaha menahan serangan cepat itu sekuat tenaga, namun salah satu pendekar tiba-tiba berputar ke sisi kiri dan melepaskan tendangan keras."Buagh!"Tubuh Ayu terdorong beberapa langkah kebelakang sebelum langsung dusambut hujanan anak panah dari sisi kirinya."Ayu!!" Melihat Ayu terpelanting diantara
"Tak ada waktu lagi untuk berpikir, pendekar itu bisa saja menyerangnya saat aku pergi mencari bantuan...." Setelah cukup lama mengamati posisi pendekar itu dari balik pohon, Arya Wiratama akhirnya memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya. Selain karena memikirkan nyawa Ayu yang bisa saja melayang ketika dia pergi mencari bantuan, Arya merasa masih mampu mengimbangi atau paling tidak, mengulur waktu sampai Dharma datang jika pendekar misterius itu menyerang tiba-tiba. "Saat ini, paman Dharma pasti sedang mencari kami," Ucap Arya dalam hati, sebelum berjalan kearah Ayu. "Ah, disini kau rupanya... Ayo kita kembali. Apa kau tau jika guru, dan yang lainnya mengkhawirkanmu?" Arya berteriak kencang, sambil sesekali melirik ke arah pepohonan yang ada di sisi kanannya. Ayu sempat menoleh kearah sumber suara itu, namun dirinya kembali memalingkan wajahnya saat melihat Arya berjalan mendekat. "Pergilah, aku akan kembali setelah suasana hatiku membaik.." Jawab Ayu datar. "Tidak.