“Paman Bhuvi tidak jadi ke sini?” Glara tercengang mendengar pertanyaan Gama. Ia tak percaya jika putranya justru mencari keberadaan orang lain.
“Paman Bhuvi sedang… .”
“Paman Bhuvi di sini‼” ujar Bhuvi dari arah pintu kamar. Gama tersenyum senang melihat kedatangan Bhuvi, berbeda dengan Glara dan Louis yang terkejut dengan sikap Gama. “Wah jagoan sudah boleh pulang ya?”
Gama mengangguk, entah mengapa Gama merasa nyaman berada di sekitar Bhuvi padahal ia baru saja mengenal pria yang berusia jauh di atasnya itu. “Lihat paman membawa apa?” ujar Bhuvi mengangkat tangannya yang sedang membawa paper bag besar.
“Apa itu paman?” balas Gama menatap Bhuvi penuh tanya.
“Coba Gama buka sendiri.” Bhuvi lantas menyerahkan paper bag itu pada Gama yang masih terduduk di atas ranjangnya.
Glara menggeleng. “Kakek hanya tidak mau, kamu dinilai tidak sportif.”“Saya rasa keputusan Glara sudah benar, Pak Louis. Perusahaan Nourish Group memang memiliki konsep yang terlampau kuno. Tidak ada peningkatan, beberapa proyek perusahaan saya yang dikerjakan olehnya berakhir tak jelas. Rancangan anggarannya pun tidak transparan.”Louis tampak terkejut mendengar penuturan Bhuvi. “Kenapa begitu ya? Sebelum berganti kepemimpinan perusahaan itu sangat baik dalam menangani setiap proyek.”“Karena pemimpinnya tidak bisa melakukan apapun kecuali curang,” balas Glara membungkam Bhuvi dan Louis.“Memang Damian itu tidak bisa apa-apa. Untungnya kamu sudah lepas dari dia,” celetuk Louis.Glara tak merespon ucapan Louis, ia hanya diam seraya memainkan ponselnya. keadaan mobil kembali hening, tak ada yang mengeluarkan suara hanya
“Kamu ngapain di sini, Damian?” balas wanita itu menatap Damian penuh tanya.Damian tersenyum tipis ia lantas menarik wanita berdress merah itu ke lorong yang lebih sepi. Ia mengurung tubuh wanita itu dengan sebelah tangannya. “Issabella mantanku, kamu cantik sekali malam ini!”Issabella tersipu malu, ia tersenyum dan membelai dada Damian. “Kamu menyusulku ke sini?”Issabella adalah mantan kekasih Damian sebelum ia bertemu dengan Glara dulu. Mereka terpaksa mengakhiri hubungan karena Issabella harus mengikuti orang tuanya pindah negara. Damian tertegun dengan bentuk tubuh Issabella yang jauh lebih menarik dibanding Martha. Karena mengkonsumsi alkohol terlalu banyak, Damian pun mulai kehilangan akal sehatnya.Ia mengikis jarak bibir antaranya dengan Issa dan tak lama Issa merasakan sebuah benda kenyal menempel di bibirnya. Karena suasana semakin panas, Damian pun me
“Sebenarnya kenapa Gama bisa menerima kamu?” tanya Glara dengan raut wajah kebingungan.Bhuvi tersenyum dan berkata jika dirinya sendiri tidak tahu kenapa Gama bisa bersikap begitu, sejujurnya Bhuvi juga tidak berekspektasi jika Gama dengan mudahnya menerima kehadirannya. Glara pun menghela napas mendengar jawaban Bhuvi. Ia kembali mengamati jalanan dari balik kaca mobil di sampingnya.“Kenapa kamu membelikan alat lukis?” tanya Glara teringat akan pemberian Bhuvi pada putranya.“Karena Gama menyukai itu.”Jawaban singkat Bhuvi ternyata belum cukup memuaskan hati Glara, ia terus memaksa Bhuvi menceritakan secara terus terang kenapa Bhuvi membelikannya. Bhuvi akhirnya menghela napas dan berkata, “Karena setahuku, menggambar bisa menunjukkan isi hati seseorang. Siapa tahu dari cara melukis ini kita bisa tahu apa yang sebenarnya Gama alami dan apa yang ingin ia l
Bhuvi segera menggendong tubuh Glara dan membawanya ke mobil pribadinya. Bhuvi tampak berhati-hati menggendong tubuh Glara sedangkan Glara merintih tertahan menahan sakit pada bagian pergelangan kakinya. “Di mana klinik terdekat?” tanya Bhuvi pada kepala daerah.“Mari saya antar Pak.” Pria itu segera menaiki motornya dan memimpin perjalanan mereka.Bhuvi mencoba fokus mengendarai kendaraannya walaupun sebenarnya ia khawatir pada keadaan Glara. “Maaf merepotkanmu, Bhuvi.”Bhuvi menggeleng. “Maaf sudah lalai menjagamu.”“Ini bukan salahmu, aku yang tidak berhati-hati tadi.” Bhuvi hanya diam, ia lantas memarkirkan mobilnya di halaman parkir rumah sakit yang terlihat sederhana.Bhuvi kembali menggendong Glara dan membawanya ke ruang gawat darurat. Kedatangan Bhuvi segera disambut oleh perawat juga dokter jaga, mereka bergega
“Baik.”“Yakin hanya itu?” goda Louis pada Glara yang memalingkan wajahnya. “Sebenarnya kalian cocokloh. Kakek tentu akan sangat setuju.”“Apa sih kakek ini. Glara masuk dulu ya, kakek.” Glara sengaja menghindari Louis, ia sebenarnya setuju dengan ucapan Louis hanya saja ia takut dan malu untuk mengakuinya.Menit berganti jam, jam berganti hari, sudah lebih dari sepekan mereka tinggal di villa itu. kaki Glara juga sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Begitu juga dengan kondisi psikis Gama yang berangsur-angsur membaik. Anak itu semakin dekat dengan Bhuvi, mereka sering menghabiskan waktu bersama seperti bersepeda di sore hari, melukis bersama atau bahkan berenang bersama.Hari ini adalah jadwal Gama untuk kontrol di rumah sakit. Sejak pagi tadi, Glara sudah bersiap-siap dengan pakaiannya juga dengan pakaian Gama. Tepat pukul delapan pagi, Glara keluar
“Apa mereka membantu kehidupanmu?” tanya Bhuvi pada Glara yang masih diam membisu. “Apa mereka mengurus Gama? Tidak ‘kan? Kita berhak memilih untuk mendengarkan atau tidak. Jalani saja hidupmu dengan baik dan lakukan yang terbaik dari versi terbaikmu.”Glara mengangguk dan mengulas senyum tipis, Glara mencoba meresapi ucapan Bhuvi. “Kegagalan dalam rumah tangga bukan sepenuhnya salahmu. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Coba kamu bertanya dengan dirimu sendiri apakah kamu mau bertahan di rumah tangga yang seperti itu atau mengakhiri untuk memulai yang baru?” tanya Bhuvi pada Glara yang masih terdiam.“Terima saja, kamu pasti bisa melewatinya.” Ucapan Bhuvi seperti mantra yang menghipnotis Glara untuk kembali bersemangat dan mencoba menerima takdir kehidupannya.Tanpa sadar, mobil Bhuvi sudah tiba di halaman rumah sakit tempat Gama dirawat dulu. Setelah memarkir
“Mau minum apa?” tanya Lana dengan senyum manis di wajahnya.Glara tanpa sadar menghela napas lega. “Apa saja tante, asal tidak merepotkan.”Lana pun kembali mengulas senyum dan berjalan menuju ke dapur. Glara dan Bhuvi menunggu di ruang tamu seraya mengamati kegiatan Gama yang sedang asyik menggambar di atas kanvas pemberian dari Lana. Sebenarnya Gama belum terlalu pandai menulis, mengingat usianya yang masih kecil. Namun, entah mengapa setiap coretan tangan yang dibuat Gama terlihat bermakna.“Silakan diminum. Maaf ya Tante belum stok minuman lain.” Lana meletakkan dua cangkir teh hangat di atas meja.Ia lantas duduk berhadapan dengan Glara dan Bhuvi yang sedang mencoba teh buatan Lana. “Jadi bagaimana menurut, tante?” tanya Bhuvi setelah meletakkan cangkirnya ke atas meja.Lana menatap satu per satu hasil coretan tangan Gama, ia
Bhuvi mengangguk dan mengulas senyum tipis. “Maaf, lagi dan lagi aku harus merepotkanmu.”“Tidak masalah, seharusnya aku yang meminta maaf karena lancang masuk ke kamarmu.”Glara menggeleng dan mengulas senyum tak enak hati. Setelah perbincangan singkat itu, Bhuvi kembali ke kamar dan menyelesaikan pekerjaannya. Begitu juga dengan Glara yang kembali melanjutkan aktivitas memasaknya walau sebenarnya Glara masih tak enak hati dengan Bhuvi yang selalu ia repotkan.Waktu terus berlalu, makanan yang dimasak Glara telah tersaji rapi di atas meja makan. Glara bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk membangunkan sang putra yang sudah tertidur cukup lama. Beruntung Gama bukanlah tipe anak yang susah bangun ataupun merengek ketika bangun tidur.Setelah Gama bangun, Glara segera membantu putranya untuk membersihkan diri juga menyiapkan pakaian tidur untuk anaknya. Setelah Gama seles