“Jadi ini tujuan kamu menceraikan aku, Damian?” pekik Glara berdiri di ambang pintu rumahnya ia tertegun melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya.
Awalnya Glara datang untuk mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal di rumah itu namun, ia justru mendapatkan kenyataan pahit yang membuat hatinya semakin tersayat-sayat. “Berhari-hari aku mengurung diri dan menyalahkan diriku karena tak becus menjadi istri hingga kamu memilih berpisah ternyata ini yang sebenarnya kamu mau?” ujar Glara mengatakan isi hatinya.
“Kalau iya kenapa?” balas Damian santai dan melemparkan tatapan mengejek.
“Sudah berapa lama kalian memadu kasih tanpa sepengetahuanku?”
Damian berdecak malas. “Itu bukan urusanmu!” Pria itu mengabaikan kedatangan Glara, ia justru sibuk dengan pegawai vendor yang mengatur kursi dan juga pelaminan.
“Damian ada siapa?” tanya ibu dari Damian dari dalam rumahnya. “Oh wanita miskin ini, mau ngapain lagi dia ke sini?” ujarnya setelah menatap Glara dari ujung rambut hingga ke ujung kakinya. “Oh, mau ambil barang busuk kamu itu ya? tunggu ya‼” Wanita paruh baya itu mengangguk dan bergegas masuk ke dalam rumah tepatnya ke dalam kamar yang dulu Glara dan Damian tinggali.
Glara terdiam, ia tak masih tak percaya dengan apa yang terjadi di dalam hidupnya. Seminggu yang lalu, Glara memutuskan untuk pulang ke kota kelahirannya setelah 18 bulan bekerja di Jepang. Namun, Glara mendapatkan kejutan yang datang bertubi-tubi. Mulai dari perceraian yang diajukan oleh Damian, sikap mertua dan suaminya yang mendadak berubah juga kejutan akan rencana pernikahan Damian.
Glara masih bergeming, ia menatap Damian yang sibuk menata ruangan dengan dekorasi khas pernikahan. Glara hendak melangkah masuk namun baru beberapa langkah ia berjalan, langkahnya terhenti kala melihat kedatangan mantan mertuanya yang berjalan mendekatinya dengan beberapa koper dan tubuh bocah laki-laki.
“Bawa anak gak guna ini! Bisanya cuman ngerepotin saja!” imbuh wanita itu mendorong tubuh Gama ke arah Glara.
Dengan sigap, Glara menangkap tubuh kurus buah hatinya, Gama. Hati wanita itu teriris pilu melihat keadaan putra semata wayangnya. “Ibu ...” ujar Gama sembari memeluk erat Glara.
Glara mengepalkan tangannya, giginya bergemeletuk dengan sikap mantan suami juga mertuanya itu. Glara tak mempermasalahkan jika memang Damian memilih untuk berpisah namun, ia tak terima jika putra semata wayangnya diperlakukan tidak baik seperti itu. Dengan menahan amarahnya Glara menatap Damian dan juga mantan mertuanya seraya berkata, “Kamu lihat saja! Aku akan membalas semua perbuatan kalian!”
Bukannya takut, Damian justru terkikik geli. “Membalas? Mau pakai cara apa? Kamu itu gak akan punya uang kalau gak berangkat ke luar!” hina Damian. “Keluargamu saja sudah membuangmu, ‘kan? Coba kalau keluargamu masih menopang atau memberiku jabatan di perusahaannya, tentu aku tak akan menceraikanmu Glara Latusha Seraphine,” imbuh Damian mengejek Glara yang masih memelek putranya.
“Jadi selama ini kamu hanya memanfaatkanku?”
“Memangnya apa yang bisa dibanggakan dari wanita sepertimu? Cantik enggak seksi juga enggak. Aku terpaksa menikahimu. Sialnya keluargamu justru membuangmu tanpa sepeserpun bagian dari perusahaan.”
Glara menggelengkan kepalanya, menatap Damian tak percaya. Ia benar-benar tak mengenali Damian yang sekarang berdiri di depannya. “Tunggu saja, Kamu dan Ibumu akan menyesal!” ujar Glara seraya menggendong putranya dan berlalu meninggalkan Damian yang menatapnya dengan senyum sinis.
Langkah kaki Glara menapaki jalanan beraspal rumah yang ia beli beberapa tahun silam, walau kesulitan Glara tetap berusaha sebaik mungkin membawa putra dan juga barang-barangnya. Hingga langkah kakinya berhenti di sebuah halte bis.
“Gama, apa yang mereka lakukan selama ini padamu, nak?” lirih Glara. Ia mengelus kepala putra tunggalnya itu. Detik selanjutnya, Glara menyadari jika anaknya kesulitan untuk mengambil napas. Ia segera memeriksa tubuh sang putra. Dada Gama terlihat naik turun secara lambat.
“Bu ...”
“Gama, kamu kenapa, Nak?” tanya Glara panik, namun anaknya tak menjawab. Gama pingsan dipelukan ibunya. Glara semakin panik, ia tak tahu harus bagaimana sekarang. Lebih sialnya lagi, bis yang Glara tunggu tak kunjung datang, Glara pun terpaksa menggunakan taksi yang melintas untuk mengantarkannya ke rumah sakit terdekat.
Tak lama kemudian, mereka sampai di tempat tujuan, tanpa memikirkan barang-barangnya, Glara langsung berlari menuju unit gawat darurat, suster yang melihatnya kemudian mengambil alih tubuh Gama dan meletakkan ke dalam bangsal.
Setelah mematikan tubuh Gama terbaring dengan baik, perawat pun keluar dan memanggil dokter jaga. Tak lama, dokter jaga datang dan memeriksa keadaan Jason. “Silakan tunggu di luar, bu.”
“Tapi saya mau menemani anak saya di sini, suster,” tolak Lyra.
“Saya mengerti, biarkan kami memeriksa kondisi putra ibu terlebih dahulu ya,” imbuh suster tersebut. Mau tak mau Glara menuruti perkataan suster tersebut, dengan berat hati ia meninggalkan Gama.
Glara memainkan buku jarinya, ia cemas dan gelisah dengan keadaan putra semata wayangnya. Ia bahkan lupa akan rasa sakit hati karena ulah Damian. Tak lama menunggu, suster yang tadi membantunya keluar dari ruangan.
“Dengan ibu pasien?” katanya tersenyum hangat. Glara mengangguk, suster itu pun mengajak Glara masuk untuk bertemu dengan dokter yang menangani Gama.
“Bagaimana dengan kondisi anak saya dok?” tanya Glara to the point.
“Sejak kapan putra ibu menderita sakitnya?” balas dokter itu dengan raut wajah yang tak bisa diartikan.
Kening Glara sontak mengerut mendengar pertanyaan dokter di depannya. “Sakit? Putra saya sakit apa dok?”
Dokter itu tak kalah terkejutnya dengan raut wajah Glara. “Ibu tidak tahu?”
“Tidak tahu apa dok?” cecar Glara menuntut jawaban jelas dari dokter itu.
“Putra ibu mengidap sakit… .”
Glara kini terduduk di depan ruang intesif, di dalamnya bersemayam tubuh putra tercinta yang empat tahun lalu ia lahirkan. Glara berulang kali memeriksa ponselnya, ia membuka menu m-banking dan pesan secara bergantian.
“Tabunganku tak cukup untuk membiayai pengobatan Gama. Ya tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku tak mau kehilangan harta paling berharga di hidupku. Gama satu-satunya harta terbesar yang aku punya,” lirih Glara seorang diri. Ia menatap lurus ke arah pintu dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi tunggu.
Lebih dari satu jam, Glara hanya diam menatap ponsel dan pintu di depannya bergantian. Hingga sebuah suara mengintrupsi dirinya. “Pasien mengalami penurunan, segera hubungi keluarganya!” Glara bangkit dan mendekati suster yang akan masuk ke dalam ruangan Gama.
“Suster ada apa?” tanya Glara panik.
Suster itu menoleh dan menatap Glara iba. “Maaf ibu, kondisi putra ibu semakin menurun. Kita harus segera melakukan tindakan.”
Glara menarik napas dalam-dalam dan memejamkan matanya. Ia memantapkan diri dan hati untuk mendial nomor yang sedari tadi ia pandangi. “Hallo, aku membutuhkan bantuanmu!”
Glara berdiri di depan bangunan yang menjulang tinggi di depannya, rasanya sudah begitu lama ia tak menginjakkan kakinya di bangunan itu. Rasa canggung dan malu menyelinap di benak Glara. Namun, Glara tak memiliki pilihan lain demi keselamatan buah hatinya.Sebelum masuk ke dalam bangunan itu, Glara menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kedatangan Glara disambut manis oleh jajaran wanita yang berbaris di balik meja resepsionis. “Selamat datang nona Glara, tuan besar sudah menunggu kedatangan Nona. Mari saya antar.”Glara hanya tersenyum dan mengangguk, ia mengikuti langkah kaki wanita ramping di depannya. Hingga langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu lift yang masih tertutup. Tak lama, pintu lift terbuka, wanita ramping itu mempersilakan Glara masuk ke dalamnya. Setelahnya, ia menekan angka paling tinggi di bangunan itu.Degup jantung Glara semakin berpacu tak karuan, rasa gugup dan gelisah berkecamuk di dalam hatinya. Ia sangat takut jika saja orang yang ia
Tak lama datanglah beberapa pria tegap dengan pakaian serba hitam dan salah seorang pria berpakaian jas rapi yang menghammpiri Glara di depan ruang rawat Gama. “Permisi nona, kami sudah mengurus surat perpindahan Tuan Muda Gama dan mempersiapkan perawatan di rumah sakit baru. Sebentar lagi Tuan Muda Gama akan kami pindahkan,” lapornya seraya memberikan map berisi data-data Gama.“Terima kasih atas bantuannya,” sahut Glara bernapas lega.“Tuan besar berpesan agar Nona segera menjalankan bagian nona.” Glara mengangguk mendengar ucapan salah seorang kepercayaan sang kakek.Saat Glara akan menanyakan lebih rinci tentang tugasnya, beberapa perawat masuk ke dalam ruangan Gama. Glara tak begitu panik, karena ia sudah tahu jika Gama akan dipersiapkan untuk dipindahkan rumah sakit yang lebih besar dari ini.“Pasien sudah siap dipindahkan,” ujar salah seorang perawat yang memimpin barisan perawat lainnya yang sedang mendorong brankar Gama.Glara mengangguk dan mempersilakan tangan kanan kakekny
“Kenapa ada masalah, Gla?” tanya Louis kala melihat gelagat aneh di wajah cucunya.Glara menggeleng dan tersenyum simpul. Ia lantas mengambil berkas yang diserahkan Louis dan mulai mempelajari isi di dalamnya. Keningnya berkerut kala melihat isi yang dipaparkan. “Kakek, bagaimana jika aku tidak menyetujui proposal ini? Apa yang akan terjadi?” tanya Glara pada Louis yang duduk di sofa bersebrangan dengannya.Louis tampak berpikir sejenak ia lantas tersenyum. “Memangnya kenapa? Kamu mengenal pemimpin perusahaan itu?”Glara mengangguk lirih. “Aku tidak asing dengan nama pemiliknya namun, aku tidak terlalu yakin apakah dia orangnya atau bukan. Tetapi, selain itu aku juga tidak menemukan inovasi apapun dari proposalnya. Semua terlihat monoton dan kita pernah melakukan hal ini.”Louis menganggukkan kepala dan berkata, jika ia menyerahkan semua keputusan ke tangan Glara dan Glara berhak mengambil keputusan apapun tentunya dengan pertimbangan yang matang dan bukan hanya memutuskan dari sisi e
Melihat sang lawan mati kutu, Glara tersenyum tipis dan berjalan meninggalkan restaurant. Tak ada satupun yang tahu apa yang telah Glara ucapkan pada Marta hingga wanita itu tak berkutik.Sepanjang jalan, Glara hanya diam memandang ke luar jendela hingga tanpa sadar mobil telah tiba di rumah sakit di mana putranya tengah dirawat. Glara meminta Rose untuk kembali ke perusahaan dan membuat jadwal ulang tentang pertemuan bisnis lainnya. Ia ingin bertemu dengan Gama dan juga Louis yang tengah menunggu kehadirannya untuk menghabiskan makan siang bersama.Glara merapikan pakaian dan mengubah raut wajahnya menjadi lebih ceria, ia tak mau Louis atau Gama mengetahui kesedihannya atas sikap Damian yang merendahkannya. ‘Haiii ibu datang‼” ujar Glara penuh semangat seraya membuka pintu kamar rawat Gama.“Ibuu‼!” pekik Gama senang melihat wanita yang melahirkannya sudah berada di hadapannya.“Coba lihat ibu membawa apa?” tanya Glara menunjukkan paper bag yang sempat ia beli saat di restaurant tad
Damian tersenyum lebar mendengar respon dari Glara. “Sungguh sayang, aku sangat mencintaimu. Hanya kamu yang ada di hatiku.”Glara menatap Damian dengan sorot mata yang tak bisa dijelaskan. Ia seakan terharu dengan ucapan Damian. “Kembalilah padaku, aku akan membahagiakan kalian berdua setelah menyelesaikan misiku.”Dalam hitungan detik, raut wajah Glara berubah menjadi tajam dengan senyum smirk di wajahnya. “Kembali padamu? Jangan berharap, Damian!” ketus Glara membuat harapan yang Damian bangun tadi menghilang begitu saja.“Aku sungguh mencintaimu Glara. Aku akan –““Akan apa? Berhenti berdrama! Kamu ke sini bukan karena masih mencintaiku tetapi kamu sekarang tahu siapa aku, Kan? Coba kalau aku masih miskin seperti kemarin. Jangankan ke mari, menyebut namaku saja kamu jijik kan, Damian? Jadi, buat apa masih di sini? Pergilah, bukannya kamu sendiri yang membuang kami?”Damian tertegun, baru kali ini Glara berani melawannya. Bahkan Damian tak menyangka jika Glara berani menatapnya set
"Makan.”Kening Glara berkerut mendengar ucapan Bhuvi yang secara mendadak mengajaknya makan itu. “Daritadi anda tidak fokus pada pembahasan konsep. Saya rasa itu karena anda menahan lapar.”Glara meringis malu, sebenarnya ia memang lapar, sejak siang tadi ia belum menyantap apapun. Padahal tadi Glara berniat memesan zuppa soup untuknya dan juga Gama, sayangnya semua harus gagal karena kedatangan Damian yang membuat moodnya hancur.“Makan dulu, Glara. Kamu bisa sakit jika sering mengabaikan jam makanmu. Pergilah, biar kakek yang menjaga Gama di sini,” ujar Louis menyuruh cucu tunggalnya untuk menerima ajakan Bhuvi.Akhirnya Glara mengangguk mengikuti perintah dari Louis. Glara meraih ponselnya dan berjalan mengikuti langkah kaki jenjang Bhuvi yang berjalan di depannya. Tak berselang lama, Glara dan Bhuvi tiba di kantin rumah sakit. Mereka mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang kosong. “Di sana,” ujar keduanya secara bersamaan dan menunjuk ke salah satu meja kosong yang berada
“Bisa pertemukan saya dengan psikolog itu?” ujar Glara penuh harap.Bhuvi sempat terdiam sejenak namun, di detik selanjutnya pria itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia lantas menghubungi psikolog itu. Glara memperhatikan Bhuvi yang sedang berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon. Sedangkan Glara dan Louis menunggu kabar dari Bhuvi dengan perasaan gelisah.“Terima kasih, dok,” ucap Bhuvi mengakhiri sambungan teleponnya.Bhuvi mendongak dan netranya bertabrakan dengan netra Glara yang menatapnya penuh harap. “Besuk pagi, psikolognya akan ke mari.” Glara menghela napas lega mendengar penuturan Bhuvi.“Terima kasih, Bhuvi.” Bhuvi mengangguk dan tersenyum tipis.Hari pun semakin larut, matahari telah berganti senja yang menguning. Glara kini seorang diri menemani putranya yang masih tertidur karena efek dari obat penenang yang diberikan beberapa jam lalu. Louis dan Bhuvi sudah pamit pulang meninggalkan Glara di sana.Denting singkat di ponselnya mengalihkan perhatian G
“Maaf mengejutkanmu,” ujarnya tak enak hati.Glara mengangguk dan bergegas membersihkan diri ke kamar mandi. Tak lama, Glara keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang jauh lebih segar dari sebelumnya. Glara pun menghampiri Bhuvi yang duduk di salah satu sofa di kamar rawat Gama.“Ada perlu apa?”“Aku mengantarkan psikolog yang akan menangani Gama. Sekarang ia sedang berbincang dengan dokter pribadi Gama di sini.” Glara mengangguk mendengar penjelasan dari Bhuvi.Glara pun bergerak menuangkan kopi hitam yang sudah tersaji di teko listrik di dalam kamar rawat. Lantas menyerahkannya pada Bhuvi. “Silakan diminum terlebih dahulu.” Bhuvi mengangguk dan menyesap sedikit kopi pemberian Glara.Glara dan Bhuvi terlibat perbincangan singkat mengenai progres proyek kepedulian yang mereka buat. Glara menyerahkan konsep yang semalaman ia bua