Dibawah guyuran hujan dan sambaran petir yang terus menggelegaar, dua pria setengah baya terlihat berdiri tegak, diantara tumpukan mayat yang bergelimpangan sambil saling menatap satu sama lain.
Sekilas tak ada yang aneh dengan mereka, namun jika dilihat lebih dekat, tetesan air yang mengguyur keduanya perlahan berubah memerah, karena bercampur dengan darah segar yang terus keluar dari luka sayatan pedang di tubuh masing-masing. "Wiratama, aku cukup terkejut dengan ilmu kanuraganmu yang ternyata tidak lebih besar dari namamu! Sepertinya, julukan Dewa Pedang yang disematkan padamu terlalu berlebihan ..." Ucap salah satu pria berbadan besar yang terlihat lebih tua, sambil terkekeh puas. Pria setengah baya yang dipanggil Arya Wiratama itu tidak langsung menjawab. Dia masih cukup terkejut dengan kekuataan puluhan pendekar misterius yang muncul tiba-tiba di area pertarungan itu. Bagaimana tidak, hanya dalam waktu tak sampai tiga jam, para pendekar sakti aliran putih yang dipimpinnya tewas mengenaskan, dibunuh puluhan orang yang ilmu pedangnya tak pernah dia lihat sebelumnya. "Siapa kalian sebenarnya? Aku cukup yakin tak ada satu perguruan pun di Nusantara yang memiliki ilmu pedang seperti kalian..." Balas Arya sambil melempar pandangannya kesekitar dan mengamati wajah-wajah tegas puluhan pendekar yang mengepungnya. Tubuh Arya kemudian bergetar hebat ketika sekali lagi, melihat ratusan mayat pendekar gabungan aliran putih tergeletak di tanah dengan kondisi mengenaskan. Dia benar-benar tidak menyangka pertempuran melawan para pendekar Rajawali Kembar yang hampir mereka menangkan itu berakhir dengan pembantaian setelah kemunculan orang misterius itu. "Hahaha, pengamatanmu benar-benar tajam tua bangka," Jawab pendekar misterius itu sambil menyarungkan kembali pedangnya. "Sayangnya, Pertanyaanmu itu akan terjawab ketika pedangku berhasil memenggal kepalamu!" Melihat lawannya sudah menyarungkan kembali pedangnya, Arya Wiratama seketika meningkatkan konsentrasi. Dia sadar dalam ilmu pedang serangan yang paling berbahaya adalah ketika pedang itu pertama kali meninggalkan sarungnya. Tidak mudah menghadapi tipe jurus pedang seperti itu karena tidak ada yang benar-benar tahu ke mana arah dan jenis serangan, sebelum pedang itu tercabut dari sarungnya. Hanya ada beberapa pendekar tingkat tinggi yang mampu membaca arah seranganya, itu pun hanya sebuah perkiraan yang didapat dari pengalaman bertarung. "Begitu ya ... Sepertinya kalianlah dalang dibalik berdirinya perguruan Rajawali kembar dua puluh tahun yang lalu ... " Arya Wiratama memejamkan matanya, dia kembali teringat pada kejadian dua puluh tahun lalu, yang menjadi awal dari rentetan kekacauan besar di Nusantara. "Andai saja aku menyadarinya lebih cepat, mungkin saja ..." "Memghentikan kami?! Sepertinya, kau masih belum sadar perbedaan kekuatan diantara kita?" Potong pria berwajah tegas itu sambil memberi tanda para para pendekarnya, untuk tidak ikut campur pada pertarunganya kali ini. "Jangan terlalu sombong tuan, walau ilmu pedangmu sangat cepat dan aneh, tapi aku juga tidak selemah yang kau pikirkan ...." Arya Wiratama menarik pedangnya ke depan. Keduanya tampak terdiam cukup lama dalam posisi siap menyerang sebelum bergerak bersamaan saat suara petir terdengar dari langit. Ketika keduanya bergerak, bebatuan yang ada disekitar area pertarungan kembali terangkat dan beterbangan ke udara. Gesekan kekuatan besar yang meluap dari tubuh mereka, membuat udara memadat dan mengangkat semua yang ada di sekitarnya. Pendekar misterius yang lebih unggul dalam hal kecepatan menyerang lebih dulu, memanfaatkan kuda-kuda Arya yang belum terbentuk sempurna, dia menendang batu kecil yang melayang didekatnya sambil mencabut pedangnya. "Dewa Pedang Terkuat? Menggelikan!" "Srang!" "Wuuush!" Pedang berwarna hitam milik pendekar misterius itu keluar dari sarungnya. Sangat cepat dan tanpa suara, hanya itu yang bisa menggambarkan gerakan pedangnya setelah tercabut. "Jurus Pedang Matahari gerbang ke empat : Hembusan angin penghancur sukma!" "Ju... Jurus aneh ini lagi? Tidak, ini jauh lebih cepat..." Serangan itu datang dengan cepat, dan sesuai dugaan Arya, serangan yang terlihat sederhana tapi sangat mematikan itu tak mampu dihindarinya dengan sempurna walau sudah berusaha membaca kemana arah ayunan pedangnya akan bergerak setelah tercabut dari sarungnya. Arya Wiratama kemudian mendorong tubuhnya kebelakang untuk mengurangi efek serangan, namun karena pijakan kakinya goyah akibat tekanan tenaga dalam lawan, pertahanannya seketika terbuka lebar. Melihat pertahanan Arya Wiratama goyah akibat serangan pertamanya, pria itu kembali melepaskan empat serangan yang jauh lebih cepat. Bukannya gentar dengan serangan bertubi-tubi lawannya, Arya justru terlihat semakin bersemangat walau tubuhnya sudah mencapai batasnya. Dia tampak sudah tidak peduli lagi dengan kemenangan yang sebenarnya sudah sempat ada didepan matanya. "Akan kubalas kematian mereka puluhan kali lipat!" Arya secara mengejutkan berhasil menangkis serangan pendekar itu di detik terakhir, namun, ketika dia berusaha menyerang balik, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Ayunan pedang pendekar itu berubah begitu lembut, dia menggeser sedikit pegangan tangan di gagang pedangnya untuk memindahkan beban ke tangan kirinya sebelum melakukan serangan tusukan. "Jurus pedang Matahari gerbang ke enam : Tusukan penghancur karang!" Empat tusukan dalam waktu kurang dari satu detik menghunjam tubuh Arya Wiratama tanpa bisa dihindari sama sekali. Pria malang itu seperti merasakan dua putaran waktu berjalan berbeda di sekitarnya. Tubuhnya terasa melambat, namun di saat yang hampir bersamaan kecepatan lawannya justru meningkat tajam. "Luar biasa .... Jurus pedang ini seperti melawan semua prinsip ilmu kanuragan ... " tubuh Arya Wiratama langsung terhuyung dan kali ini dia benar-benar telah mencapai batasnya. Arya Wiratama seketika muntah darah dan dengan lubang besar menganga di perutnya, dia masih memaksa tubuhnya berdiri sambil berusaha mencengkeram leher pendekar misterius itu dengan tangan kirinya. "Si ....siapa sebenarnya kalian, dan dimana kalian bersembunyi selama ini sampai kami tidak bisa mendeteksi.." "Namaku adalah Harsa Wiseso, salah satu pendekar penjaga Kamandaru... Ingat lah nama itu baik-baik saat kau berada di neraka!" "Crash!" Dengan satu gerakan berputar, pendekar misterius itu menarik pedangnya ke sisi kiri sebelum memeganggal kepala Arya cepat. Tubuh Arya seketika bergetar hebat sebelum tumbang bersama kepalanya. "Ka.. Kakang, kau membunuhnya?! Bukankah kita belum mendapatkan kitab pusaka itu?" Ucap temannya terkejut. "Dia tidak membawa kitab itu, aku sudah memastikannya saat bertarung tadi," Balas Harsa Waseso sebelum memerintahkan beberapa orang untuk memeriksa gua kecil ditengah alas Purwo yang sering digunakan Arya bersemedi. "Periksa gua itu, aku yakin dia menyembunyikan kitab Naga Api di sana," Lanjut Harsa Waseso tanpa menyadari kemuculan aliran energi aneh muncul di Cakra Mahkota Arya. Aliran energi misterius berbentuk api merah yang akan merubah takdir Arya Wiratama dengan cara yang tak pernah terbayangkan oleh siapapun itu menyusup ke pusat Cakra Mahkota dan mempertahankan ingatan pria yang dijuluki Dewa Pedang itu."Ra.. Rasa sakit ini? Inikah yang dinamakan kematian?!"Arya Wiratama merasakan sakit yang luar biasa sesaat setelah kepalanya terpenggal oleh pedang Harsa Wiseso. Dia yang menyadari jika waktunya di dunia sudah habis, kemudian mencoba untuk meredam penyesalan dihatinya dan melupakan kejadian tragis yang baru saja dialaminya.Arya jelas tak ingin mati penasaran serta membawa penyesalannya ke alam kematian. Dia merasa sudah cukup dan ingin mati dengan tenang setelah apa yang dilewatinya semasa hidup.Namun semakin Arya Wiratama berusaha meredam rasa bersalah itu, hatinya justru semakin sakit, menggantikan rasa sakit ditubuhnya yang perlahan mulai menghilang."Dasar bodoh! Apa kau pikir bisa melupakan semua kesalahanmu yang telah mengakibatkan terbunuhnya ratusan pendekar aliran putih?!" Arya Wiratama seketika tersenyum kecut saat mengingat kembali apa yang baru saja terjadi.Walau kemunculan para pendekar misterius itu bukan sepenuhnya salahnya, tapi penyerangan besar-besaran para pend
"Perguruan Racun Selatan?! Ah sial, kenapa mereka selalu muncul disaat yang tidak tepat," Sudarta langsung menendang kayu bakar yang berada di dekatnya. Dia berusaha menahan jarum beracun yang bergerak mengincar Arya dengan kecepatan tinggi."Hei nak, cepat menjauh!" Teriak Sudarta sambil mencabut pedangnya.Arya mengangguk cepat, dia kemudian bergerak mundur, sambil menghindari lesatan beberapa jarum beracun yang lepas dari pengamatan Sudarta."Kakek, perhatikan sisi kananmu!!" Teriak Arya Wiratama cepat ketika teringat pada salah satu pendekar Racun Selatan yang dulu bersembunyi dibalik pohon dan berhasil membunuh Sudarta."Si... Sisi kanan?!!" Belum sempat Sudarta memahami ucapan Arya, lima pendekar Racun Selatan muncul dari segala arah dan langsung menyerang."Bedebah!!! Apa kalian hanya bisa bertarung dengan cara seperti ini!" Sudarta memutar tubuhnya di udara sebelum menyambut serangan mereka bersamaan."Jurus pedang Dewa Naga naik ke langit!""Tap!"Saat serangan pedang mereka
Arya kembali merasakan sakit yang luar biasa diseluruh tubuhnya saat mendapatkaan kembali kesadarannya. Namun berbeda dari sebelumnya yang tidak bisa langsung bergerak karena kehabisan tenaga, kini, dia merasa tubuhnya begitu bugar seolah sudah tertidur cukup lama."A ... Aku masih hidup?!" Ucap Arya pelan sambil memeriksa dadanya yang terkena tapak penghancur tulang para pendekar Racun Selatan."Oh kau sudah sadar? Kupikir akan butuh waktu beberapa hari untukmu siuman,""Beberapa hari?!! Memangnya, sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?" Balas Arya pelan sambil menoleh ke arah Sudarta yang duduk tidak jauh darinya."Sepertinya empat atau lima jam," Jawab Sudarta cepat."Hanya empat jam?!! Tapi bagaimana mungkin, aku bahkan merasa tubuhku begitu bugar dan...""Para pendekar yang menyerang kita tadi, adalah anggota Racun Selatan yang mengincarku dan sekarang, kau sudah terlibat dalam masalah ini.. Jika dirimu tidak memiliki tujuan, ikutlah denganku karena mereka pasti akan mengincarm
"Kenapa? Apa kau bisa menebak orang yang akan kutemui?!!" Wajah Sudarta berubah serius ketika melihat reaksi terkejut Arya."Ah tidak guru, aku hanya terkejut guru memiliki kenalan di desa kecil ini... " Jawab Arya sambil memasang wajah polos.Sudarta kembali terdiam saat melihat wajah Polos Arya Wiratama. Dia mulai merasa bersalah karena sempat curiga pada anak itu."Sepertinya, aku sudah terlalu berlebihan mencurigai anak ini," Ucap Sudarta dalam hati sebelum mengajak Arya menuju desa kecil, yang terlihat dikejauhan itu."Seseorang yang kutemui ini adalah teman masa kecilku. Lagupula tidak ada larangan bagi seorang pendekar untuk berteman dengan siapa saja, termasuk orang biasa selama bukan berasal dari aliran hitam," Jawab Sudarta pelan.Arya tampak tersenyum kecil, walau Sudarta merendah dengan mengatakan temannya itu orang biasa, tapi dia tahu sosok yang akan mereka temui kali ini bukan orang biasa."Anggara Dwipa ... Jika aku boleh menebak, pendekar jenuis itu yang akan ditemuin
Arya berjalan keluar gubuk dengan wajah gontai, dia terlihat kecewa sekaligus bingung, ketika Sudarta secara tiba-tiba memintanya keluar karena ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan Anggara.Hal ini jelas membuatnya kecewa karena kedua pendekar itu sedang membicarakan Iblis Petarung yang menjadi petunjuk Kamandaru."Ada apa ini sebenarnya? Apa mungkin guru memiliki petunjuk lain tentang Kamandaru?!" Tak punya pilihan lain, Arya Wiratama memutuskan berkeliling Desa untuk mencari udara segar. Dia masih ingat ada sungai disisi Utara desa yang pemandangannya indah di malam hari.Setelah bertanya beberapa hal pada Singgih tentang keberadaan Sungai itu, Arya langsung memutuskan pergi."Iblis Petarung .... Apa mungkin mereka sering berhubungan dengan pendekar Kamandaru?!!" Sepanjang perjalanan menuju sungai, Aryaa merenungkan banyak hal termasuk mmikirkan langkah berikutnya yang akan diambil setelah meninggalkan Desa kecil itu. Dia merasa situasi kali ini menjadi begitu rumit, karena
Perjalanan Sudarta dan Arya setelah singgah semalam di desa Karang Bambu tak menemui masalah berarti. Hal ini terjadi karena mereka sudah memasuki wilayah aliran putih. Dan, setelah keduanya berjalan hampir tiga hari, sebuah perguruan megah yang menjadi tujuan mulai terlihat dikejauhan."Arya, tempat itu yang akan menjadi rumah barumu mulai hari ini," Tunjuk Sudarta, sambil mempercepat langkah kakinya.Arya Wiratama langsung mengangguk penuh semangat. Walau dikehidupan sebelumnya dia tak pernah mengenal para pendekar Alang-Alang Kumitir karena mereka hancur beberapa saat setelah kematian Sudarta. Namun tak ada yang bisa membantah kehebatan mereka di masa lalu dan ini membuat Arya menjadi semangat."Aku akan berlatih dengan keras, dan mencegah mereka dihancurkan. Setelah itu, baru menyusun rencana melacak para pendekar Kamandaru," Tekad Arya dalam hati.Arya kemudian melangkahkan kaki sambil memgepalkan kedua tangan. Mulai saat ini dia akan berusaha lebih keras dari sebelumnya agar bis
"Ah gawat, aku terlambat ..." Arya langsung melompat dari atas tempat tidur, saat melihat sinar matahari sudah masuk ke dalam kamarnya. Dia kemudian berbegas menyambar pakaian dan pedang kayunya, sebelum berlari kearah pintu."Paman Dharma pasti akan marah besar padaku. Padahal, baru tadi malam aku ...""Kau pasti tidur larut malam lagi! Bukankah sudah kuperingatkan untuk tidak tidur terlaru larut?" Seorang gadis muda yang tak lain adalah Ayu langsung memasang wajah kesal saat melihat Arya keluar dari kamarnya.Arya langsung tersenyum kecut, dia kemudian merapihkan pakaiannya dan menutup pintu kamarnya."Apa ini waktu yang tepat untuk memahariku? Guru dan yang lainnya pasti sudah menunggu di gerbang utama," Tanpa mempedulikan tatapan tajam Ayu, Arya langsung berlari sambil menyelipkan pedang kayunya dipinggang."Hei tunggu, aku belum selesai bicara!" Teriak Ayu cepat."Tidak sekarang, kita berdua bisa dimarahi habis-habisan jika paman Dharma menunggu terlalu lama...." Balas Arya.Ayu
"Tunggu kek, bukankah kita harusnya mengambil jalur selatan menuju desa Karang Anyar?" Arya masih larut dalam pikirannya sendiri, saat terikan Ayu kembali terdengar. Dia kemudian tersenyum kecil, sebelum menghitung sesuatu nenggunnakan jari tangannya. "Ini sudah kelima kalinya gadis itu memprotes keputusan guru yang lebih memilih jalur hutan dari pada harus melewati jalanan utama. Sepertinya, gadis ini tidak mudah menyerah...." Ucap Arya dalam hati. "Nona, tolong rendahkan nada bicara anda jika sedang..." "Kenapa?! Apa paman akan menghukumku lagi karena berteriak pada kakekku?! Sudah hampir tiga hari ini aku tidak bisa mandi, karena dia lebih memilih melewati jalur hutan ..." Potong Ayu cepat. "Nona, tolong mengertilah. Ketua memilih jalur hutan agar gerakan kita tidak terdeteksi oleh aliran hitam," Dharma mencoba menjelaskan maksud Sudarta, yang lebih memilih jalur tikus dari pada jalan utama. Namun, sekuat apapun dia berusaha, Ayu terus menyanggah dan mengakatan jika tak ad