"Makan.”
Kening Glara berkerut mendengar ucapan Bhuvi yang secara mendadak mengajaknya makan itu. “Daritadi anda tidak fokus pada pembahasan konsep. Saya rasa itu karena anda menahan lapar.”
Glara meringis malu, sebenarnya ia memang lapar, sejak siang tadi ia belum menyantap apapun. Padahal tadi Glara berniat memesan zuppa soup untuknya dan juga Gama, sayangnya semua harus gagal karena kedatangan Damian yang membuat moodnya hancur.
“Makan dulu, Glara. Kamu bisa sakit jika sering mengabaikan jam makanmu. Pergilah, biar kakek yang menjaga Gama di sini,” ujar Louis menyuruh cucu tunggalnya untuk menerima ajakan Bhuvi.
Akhirnya Glara mengangguk mengikuti perintah dari Louis. Glara meraih ponselnya dan berjalan mengikuti langkah kaki jenjang Bhuvi yang berjalan di depannya. Tak berselang lama, Glara dan Bhuvi tiba di kantin rumah sakit. Mereka mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang kosong. “Di sana,” ujar keduanya secara bersamaan dan menunjuk ke salah satu meja kosong yang berada di pojok ruangan.
Glara dan Bhuvi mengangguk lantas melangkah menuju meja yang sudah mereka tunjuk tadi. Setibanya di sana, seorang pelayan datang dan memberikan mereka buku menu. Glara dan Bhuvi membaca menu yang disajikan di kantin tersebut setelah menentukan pilihannya mereka segera menyampaikan pada pelayan di sana.
Setelah menu dicatat sang pelayan bergegas kembali ke tempatnya kini, tersisa Glara dan Bhuvi yang menunggu di meja yang sudah mereka tempati. Tak ada satupun yang memulai perbincangan, Glara sibuk men-scroll akun sosial medianya sedangkan Bhuvi sibuk mengerjakan pekerjaan kantor yang belum selesai.
Sebenarnya, Glara sengaja men-scroll media sosial untuk mengalihkan pikirannya. Glara sebenarnya bertanya-tanya tentang sosok pria yang duduk di depannya. Glara merasa tak asing dengan wajah dan tubuh pria itu namun, Glara tak memiliki keberanian untuk menanyakannya.
Hingga sebuah suara mengintrupsi kegiatannya. “Apa dia masih menganggumu?”
“Dia?” tanya Glara seraya menyimpan ponselnya begitu juga dengan Bhuvi.
“Pria yang tempo hari bertemu di retaurant.”
Glara pun tersadar, ingatannya kembali pada kejadian beberapa hari lalu. Di mana dirinya bertemu dengan Damian dan Martha, juga penghinaan yang dilayangkan bekas suaminya itu. “Kamu pria itu?” tanya Glara teringat akan sosok pria yang menyelamatkan wajahnya dari tamparan Damian.
Bhuvi mengangguk singkat. “Jadi?”
“Pagi tadi dia datang.”
“Karena itu, Gama kambuh?” tebak Bhuvi, Glara mendongak netranya bertabrakan dengan netra abu-abu Bhuvi.
Wanita itu lantas mengangguk dan berkata, “Aku tidak tahu pasti apa yang sebelumnya Damian lakukan pada Gama hingga dia begitu ketakutan. Aku menunggu waktu yang tepat untuk bertanya pada Gama apa yang selama ini ia alami.”
Bhuvi pun mengangguk tak lama, pesanan makanan mereka datang. Keduanya sibuk menyantap dalam diam hanya denting sendok dan garpu yang beradu di atas piring. Setelah selesai Glara dan Bhuvi segera kembali ke kamar rawat Gama. Namun, dari arah pintu Glara mendengar perbincangan dari dalam kamar sang putra.
“Ada apa?” tanya Glara seraya mendekati ranjang putranya.
Louis dan dokter pribadi Gama menoleh. Louis mengusap bahu Glara, raut wajah keduanya tampak tegang dan tak bersahabat. “Ada apa, Kakek?”
“Tadi, Gama merancau. Dia sepertinya ketakutan dan kesakitan.” Glara mendelik tak percaya, netra coklatnya beralih menatap sang putra yang kini tertidur dengan bekas air mata di pipinya.
“Kami mengkhawatirkan kondisi psikis putra ibu,” imbuh dokter dengan raut wajah khawatir.
Bahu Glara semakin melemah, ia sungguh lemah jika berkaitan dengan Gama. “Apa yang harus dilakukan?” tanya Glara setelah mengumpulkan segenap tenaganya.
“Kita harus menghubungi psikolog dan memeriksa lebih rinci apa sebab dan penyebabnya. Agar kita bisa menentukan cara penyembuhan yang tepat.”
“Kapan psikolog bisa ke sini?” tanya Glara terburu-buru.
Dokter menghela napas berat raut wajahnya menunjukkan rasa bersalah. “Saya mohon maaf sekali bu, psikiater di tempat kami sedang tidak ada di tempat hingga dua pekan kedepan.”
Glara memejamkan mata mendengar penuturan dari dokter itu. “Saya akan mencoba menghubungi beberapa psikolog lainnya. Semoga Gama bisa segera bertemu dengan mereka.”
Setelah berpamitan dengan Glara dan yang lainnya, dokter dan beberapa perawat pun meninggalkan ruang rawat Gama. Glara berjalan menuju kursi yang berada di samping ranjang Gama, ia mengenggam erat jemari tangan Gama seraya menahan tangisannya.
“Ini salah Glara, Kakek. Ini salah Glara!” ujar Glara dengan suara parau.
Louis hanya bisa diam, sebelah tangannya mengusap punggung dan puncak kepala Glara. “Seharusnya dari awal Glara mendengarkan ucapan kakek. Dan seharusnya Glara tidak meninggalkan Gama bersama pria berengsek itu‼”
Glara tertunduk ia menangis dalam diam hanya bahunya yang bergetar, Glara menggigit bibir bawahnya menahan agar tangisanya tak menimbulkan suara yang menganggu waktu tidur Gama.
“Saya ada kenalan psikolog yang cukup bagus di kota ini. Jika berkenan saya akan mencoba menghubunginya,” ujar Bhuvi memecahkan keheningan di ruang rawat Gama.
Glara dan Louis menoleh menatap Bhuvi lekat-lekat. “Maaf jika saya lancang,” tutur Bhuvi menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba sebuah lengan menepuk bahunya dan menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Netra abu Bhuvi beralih menatap Glara yang juga tengah menatapnya. “Bhuvi maaf merepotkanmu,” ucap Louis dengan tangan yang masih bertengger di bahu tegap Bhuvi.
Glara bangkit dari duduknya, atmosfer yang sebelumnya hening dan haru kini berubah menjadi lebih menegangkan. Bhuvi menyesali ucapannya tadi, seharusnya ia tak ikut campur lebih dalam dengan urusan rekan kerjanya itu. “Maaf saya sudah lancang. Mohon abaikan ucapan saya tadi,” ujar Bhuvi seraya membungkukkan sedikit tubuhnya.
Bhuvi bergerak mundur ia hendak keluar dari ruangan Gama. Namun, langkah kakinya kembali berhenti kala Glara memanggilnya.
“Bhuvi, tunggu!”
“Bisa pertemukan saya dengan psikolog itu?” ujar Glara penuh harap.Bhuvi sempat terdiam sejenak namun, di detik selanjutnya pria itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia lantas menghubungi psikolog itu. Glara memperhatikan Bhuvi yang sedang berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon. Sedangkan Glara dan Louis menunggu kabar dari Bhuvi dengan perasaan gelisah.“Terima kasih, dok,” ucap Bhuvi mengakhiri sambungan teleponnya.Bhuvi mendongak dan netranya bertabrakan dengan netra Glara yang menatapnya penuh harap. “Besuk pagi, psikolognya akan ke mari.” Glara menghela napas lega mendengar penuturan Bhuvi.“Terima kasih, Bhuvi.” Bhuvi mengangguk dan tersenyum tipis.Hari pun semakin larut, matahari telah berganti senja yang menguning. Glara kini seorang diri menemani putranya yang masih tertidur karena efek dari obat penenang yang diberikan beberapa jam lalu. Louis dan Bhuvi sudah pamit pulang meninggalkan Glara di sana.Denting singkat di ponselnya mengalihkan perhatian G
“Maaf mengejutkanmu,” ujarnya tak enak hati.Glara mengangguk dan bergegas membersihkan diri ke kamar mandi. Tak lama, Glara keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang jauh lebih segar dari sebelumnya. Glara pun menghampiri Bhuvi yang duduk di salah satu sofa di kamar rawat Gama.“Ada perlu apa?”“Aku mengantarkan psikolog yang akan menangani Gama. Sekarang ia sedang berbincang dengan dokter pribadi Gama di sini.” Glara mengangguk mendengar penjelasan dari Bhuvi.Glara pun bergerak menuangkan kopi hitam yang sudah tersaji di teko listrik di dalam kamar rawat. Lantas menyerahkannya pada Bhuvi. “Silakan diminum terlebih dahulu.” Bhuvi mengangguk dan menyesap sedikit kopi pemberian Glara.Glara dan Bhuvi terlibat perbincangan singkat mengenai progres proyek kepedulian yang mereka buat. Glara menyerahkan konsep yang semalaman ia bua
“Ke mana?” Bhuvi tersenyum dan mengajak Glara bertemu dengan dokter pribadinya.Glara pun mengikuti langkah kaki Bhuvi yang terus berjalan di depannya. Hingga langkah kakinya berhenti di depan ruangan berwarna putih. Bhuvi bergerak mengetuk pintu hingga muncullah seorang perawat yang menyambut kedatangan Glara dan Bhuvi dengan senyum ramah.“Saya ingin bertemu dengan dokter Shapire.” Perawat itu mengangguk lantas mempersilakan Glara dan Bhuvi masuk ke dalam ruangan dokter Abel.Dokter Abel berdiri dan memyambut kedatangan Glara dan juga Bhuvi. Ia mempersilakan keduanya untuk duduk dan bertanya, “Ada yang perlu dibicarakan?”Bhuvi mengangguk sedangkan Glara hanya diam saja, karena sejujurnya ia tak tahu apa tujuan Bhuvi mengajaknya bertemu dengan dokter Abel. “Kapan Gama bisa kami bawa pulang?”“Kami akan melakukan pemeri
“Paman Bhuvi, temannya ibu kamu. Gama bisa panggil Paman Bhuvi.” Gama mengangguk, walau terlihat tak begitu nyaman namun, Glara sedikit bernapas lega karena putranya mau berinteraksi selain dengannya dan Louis.“Glara, saya pamit keluar dulu ya,” pamit Bhuvi pada Glara. Glara hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis. “Hai tampan, Pamab pamit dulu ya. nanti kita bertemu lagi, cepat sembuh ya‼” ujar Bhuvi pada Gama yang masih mencuri pandang darinya.“Hati-hati, Paman,” balas Gama dengan suara lirih. Bhuvi tersenyum mendengar ucapan Gama, begitu juga dengan Glara. Ia tak menyangka jika Gama bisa mengatakan hal itu pada Bhuvi yang notabene tak pernah ia temui.Bhuvi pun berlalu meninggalkan Glara dan Gama di ruangannya. Setelah kepergian Bhuvi, Glara mencoba mengajak Gama bermain, ia mengikuti cara pendekatan yang dilakukan Bhuvi tadi. Kini pemandangan indah terlihat di atas
“Paman Bhuvi tidak jadi ke sini?” Glara tercengang mendengar pertanyaan Gama. Ia tak percaya jika putranya justru mencari keberadaan orang lain.“Paman Bhuvi sedang… .”“Paman Bhuvi di sini‼” ujar Bhuvi dari arah pintu kamar. Gama tersenyum senang melihat kedatangan Bhuvi, berbeda dengan Glara dan Louis yang terkejut dengan sikap Gama. “Wah jagoan sudah boleh pulang ya?”Gama mengangguk, entah mengapa Gama merasa nyaman berada di sekitar Bhuvi padahal ia baru saja mengenal pria yang berusia jauh di atasnya itu. “Lihat paman membawa apa?” ujar Bhuvi mengangkat tangannya yang sedang membawa paper bag besar.“Apa itu paman?” balas Gama menatap Bhuvi penuh tanya.“Coba Gama buka sendiri.” Bhuvi lantas menyerahkan paper bag itu pada Gama yang masih terduduk di atas ranjangnya.
Glara menggeleng. “Kakek hanya tidak mau, kamu dinilai tidak sportif.”“Saya rasa keputusan Glara sudah benar, Pak Louis. Perusahaan Nourish Group memang memiliki konsep yang terlampau kuno. Tidak ada peningkatan, beberapa proyek perusahaan saya yang dikerjakan olehnya berakhir tak jelas. Rancangan anggarannya pun tidak transparan.”Louis tampak terkejut mendengar penuturan Bhuvi. “Kenapa begitu ya? Sebelum berganti kepemimpinan perusahaan itu sangat baik dalam menangani setiap proyek.”“Karena pemimpinnya tidak bisa melakukan apapun kecuali curang,” balas Glara membungkam Bhuvi dan Louis.“Memang Damian itu tidak bisa apa-apa. Untungnya kamu sudah lepas dari dia,” celetuk Louis.Glara tak merespon ucapan Louis, ia hanya diam seraya memainkan ponselnya. keadaan mobil kembali hening, tak ada yang mengeluarkan suara hanya
“Kamu ngapain di sini, Damian?” balas wanita itu menatap Damian penuh tanya.Damian tersenyum tipis ia lantas menarik wanita berdress merah itu ke lorong yang lebih sepi. Ia mengurung tubuh wanita itu dengan sebelah tangannya. “Issabella mantanku, kamu cantik sekali malam ini!”Issabella tersipu malu, ia tersenyum dan membelai dada Damian. “Kamu menyusulku ke sini?”Issabella adalah mantan kekasih Damian sebelum ia bertemu dengan Glara dulu. Mereka terpaksa mengakhiri hubungan karena Issabella harus mengikuti orang tuanya pindah negara. Damian tertegun dengan bentuk tubuh Issabella yang jauh lebih menarik dibanding Martha. Karena mengkonsumsi alkohol terlalu banyak, Damian pun mulai kehilangan akal sehatnya.Ia mengikis jarak bibir antaranya dengan Issa dan tak lama Issa merasakan sebuah benda kenyal menempel di bibirnya. Karena suasana semakin panas, Damian pun me
“Sebenarnya kenapa Gama bisa menerima kamu?” tanya Glara dengan raut wajah kebingungan.Bhuvi tersenyum dan berkata jika dirinya sendiri tidak tahu kenapa Gama bisa bersikap begitu, sejujurnya Bhuvi juga tidak berekspektasi jika Gama dengan mudahnya menerima kehadirannya. Glara pun menghela napas mendengar jawaban Bhuvi. Ia kembali mengamati jalanan dari balik kaca mobil di sampingnya.“Kenapa kamu membelikan alat lukis?” tanya Glara teringat akan pemberian Bhuvi pada putranya.“Karena Gama menyukai itu.”Jawaban singkat Bhuvi ternyata belum cukup memuaskan hati Glara, ia terus memaksa Bhuvi menceritakan secara terus terang kenapa Bhuvi membelikannya. Bhuvi akhirnya menghela napas dan berkata, “Karena setahuku, menggambar bisa menunjukkan isi hati seseorang. Siapa tahu dari cara melukis ini kita bisa tahu apa yang sebenarnya Gama alami dan apa yang ingin ia l