“Maaf mengejutkanmu,” ujarnya tak enak hati.
Glara mengangguk dan bergegas membersihkan diri ke kamar mandi. Tak lama, Glara keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang jauh lebih segar dari sebelumnya. Glara pun menghampiri Bhuvi yang duduk di salah satu sofa di kamar rawat Gama.
“Ada perlu apa?”
“Aku mengantarkan psikolog yang akan menangani Gama. Sekarang ia sedang berbincang dengan dokter pribadi Gama di sini.” Glara mengangguk mendengar penjelasan dari Bhuvi.
Glara pun bergerak menuangkan kopi hitam yang sudah tersaji di teko listrik di dalam kamar rawat. Lantas menyerahkannya pada Bhuvi. “Silakan diminum terlebih dahulu.” Bhuvi mengangguk dan menyesap sedikit kopi pemberian Glara.
Glara dan Bhuvi terlibat perbincangan singkat mengenai progres proyek kepedulian yang mereka buat. Glara menyerahkan konsep yang semalaman ia bua
“Ke mana?” Bhuvi tersenyum dan mengajak Glara bertemu dengan dokter pribadinya.Glara pun mengikuti langkah kaki Bhuvi yang terus berjalan di depannya. Hingga langkah kakinya berhenti di depan ruangan berwarna putih. Bhuvi bergerak mengetuk pintu hingga muncullah seorang perawat yang menyambut kedatangan Glara dan Bhuvi dengan senyum ramah.“Saya ingin bertemu dengan dokter Shapire.” Perawat itu mengangguk lantas mempersilakan Glara dan Bhuvi masuk ke dalam ruangan dokter Abel.Dokter Abel berdiri dan memyambut kedatangan Glara dan juga Bhuvi. Ia mempersilakan keduanya untuk duduk dan bertanya, “Ada yang perlu dibicarakan?”Bhuvi mengangguk sedangkan Glara hanya diam saja, karena sejujurnya ia tak tahu apa tujuan Bhuvi mengajaknya bertemu dengan dokter Abel. “Kapan Gama bisa kami bawa pulang?”“Kami akan melakukan pemeri
“Paman Bhuvi, temannya ibu kamu. Gama bisa panggil Paman Bhuvi.” Gama mengangguk, walau terlihat tak begitu nyaman namun, Glara sedikit bernapas lega karena putranya mau berinteraksi selain dengannya dan Louis.“Glara, saya pamit keluar dulu ya,” pamit Bhuvi pada Glara. Glara hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis. “Hai tampan, Pamab pamit dulu ya. nanti kita bertemu lagi, cepat sembuh ya‼” ujar Bhuvi pada Gama yang masih mencuri pandang darinya.“Hati-hati, Paman,” balas Gama dengan suara lirih. Bhuvi tersenyum mendengar ucapan Gama, begitu juga dengan Glara. Ia tak menyangka jika Gama bisa mengatakan hal itu pada Bhuvi yang notabene tak pernah ia temui.Bhuvi pun berlalu meninggalkan Glara dan Gama di ruangannya. Setelah kepergian Bhuvi, Glara mencoba mengajak Gama bermain, ia mengikuti cara pendekatan yang dilakukan Bhuvi tadi. Kini pemandangan indah terlihat di atas
“Paman Bhuvi tidak jadi ke sini?” Glara tercengang mendengar pertanyaan Gama. Ia tak percaya jika putranya justru mencari keberadaan orang lain.“Paman Bhuvi sedang… .”“Paman Bhuvi di sini‼” ujar Bhuvi dari arah pintu kamar. Gama tersenyum senang melihat kedatangan Bhuvi, berbeda dengan Glara dan Louis yang terkejut dengan sikap Gama. “Wah jagoan sudah boleh pulang ya?”Gama mengangguk, entah mengapa Gama merasa nyaman berada di sekitar Bhuvi padahal ia baru saja mengenal pria yang berusia jauh di atasnya itu. “Lihat paman membawa apa?” ujar Bhuvi mengangkat tangannya yang sedang membawa paper bag besar.“Apa itu paman?” balas Gama menatap Bhuvi penuh tanya.“Coba Gama buka sendiri.” Bhuvi lantas menyerahkan paper bag itu pada Gama yang masih terduduk di atas ranjangnya.
Glara menggeleng. “Kakek hanya tidak mau, kamu dinilai tidak sportif.”“Saya rasa keputusan Glara sudah benar, Pak Louis. Perusahaan Nourish Group memang memiliki konsep yang terlampau kuno. Tidak ada peningkatan, beberapa proyek perusahaan saya yang dikerjakan olehnya berakhir tak jelas. Rancangan anggarannya pun tidak transparan.”Louis tampak terkejut mendengar penuturan Bhuvi. “Kenapa begitu ya? Sebelum berganti kepemimpinan perusahaan itu sangat baik dalam menangani setiap proyek.”“Karena pemimpinnya tidak bisa melakukan apapun kecuali curang,” balas Glara membungkam Bhuvi dan Louis.“Memang Damian itu tidak bisa apa-apa. Untungnya kamu sudah lepas dari dia,” celetuk Louis.Glara tak merespon ucapan Louis, ia hanya diam seraya memainkan ponselnya. keadaan mobil kembali hening, tak ada yang mengeluarkan suara hanya
“Kamu ngapain di sini, Damian?” balas wanita itu menatap Damian penuh tanya.Damian tersenyum tipis ia lantas menarik wanita berdress merah itu ke lorong yang lebih sepi. Ia mengurung tubuh wanita itu dengan sebelah tangannya. “Issabella mantanku, kamu cantik sekali malam ini!”Issabella tersipu malu, ia tersenyum dan membelai dada Damian. “Kamu menyusulku ke sini?”Issabella adalah mantan kekasih Damian sebelum ia bertemu dengan Glara dulu. Mereka terpaksa mengakhiri hubungan karena Issabella harus mengikuti orang tuanya pindah negara. Damian tertegun dengan bentuk tubuh Issabella yang jauh lebih menarik dibanding Martha. Karena mengkonsumsi alkohol terlalu banyak, Damian pun mulai kehilangan akal sehatnya.Ia mengikis jarak bibir antaranya dengan Issa dan tak lama Issa merasakan sebuah benda kenyal menempel di bibirnya. Karena suasana semakin panas, Damian pun me
“Sebenarnya kenapa Gama bisa menerima kamu?” tanya Glara dengan raut wajah kebingungan.Bhuvi tersenyum dan berkata jika dirinya sendiri tidak tahu kenapa Gama bisa bersikap begitu, sejujurnya Bhuvi juga tidak berekspektasi jika Gama dengan mudahnya menerima kehadirannya. Glara pun menghela napas mendengar jawaban Bhuvi. Ia kembali mengamati jalanan dari balik kaca mobil di sampingnya.“Kenapa kamu membelikan alat lukis?” tanya Glara teringat akan pemberian Bhuvi pada putranya.“Karena Gama menyukai itu.”Jawaban singkat Bhuvi ternyata belum cukup memuaskan hati Glara, ia terus memaksa Bhuvi menceritakan secara terus terang kenapa Bhuvi membelikannya. Bhuvi akhirnya menghela napas dan berkata, “Karena setahuku, menggambar bisa menunjukkan isi hati seseorang. Siapa tahu dari cara melukis ini kita bisa tahu apa yang sebenarnya Gama alami dan apa yang ingin ia l
Bhuvi segera menggendong tubuh Glara dan membawanya ke mobil pribadinya. Bhuvi tampak berhati-hati menggendong tubuh Glara sedangkan Glara merintih tertahan menahan sakit pada bagian pergelangan kakinya. “Di mana klinik terdekat?” tanya Bhuvi pada kepala daerah.“Mari saya antar Pak.” Pria itu segera menaiki motornya dan memimpin perjalanan mereka.Bhuvi mencoba fokus mengendarai kendaraannya walaupun sebenarnya ia khawatir pada keadaan Glara. “Maaf merepotkanmu, Bhuvi.”Bhuvi menggeleng. “Maaf sudah lalai menjagamu.”“Ini bukan salahmu, aku yang tidak berhati-hati tadi.” Bhuvi hanya diam, ia lantas memarkirkan mobilnya di halaman parkir rumah sakit yang terlihat sederhana.Bhuvi kembali menggendong Glara dan membawanya ke ruang gawat darurat. Kedatangan Bhuvi segera disambut oleh perawat juga dokter jaga, mereka bergega
“Baik.”“Yakin hanya itu?” goda Louis pada Glara yang memalingkan wajahnya. “Sebenarnya kalian cocokloh. Kakek tentu akan sangat setuju.”“Apa sih kakek ini. Glara masuk dulu ya, kakek.” Glara sengaja menghindari Louis, ia sebenarnya setuju dengan ucapan Louis hanya saja ia takut dan malu untuk mengakuinya.Menit berganti jam, jam berganti hari, sudah lebih dari sepekan mereka tinggal di villa itu. kaki Glara juga sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Begitu juga dengan kondisi psikis Gama yang berangsur-angsur membaik. Anak itu semakin dekat dengan Bhuvi, mereka sering menghabiskan waktu bersama seperti bersepeda di sore hari, melukis bersama atau bahkan berenang bersama.Hari ini adalah jadwal Gama untuk kontrol di rumah sakit. Sejak pagi tadi, Glara sudah bersiap-siap dengan pakaiannya juga dengan pakaian Gama. Tepat pukul delapan pagi, Glara keluar