“Kenapa ada masalah, Gla?” tanya Louis kala melihat gelagat aneh di wajah cucunya.
Glara menggeleng dan tersenyum simpul. Ia lantas mengambil berkas yang diserahkan Louis dan mulai mempelajari isi di dalamnya. Keningnya berkerut kala melihat isi yang dipaparkan. “Kakek, bagaimana jika aku tidak menyetujui proposal ini? Apa yang akan terjadi?” tanya Glara pada Louis yang duduk di sofa bersebrangan dengannya.
Louis tampak berpikir sejenak ia lantas tersenyum. “Memangnya kenapa? Kamu mengenal pemimpin perusahaan itu?”
Glara mengangguk lirih. “Aku tidak asing dengan nama pemiliknya namun, aku tidak terlalu yakin apakah dia orangnya atau bukan. Tetapi, selain itu aku juga tidak menemukan inovasi apapun dari proposalnya. Semua terlihat monoton dan kita pernah melakukan hal ini.”
Louis menganggukkan kepala dan berkata, jika ia menyerahkan semua keputusan ke tangan Glara dan Glara berhak mengambil keputusan apapun tentunya dengan pertimbangan yang matang dan bukan hanya memutuskan dari sisi emosionalnya.
Setelah memberikan pesan pada Glara, Louis berpamitan untuk mengunjungi Gama. Glara masih berkutat dengan berkas-berkasnya, mempelajari satu demi satu hal-hal yang ia lewatkan dari perkembangan perusahaan keluarganya itu.
Tepat pukul 12 siang, Glara dan assistennya bergerak menuju ke tempat meeting yang sudah disepakati. Khusus tamu ini, Glara meminta agar pengawal tak ikut masuk ke dalam ruang meeting dan cukup menjaganya di luar restaurant saja.
“Bu maaf saya izin ke toilet sejenak,” ujar Rose –assisten dan sekretaris Glara– Glara mengangguk dan mengatakan jika ia akan masuk terlebih dahulu karena tak mau membuat rekan kerjanya menunggu.
Dengan langkah pasti dan yakin, Glara mulai menginjakkan kakinya menyusuri lantai berkeramik di restaurant mahal itu. Glara mengedarkan pandangan mencari meja yang sudah direservasi oleh rekannya. Belum sempat Glara bergerak menuju meja yang dimaksud sebuah suara tawa sumbang mengintrupsinnya.
“Hahaha‼ Lihatlah siapa yang berdiri di depanku!” ejek Damian seraya tertawa dan bertepuk tangan. Glara hanya diam menatap Damian datar. Ia menunggu aksi selanjutnya pria yang masih berstatus sebagai suaminya.
“Sayang, untuk apa kita berbicara dengannya?” ujar wanita seksi yang berdiri di sampingnya merangkul mesra lengan pria berjas hitam itu.
Damian mengecup puncak kepala Marta. “Untuk melihat wanita ini merendah padamu, meminta pekerjaan mungkin? Atau mengemis jatah bulanan untuk merawat anak penyakitan itu.”
“Wah kebetulan sekali Glara, aku sedang mencari office girl mungkin kamu cocok untuk posisi itu,” sahut Marta dengan raut wajah antusias.
Glara benar-benar muak dengan perbincangan dua insan yang berdiri di depannya. Pengin rasanya Glara menampar kedua makhluk itu sayangnya, Glara masih memiliki hati nurani untuk tak melakukannya. Bagaimana pun juga, Damian pernah memperlakukannya sebagai putri walaupun semuanya hanyalah kamuflase belaka.
“Jadi bagaimana, Glara kamu mau? Kalau mau kamu bisa mulai bekerja hari ini juga,” lanjut Damian masih mencerca Glara. “Ah tidak usah terlalu lama berpikir, sudahlah aku tahu kamu butuh pekerjaan, ‘kan? Kamu tidak pantas berpakaian rapi begini, seragam office girl sepertinya lebih pas di tubuhmu.”
Glara menarik napasnya dalam-dalam, ia mengembalikan niat awalnya datang ke restaurant ini. Tanpa banyak kata, Glara hendak berbalik meninggalkan dua manusia itu. “Oh jangan-jangan kamu lagi mau jual diri ya? Makanya penampilanmu berubah begini,” celetuk Damian karena Glara diam saja sedari tadi.
“Jaga bicaramu, Damian!” sungut Glara yang tak terima dengan penghinaan Damian. Sedari tadi Glara sengaja diam karena tak mau membuat kericuhan tetapi ucapan Damian sungguh keterlaluan dan Glara tak bisa hanya diam terus menerus.
“Sudah tidak papa, katakan saja. Dulu di luar negeri juga bekerja ini kan? Makanya kamu bisa mengirimkan uang banyak. Sekarang butuh uang lebih banyak ‘kan? Untuk pengobatan anak penyakitan itu!”
Emosi Glara sudah mencapai puncaknya, Glara melayangkan sebuah tamparan di wajah Damian.
Plakk‼
“Beraninya kamu‼” pekik Damian tak terima dengan perlakuan Glara. Ia hendak membalas pukulan Glara namun, sebuah lengan kekar dan berotot mencengkram erat tangannya yang masih melayang di udara. “Lepas‼” pekik Damian berusaha melepaskan cengkraman itu.
“Hanya lelaki pecundang yang memukul seorang wanita.” Damian menelan salivanya susah payah, ucapan dan tatapan pria itu benar-benar tajam seakan menghunus Damian dalam-dalam. Berbeda dengan Glara yang menatap pria itu heran dan bingung.
Pasalnya, Glara tak mengenal sosok itu. Merasa lawannya kalah, pria itu menghempaskan tangan Damian dan berlalu begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pada Glara. Belum sempat Damian memproses kejadian tadi, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kedatangan sekretaris dari perusahaan ternama yang menjadi incara setiap perusahaan lain.
Dan detik selanjutnya, Damian semakin terkejut kala Rose memanggil dan mengenal Glara. “Maaf ibu, apa anda baik-baik saja?” tanya khawatir dan ketakutan.
“Saya baik-baik saja.”
“Kalian kenal?” tanya Damian bingung.
Rose menoleh dan baru sadar jika ada Damian di sana. “Pak Damian, Bu Marta,” sapanya sopan. “Bu Glara, ini adalah pemimpin Norush Grup yang hendak kita temui.”
“Hendak ditemui?” tanya Marta, mewakili kebingungan Damian.
“Maaf Pak Damian dan Bu Marta, ini adalah Bu Glara pemimpin dari Saphire grup. Beliau menggantikan Tuan besar Louis per hari ini.”
Glara nyaris tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Damian dan Marta yang menatapnya dengan mulut terbuka dan air muka terkejut. “Jadi kamu adalah… .”
Glara tersenyum smirk, seraya memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana kerja yang membalut kaki jenjangnya. “Rose, sepertinya saya tidak bisa melanjutkan kerja sama ini. Kamu tahu sendiri ‘kan bagaimana saya memilah dan memilih rekan kerja?”
Rose mengangguk, ia sangat mengenal karakteristik Glara. Bagaimana tidak mereka pernah bekerja sama selama 4 tahun sebelum akhirnya Glara memutuskan untuk keluar dari perusahaan demi cintanya pada Damian.
“Terlebih lagi ini proyek besar, saya tidak akan membiarkan perusahaan saya bekerja sama dengan perusahaan kecil yang dipimpin manusia tamak,” imbuh Glara, ia mengatakannya dengan raut wajah datar dan ekspresi santai namun penuh aura membunuh.
“Mana bisa begitu, Glara kamu tidak bisa mengambil keputusan tanpa mendengarkan presentasi dari kami,” protes Damian.
Glara tersenyum santai. “Persentasi dari proposal buruk ini? Dari membacanya saja saya sudah merasa bosan dan muak. Tidak ada inovasi, konsep yang monoton dan biaya yang lebih besar? Bukankah konsep ini sudah sering digunakan oleh perusahaan lainnya? Setidaknya lakukan inovasi konsep bukan hanya inovasi menggaet harta orang lain.” Setelah mengatakannya Glara berlalu begitu saja diikuti Rose yang berjalan dibelakangnya.
“Sebagai pemimpin harusnya anda tidak mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Pantas saja Damian… .”
Ucapan wanita itu terpotong karena Glara berhenti melangkah dan mundur beberapa langkah. Ia membungkukkan sedikit tubuhnya dan mendekatkan bibirnya pada telinga Marta. Membuat Marta bergidik ngeri.
“Kau hanyalah… .”
Melihat sang lawan mati kutu, Glara tersenyum tipis dan berjalan meninggalkan restaurant. Tak ada satupun yang tahu apa yang telah Glara ucapkan pada Marta hingga wanita itu tak berkutik.Sepanjang jalan, Glara hanya diam memandang ke luar jendela hingga tanpa sadar mobil telah tiba di rumah sakit di mana putranya tengah dirawat. Glara meminta Rose untuk kembali ke perusahaan dan membuat jadwal ulang tentang pertemuan bisnis lainnya. Ia ingin bertemu dengan Gama dan juga Louis yang tengah menunggu kehadirannya untuk menghabiskan makan siang bersama.Glara merapikan pakaian dan mengubah raut wajahnya menjadi lebih ceria, ia tak mau Louis atau Gama mengetahui kesedihannya atas sikap Damian yang merendahkannya. ‘Haiii ibu datang‼” ujar Glara penuh semangat seraya membuka pintu kamar rawat Gama.“Ibuu‼!” pekik Gama senang melihat wanita yang melahirkannya sudah berada di hadapannya.“Coba lihat ibu membawa apa?” tanya Glara menunjukkan paper bag yang sempat ia beli saat di restaurant tad
Damian tersenyum lebar mendengar respon dari Glara. “Sungguh sayang, aku sangat mencintaimu. Hanya kamu yang ada di hatiku.”Glara menatap Damian dengan sorot mata yang tak bisa dijelaskan. Ia seakan terharu dengan ucapan Damian. “Kembalilah padaku, aku akan membahagiakan kalian berdua setelah menyelesaikan misiku.”Dalam hitungan detik, raut wajah Glara berubah menjadi tajam dengan senyum smirk di wajahnya. “Kembali padamu? Jangan berharap, Damian!” ketus Glara membuat harapan yang Damian bangun tadi menghilang begitu saja.“Aku sungguh mencintaimu Glara. Aku akan –““Akan apa? Berhenti berdrama! Kamu ke sini bukan karena masih mencintaiku tetapi kamu sekarang tahu siapa aku, Kan? Coba kalau aku masih miskin seperti kemarin. Jangankan ke mari, menyebut namaku saja kamu jijik kan, Damian? Jadi, buat apa masih di sini? Pergilah, bukannya kamu sendiri yang membuang kami?”Damian tertegun, baru kali ini Glara berani melawannya. Bahkan Damian tak menyangka jika Glara berani menatapnya set
"Makan.”Kening Glara berkerut mendengar ucapan Bhuvi yang secara mendadak mengajaknya makan itu. “Daritadi anda tidak fokus pada pembahasan konsep. Saya rasa itu karena anda menahan lapar.”Glara meringis malu, sebenarnya ia memang lapar, sejak siang tadi ia belum menyantap apapun. Padahal tadi Glara berniat memesan zuppa soup untuknya dan juga Gama, sayangnya semua harus gagal karena kedatangan Damian yang membuat moodnya hancur.“Makan dulu, Glara. Kamu bisa sakit jika sering mengabaikan jam makanmu. Pergilah, biar kakek yang menjaga Gama di sini,” ujar Louis menyuruh cucu tunggalnya untuk menerima ajakan Bhuvi.Akhirnya Glara mengangguk mengikuti perintah dari Louis. Glara meraih ponselnya dan berjalan mengikuti langkah kaki jenjang Bhuvi yang berjalan di depannya. Tak berselang lama, Glara dan Bhuvi tiba di kantin rumah sakit. Mereka mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang kosong. “Di sana,” ujar keduanya secara bersamaan dan menunjuk ke salah satu meja kosong yang berada
“Bisa pertemukan saya dengan psikolog itu?” ujar Glara penuh harap.Bhuvi sempat terdiam sejenak namun, di detik selanjutnya pria itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia lantas menghubungi psikolog itu. Glara memperhatikan Bhuvi yang sedang berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon. Sedangkan Glara dan Louis menunggu kabar dari Bhuvi dengan perasaan gelisah.“Terima kasih, dok,” ucap Bhuvi mengakhiri sambungan teleponnya.Bhuvi mendongak dan netranya bertabrakan dengan netra Glara yang menatapnya penuh harap. “Besuk pagi, psikolognya akan ke mari.” Glara menghela napas lega mendengar penuturan Bhuvi.“Terima kasih, Bhuvi.” Bhuvi mengangguk dan tersenyum tipis.Hari pun semakin larut, matahari telah berganti senja yang menguning. Glara kini seorang diri menemani putranya yang masih tertidur karena efek dari obat penenang yang diberikan beberapa jam lalu. Louis dan Bhuvi sudah pamit pulang meninggalkan Glara di sana.Denting singkat di ponselnya mengalihkan perhatian G
“Maaf mengejutkanmu,” ujarnya tak enak hati.Glara mengangguk dan bergegas membersihkan diri ke kamar mandi. Tak lama, Glara keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang jauh lebih segar dari sebelumnya. Glara pun menghampiri Bhuvi yang duduk di salah satu sofa di kamar rawat Gama.“Ada perlu apa?”“Aku mengantarkan psikolog yang akan menangani Gama. Sekarang ia sedang berbincang dengan dokter pribadi Gama di sini.” Glara mengangguk mendengar penjelasan dari Bhuvi.Glara pun bergerak menuangkan kopi hitam yang sudah tersaji di teko listrik di dalam kamar rawat. Lantas menyerahkannya pada Bhuvi. “Silakan diminum terlebih dahulu.” Bhuvi mengangguk dan menyesap sedikit kopi pemberian Glara.Glara dan Bhuvi terlibat perbincangan singkat mengenai progres proyek kepedulian yang mereka buat. Glara menyerahkan konsep yang semalaman ia bua
“Ke mana?” Bhuvi tersenyum dan mengajak Glara bertemu dengan dokter pribadinya.Glara pun mengikuti langkah kaki Bhuvi yang terus berjalan di depannya. Hingga langkah kakinya berhenti di depan ruangan berwarna putih. Bhuvi bergerak mengetuk pintu hingga muncullah seorang perawat yang menyambut kedatangan Glara dan Bhuvi dengan senyum ramah.“Saya ingin bertemu dengan dokter Shapire.” Perawat itu mengangguk lantas mempersilakan Glara dan Bhuvi masuk ke dalam ruangan dokter Abel.Dokter Abel berdiri dan memyambut kedatangan Glara dan juga Bhuvi. Ia mempersilakan keduanya untuk duduk dan bertanya, “Ada yang perlu dibicarakan?”Bhuvi mengangguk sedangkan Glara hanya diam saja, karena sejujurnya ia tak tahu apa tujuan Bhuvi mengajaknya bertemu dengan dokter Abel. “Kapan Gama bisa kami bawa pulang?”“Kami akan melakukan pemeri
“Paman Bhuvi, temannya ibu kamu. Gama bisa panggil Paman Bhuvi.” Gama mengangguk, walau terlihat tak begitu nyaman namun, Glara sedikit bernapas lega karena putranya mau berinteraksi selain dengannya dan Louis.“Glara, saya pamit keluar dulu ya,” pamit Bhuvi pada Glara. Glara hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis. “Hai tampan, Pamab pamit dulu ya. nanti kita bertemu lagi, cepat sembuh ya‼” ujar Bhuvi pada Gama yang masih mencuri pandang darinya.“Hati-hati, Paman,” balas Gama dengan suara lirih. Bhuvi tersenyum mendengar ucapan Gama, begitu juga dengan Glara. Ia tak menyangka jika Gama bisa mengatakan hal itu pada Bhuvi yang notabene tak pernah ia temui.Bhuvi pun berlalu meninggalkan Glara dan Gama di ruangannya. Setelah kepergian Bhuvi, Glara mencoba mengajak Gama bermain, ia mengikuti cara pendekatan yang dilakukan Bhuvi tadi. Kini pemandangan indah terlihat di atas
“Paman Bhuvi tidak jadi ke sini?” Glara tercengang mendengar pertanyaan Gama. Ia tak percaya jika putranya justru mencari keberadaan orang lain.“Paman Bhuvi sedang… .”“Paman Bhuvi di sini‼” ujar Bhuvi dari arah pintu kamar. Gama tersenyum senang melihat kedatangan Bhuvi, berbeda dengan Glara dan Louis yang terkejut dengan sikap Gama. “Wah jagoan sudah boleh pulang ya?”Gama mengangguk, entah mengapa Gama merasa nyaman berada di sekitar Bhuvi padahal ia baru saja mengenal pria yang berusia jauh di atasnya itu. “Lihat paman membawa apa?” ujar Bhuvi mengangkat tangannya yang sedang membawa paper bag besar.“Apa itu paman?” balas Gama menatap Bhuvi penuh tanya.“Coba Gama buka sendiri.” Bhuvi lantas menyerahkan paper bag itu pada Gama yang masih terduduk di atas ranjangnya.